"Ganteng kan kalau udah pake baju, gemes, pengin di atas," bisik Sasa penuh godaan."Yok, ke sebelah," ajak Badai langsung sigap."Kok jadi serius," Sasa menutup mulutnya spontan. "Mas nggak capek? Abis maen bola juga ih," desisnya."Sekalian capeknya. Lagian kalau kamu yang di atas, aku nggak capek, Nduk.""Kok vulgar gini jadinya kita ngobrolnya ya Mas?"Lalu, tawa mereka berderai ceria. Badai melakukan kebiasaan wajibnya, mengacak rambut Sasa, membuat beberapa mahasiswi lain dari universitas tuan rumah yang ikut dikarantina memekik iri, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Sasa sengaja pamer kemesraan di depan mereka, juga di depan Dira yang sudah pasti sedang tak aman posisinya."Ayok sarapan!" ajak Badai menunjuk gedung induk di paling depan, semua aktivitas dari makan termasuk hiburan diadakan di ruangan itu."Emang yang laen udah?""Tuh, Ramdan udah ngusap sekitar bibirnya. Udah selesai dia," jawab Badai."Mas udah laper? Aku kok belom. Pengin sarapan yang lain," pancing Sasa imut."
"Gimana?" Sasa mengulum bibirnya dengan tatapan yang tak lepas dari sang suami, ia bahkan menahan napas."Enak," ucap Badai sambil manggut-manggut. "Rada asin," tambahnya membuat ekspresi Sasa berubah."Maaf, Mas tau aku nggak bisa masak," cengir Sasa merasa bersalah. Ia tarik mangkok sop ayam yang tengah dinikmati suaminya. "Jajan di luar aja yok Mas, ini nggak layak makan," katanya."Siapa bilang? Enak kok," kata Badai tulus. "Apapun itu kalau dari tangan kamu, pasti kumakan," ujarnya begitu manis, ia ambil lagi mangkok sopnya dari sang istri, ia lahap isinya rakus."Jangan gitu," hidung Sasa kembang kempis, pertanda ia tengah berusaha untuk tidak bersedih. "Harusnya aku masak yang enak biar Mas seneng, kan tiga hari lagi Mas berangkat," katanya.Surat perintah agar Badai dan timnya segera berangkat ke Papua terbit kemarin sore. Setelah dua minggu melakukan peran sebenar-benarnya sebagai suami-istri di rumah mereka sendiri, kabar yang paling tidak ingin didengar Sasa itu akhirnya da
"Akai Badai Bagaspati, nama kamu kan?" tegur Sasa berdiri angkuh sambil melipat kedua tangannya di depan dada, menunjukkan superioritasnya sebagai ketua kelas terpilih. Lelaki yang tengah menelungkupkan wajahnya di meja deretan paling belakang itu tak bereaksi. Sejak kelas di mulai pertama kali dua hari yang lalu, lelaki ini sudah masuk dan menempati kursi yang selalu sama, kursi pojok kanan belakang. "Excuse me, permisi, kulo nuwun, punten, sampurasun, annyeong!!" ulang Sasa mengeraskan lagi suaranya agar lelaki yang masih tenang tak bereaksi ini mendengarnya. Sepi. Sasa tak lagi bersedekap, ia berganti gaya dengan berkacak pinggang, lama-lama lelaki aneh bin ajaib ini benar-benar menguji kesabarannya. "Kamu nggak denger apa yang aku bilang ya?" ulang Sasa sengaja mengambil satu kursi dan duduk di deretan depan sambil menghadap pada lelaki yang ia sebut namanya tadi. "Kenapa?" Badai, sosok tampan yang ditegur oleh Sasa membuka suara, merilis nada bariton itu dari bibir mungi
