"Kamu bilang kamu pembantu? Kenapa kamu bisa bilang seperti itu?" Suara Dimas terdengar berat, saat menatap istrinya, Amanda. Setelah makan malam selesai, Dimas melangkah menuju salah satu kamar yang ada di rumahnya. Ia melihat Amanda tengah duduk di tepi ranjang dengan kepala tertunduk. Pandangannya kosong, seolah menatap sesuatu yang tak kasat mata. Cahaya lampu kamar menerangi wajahnya yang tampak pucat. Amanda mendongak, menatap suaminya dengan senyum getir. "Terus aku harus bilang apa, Mas? Apa aku harus bilang kalau aku ini istri kamu? Kamu tahu kan, Zahira itu baru sembuh. Apa yang akan terjadi kalau dia tahu aku ini istrimu? Apa kamu ingin aku menghancurkan kebahagiaan dia di saat dia baru saja kembali ke rumah ini?" Dimas terdiam, kata-kata Amanda seperti belati yang menancap di hatinya. Ia menghela napas panjang, lalu duduk di sebelah Amanda. Tangannya ingin meraih tangan wanita itu, tapi Amanda dengan segera menariknya. "Kamu pikir ini mudah buat aku?" Amanda mela
Refleks, Veline memutar tubuhnya, dan matanya langsung membelalak lebar ketika melihat seseorang yang ada di belakangnya. Orang itu tengah tersenyum miring sembari menyemprotkan pilox berwarna neon lagi ke arahnya. Lagi-lagi Veline dibuat kesal, ia pun langsung berteriak marah ke arah sahabatnya tersebut. "Alyssa!" teriak Veline lantang. "Apa-apaan sih lo?!" Namun, bukannya berhenti, Alyssa malah terkekeh nakal, ia terus menyemprotkan pilox ke seragam putih Veline, sampai membuat seragam Veline kotor. "Tenang aja, Vel! Kan hari terakhir sekolah. Anggap aja ini kenang-kenangan!" balas Alyssa, wajahnya tersenyum jahil. "Awas, ya, lo!" Veline mendengkus marah, tapi rona merah di pipinya menunjukkan bahwa dia sedang menahan tawa. Tidak ingin kalah, Veline cepat-cepat merebut pilox lain dari tangan seorang teman yang lewat. Dengan sigap, dia membalas menyemprotkan cat ke arah Alyssa, sampai membuat gadis itu menjerit. "Aaaa ... Veline!" teriak Alyssa sambil tertawa, ia be
Langit senja membentang di atas pantai, memancarkan gradasi jingga keemasan yang memantul di atas ombak. Suara deburan air yang tenang berpadu dengan angin laut yang sepoi-sepoi. Setelah acara kelulusan berakhir, Hero mengajak Veline untuk pergi ke pantai—tempat favorit mereka yang selalu menghadirkan ketenangan. Hero berdiri di dekat bibir pantai dengan kemeja putih yang basah di ujungnya karena terkena air laut, sementara Veline, mengenakan gaun putih bermotif bunga, ia tertawa lepas dengan rambut hitam legamnya yang berkibar diterpa angin. "Sayang, sini sebentar," ujar Hero sambil merentangkan tangannya, meminta Veline mendekat. Tanpa ragu, Veline berlari ke arah lelaki itu, kakinya menyentuh ombak kecil yang dingin. Begitu tiba, Hero memeluknya erat dan mengangkat tubuh Veline ke udara, sampai membuat Veline terkikik seperti anak kecil. "Hero, turunin!" Veline berseru, meskipun tawa tak pernah hilang dari bibirnya. Alih-alih menurunkan Veline, lelaki itu malah mem
