Meninggalkan Nana, Badai bergegas menuju kamar pesanannya. Seperti Sasa, meski ia dijatah satu kamar dengan Gilang dan Arman dari publikasi dan kemahasiswaan, ia harus memberi ruang untuk tim Raider. Benar, di dalam kamar dengan view langsung menghadap ke seluruh pintu kamar penginapan, Badai dan anggota tim lain lebih mudah melakukan pengawasan. Posisi pengawasan di dalam kampus diambil alih oleh tim Raider 2 dan 5 sementara tim Raider 1 mengawal rombongan. Ada setidaknya 6 target operasi yang ada di daftar rombongan kunjungan ke Jogja ini."Kamar 204," ujar Badai begitu masuk ke dalam kamar dan Fadil menolehnya."Aman. Abang bisa langsung ambil rute lewat balkon Bang," kata Fadil fasih. "Lokasi keliling persegi panjang, 204 di seberang kanan, 8 kamar dari kita, dua lantai di bawah," sebutnya."Sorry," Badai menyeringai, "aku pengamanan pribadi dulu ya," cengirnya kemudian keluar ke balkon dengan tatapan kesal dari Lion dan Anung.Sementara di kamarnya, Sasa langsung merebahkan diri.
"Mas ...," Sasa mendorong pelan dada telanjang Badai, ciuman mereka terlepas. Ia berpaling cepat, berbalik membelakangi Badai, menguatkan hatinya."Nduk," panggil Badai lirih. "Kalau kamu nggak mau aku di sini, aku pergi. Tapi ijinin aku cek kondisi, aku amanin dulu posisimu," katanya pilu.Sasa mengangguk lemah, "Maaf, aku masih nggak bisa ngilangin bayangan gila itu. Tiap kamu nyentuh aku, aku ngeliat bayangan Arleta di matamu," desisnya tertahan.Badai meraup wajahnya frustasi. Bagaimana lagi caranya agar ia bisa meluluhkan hati sang istri, meyakinkan Sasa agar tak lagi menolaknya."Apa aku perlu ngomong sama Arleta soal ini?" tanya Badai gegabah."Biar kalian bisa ketemu lagi dan ngulang kisah cinta kalian?" tuduh Sasa menohok."I love you, Sakura Kadita Rumi!" sengal Badai benar-benar habis kata.Tak ada yang bicara setelahnya. Sasa memilih untuk berjalan menuju jendela, melihat kondisi sekitar penginapan yang sudah mulai terang oleh cahaya matahari, menyusup di sela-sela tirainy
Tiba di kolam renang milik penginapan itu, mood Sasa yang hampir saja membaik, kembali memburuk. Bagaimana tidak? Badai yang tadi ia lihat pergi seperti laba-laba bergelantungan entah ke mana, ternyata sudah berendam nyaman di kolam renang, memamerkan tubuh seksinya pada semua orang."Mas Pacar udah di sini tuh?" gumam Nana menyenggol siku Sasa."Tau deh. Sibuk tebar pesona dia," desis Sasa melengos saja saat Badai menyadari kedatangannya."Bagi-bagi kali Sa," goda Dira yang melewati Sasa sambil berbinar menatap ke arah Badai."Liat aja sepuasnya, nggak buta juga mata lo!" ujar Sasa kasar."Santai Bos!" Dira menyeringai, "nggak berkurang juga kalau gue liat doang, pelit amat jadi orang," sungutnya."Tau pelit kenapa nanya lo? Ngajak gulat?" Sasa menantang."Udah, udah," Nana melerai, "laki lo udah naek," bisiknya menenangkan Sasa.Menuruti ucapan Nana, Sasa meninggalkan Dira yang siap meladeni ucapan sengaknya. Ia datangi Badai dengan tatapan siap membunuh, kesal sekali hatinya."Jadi