"Kamu nggak penasaran kenapa aku ngambek sama Ayahku dan nggak mau dikawal juga diantar-jemput? Ngeliat dari sikap kamu pas kita pertama interaksi, seharusnya kamu penasaran kenapa cewek manja ini ke mana-mana sendiri tanpa pengawalan," ujar Sasa suatu saat di mana ia sengaja ikut pulang ke kost Badai membonceng motornya. Masih melanjutkan agenda tugas kelompok di mata kuliah lain, Sasa dan Badai menjadi sering terlibat dan berinteraksi semakin dekat."Bukan urusanku itu," balas Badai sekenanya. “Sekedar info, selama 18 tahun hidupku aku dipingit dan sekarang aku dijodohin juga,” desis Sasa bermonolog.Badai hanya mengedikkan kedua bahunya sebagai reaksi wajar atas apa yang diceritakan Sasa. "Aku ganti baju bentar," ucap Badai segera masuk ke dalam kost-nya untuk menghindari percakapan yang lebih serius.Menatap punggung lebar Badai yang menghilang ke dalam kamar, senyum lebar Sasa terbit. Ia jatuh cinta pada Badai di pandangan pertama dan hari ini semesta yang mengirim hujan besar
"Makasih udah mau ketemu sama Alpha ya Sa," ucap Ran, ibunda Sasa lega. "Kuharap ini keputusan terbaik ya Bunda," ujar Sasa berusaha mematri senyumnya. Tekadnya sudah bulat untuk bertemu dengan sosok Alpha di upacara peringatan HUT Tentara Indonesia hari ini. "Kenalan aja dulu, nggak harus langsung nikah kok. Alpha juga nggak akan minta buru-buru," kata Damar, ayahanda Sasa yang bersiap untuk memimpin upacara. Sasa hanya mengangguk pada sang ayah. Setelah memutuskan untuk membuang perasaannya pada Badai, Sasa akhirnya memilih untuk menerima perjodohannya. Ia tak mau terlibat lebih dalam dengan Badai yang sudah memiliki pacar, tak mau lebih sakit lagi meski ciuman pertama yang Badai berikan padanya begitu membekas. "Nggak akan ketemu dicari di sana, dia pasukan elite, pasti dapet tugas khusus, nggak akan ada di pasukan upacara," gumam Ran yang sangat paham saat mata Sasa mengitar sejak masuk ke barisan tamu undangan, menebak-nebak siapa Alpha dan bagaimana wajahnya. "Bunda tau aja
Setia menunggui Sasa yang masih angkuh dalam ketidaksadarannya, Badai tak banyak bicara. Ia tahu betul bahwa sepulang dari Kuliah Kerja Lapangan mereka di Bali, Sasa pasti menderita kelelahan. Pun dengan ditambah beban pikiran atas hubungan mereka yang sudah pasti berat di pihak Sasa. "Eung," terdengar Sasa mengerang kecil, ia berusaha untuk membuka mata perlahan dengan tangan yang reflek memegangi kepalanya. Semua orang di dalam ruangan kesehatan segera mendekat ke ranjang begitu tahu Sasa sudah mulai sadar. Giliran Badai yang salah tingkah dan kikuk, ia menepi, membiarkan Ran dan Riana lebih dulu mengecek kondisi kesehatan Sasa. "Sa, gimana, pusing?" tanya Ran perhatian. "Apa yang dirasain?" lanjutnya. Sasa menggeleng lemah, sambil sesekali mengerang, ia berusaha bangun. Lalu, matanya menangkap sosok Badai di sudut ruangan. Lelaki ini berdiri kaku tanpa suara, menatapnya lekat. "Aku nggak pa-pa Bunda, lima menit lagi kita pulang aja ke rumah, aku pengin istirahat," ucap S
Di pihak Sasa, setelah Badai melepas pelukannya, ia lirik Badai dari kaki hingga kepala. Lelaki ini sempurna seperti yang selalu dilihatnya. Kini, jauh lebih sempurna dan memesona dengan seragam Pakaian Dinas Upacara membalut atletis tubuhnya. "Letnan Satu," gumam Sasa masih tidak percaya. 'Mafia? Geng motor? Preman? Lo gila udah sempat mikir tangan kasarnya gara-gara dia jadi tukang nyangkul, Sa!' "Siap!" sahut Badai sigap. "Kenapa?" tanya Sasa singkat. 'Kenapa jadi tambah ganteng banget ni orang.' "Ya? Ijin," Badai menatap Sasa bingung. "Ah, kamu ada dalam misi saya," ucapnya. "Bukan, bukan itu yang aku maksud. Kenapa kamu mau dijodohin sama aku? Apa karena itu perintah dari Ayah?" Ada jeda panjang setelah Sasa melempar pertanyaan jebakan itu. Badai tak buru-buru menjawab, salah langkah, ia bisa kehilangan respect Sasa terhadapnya. "Kamu punya Arleta, calon istri yang kamu banggain," ucap Sasa lagi, tak sabar menunggu tanggapan dari Badai. "Ijin, biar kamu tau aja, cal