Ting! Tong! Ting! Tong! Bunyi bel terdengar nyaring di kediaman keluarga Wiratama. Seorang gadis muda mengenakan blouse putih dengan tas selempang tersampir di bahunya berdiri di depan pintu, menunggu dengan sabar seseorang membukakan pintu untuknya. Pintu besar itu akhirnya terbuka, memperlihatkan seorang wanita paruh baya dengan senyum ramah yang langsung menyapa. "Eh, Non Leona," ucap Bi Ranti, ia tampak terkejut sekaligus senang melihat sosok yang ada di hadapannya kini. Pasalnya, sudah lama sekali Leona baru mengunjungi kediaman Wiratama lagi. Padahal, dulu, ia begitu sering sekali main. "Halo, Bi," jawab Leona sambil tersenyum. "Leona mau nengok Tante Zahira. Tante Zahira ada di rumah?" "Oh, ada, ada. Silakan masuk," kata Bi Ranti sambil membuka pintu lebih lebar, mempersilakan Leona masuk. Leona mengangguk sopan dan melangkah masuk ke dalam rumah yang beraroma wangi khas lavender ruangan keluarga Wiratama. "Siapa, Bi?" tanya Zahira, yang tengah duduk di sofa
Di sebuah swalayan besar yang ramai pengunjung, Veline berjalan di antara rak-rak tinggi yang dipenuhi berbagai macam produk kebutuhan rumah tangga. Lampu-lampu neon yang terang benderang memantulkan cahaya ke lantai ubin putih yang mengkilap. Suara pengumuman promosi sesekali terdengar dari pengeras suara, bersahut-sahutan dengan musik yang diputar di latar belakang. Veline yang mengenakan blouse abu-abu dilengkapi dengan celana jeans hitam, sedang mendorong troli belanja bersama Amanda. Troli itu sudah terisi beberapa bahan makanan, mulai dari sayuran segar, buah-buahan, hingga daging beku. Veline berhenti sejenak di depan rak bumbu dapur, memiringkan kepala sambil membaca label salah satu botol saus sambal. "Sayang, kayaknya kita lupa beli gula pasir deh?" Amanda yang berdiri tak jauh darinya berkata sambil memeriksa daftar belanjaan yang ada di tangannya. Veline menepuk jidatnya. "Oh, iya, gula pasir belum, Ma." Amanda meraih dua bungkus gula pasir dari rak di depannya
"Oh, hai, Vel. Gue tadi cuma mampir. Kebetulan Tante Zahira baru pulang dari rumah sakit. Jadi, gue nengok sebentar," beber Leona. Veline hanya manggut-manggut. "Oh." Saat itu juga, Zahira mengalihkan pandangannya ke arah lelaki muda yang sedang menurunkan barang belanjaan di teras. "Dia siapa, ya?" tanyanya sambil menunjuk ke arah Yudha. Yudha langsung berjalan ke arah mereka dengan sopan. "Saya Yudha, Tante." "Yudha? Yudha siapa, ya?" Amanda yang berdiri di sebelah Veline, segera menjawab, "Dia anak saya, Bu Zahira." "Oh, jadi kamu sudah punya anak, ya?" Amanda tersenyum tipis. "Iya, Bu." Yudha kemudian menoleh pada Amanda. "Ma, Yudha pamit dulu, ya?" "Baik, hati-hati di jalan, ya, Sayang." Yudha mengangguk, lalu berbalik menuju mobilnya. Namun, sebelum sempat membuka pintu, suara Leona memanggilnya. "Yudha! Kebetulan kita searah, gue boleh nebeng, nggak?" tanyanya, sambil mendekati Yudha. Yudha menoleh ke arah Leona, ia sedikit ragu, tapi akhirnya menga
Suara deru kendaraan roda empat memasuki halaman rumah. Dari ruang tamu, Veline yang sedang duduk santai segera melongok ke arah jendela. Ia menyibakkan tirai sedikit dan melihat sebuah mobil berhenti di depan rumah. Pak Supri, sopir pribadi ayah mertuanya, keluar dari kursi pengemudi dan bergegas membuka pintu untuk Dimas. Senyum lebar menghiasi wajah Veline. 'Papa sudah pulang!' pikirnya, begitu antusias. Dengan cepat, ia berlari ke arah pintu depan untuk menyambut Dimas. "Papa!" Veline sangat semangat begitu pintu terbuka. Dimas tersenyum hangat melihat Veline. "Halo, Sayang," sapanya sambil melangkah masuk. "Papa sudah pulang?" "Sudah dong. Bagaimana? Kamu lulus nggak?" Dimas memperhatikan gadis di hadapannya yang begitu ceria. Setiap kali ia pulang bekerja, Veline memang selalu menyambutnya seperti itu. Dan Dimas pun begitu senang, seakan kebahagiaan yang terpancar di wajah Veline bisa ia rasakan juga. "Lulus dong, Pa!" "Bagus! Papa senang dengarnya," balas Dim