"Aku nggak akan maksa kalau kamu nggak siap," kata Badai."Arleta nggak akan ganggu kita kan?" tanya Sasa yang kini tinggal mengenakan setelan bra dan celana dalam warna hitamnya."Nggak akan," ungkap Badai sambil sesekali mengecupi leher istrinya, menghirup aroma cherry blossom yang memabukkan.Sasa menarik napas dalam-dalam, mempersiapkan dirinya. Ia tatap lagi mata Badai yang juga sibuk mengamati pahatan Tuhan dan wajah cantik nan menggemaskannya. Merasa malu, Sasa menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Apalagi saat kedua tangan Badai bergerak untuk melepas kaitan bra miliknya."Kenapa?" tanya Badai sejenak menghentikan gerakannya. "Ada yang sakit?"Sasa menggeleng."Kenap bibirnya digigit begitu? Gemes Nduk akunya. Takut nggak bisa maen pelan ntar karena saking geregetannya," ujar Badai sangat jujur."Aku malu," ungkap Sasa mengitarkan pandangannya, sengaja menghindar dari tatapan sendu Badai padanya."Kenapa malu? Suami kamu ini,""Ini kali pertamanya aku lepas baju di depan cowok l
"Mas—" ucapan Sasa menggantung. Ia lebih sibuk menahan dirinya agar tidak berteriak saat milik Badai mulai mengoyak pertahanannya. Panas di tubuhnya semakin terasa menyiksa, tapi ia tidak bisa berteriak dan mengerang sebebasnya. Tubuhnya melengkung ke atas, perih itu menjalari pangkal paha hingga ke punggungnya."Tahan bentar ya Nduk," ucap Badai seolah sadar bahwa Sasa benar-benar hampir hilang kendali.Kedua jemari Sasa spontan beralih mencengkeram pundak Badai, bibirnya masih aktif meracau nama serta panggilan Badai dalam mode timbul tenggelam. Sementara, Badai sudah mulai perlahan bergerak memompa, ia sendiri bahkan hampir tak kuasa menahan gelenyar nikmat yang diberi Sasa atas miliknya.Peluh membanjir di sekujur tubuh Badai, pun tubuh Sasa yang tidak berganti posisi. Ketika Badai menawarinya untuk berganti di atas, Sasa menolak, ia masih malu melakukannya. Justru, Sasa beberapa kali membawa wajah Badai ke ceruk lehernya agar ia tidak malu ditatap secara intens dan tanpa jeda ole
"Terus gimana dong Mas?" tanya Sasa panik."Ya udah nggak pa-pa, dibayar aja kena berapa," kata Badai santai.Sasa menghela napas panjang. Ia pandangi noda merah di sprei yang menjadi pengingat hari bersejarah dalam hidupnya. Hatinya lega, tanpa beban meski sebelumnya ia merasa takut jika Badai akan memperlakukannya sama seperti saat memperlakukan Arleta."Atau boleh diminta aja nggak sih itu sprei-nya? Buat kenang-kenangan gitu Mas," gumam Sasa absurd."Masa nyimpen begituan.""Ya nggak pa-pa, kan bersejarah. Aku ngelepas keperawananku sama kamu di sini," kata Sasa.Badai tertegun. Se-istimewa itu momen malam pertama ini bagi istri cantiknya dan ia merasa bersalah entah untuk alasan apa."Kemejanya tolong," ujar Badai mengalihkan topik pembicaraan. "Nggak mungkin aku gelantungan lewat balkon pake boxer doang gini kan?" pintanya."Sengaja ya kamu begitu Mas? Iya kan? Nggak mau ah, enak bau badan kamu, udah aku klaim jadi hak milik ini baju," ucap Sasa menggemaskan."Mancing, pengin ku
Senyum Sasa terkembang. Ia rentangkan kedua tangannya, meminta gendong pada sang suami. Dengan senang hati, Badai membopong tubuh mungil Sasa itu hingga ke ranjang bak membawa satu karung kerupuk yang ringan. Dikecupnya kening Sasa, turun ke hidung mancungnya dan berakhir di bibir tipis indah itu."Gimana dong? Kemejanya basah," goda Sasa memainkan tulang selangka Badai dengan berani.Senyum Badai terkembang, "Nggak pa-pa. Basah bekas kamu ini," katanya pengertian. Mereka saling berpandangan dalam diam, melempar senyum penuh cinta, bentuk rasa syukur karena telah bersama. Namun, momen manis itu tidak bertahan lama karena sebuah gedoran keras datang dari pintu.Badai langsung tanggap. Ia melompat dari tempat tidur, diberinya Sasa baju dan dalaman yang ia ambilkan kilat dari dalam koper. Sementara ia pakai kemeja basahnya, membantu Sasa merapikan diri."Diaz," bisik Badai. "Pasti ada yang nggak suka, kamu siap-siap buka pintunya. Tetep tenang," pintanya menyempatkan diri mengecup kenin