Praktis, setelah pertemuan mengejutkan dua hari sebelumnya dengan Badai yang berseragam sangat tampan, Sasa mendiamkan Damar dan Ran. Tidak ada satupun orang di dalam rumah yang diajaknya bicara. Ia marah sekali, tapi tak tega jika harus mengomeli sang Ayah di situasi yang tidak menguntungkan seperti ini. "Kamu udah sehat Sa? Nggak mau istirahat barang sehari atau dua hari lagi?" tanya Ran saat melihat anak gadisnya keluar kamar sudah dengan setelan siap berangkat kuliahnya. "Iya," jawab Sasa singkat. "Masih ngambek sama Ayah?" tanya Damar yang juga sedang menikmati sarapannya. "Masih," sahut Sasa lagi, cuek sekali. "Alpha itu pasukan khusus Sa, unit intelejen yang sistem kerjanya adalah klandestin, Sasa tau itu kan?" tanya Damar. "Bunda," Sasa justru berpaling pada Ran. "Aku nggak sarapan," pamitnya melengos. "Sakura Kadita Rumi!!" seru Damar keras-keras. Mau tidak mau, Sasa menghentikan langkahnya. Tak menoleh, ia mematung, menunggu kalimat Damar selanjutnya. "Alph
"Gimana?" Sasa mengulum bibirnya dengan tatapan yang tak lepas dari sang suami, ia bahkan menahan napas."Enak," ucap Badai sambil manggut-manggut. "Rada asin," tambahnya membuat ekspresi Sasa berubah."Maaf, Mas tau aku nggak bisa masak," cengir Sasa merasa bersalah. Ia tarik mangkok sop ayam yang tengah dinikmati suaminya. "Jajan di luar aja yok Mas, ini nggak layak makan," katanya."Siapa bilang? Enak kok," kata Badai tulus. "Apapun itu kalau dari tangan kamu, pasti kumakan," ujarnya begitu manis, ia ambil lagi mangkok sopnya dari sang istri, ia lahap isinya rakus."Jangan gitu," hidung Sasa kembang kempis, pertanda ia tengah berusaha untuk tidak bersedih. "Harusnya aku masak yang enak biar Mas seneng, kan tiga hari lagi Mas berangkat," katanya.Surat perintah agar Badai dan timnya segera berangkat ke Papua terbit kemarin sore. Setelah dua minggu melakukan peran sebenar-benarnya sebagai suami-istri di rumah mereka sendiri, kabar yang paling tidak ingin didengar Sasa itu akhirnya da
"Ganteng kan kalau udah pake baju, gemes, pengin di atas," bisik Sasa penuh godaan."Yok, ke sebelah," ajak Badai langsung sigap."Kok jadi serius," Sasa menutup mulutnya spontan. "Mas nggak capek? Abis maen bola juga ih," desisnya."Sekalian capeknya. Lagian kalau kamu yang di atas, aku nggak capek, Nduk.""Kok vulgar gini jadinya kita ngobrolnya ya Mas?"Lalu, tawa mereka berderai ceria. Badai melakukan kebiasaan wajibnya, mengacak rambut Sasa, membuat beberapa mahasiswi lain dari universitas tuan rumah yang ikut dikarantina memekik iri, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Sasa sengaja pamer kemesraan di depan mereka, juga di depan Dira yang sudah pasti sedang tak aman posisinya."Ayok sarapan!" ajak Badai menunjuk gedung induk di paling depan, semua aktivitas dari makan termasuk hiburan diadakan di ruangan itu."Emang yang laen udah?""Tuh, Ramdan udah ngusap sekitar bibirnya. Udah selesai dia," jawab Badai."Mas udah laper? Aku kok belom. Pengin sarapan yang lain," pancing Sasa imut."