Tepat ketika pintu kamar terbuka, Hero terkejut ketika melihat pecahan kaca berserakan di lantai. "Ada apa dengan Mama?" Hero bertanya seraya menoleh pada Dimas. Dimas hanya menghela napas panjang, mengusap wajahnya yang tampak lelah. "Papa juga tidak tahu apa yang ada dipikiran mamamu itu." Tanpa banyak bicara, Hero langsung melangkah masuk ke kamar. Di sana, ia melihat Zahira duduk di sofa, wajahnya sembab dan air mata masih mengalir di pipinya. "Ma, kenapa? Apa yang terjadi?" Zahira mengangkat pandangannya, mengarah pada Hero. "Hero ... papamu jahat!" "Tenang, Ma. Jangan sedih." Hero segera memeluk ibunya, mengusap punggungnya dengan lembut. Sementara itu, Dimas memilih pergi, meninggalkan kamar dengan berat hati. Amanda dan Bi Ranti yang sudah sampai di depan kamar hanya bisa terdiam melihat pemandangan yang memilukan itu, karena tak ingin menambah masalah, mereka pun akhirnya pergi meninggalkan kamar tersebut, memberi waktu pada Zahira untuk tenang. Sedangkan
Malam ini hujan turun dengan deras, menyelimuti kota dengan dingin. Di sebuah ruang bersalin di rumah sakit, Veline terbaring di ranjang, wajahnya basah oleh keringat. Rasa sakit melandanya seperti gelombang yang tak kunjung usai, tetapi genggaman tangan Hero yang erat memberinya kekuatan. "Sayang, aku di sini. Tarik napas dalam-dalam, oke? Kamu pasti bisa," ujar Hero dengan suara yang tenang meskipun matanya memancarkan kegelisahan. Veline menggigit bibirnya, berusaha menahan jeritan. "Hero … sakit banget …," suaranya bergetar. Hero mengusap rambut istrinya yang basah oleh keringat. "Kamu kuat, Sayang. Kamu selalu kuat. Nggak lama lagi kita bakal ketemu sama anak kita." Dokter dan perawat sibuk mempersiapkan semuanya. "Baik, Bu Veline, saat kontraksi berikutnya, tolong dorong sekuat tenaga, ya," kata dokter. Veline mengangguk lemah, matanya menatap Hero dengan penuh harap. Hero hanya membalas dengan senyuman yang berusaha menenangkan, meski di dalam dirinya ia merasa
Pagi ini, Zahira melangkah pelan menyusuri lorong rumah sakit. Aroma antiseptik menusuk hidung, dan langkah sepatunya yang berderap di lantai mengkilap terdengar jelas di antara kesunyian. Matanya menatap nomor ruangan di depannya. Di balik pintu itu, Amanda, wanita yang selama ini ia anggap sebagai duri dalam rumah tangganya, kini terbaring lemah. Ada perasaan aneh yang menyelinap di hatinya. Setelah menghela napas panjang, Zahira mengetuk pintu dan masuk. Di dalam ruangan, Amanda terbaring dengan wajah pucat. Namun, ada senyum tipis di bibirnya saat melihat Zahira masuk. Dimas yang duduk di kursi di samping ranjang segera bangkit, memberikan ruang untuk mereka. "Zahira …," suara Amanda terdengar lemah. Zahira mendekat, menatap Amanda yang terbaring dengan infus terpasang di tangan kirinya. "Aku datang untuk menjengukmu," katanya dengan nada datar, tapi matanya menunjukkan keraguan yang dalam. Amanda tersenyum lemah. "Terima kasih … aku tahu ini pasti tidak mudah untukmu."
