Sementara, Sasa yang akhirnya merubah posisi berbaringnya menjadi setengah duduk dengan bersandar di leher ranjang, menatap suaminya penasaran. Seandainya Badai tahu bahwa Sasa ingin Badai menyalakan pengeras suaranya jadi Sasa bisa ikut mendengar isi percakapan itu. Begitu mematikan sambungan, Badai beranjak dari ranjang. Ia meletakkan ponselnya di atas nakas lagi, tapi ia berjalan menuju gantungan baju, memakai kemeja dan jaketnya. "Aku keluar bentar ya Nduk, ada urusan dikit, nggak lama kok," pamit Badai seraya menyambar ponselnya dan berjalan keluar kamar tanpa memberi penjelasan apapun pada sang istri. Hanya anggukan lemah yang Sasa berikan. Sasa sendiri tak tahu harus bersikap seperti apa menanggapi tingkah laku absurd Badai kali ini. Tidakkah Sasa baru saja diabaikan karena sebuah telepon dari sang mantan? Padahal, sebelum ada panggilan dari Arleta, keduanya tengah mengobrol mesra."Mungkin emang penting Sa, jangan emosi, dengerin penjelasannya dulu ya," kata Sasa berusaha m
Kediaman panjang pasangan baru ini masih berlangsung hingga lewat tengah malam. Badai takut untuk memulai pembicaraan lagi, pun dengan Sasa yang enggan bertanya atau tangisnya akan pecah lagi-lagi. "Nduk," Badai memberanikan diri memanggil Sasa. "Kamu udah tidur?" tanyanya. "Belom, masih sedih dan pengin nangis," jawab Sasa terdengar sangat imut. Badai tersenyum simpul, semarah apapun Sasa, celetukannya benar-benar membuat Badai selalu merasa dimabuk cinta. Namun Badai harus serius jika itu mengenai Arleta dan perasaan istrinya. "Aku bodoh ya Nduk?" gumam Badai. "Sebenernya aku males kita berdebat kayak gini Mas. Ngabisin energi, saling nyakitin," ujar Sasa. Tampak bahunya sedikit bergetar, tanda ia masih sedikit emosi. "Aku nggak pengin mendebat kamu Nduk," sangkal Badai polos sekali. "Iya Mas bilang gitu, tapi nggak sadar kalau sikap Mas udah nyakitin aku. Sadar nggak kalau kita lagi dalam kondisi begini itu pertahanan kita sama-sama aktif? Kita sama-sama merasa b
"Aku minta maaf, nggak akan keulang yang begini lagi, janji!" ikrar Badai serius sekali. "Janji, janji, kebanyakan janji nanti nggak bisa nepatin, sekalinya mau nepatin malah nyakitin," sindir Sasa telak. "Salah lagi akunya." "Lha Mas ngerasa salah nggak?" suara Sasa meninggi lagi. "Iya ngerasa, aku tau aku salah makanya aku minta maaf." "Kalau ngerasa gitu, cancel semua bantuan yang udah Mas atur buat Arleta. Berani?" dagu Sasa terangkat, menantang. "Nduk, kamu boleh marah tapi jangan sampe hilang empatimu buat sesama perempuan," pinta Badai kalut. "Aku ngetes Mas tau nggak!" sengal Sasa tak tahan. "Aku nyoba liat reaksi Mas kayak gimana, ternyata Mas masih belom bisa misahin antara peduli sama Arleta dan ngejaga perasaanku!" sergahnya siap menangis lagi. "Mas harusnya kenal siapa istri Mas! Nggak mungkin aku serius nyuruh Mas ngebatalin itu semua!" Hening. Badai meraup wajahnya frustasi. Ia berdiri dari ranjang tanpa bicara lagi, serasa yang ia ucapkan pada sang istri
