Perkataan Veline jelas membuat tubuh Hero membeku. Lelaki itu tak bergerak sedikit pun, hanya terdiam sambil menatap Veline dengan sorot mata yang terlihat bingung. Pasalnya, ia tak tahu mengapa Veline tiba-tiba berkata seperti itu? Hero juga tak tahu apa kesalahannya yang membuat Veline bisa berkata demikian? Kata-kata itu bagaikan petir yang menyambar di tengah hari, menghantam hingga ke ulu hatinya. Hero tidak pernah sekalipun membayangkan, bahkan dalam mimpinya sekalipun, bahwa kalimat seperti itu akan keluar dari mulut Veline. Ia hanya berpikir, mungkinkah Veline hanya bercanda? Berbagai pertanyaan berputar liar di kepalanya, membuat dadanya terasa sesak. Ia mencoba tetap tenang, meskipun suara hatinya bergemuruh hebat. "Kamu bercanda, kan, Sayang?" "Tidak, aku serius." "Kenapa? Apa aku melakukan kesalahan? Apa yang membuatmu berkata seperti itu?" selidik Hero, ia segera berdiri menghampiri Veline. Aura dingin sudah terpancar di wajahnya, rahang kokohnya sudah
"Udah, jangan menangis lagi, hapus air matanya." Kali ini suara Hero terdengar begitu lembut. Perlahan ia menghapus air mata, yang terus mengalir di pipi Veline. Sentuhan itu kali ini benar-benar berbeda, begitu lebih hati-hati, seolah ia takut menyakiti gadis itu lagi. "Aku gak suka melihatmu menangis seperti ini." Lelaki bertubuh kekar itu menopang salah satu tangannya di samping tubuh Veline, keringat mengalir deras dari tubuhnya hingga membasahi setiap inci ototnya yang kekar. Aroma maskulin yang kuat bercampur dengan udara panas, meski dinginnya suhu AC tak mampu membuat udara di antara mereka menjadi dingin. Ia mengusap pipi Veline yang berkeringat bercampur dengan buliran air mata yang terus menetes. Hero berusaha menenangkan gadis yang masih berada di bawah kungkungannya. Ia membiarkan Veline mengambil waktu untuk mengatur napas dan menenangkan hati. Dalam diam, Hero hanya menatap Veline dengan rasa bersalah, menunggu hingga gadis itu sedikit lebih tenang sebelum ia
Veline duduk di depan cermin dengan tubuh yang masih terasa lemas. Hair dryer di tangannya bekerja perlahan mengeringkan helaian rambut hitamnya yang basah. Wajahnya memandang pantulan dirinya di cermin, matanya sedikit sembab, dan pipinya masih tampak memerah. Gadis itu menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya yang masih kacau. Dari sudut pandangnya, ia melihat Hero masuk ke kamar. Tanpa berkata apa-apa, lelaki itu berjalan mendekat ke arahnya. Ketika sudah berada di belakang, Hero menyentuh tangan Veline yang sedang memegang hair dryer. "Biar aku aja, Sayang," ucap Hero sambil mengambil alih hair dryer dari tangan Veline. Hero mulai mengeringkan rambut Veline dengan hati-hati. Jemarinya menyusuri helai demi helai rambut yang beterbangan. Perlahan, Veline menatap Hero lewat cermin. Matanya berusaha menyembunyikan rasa canggung, tapi dalam hatinya terlihat ada kehangatan yang mulai kembali. "Hero." "Iya?" Hero menatap wajah Veline dari pantulan cermin.