Menjelang malam, Badai yang sudah bak pencuri datang dan pergi melalui balkon kamar Sasa, akhirnya duduk tenang di ranjang. Ia tunggui istrinya yang tengah sibuk menyiapkan beberapa cindera mata untuk diserahkan pada pihak Universitas Yogyakarta. Sebenarnya, Sasa ditugasi menyiapkan kenang-kenangan itu bersama Amelia dan Karin, tapi Sasa memilih untuk membungkusnya sendiri."Nggak perlu bantuan?" tanya Badai seusai memberesi handgun-nya."Mas udah selesai?" tanya Sasa balik, melongok ke atas ranjang yang spreinya sudah diganti oleh pihak hotel setelah Badai mengurus dendanya."Udah," balas Badai."Tugas Mas nemenin aku tidur, ngelonin. Urusan cindera mata ini biar aku yang tanganin," gumam Sasa yang kini merasa nyaman bersikap sopan pada Badai dengan tidak memanggilnya dengan sapaan 'kamu'.Senyum Badai terkembang, "Iya maksudku juga gitu Nduk," katanya. "Biar cepet dikelonin, pengin kubantuin.""Nggak usah, bentar lagi selesai," tolak Sasa. "Mas, nanti misal Mas nemenin aku tidur di
Interaksi mesra keduanya, juga candaan Badai yang kini seringkali menghangatkan suasana membuat Sasa tak hanya menikmati bulan madu mereka, tapi juga menyembuhkan semua rasa sakit yang bertubi diterimanya. Badai membuat Sasa tidak pernah menyesali satupun keputusan yang diambil setelah mereka saling mengenal dan berbagi rasa, termasuk kekecewaan saat tahu bahwa Badai pernah dinikmati perempuan lain. Kini, Sasa sudah berlapang dada menerimanya. Ia juga tak mau ambil pusing dengan apapun yang Arleta perbuat untuk meretakkan hubungannya dengan Badai. Semakin lama, ia akan kebal dengan sendirinya."Cari makan di pinggiran danau aja ya Yang?" tawar Badai setelah ia dan Sasa siap untuk menikmati sore hari Luzern yang menawan."Emang ada yang buang Mas?" tanya Sasa polos sekali."Yang buang?" alis Badai bertaut."Lha katanya mau nyari," gumam Sasa."Apa sih Nduk," Badai terbahak. "Maksudku beli, bukan nyari dalam arti yang sebenernya," terangnya."Iya, aku juga cuma bercanda, bukan karena ak
Adalah Luzern, kota kecil dengan pemandangan indah nan romantis di malam hari ini yang akhirnya ditetapkan Sasa dan Badai untuk menghabiskan sisa waktu 8 hari mereka setelah dua hari tinggal di Frankfurt, Jerman. Badai tahu, Luzern adalah kota sempurna bagi ia dan Sasa untuk menumbuhkan cinta, merajut kembali asa pernikahan mereka yang sempat koyak karena perpisahan dan rasa sakit yang sempat melanda. Suasana kota yang tenang, aroma angin yang manis, juga pemandangan alamnya yang menakjubkan langsung membuat Sasa jatuh cinta. "Kota ini adalah pilihan yang tepat banget buat bulan madu," bisik Sasa sambil sesekali menggigiti telinga suaminya sensual. Badai tersenyum simpul, tangannya sudah menangkup kedua dada Sasa yang tanpa balutan. Musim dingin baru saja berlalu, cuaca menghangat, matahari bersinar cerah. Baru siang tadi mereka tiba di hotel dan berniat untuk berjalan-jalan sore harinya. Alih-alih beristirahat, sang pengendali naga tak tahan untuk melakukan aksinya."Aku goyang Mas