"Akai Badai Bagaspati, nama kamu kan?" tegur Sasa berdiri angkuh sambil melipat kedua tangannya di depan dada, menunjukkan superioritasnya sebagai ketua kelas terpilih. Lelaki yang tengah menelungkupkan wajahnya di meja deretan paling belakang itu tak bereaksi. Sejak kelas di mulai pertama kali dua hari yang lalu, lelaki ini sudah masuk dan menempati kursi yang selalu sama, kursi pojok kanan belakang. "Excuse me, permisi, kulo nuwun, punten, sampurasun, annyeong!!" ulang Sasa mengeraskan lagi suaranya agar lelaki yang masih tenang tak bereaksi ini mendengarnya. Sepi. Sasa tak lagi bersedekap, ia berganti gaya dengan berkacak pinggang, lama-lama lelaki aneh bin ajaib ini benar-benar menguji kesabarannya. "Kamu nggak denger apa yang aku bilang ya?" ulang Sasa sengaja mengambil satu kursi dan duduk di deretan depan sambil menghadap pada lelaki yang ia sebut namanya tadi. "Kenapa?" Badai, sosok tampan yang ditegur oleh Sasa membuka suara, merilis nada bariton itu dari bibir mungi
"Kamu nggak penasaran kenapa aku ngambek sama Ayahku dan nggak mau dikawal juga diantar-jemput? Ngeliat dari sikap kamu pas kita pertama interaksi, seharusnya kamu penasaran kenapa cewek manja ini ke mana-mana sendiri tanpa pengawalan," ujar Sasa suatu saat di mana ia sengaja ikut pulang ke kost Badai membonceng motornya. Masih melanjutkan agenda tugas kelompok di mata kuliah lain, Sasa dan Badai menjadi sering terlibat dan berinteraksi semakin dekat."Bukan urusanku itu," balas Badai sekenanya. “Sekedar info, selama 18 tahun hidupku aku dipingit dan sekarang aku dijodohin juga,” desis Sasa bermonolog.Badai hanya mengedikkan kedua bahunya sebagai reaksi wajar atas apa yang diceritakan Sasa. "Aku ganti baju bentar," ucap Badai segera masuk ke dalam kost-nya untuk menghindari percakapan yang lebih serius.Menatap punggung lebar Badai yang menghilang ke dalam kamar, senyum lebar Sasa terbit. Ia jatuh cinta pada Badai di pandangan pertama dan hari ini semesta yang mengirim hujan besar
"Makasih udah mau ketemu sama Alpha ya Sa," ucap Ran, ibunda Sasa lega. "Kuharap ini keputusan terbaik ya Bunda," ujar Sasa berusaha mematri senyumnya. Tekadnya sudah bulat untuk bertemu dengan sosok Alpha di upacara peringatan HUT Tentara Indonesia hari ini. "Kenalan aja dulu, nggak harus langsung nikah kok. Alpha juga nggak akan minta buru-buru," kata Damar, ayahanda Sasa yang bersiap untuk memimpin upacara. Sasa hanya mengangguk pada sang ayah. Setelah memutuskan untuk membuang perasaannya pada Badai, Sasa akhirnya memilih untuk menerima perjodohannya. Ia tak mau terlibat lebih dalam dengan Badai yang sudah memiliki pacar, tak mau lebih sakit lagi meski ciuman pertama yang Badai berikan padanya begitu membekas. "Nggak akan ketemu dicari di sana, dia pasukan elite, pasti dapet tugas khusus, nggak akan ada di pasukan upacara," gumam Ran yang sangat paham saat mata Sasa mengitar sejak masuk ke barisan tamu undangan, menebak-nebak siapa Alpha dan bagaimana wajahnya. "Bunda tau aja
Setia menunggui Sasa yang masih angkuh dalam ketidaksadarannya, Badai tak banyak bicara. Ia tahu betul bahwa sepulang dari Kuliah Kerja Lapangan mereka di Bali, Sasa pasti menderita kelelahan. Pun dengan ditambah beban pikiran atas hubungan mereka yang sudah pasti berat di pihak Sasa. "Eung," terdengar Sasa mengerang kecil, ia berusaha untuk membuka mata perlahan dengan tangan yang reflek memegangi kepalanya. Semua orang di dalam ruangan kesehatan segera mendekat ke ranjang begitu tahu Sasa sudah mulai sadar. Giliran Badai yang salah tingkah dan kikuk, ia menepi, membiarkan Ran dan Riana lebih dulu mengecek kondisi kesehatan Sasa. "Sa, gimana, pusing?" tanya Ran perhatian. "Apa yang dirasain?" lanjutnya. Sasa menggeleng lemah, sambil sesekali mengerang, ia berusaha bangun. Lalu, matanya menangkap sosok Badai di sudut ruangan. Lelaki ini berdiri kaku tanpa suara, menatapnya lekat. "Aku nggak pa-pa Bunda, lima menit lagi kita pulang aja ke rumah, aku pengin istirahat," ucap S