Amanda mengangkat lemah pandangannya yang terlihat sayu. Menatap Dimas yang berdiri di hadapannya. Mata pria itu yang biasanya memberikan ketenangan kini hanya menambah beban di hati Amanda. Ia tahu, keputusan yang akan diambilnya ini bukanlah hal mudah, tapi ia merasa tak memiliki pilihan lain. "Apa yang kamu pikirkan?" tanya Dimas, meski ada kekhawatiran terselip di sana. Ia memperhatikan mata Amanda yang mulai berkaca-kaca, seakan menyimpan ribuan emosi yang sulit diterjemahkan. Amanda menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan keberanian. "Aku senang mendengar Zahira sudah sembuh," ujarnya pelan. Dimas tersenyum, meski ia masih merasa ada yang ganjil dengan sikap Amanda. "Iya, aku juga senang." "Kamu akan menjemputnya sekarang?" Amanda melanjutkan, mencoba terdengar tenang meski hatinya bergejolak. "Iya," jawab Dimas sambil mengangguk. "Suster Ira bilang sekarang Zahira sudah bisa dijemput." Amanda menelan ludah, berusaha menahan getar di suaranya. "Baguslah kal
Sorot lampu di depan rumah membuat hati Zahira terasa hangat, meski ada getar pelan yang merambati tubuhnya. Sepuluh tahun bukan waktu yang singkat untuk kembali ke tempat yang pernah ia sebut rumah. Kenangan masa lalu berputar dalam pikirannya, seperti film lama yang diputar ulang. Setiap sudut rumah ini menyimpan cerita, mulai dari saat ia pertama kali pindah ke sini bersama Dimas, hingga momen-momen sederhana seperti tertawa di ruang tamu atau memasak di dapur. Tapi sekarang, semuanya terasa berbeda. Waktu telah berlalu, dan ia merasa seperti orang asing yang mencoba mengenali kembali tempat ini. Matanya memandang pintu depan yang kokoh, seolah pintu itu adalah gerbang menuju kehidupan yang dulu ia tinggalkan. Jantungnya berdetak lebih cepat, bukan karena takut, tetapi karena campuran emosi yang sulit ia deskripsikan—bahagia, cemas, dan sedikit rindu yang tertahan. Hero segera membuka pintu mobil, langkahnya sigap menuju sisi ibunya. Dengan hati-hati, ia memapah Zahira kel
"Kamu bilang kamu pembantu? Kenapa kamu bisa bilang seperti itu?" Suara Dimas terdengar berat, saat menatap istrinya, Amanda. Setelah makan malam selesai, Dimas melangkah menuju salah satu kamar yang ada di rumahnya. Ia melihat Amanda tengah duduk di tepi ranjang dengan kepala tertunduk. Pandangannya kosong, seolah menatap sesuatu yang tak kasat mata. Cahaya lampu kamar menerangi wajahnya yang tampak pucat. Amanda mendongak, menatap suaminya dengan senyum getir. "Terus aku harus bilang apa, Mas? Apa aku harus bilang kalau aku ini istri kamu? Kamu tahu kan, Zahira itu baru sembuh. Apa yang akan terjadi kalau dia tahu aku ini istrimu? Apa kamu ingin aku menghancurkan kebahagiaan dia di saat dia baru saja kembali ke rumah ini?" Dimas terdiam, kata-kata Amanda seperti belati yang menancap di hatinya. Ia menghela napas panjang, lalu duduk di sebelah Amanda. Tangannya ingin meraih tangan wanita itu, tapi Amanda dengan segera menariknya. "Kamu pikir ini mudah buat aku?" Amanda mela