"Bentar," Badai menepuk pundak istrinya sebentar dan berjalan mendekati seorang petugas avsec di dekat pintu keberangkatan bandara.Melihat keanehan suaminya dan bagaimana Badai dan dirinya dikawal oleh petugas itu menuju check in counter tentu saja membuat Sasa bingung. Namun, ia tidak banyak bertanya, ia ikuti saja langkah Badai yang melepas genggaman tangannya untuk mengurus dokumen keberangkatan bulan madunya."Kenapa sih Mas? Ada masalah sama dokumen kita?" tanya Sasa sambil melempar senyum dan melambaikan tangan pada beberapa orang wartawan."Enggak, aman aja," jawab Badai."Terus tadi ngapain?" gumam Sasa penasaran."Badai kudu dipisahin sama pacarnya kan kalau lagi naek pesawat?""Hem?" dahi Sasa berkerut, bingung dengan maksud sang suami. "Aku? Kita nggak bisa duduk deketan di pesawat?" tanyanya sedikit panik."Nggak gitu," Badai menahan tawa. Dibawanya Sasa duduk setelah tiba di executive lounge. "Ini kan penerbangan sipil, handgun-ku musti didaftarin dulu dan dititipin, ala
Arleta tercekat, tapi ia tak bisa berbuat apa-apa selain lanjut berjalan dan turun dari pelaminan. Hatinya tak menyangka, Badai akan sekejam itu padanya dan keluarga."Siapa Ibuk?" tanya Sasa heran."Mamanya," desis Badai. "Aku biasa manggil Ibuk ke beliau," tambahnya.Sasa mengulum bibir merah meronanya, hatinya tergerak, "Mungkin kita nggak boleh terlalu kejam Mas. Sekedar jenguk pun aku nggak akan keberatan," ujarnya."Aku udah nitip salam, itu udah cukup Nduk," kata Badai mantap. "Aku harus jaga perasaan banyak orang, sedangkan dia justru berusaha menyakiti dirinya sendiri dan mamanya dengan memelihara harapan. Aku sekarang adalah suami orang. Banyak pelajaran yang kuambil setelah kita sama-sama dipisahkan. Jadi, biarin kujaga kamu dan keluargaku sebaik mungkin!" ikrarnya.Sasa tak lagi membantah. Jika ini memang keputusan yang sudah menjadi keyakinan sang suami, ia tinggal mengikuti. Sebenarnya Sasa juga bahagia karena Badai menjadikannya prioritas utama dengan tak lagi memedulik
Akhirnya, apa yang Sasa impi-impikan sebagai pernikahan khayalan masa kecil putri cantik Damar, terlaksana. Berbalut kebaya modern nan elegan, Sasa menuntaskan langkahnya di samping Badai dalam prosesi pedang pora nan sakral. Sebagai tanda jasa karena pengorbanan luar biasa Badai dalam menyelesaikan perlawanan Organisasi Kriminal Bersenjata bersama tim, ia dianugerahi kenaikan pangkat. Kini, Sasa adalah istri seorang Kapten Akai Badai Bagaspati. "Kamu sengaja ngebiarin banyak wartawan yang ngeliput acara kita?" gumam Badai berbisik pada sang istri saat keduanya menyelesaikan prosesi pedang pora dan duduk di pelaminan. Sasa mengangguk, "Iya, biar aku nggak diserang sama rumor jahat lagi. Jadi, nanti kalau aku hamil, aku bisa menikmati kehamilanku dengan bahagia dan tanpa beban. Jujur, aku ngerasa bersalah banget karena selama kehamilanku dulu, aku nggak jaga Gala dengan baik Mas," ungkapnya. "Bukan salah kamu Nduk, semua udah jadi kehendak Allah, gitu kan kata kamu?" "Iya Mas, tapi
Melajukan mobil kesayangan Badai itu meninggalkan halaman rumah, Sasa menemukan jalanan sudah mulai lengang oleh orang-orang yang berangkat menuju tempat kerja. Meski ramai lancar, Badai tetap saja khawatir dan merasa was-was saat sopirnya adalah Sasa, si labil manja nan imut itu."Apa aku perlu nemuin Arleta ya Mas?" tanya Sasa memecah keheningan, setidaknya ia membuat Badai lupa pada ketegangannya."Buat apa?" gumam Badai bingung."Kita nikah udah lama, udah banyak yang terlalui berdua kan ya? Kok dia kayak masih nggak rela ngelepasin Mas Badai gitu.""Terus kamu mau ngomong apa kalau udah ketemu sama dia?" tantang Badai.Sasa mengedikkan bahunya, "Ngobrol sebagai selayaknya perempuan yang udah pernah menikmati Mas Badai," katanya santai sekali."Nduk!" Badai mendesis."Emang bener gitu kan? Setelah dulu nggak berhasil nyerang kepercayaanku ke Mas Badai, sekarang dia nyoba nyerang aku secara mental lewat media sosial," desis Sasa terdengar kesal tapi tak tahu harus bagaimana melampi