Di pihak Sasa, setelah Badai melepas pelukannya, ia lirik Badai dari kaki hingga kepala. Lelaki ini sempurna seperti yang selalu dilihatnya. Kini, jauh lebih sempurna dan memesona dengan seragam Pakaian Dinas Upacara membalut atletis tubuhnya. "Letnan Satu," gumam Sasa masih tidak percaya. 'Mafia? Geng motor? Preman? Lo gila udah sempat mikir tangan kasarnya gara-gara dia jadi tukang nyangkul, Sa!' "Siap!" sahut Badai sigap. "Kenapa?" tanya Sasa singkat. 'Kenapa jadi tambah ganteng banget ni orang.' "Ya? Ijin," Badai menatap Sasa bingung. "Ah, kamu ada dalam misi saya," ucapnya. "Bukan, bukan itu yang aku maksud. Kenapa kamu mau dijodohin sama aku? Apa karena itu perintah dari Ayah?" Ada jeda panjang setelah Sasa melempar pertanyaan jebakan itu. Badai tak buru-buru menjawab, salah langkah, ia bisa kehilangan respect Sasa terhadapnya. "Kamu punya Arleta, calon istri yang kamu banggain," ucap Sasa lagi, tak sabar menunggu tanggapan dari Badai. "Ijin, biar kamu tau aja, cal
"Aku minta maaf, nggak akan keulang yang begini lagi, janji!" ikrar Badai serius sekali. "Janji, janji, kebanyakan janji nanti nggak bisa nepatin, sekalinya mau nepatin malah nyakitin," sindir Sasa telak. "Salah lagi akunya." "Lha Mas ngerasa salah nggak?" suara Sasa meninggi lagi. "Iya ngerasa, aku tau aku salah makanya aku minta maaf." "Kalau ngerasa gitu, cancel semua bantuan yang udah Mas atur buat Arleta. Berani?" dagu Sasa terangkat, menantang. "Nduk, kamu boleh marah tapi jangan sampe hilang empatimu buat sesama perempuan," pinta Badai kalut. "Aku ngetes Mas tau nggak!" sengal Sasa tak tahan. "Aku nyoba liat reaksi Mas kayak gimana, ternyata Mas masih belom bisa misahin antara peduli sama Arleta dan ngejaga perasaanku!" sergahnya siap menangis lagi. "Mas harusnya kenal siapa istri Mas! Nggak mungkin aku serius nyuruh Mas ngebatalin itu semua!" Hening. Badai meraup wajahnya frustasi. Ia berdiri dari ranjang tanpa bicara lagi, serasa yang ia ucapkan pada sang istri
Kediaman panjang pasangan baru ini masih berlangsung hingga lewat tengah malam. Badai takut untuk memulai pembicaraan lagi, pun dengan Sasa yang enggan bertanya atau tangisnya akan pecah lagi-lagi. "Nduk," Badai memberanikan diri memanggil Sasa. "Kamu udah tidur?" tanyanya. "Belom, masih sedih dan pengin nangis," jawab Sasa terdengar sangat imut. Badai tersenyum simpul, semarah apapun Sasa, celetukannya benar-benar membuat Badai selalu merasa dimabuk cinta. Namun Badai harus serius jika itu mengenai Arleta dan perasaan istrinya. "Aku bodoh ya Nduk?" gumam Badai. "Sebenernya aku males kita berdebat kayak gini Mas. Ngabisin energi, saling nyakitin," ujar Sasa. Tampak bahunya sedikit bergetar, tanda ia masih sedikit emosi. "Aku nggak pengin mendebat kamu Nduk," sangkal Badai polos sekali. "Iya Mas bilang gitu, tapi nggak sadar kalau sikap Mas udah nyakitin aku. Sadar nggak kalau kita lagi dalam kondisi begini itu pertahanan kita sama-sama aktif? Kita sama-sama merasa b