Refleks, Veline memutar tubuhnya, dan matanya langsung membelalak lebar ketika melihat seseorang yang ada di belakangnya. Orang itu tengah tersenyum miring sembari menyemprotkan pilox berwarna neon lagi ke arahnya. Lagi-lagi Veline dibuat kesal, ia pun langsung berteriak marah ke arah sahabatnya tersebut. "Alyssa!" teriak Veline lantang. "Apa-apaan sih lo?!" Namun, bukannya berhenti, Alyssa malah terkekeh nakal, ia terus menyemprotkan pilox ke seragam putih Veline, sampai membuat seragam Veline kotor. "Tenang aja, Vel! Kan hari terakhir sekolah. Anggap aja ini kenang-kenangan!" balas Alyssa, wajahnya tersenyum jahil. "Awas, ya, lo!" Veline mendengkus marah, tapi rona merah di pipinya menunjukkan bahwa dia sedang menahan tawa. Tidak ingin kalah, Veline cepat-cepat merebut pilox lain dari tangan seorang teman yang lewat. Dengan sigap, dia membalas menyemprotkan cat ke arah Alyssa, sampai membuat gadis itu menjerit. "Aaaa ... Veline!" teriak Alyssa sambil tertawa, ia be
Langit senja membentang di atas pantai, memancarkan gradasi jingga keemasan yang memantul di atas ombak. Suara deburan air yang tenang berpadu dengan angin laut yang sepoi-sepoi. Setelah acara kelulusan berakhir, Hero mengajak Veline untuk pergi ke pantai—tempat favorit mereka yang selalu menghadirkan ketenangan. Hero berdiri di dekat bibir pantai dengan kemeja putih yang basah di ujungnya karena terkena air laut, sementara Veline, mengenakan gaun putih bermotif bunga, ia tertawa lepas dengan rambut hitam legamnya yang berkibar diterpa angin. "Sayang, sini sebentar," ujar Hero sambil merentangkan tangannya, meminta Veline mendekat. Tanpa ragu, Veline berlari ke arah lelaki itu, kakinya menyentuh ombak kecil yang dingin. Begitu tiba, Hero memeluknya erat dan mengangkat tubuh Veline ke udara, sampai membuat Veline terkikik seperti anak kecil. "Hero, turunin!" Veline berseru, meskipun tawa tak pernah hilang dari bibirnya. Alih-alih menurunkan Veline, lelaki itu malah mem
Malam ini hujan turun dengan deras, menyelimuti kota dengan dingin. Di sebuah ruang bersalin di rumah sakit, Veline terbaring di ranjang, wajahnya basah oleh keringat. Rasa sakit melandanya seperti gelombang yang tak kunjung usai, tetapi genggaman tangan Hero yang erat memberinya kekuatan. "Sayang, aku di sini. Tarik napas dalam-dalam, oke? Kamu pasti bisa," ujar Hero dengan suara yang tenang meskipun matanya memancarkan kegelisahan. Veline menggigit bibirnya, berusaha menahan jeritan. "Hero … sakit banget …," suaranya bergetar. Hero mengusap rambut istrinya yang basah oleh keringat. "Kamu kuat, Sayang. Kamu selalu kuat. Nggak lama lagi kita bakal ketemu sama anak kita." Dokter dan perawat sibuk mempersiapkan semuanya. "Baik, Bu Veline, saat kontraksi berikutnya, tolong dorong sekuat tenaga, ya," kata dokter. Veline mengangguk lemah, matanya menatap Hero dengan penuh harap. Hero hanya membalas dengan senyuman yang berusaha menenangkan, meski di dalam dirinya ia merasa
Pagi ini, Zahira melangkah pelan menyusuri lorong rumah sakit. Aroma antiseptik menusuk hidung, dan langkah sepatunya yang berderap di lantai mengkilap terdengar jelas di antara kesunyian. Matanya menatap nomor ruangan di depannya. Di balik pintu itu, Amanda, wanita yang selama ini ia anggap sebagai duri dalam rumah tangganya, kini terbaring lemah. Ada perasaan aneh yang menyelinap di hatinya. Setelah menghela napas panjang, Zahira mengetuk pintu dan masuk. Di dalam ruangan, Amanda terbaring dengan wajah pucat. Namun, ada senyum tipis di bibirnya saat melihat Zahira masuk. Dimas yang duduk di kursi di samping ranjang segera bangkit, memberikan ruang untuk mereka. "Zahira …," suara Amanda terdengar lemah. Zahira mendekat, menatap Amanda yang terbaring dengan infus terpasang di tangan kirinya. "Aku datang untuk menjengukmu," katanya dengan nada datar, tapi matanya menunjukkan keraguan yang dalam. Amanda tersenyum lemah. "Terima kasih … aku tahu ini pasti tidak mudah untukmu."