Sasa cembetut, matanya tak lepas dari layar ponsel di tangannya. Saat Badai keluar dari kamar mandi seusai mandi pagi, ekspresi yang sama masih ia temui."Something's wrong, Love?" tegur Badai yang langsung menyadari bahwa ada yang aneh di layar ponsel istrinya."Mantan Mas Badai nyebelin deh," sungut Sasa jujur."Kenapa lagi dia?" tanya Badai langsung nyambung."Dia komentar di postingan foto yang aku pasang di Instagram. @arletanyumnyum kan nama akunnya? Childish banget gitu," gerutu Sasa jengah."Kamu emang posting foto apa?""Posting foto Mas Badai. Cuma nggak ngeliatin muka aja sih. Pas kemaren dari rumah sakit itu, aku kan foto punggungnya Mas, lha aku posting pake caption so called him BOJO pake huruf gede semua tulisan bojonya. Lha kok dia tiba-tiba masuk komentar ngatain aku!" lapor Sasa bersungut-sungut."Ngatain apa sih?" tanya Badai sabar."Aku dibilang pelakor! Kan aku kesel, ya emang sih aku pelakor," Sasa tertawa penuh kemenangan, "tapi dia kan war-nya cuma sepihak, aku
Badai menggeleng lemah, "Mereka yang ngarahin senjatanya ke tim langsung kulumpuhin, kubidik tangan dan kakinya. Langsung diamanin sama Raider 2, diobatin, biar tetep selamat. Umur mereka masih muda, ideologi yang tercetak di kepalanya masih bisa diperbaiki. Tapi kalau yang sekiranya bawa bom atau basoka, terpaksa dilumpuhkan selamanya," jawabnya dengan suara bergetar, tersirat penyesalan di sana."Aku paham," kedua tangan Sasa menangkup rahang Badai. "Bukan salah Mas Badai, jangan jadi beban pikiran ya Mas," hiburnya lembut.Senyum Badai terkembang, ia peluk seketika tubuh mungil sang istri dengan sebelah tangannya yang tidak terluka. Ia tenggelamkan wajahnya di ceruk leher Sasa, mencari kenyamanan dan kehangatan di sana."Aku pengin banget melepas rindu, tapi tangan Mas Badai kayaknya lagi nggak bisa diajak enak-enak," bisik Sasa nakal."Hem?" Badai menegakkan kepalanya, melirik wajah cantik istrinya sebentar, "siapa bilang nggak bisa enak-enak? Yang sakit kan tangannya, bukan nagan
"Ehem,"Badai berdehem seraya memejamkan matanya untuk menahan sakit. Setelah Badai pulang dan mendapat banyak hari cuti, Sasa memutuskan untuk kembali ke rumah pribadi mereka dan tidak lagi menginap di rumah sang ayah. Lagipula, dengan tinggal di rumah sendiri, Badai dan Sasa akan lebih bebas melepas rindu."Ada ya orang jago nembak kepala sama dada tapi diobatin lukanya meringis-meringis kesakitan gini," desis Sasa manyun."Gimanapun aku tetep manusia Nduk. Aku punya sisi manjaku sendiri dan itu cuma kutunjukin ke istriku. Lagian, boleh kan manja sama istri yang udah nggak kutemui berbulan-bulan lamanya?" gumam Badai sambil meniup-niup luka robek lebar di lengannya itu."Untung nggak kena tulang ini tu, kalau sampe kena tulang kan bisa berpengaruh ke kemampuan menembak Mas kan?""Iya," Badai membenarkan. "Udah kepalang basah. Aku kudu milih ngorbanin timku atau pasang badan, kupilih pasang badan biar timku bisa keluar dari barak dulu baru aku yang paling terakhir," ceritanya."Mas l