Veline dan Yudha berjalan perlahan menuju parkiran rumah sakit. Udara malam terasa menusuk. Namun, langkah mereka tetap tenang di tengah suasana sunyi. Lampu-lampu jalan memancarkan cahaya temaram, menambah kesan hening di sekitar. Namun, langkah Veline tiba-tiba terhenti. Ia menoleh ke arah Yudha dan berkata, "Yud, gue mau beli minum dulu sebentar." Yudha menatapnya sejenak, lalu mengangguk tanpa banyak bicara. "Ya udah, kita ke minimarket aja. Itu ada di dekat sini," jawabnya sambil menunjuk ke arah sebuah minimarket kecil tak jauh dari parkiran. Mereka kemudian melangkah menuju minimarket tersebut. Saat sampai, Veline masuk ke dalam tanpa ragu, sementara Yudha memilih menunggu di luar. Ia bersandar pada salah satu tiang dekat pintu masuk, pandangannya mengawasi sekitar dengan santai, meski raut wajahnya masih terlihat tegang setelah kejadian di rumah sakit tadi. Namun, suasana hening itu tiba-tiba berubah ketika Yudha melihat sebuah mobil berhenti di depan rumah sakit. S
Amanda tergeletak di atas aspal, tubuhnya berlumuran darah yang terus mengalir, membasahi pakaian dan jalanan di sekitarnya. Matanya perlahan membuka, lemah, seolah mencoba menahan rasa sakit yang luar biasa. Di sisi lain, Dimas berdiri terpaku sebelum akhirnya teriakannya menggema. "Amanda!" Dimas berteriak dengan suara yang serak dan penuh kegelisahan. Kakinya melangkah cepat, lututnya hampir jatuh saat ia berlutut di samping tubuh Amanda. Dengan kedua tangannya yang bergetar, ia mengangkat kepala Amanda, memeluknya dengan erat meskipun darah terus mengalir di tangannya. "Amanda, kenapa kamu melakukan ini?" Amanda hanya tersenyum samar, bibirnya bergetar mencoba mengeluarkan kata-kata. Namun, tidak ada suara yang terdengar. Di dekat mereka, Veline berdiri terpaku, tubuhnya gemetar. Matanya tidak bisa lepas dari genangan darah di sekitar tubuh Amanda. Wajahnya pucat, sementara pikirannya penuh dengan kebingungan dan rasa syok. "Ma ... Mama ...." Hero yang tadinya diam
Dimas berdiri mematung di tempatnya, tubuhnya terkulai lemas. Wajahnya yang biasanya tampak tegas kini terlihat kusut. Napasnya terdengar berat, dan matanya seakan kehilangan semangat. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan, bagaimana ia bisa memperbaiki kesalahan yang telah dibuatnya. "Mas, kenapa kamu diam saja? Ayo, cepat kejar Zahira! Kamu mau dia pergi begitu saja?" Amanda mengguncang bahu Dimas, mencoba menyadarkannya. Namun, Dimas hanya berdiri diam, tidak bergerak sedikit pun. Ia tahu semuanya sudah terlambat. Amanda menghela napas frustrasi. "Aku yang harus mengejarnya?" gerutunya, lalu tanpa menunggu jawaban, ia berlari keluar dari rumah, berusaha mengejar Zahira yang sudah meninggalkan rumah itu dengan langkah cepat. Di dalam rumah, suasana menjadi semakin canggung. Veline dan Hero yang baru saja turun dari tangga, heran melihat Amanda berlari keluar dengan terburu-buru, seolah sedang mengejar seseorang. "Mama, kenapa itu?" tanya Veline dengan suara penasaran, ma