Veline dan Yudha berjalan perlahan menuju parkiran rumah sakit. Udara malam terasa menusuk. Namun, langkah mereka tetap tenang di tengah suasana sunyi. Lampu-lampu jalan memancarkan cahaya temaram, menambah kesan hening di sekitar. Namun, langkah Veline tiba-tiba terhenti. Ia menoleh ke arah Yudha dan berkata, "Yud, gue mau beli minum dulu sebentar." Yudha menatapnya sejenak, lalu mengangguk tanpa banyak bicara. "Ya udah, kita ke minimarket aja. Itu ada di dekat sini," jawabnya sambil menunjuk ke arah sebuah minimarket kecil tak jauh dari parkiran. Mereka kemudian melangkah menuju minimarket tersebut. Saat sampai, Veline masuk ke dalam tanpa ragu, sementara Yudha memilih menunggu di luar. Ia bersandar pada salah satu tiang dekat pintu masuk, pandangannya mengawasi sekitar dengan santai, meski raut wajahnya masih terlihat tegang setelah kejadian di rumah sakit tadi. Namun, suasana hening itu tiba-tiba berubah ketika Yudha melihat sebuah mobil berhenti di depan rumah sakit. S
Amanda tergeletak di atas aspal, tubuhnya berlumuran darah yang terus mengalir, membasahi pakaian dan jalanan di sekitarnya. Matanya perlahan membuka, lemah, seolah mencoba menahan rasa sakit yang luar biasa. Di sisi lain, Dimas berdiri terpaku sebelum akhirnya teriakannya menggema. "Amanda!" Dimas berteriak dengan suara yang serak dan penuh kegelisahan. Kakinya melangkah cepat, lututnya hampir jatuh saat ia berlutut di samping tubuh Amanda. Dengan kedua tangannya yang bergetar, ia mengangkat kepala Amanda, memeluknya dengan erat meskipun darah terus mengalir di tangannya. "Amanda, kenapa kamu melakukan ini?" Amanda hanya tersenyum samar, bibirnya bergetar mencoba mengeluarkan kata-kata. Namun, tidak ada suara yang terdengar. Di dekat mereka, Veline berdiri terpaku, tubuhnya gemetar. Matanya tidak bisa lepas dari genangan darah di sekitar tubuh Amanda. Wajahnya pucat, sementara pikirannya penuh dengan kebingungan dan rasa syok. "Ma ... Mama ...." Hero yang tadinya diam
Dimas berdiri mematung di tempatnya, tubuhnya terkulai lemas. Wajahnya yang biasanya tampak tegas kini terlihat kusut. Napasnya terdengar berat, dan matanya seakan kehilangan semangat. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan, bagaimana ia bisa memperbaiki kesalahan yang telah dibuatnya. "Mas, kenapa kamu diam saja? Ayo, cepat kejar Zahira! Kamu mau dia pergi begitu saja?" Amanda mengguncang bahu Dimas, mencoba menyadarkannya. Namun, Dimas hanya berdiri diam, tidak bergerak sedikit pun. Ia tahu semuanya sudah terlambat. Amanda menghela napas frustrasi. "Aku yang harus mengejarnya?" gerutunya, lalu tanpa menunggu jawaban, ia berlari keluar dari rumah, berusaha mengejar Zahira yang sudah meninggalkan rumah itu dengan langkah cepat. Di dalam rumah, suasana menjadi semakin canggung. Veline dan Hero yang baru saja turun dari tangga, heran melihat Amanda berlari keluar dengan terburu-buru, seolah sedang mengejar seseorang. "Mama, kenapa itu?" tanya Veline dengan suara penasaran, ma