Sementara, Sasa yang akhirnya merubah posisi berbaringnya menjadi setengah duduk dengan bersandar di leher ranjang, menatap suaminya penasaran. Seandainya Badai tahu bahwa Sasa ingin Badai menyalakan pengeras suaranya jadi Sasa bisa ikut mendengar isi percakapan itu. Begitu mematikan sambungan, Badai beranjak dari ranjang. Ia meletakkan ponselnya di atas nakas lagi, tapi ia berjalan menuju gantungan baju, memakai kemeja dan jaketnya. "Aku keluar bentar ya Nduk, ada urusan dikit, nggak lama kok," pamit Badai seraya menyambar ponselnya dan berjalan keluar kamar tanpa memberi penjelasan apapun pada sang istri. Hanya anggukan lemah yang Sasa berikan. Sasa sendiri tak tahu harus bersikap seperti apa menanggapi tingkah laku absurd Badai kali ini. Tidakkah Sasa baru saja diabaikan karena sebuah telepon dari sang mantan? Padahal, sebelum ada panggilan dari Arleta, keduanya tengah mengobrol mesra."Mungkin emang penting Sa, jangan emosi, dengerin penjelasannya dulu ya," kata Sasa berusaha m
"Aku diminta sama tim buat ikut nanyain Dira and the gang," lapor Badai pada sang istri tepat saat Sasa menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang. Ijin untuk menginap di hotel di sebelah gedung karantina sudah didapat, Damar memperbolehkan selama aktivitas di siang hari, Sasa dan Badai tetap mengikuti jadwal. Oleh karena itu, Badai baru bisa mengajak sang istri beristirahat di hotel yang sudah dipesannya di atas pukul 8 malam. "Terus Mas jawab mau?" gumam Sasa langsung meminta bantal pada lengan Badai dan menyusup nyaman di celah ketiak sang suami. Mereka berbaring berdampingan kini. "Aku harus mau. Karena kita kan pernah satu kelas sama Dira dan tim menganggap kalau seenggaknya aku cukup paham karakternya. Di samping itu, kalau aku yang coba nanyain, kecil kemungkinan Dira bakal berkilah," sebut Badai. "Aku sih ngedukung kalau Mas yang nanyain Dira, biar dia tau siapa Mas dan kayak apa pengaruh Mas. Kadang kesel juga kalau ngeliat cara dia mandang Mas, ngeremehin gitu. Mungkin dia mas
"Idih," Sasa berjenggit, "makanya aku minta banget buat nyelidikan dia, bisa aja dia dimanfaatin sama Diaz buat gimana-gimana kan?" "Iya, masuk akal kalau itu sih," Badai manggut-manggut setuju."Mas, kalau boleh tau, jenazah Diaz sama teroris yang laen dibawa ke mana?" tanya Sasa mengubah topik. Meski yang ia tanyakan nampak serius, pandangannya tak lepas dari permainan bola voli receh para mahasiswa yang tengah berlangsung. "Untuk saat ini masih ditahan pihak intelejen buat kepentingan laporan. Nanti bakalan dikirim ke keluarga masing-masing, yang jelas meskipun nama asli mereka dirilis, kita udah minta ke pihak warga sekitar buat tetep menerima jenazahnya dan memperlakukan keluarga mereka sama kayak yang laennya," sebut Badai rinci. "Keluarganya nggak salah sih, menurutku mereka gampang terpengaruh sama ideologi yang menuntut makar begitu karena mereka jauh dari keluarga. Kebanyakan kan mereka anak-anak rantau semuanya," kata Sasa terdengar miris. "Ironis ya Nduk," Badai tersen
Sasa menggaruk bagian belakang kepalanya untuk menghindar dari Dira. Namun, seakan tak terima dengan pengakuan Sasa, Dira menarik lengan Sasa kasar."Kalian baru pacaran, nggak usah ngaku-ngaku sok jadi istrinya, belom tentu nikah juga!" kata Dira geram. "Dia emang istri gue," sambar Badai yang entah sejak kapan mendatangi tempat istrinya diserang oleh Dira dan geng. Lokasi yang seharusnya dijadikan tempat untuk senam pagi justru diubah Dira menjadi spot menggosip ria. Mendengar ucapan Badai, tentu saja Dira and the geng tidak langsung percaya. Apalagi ekspresi kesal Dira makin menjadi saat Badai memeluk pundak Sasa protektif. "Mas, jangan ladenin mereka," pinta Sasa pada suaminya."Harus diladenin yang begini. Sampe kamu todong senjata aja dia nggak kapok. Hatinya udah penuh iri sama dengki," ujar Badai. "Kami udah nikah, sah secara agama dan negara, kalau lo perlu bukti, nanti gue buktiin. Berhenti menekan istri gue dan berusaha mem-bully-nya. Lo nggak akan pernah tau akibat apa