Hero tiba di rumah dengan langkah berat, tangan kanannya memegang mangga muda yang sudah ia perjuangkan dari tengah malam hingga pagi. Ia memasukkan motor ke halaman depan rumah dengan pelan, berusaha tidak membuat suara berisik. Sesampainya di kamar, Hero membuka pintu dengan hati-hati, melihat Veline yang tampak sudah terlelap dengan nyenyak di tempat tidur. Ia memandangnya sejenak, senyumnya merekah meski ada rasa lelah yang menggelayuti tubuhnya. Namun, sesaat setelah melihat wajah Veline yang begitu tenang, semua rasa lelah itu terasa sedikit lebih ringan. Dengan hati-hati, Hero duduk di tepi ranjang, menggoyangkan bahu Veline dengan lembut. "Sayang, bangun ... nih, mangga mudanya." Veline yang masih terlelap hanya menggerakkan bibirnya sedikit. Namun, tidak membuka mata. "Apa sih, ganggu aja ...," jawabnya dengan suara serak, tapi suaranya jelas menunjukkan bahwa ia tidak tertarik untuk bangun. "Sayang, bangun ... ini mangga mudanya." Hero mengulangi, kali ini sedikit
Hero mengenakan jaket hitam tebalnya dengan tergesa-gesa. Malam ini udara terasa lebih dingin dari biasanya, dan hembusan angin yang menyapu wajahnya saat keluar dari rumah membuatnya merasa semakin terjaga. Ia menurunkan helm dari motor dan meletakkannya di atas jok, berencana untuk menelepon beberapa temannya sebelum melanjutkan perjalanan. Pikirannya terfokus pada satu hal saja—mendapatkan mangga muda yang diminta oleh Veline. Dengan tangan yang sedikit gemetar karena suhu udara yang dingin, Hero meraih ponselnya dan membuka kontak. Nama Raka muncul di layar, dan tanpa ragu ia menekan tombol telepon. "Raka, lo lagi di mana?" Tak lama kemudian, suara Raka terdengar dari ujung telepon. "Gue lagi di basecamp, sama Noval sama Adrian. Kenapa, Ro?" "Ke sekolah sekarang!" "Ngapain ke sekolah? Ini udah malam." "Pokoknya ke sekolah aja dulu, nanti gue jelasin. Ajak Noval sama Adrian juga." "Ya udah deh." Hero menutup telepon itu dengan cepat, menghela napas, dan mengam
Di ruang tamu yang diterangi lampu hangat, Veline duduk di sofa dengan Hero. Mereka baru saja selesai makan malam, dan suasana rumah terasa tenang, hanya terdengar suara jam dinding yang berdetak pelan. Veline menggigit bibir bawahnya, ragu untuk memulai pembicaraan. Ia menatap secangkir teh hangat di tangannya, mengaduknya perlahan meski tidak ada gula yang perlu larut di sana. "Sayang," ujar Veline, memecah keheningan. Suaranya lembut, tapi terdengar jelas di antara ketenangan malam. Hero yang sedang memainkan ponselnya menoleh, menatap Veline dengan alis sedikit terangkat. "Kenapa? Kamu kelihatan serius banget," katanya sambil meletakkan ponselnya di meja. Perhatiannya kini sepenuhnya terarah pada istrinya. Veline menghela napas panjang, menaruh cangkirnya di meja, lalu bersandar ke sofa. Matanya menatap ke arah jendela, meski yang terlihat hanya bayangan gelap malam. "Aku tadi habis ke rumah Leona," ucapnya. Hero terkejut, tapi ia tidak langsung menyela. Ia hanya mengan
Sejak kejadian itu, Leona mengurung dirinya di dalam kamar. Pintu kamarnya yang biasanya terbuka lebar kini tertutup rapat, seakan mencerminkan dinding yang ia bangun untuk memisahkan dirinya dari dunia luar. Tirai jendela pun tertutup, membiarkan kegelapan menguasai ruangannya. Suara tangis terkadang terdengar lirih dari balik pintu, tetapi tak ada yang cukup berani untuk mengetuk dan mencoba bicara dengannya. Veline yang mengetahui keadaan sahabatnya merasa dilematis. Meski hatinya masih dipenuhi amarah karena ulah Leona yang terus mencoba memisahkannya dari Hero, rasa iba perlahan merayap ke dalam hatinya. Ia mengingat bagaimana video yang memperlihatkan tindakan tidak terpuji Leona tersebar luas di media sosial. Video itu menjadi bahan cibiran dan ejekan. Orang-orang terus mencela Leona tanpa ampun, menghakimi tanpa memberi ruang untuk pembelaan. Akun media sosial Leona dipenuhi komentar pedas, seolah seluruh dunia bersekongkol untuk menjatuhkannya. "Kenapa dia harus sebodoh