"Aku juga baru tau kalau tim penyelamat kita itu semua hobi pamer," desis Sasa geleng-geleng kepala. Bagaimana Nyonya Badai ini tidak merasa heran dan kesal saat mendapati sang suami bersama anggota timnya bertelanjang dada. Benar, Badai hanya mengenakan celana pendek olahraga dengan running shoes bermotif hitam putih saat bermain sepakbola. Sebagai istri sah, Sasa tentu measa tidak rela Badai mengumbar daya tarik seperti itu."Dari semua sesi karantina buat penyembuhan trauma, ini sih sesi healing yang paling manjur menurutku," cengir Nana puas sekali."Kebanyakan dari mereka emang bertato ya Dek," kata Wulan ikut menatap takjub. "Tadi gue liat ada juga yang telinganya bertindik," tambah Karin tak kalah terpesonanya. "Sasa beruntung dapet yang paling ganteng, damage-nya nggak ada obat pula," katanya kagum."Kalau dia begitu keselku muncul lagi," gumam Sasa lagi-lagi keceplosan. "Kesel kenapa? Bukannya kalian bulan madu?" bisik Nana yang akhirnya benar-benar diberi pengertian ke ma
"Aku minta maaf, nggak akan keulang yang begini lagi, janji!" ikrar Badai serius sekali. "Janji, janji, kebanyakan janji nanti nggak bisa nepatin, sekalinya mau nepatin malah nyakitin," sindir Sasa telak. "Salah lagi akunya." "Lha Mas ngerasa salah nggak?" suara Sasa meninggi lagi. "Iya ngerasa, aku tau aku salah makanya aku minta maaf." "Kalau ngerasa gitu, cancel semua bantuan yang udah Mas atur buat Arleta. Berani?" dagu Sasa terangkat, menantang. "Nduk, kamu boleh marah tapi jangan sampe hilang empatimu buat sesama perempuan," pinta Badai kalut. "Aku ngetes Mas tau nggak!" sengal Sasa tak tahan. "Aku nyoba liat reaksi Mas kayak gimana, ternyata Mas masih belom bisa misahin antara peduli sama Arleta dan ngejaga perasaanku!" sergahnya siap menangis lagi. "Mas harusnya kenal siapa istri Mas! Nggak mungkin aku serius nyuruh Mas ngebatalin itu semua!" Hening. Badai meraup wajahnya frustasi. Ia berdiri dari ranjang tanpa bicara lagi, serasa yang ia ucapkan pada sang istri
Kediaman panjang pasangan baru ini masih berlangsung hingga lewat tengah malam. Badai takut untuk memulai pembicaraan lagi, pun dengan Sasa yang enggan bertanya atau tangisnya akan pecah lagi-lagi. "Nduk," Badai memberanikan diri memanggil Sasa. "Kamu udah tidur?" tanyanya. "Belom, masih sedih dan pengin nangis," jawab Sasa terdengar sangat imut. Badai tersenyum simpul, semarah apapun Sasa, celetukannya benar-benar membuat Badai selalu merasa dimabuk cinta. Namun Badai harus serius jika itu mengenai Arleta dan perasaan istrinya. "Aku bodoh ya Nduk?" gumam Badai. "Sebenernya aku males kita berdebat kayak gini Mas. Ngabisin energi, saling nyakitin," ujar Sasa. Tampak bahunya sedikit bergetar, tanda ia masih sedikit emosi. "Aku nggak pengin mendebat kamu Nduk," sangkal Badai polos sekali. "Iya Mas bilang gitu, tapi nggak sadar kalau sikap Mas udah nyakitin aku. Sadar nggak kalau kita lagi dalam kondisi begini itu pertahanan kita sama-sama aktif? Kita sama-sama merasa b
Sementara, Sasa yang akhirnya merubah posisi berbaringnya menjadi setengah duduk dengan bersandar di leher ranjang, menatap suaminya penasaran. Seandainya Badai tahu bahwa Sasa ingin Badai menyalakan pengeras suaranya jadi Sasa bisa ikut mendengar isi percakapan itu. Begitu mematikan sambungan, Badai beranjak dari ranjang. Ia meletakkan ponselnya di atas nakas lagi, tapi ia berjalan menuju gantungan baju, memakai kemeja dan jaketnya. "Aku keluar bentar ya Nduk, ada urusan dikit, nggak lama kok," pamit Badai seraya menyambar ponselnya dan berjalan keluar kamar tanpa memberi penjelasan apapun pada sang istri. Hanya anggukan lemah yang Sasa berikan. Sasa sendiri tak tahu harus bersikap seperti apa menanggapi tingkah laku absurd Badai kali ini. Tidakkah Sasa baru saja diabaikan karena sebuah telepon dari sang mantan? Padahal, sebelum ada panggilan dari Arleta, keduanya tengah mengobrol mesra."Mungkin emang penting Sa, jangan emosi, dengerin penjelasannya dulu ya," kata Sasa berusaha m