Hero tiba di rumah dengan langkah berat, tangan kanannya memegang mangga muda yang sudah ia perjuangkan dari tengah malam hingga pagi. Ia memasukkan motor ke halaman depan rumah dengan pelan, berusaha tidak membuat suara berisik. Sesampainya di kamar, Hero membuka pintu dengan hati-hati, melihat Veline yang tampak sudah terlelap dengan nyenyak di tempat tidur. Ia memandangnya sejenak, senyumnya merekah meski ada rasa lelah yang menggelayuti tubuhnya. Namun, sesaat setelah melihat wajah Veline yang begitu tenang, semua rasa lelah itu terasa sedikit lebih ringan. Dengan hati-hati, Hero duduk di tepi ranjang, menggoyangkan bahu Veline dengan lembut. "Sayang, bangun ... nih, mangga mudanya." Veline yang masih terlelap hanya menggerakkan bibirnya sedikit. Namun, tidak membuka mata. "Apa sih, ganggu aja ...," jawabnya dengan suara serak, tapi suaranya jelas menunjukkan bahwa ia tidak tertarik untuk bangun. "Sayang, bangun ... ini mangga mudanya." Hero mengulangi, kali ini sedikit
Hero mengenakan jaket hitam tebalnya dengan tergesa-gesa. Malam ini udara terasa lebih dingin dari biasanya, dan hembusan angin yang menyapu wajahnya saat keluar dari rumah membuatnya merasa semakin terjaga. Ia menurunkan helm dari motor dan meletakkannya di atas jok, berencana untuk menelepon beberapa temannya sebelum melanjutkan perjalanan. Pikirannya terfokus pada satu hal saja—mendapatkan mangga muda yang diminta oleh Veline. Dengan tangan yang sedikit gemetar karena suhu udara yang dingin, Hero meraih ponselnya dan membuka kontak. Nama Raka muncul di layar, dan tanpa ragu ia menekan tombol telepon. "Raka, lo lagi di mana?" Tak lama kemudian, suara Raka terdengar dari ujung telepon. "Gue lagi di basecamp, sama Noval sama Adrian. Kenapa, Ro?" "Ke sekolah sekarang!" "Ngapain ke sekolah? Ini udah malam." "Pokoknya ke sekolah aja dulu, nanti gue jelasin. Ajak Noval sama Adrian juga." "Ya udah deh." Hero menutup telepon itu dengan cepat, menghela napas, dan mengam
Di ruang tamu yang diterangi lampu hangat, Veline duduk di sofa dengan Hero. Mereka baru saja selesai makan malam, dan suasana rumah terasa tenang, hanya terdengar suara jam dinding yang berdetak pelan. Veline menggigit bibir bawahnya, ragu untuk memulai pembicaraan. Ia menatap secangkir teh hangat di tangannya, mengaduknya perlahan meski tidak ada gula yang perlu larut di sana. "Sayang," ujar Veline, memecah keheningan. Suaranya lembut, tapi terdengar jelas di antara ketenangan malam. Hero yang sedang memainkan ponselnya menoleh, menatap Veline dengan alis sedikit terangkat. "Kenapa? Kamu kelihatan serius banget," katanya sambil meletakkan ponselnya di meja. Perhatiannya kini sepenuhnya terarah pada istrinya. Veline menghela napas panjang, menaruh cangkirnya di meja, lalu bersandar ke sofa. Matanya menatap ke arah jendela, meski yang terlihat hanya bayangan gelap malam. "Aku tadi habis ke rumah Leona," ucapnya. Hero terkejut, tapi ia tidak langsung menyela. Ia hanya mengan
Sejak kejadian itu, Leona mengurung dirinya di dalam kamar. Pintu kamarnya yang biasanya terbuka lebar kini tertutup rapat, seakan mencerminkan dinding yang ia bangun untuk memisahkan dirinya dari dunia luar. Tirai jendela pun tertutup, membiarkan kegelapan menguasai ruangannya. Suara tangis terkadang terdengar lirih dari balik pintu, tetapi tak ada yang cukup berani untuk mengetuk dan mencoba bicara dengannya. Veline yang mengetahui keadaan sahabatnya merasa dilematis. Meski hatinya masih dipenuhi amarah karena ulah Leona yang terus mencoba memisahkannya dari Hero, rasa iba perlahan merayap ke dalam hatinya. Ia mengingat bagaimana video yang memperlihatkan tindakan tidak terpuji Leona tersebar luas di media sosial. Video itu menjadi bahan cibiran dan ejekan. Orang-orang terus mencela Leona tanpa ampun, menghakimi tanpa memberi ruang untuk pembelaan. Akun media sosial Leona dipenuhi komentar pedas, seolah seluruh dunia bersekongkol untuk menjatuhkannya. "Kenapa dia harus sebodoh