"Kayak Alpha yang dipake Badai sama si Mas Scorpion ya," gumam Nana terlihat benar-benar jatuh cinta pada sosok Ramdan."Penyanderaan berujung kisah asmara," kekeh Karin geleng-geleng kepala. "Ayok, kita juga disuruh ikut senam tuh. Katanya pembina perempuan tadi, kita hari ini full olahraga, biar pikiran kita fresh lagi dan nggak kepikiran soal kemaren," tambahnya. Sasa berdiri malas-malas, ia menggeliat untuk merenggangkan tubuhnya. Saat itulah Badai juga muncul dari dalam barak, langsung mendatanginya. "Udah tau jadwal kegiatan hari ini?" tanya Badai mengembangkan senyumnya. "Olahraga?" gumam Sasa tak berminat."Ketemu sama keluarga juga. Kemaren kan belom puas tuh baru ketemu bentar sama keluarga sandera, makanya sekarang ada sesi pertemuan khusus. Ngasih pengertian ke keluarganya juga soal karantina ini. Apalagi keluarga yang dari universitas kita kan baru pada dateng hari ini," jelas Badai. "Kalian memutuskan buat rilis muka kalian semuanya?" gumam Sasa sudah tak fokus saat
Menunggu ijin dari Damar untuk membawa Sasa ke hotel selama karantina berlangsung, Badai kembali mengajak Sasa ke barak menjelang pagi, setelah ia dan sang istri puas menikmati suasana sibuk perempatan Gondomanan. Beberapa mahasiswa yang ada di barak laki-laki sudah banyak yang bangun, sepertinya tidur mereka sangatlah nyenyak. Sedangkan dari barak perempuan, ada Nana yang duduk-duduk di depan barak bersama Karin dan Wulan. "Dari mana?" tanya Nana saat Sasa mendekat, Badai harus berganti baju olahraga, jadi, mereka berpisah arah."Nongkrong di angkringan depan, nggak bisa tidur aku," jawab Sasa ikut duduk di sebelah Nana. "Nggak nyangka kalau pacar Sasa itu tentara ya," gumam Karin menimbrung. "Gimana emangnya Mbak? Nggak keliatan kalau Badai itu punya postur tentara ya?" kata Sasa berjenggit. "Kalau postur sih dapet banget Dek, cuma kan potongan rambutnya gondrong gitu, ya meskipun tinggi menjulang juga sih dia. Cuma kaget aja. Pas di kolam renang kan kami semua sempat liat tato
Senyum Badai terkembang mendengar pertanyaan Sasa. Ia tahu bahwa dalam hati kecilnya, Sasa pasti khawatir terhadap keselamatannya. Namun, sebagai seorang prajurit yang sudah menyerahkan seluruh jiwa dan raganya pada negara, misi apapun yang dibebankan padanya, wajib bagi Badai untuk menjalaninya."Malah senyum begitu, kan aku jadi penasaran!!" sungut Sasa gemas."Jadi, dengan terbunuhnya semua anggota teroris termasuk Diaz yang tuntutannya adalah memisahkan diri dari Indonesia, para anggota gerakan separatis yang ada di Papua sana pasti juga bakalan bergejolak. Taktik mereka menyusup ke kampus-kampus udah terendus tim intelejen, satu-satunya cara buat lepas dari kejaran negara adalah melakukan serangan balasan. Ayah minta aku sama yang laen buat antisipasi hal ini, makanya Ayah bilang belom selesai," jelas Badai tanpa ada yang ditutup-tutupi."Bentar Mas, biar kucerna pelan-pelan," desis Sasa terlihat cukup syok, "kalau Mas tugas ke Papua, terus aku gimana?" tanyanya mulai panik. Bad