"Aku diminta sama tim buat ikut nanyain Dira and the gang," lapor Badai pada sang istri tepat saat Sasa menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang. Ijin untuk menginap di hotel di sebelah gedung karantina sudah didapat, Damar memperbolehkan selama aktivitas di siang hari, Sasa dan Badai tetap mengikuti jadwal. Oleh karena itu, Badai baru bisa mengajak sang istri beristirahat di hotel yang sudah dipesannya di atas pukul 8 malam. "Terus Mas jawab mau?" gumam Sasa langsung meminta bantal pada lengan Badai dan menyusup nyaman di celah ketiak sang suami. Mereka berbaring berdampingan kini. "Aku harus mau. Karena kita kan pernah satu kelas sama Dira dan tim menganggap kalau seenggaknya aku cukup paham karakternya. Di samping itu, kalau aku yang coba nanyain, kecil kemungkinan Dira bakal berkilah," sebut Badai. "Aku sih ngedukung kalau Mas yang nanyain Dira, biar dia tau siapa Mas dan kayak apa pengaruh Mas. Kadang kesel juga kalau ngeliat cara dia mandang Mas, ngeremehin gitu. Mungkin dia mas
"Idih," Sasa berjenggit, "makanya aku minta banget buat nyelidikan dia, bisa aja dia dimanfaatin sama Diaz buat gimana-gimana kan?" "Iya, masuk akal kalau itu sih," Badai manggut-manggut setuju."Mas, kalau boleh tau, jenazah Diaz sama teroris yang laen dibawa ke mana?" tanya Sasa mengubah topik. Meski yang ia tanyakan nampak serius, pandangannya tak lepas dari permainan bola voli receh para mahasiswa yang tengah berlangsung. "Untuk saat ini masih ditahan pihak intelejen buat kepentingan laporan. Nanti bakalan dikirim ke keluarga masing-masing, yang jelas meskipun nama asli mereka dirilis, kita udah minta ke pihak warga sekitar buat tetep menerima jenazahnya dan memperlakukan keluarga mereka sama kayak yang laennya," sebut Badai rinci. "Keluarganya nggak salah sih, menurutku mereka gampang terpengaruh sama ideologi yang menuntut makar begitu karena mereka jauh dari keluarga. Kebanyakan kan mereka anak-anak rantau semuanya," kata Sasa terdengar miris. "Ironis ya Nduk," Badai tersen
Sasa menggaruk bagian belakang kepalanya untuk menghindar dari Dira. Namun, seakan tak terima dengan pengakuan Sasa, Dira menarik lengan Sasa kasar."Kalian baru pacaran, nggak usah ngaku-ngaku sok jadi istrinya, belom tentu nikah juga!" kata Dira geram. "Dia emang istri gue," sambar Badai yang entah sejak kapan mendatangi tempat istrinya diserang oleh Dira dan geng. Lokasi yang seharusnya dijadikan tempat untuk senam pagi justru diubah Dira menjadi spot menggosip ria. Mendengar ucapan Badai, tentu saja Dira and the geng tidak langsung percaya. Apalagi ekspresi kesal Dira makin menjadi saat Badai memeluk pundak Sasa protektif. "Mas, jangan ladenin mereka," pinta Sasa pada suaminya."Harus diladenin yang begini. Sampe kamu todong senjata aja dia nggak kapok. Hatinya udah penuh iri sama dengki," ujar Badai. "Kami udah nikah, sah secara agama dan negara, kalau lo perlu bukti, nanti gue buktiin. Berhenti menekan istri gue dan berusaha mem-bully-nya. Lo nggak akan pernah tau akibat apa