Faiz sudah berada di rumah Iskha. Dia tampak berada di ruang tamu dengan Iskha yang mengobatinya dengan antiseptic. Perlahan-lahan gadis itu menuangkan cairan anti kuman ke kapas setelah itu dibasuh ke lukanya Faiz. Dengan telaten Iskha melakukannya. Dia bahkan sesekali meniup luka itu seolah-olah sangat sayang sekali luka itu bisa ada di sana. Terakhir ia mengambil plester bergambar kucing lucu, setelah itu ditempelkannya plester itu di siku. Dia tersenyum, seolah-olah karyanya sangat cantik dan imut.
“Iskha?!” panggil Faiz yang membuyarkan gadis itu dari dunia khayalannya.
“Hah? Apa?” tanya Iskha.
“Serius?”
“Maksudnya?”
“Serius pake plester ini? Aku ini cowok. Orangnya macho, jago silat. Masa’ dikasih plester gambar kartun kucing lucu gini sih? Hilang dong kemachoanku,” keluh Faiz.
Iskha ngikik. “Itu cocok kok buatmu.”
“Tapi kan...!” Faiz prote
Ibu dan anak sibuk di dapur, sementara Faiz menunggu sambil bermain-main dengan ponselnya. Dia memulai chatting dengan Kayla. Faiz memastikan kalau dia nanti tidak dikejutkan dengan kedatangan Iskha yang datang tiba-tiba karena memang namanya juga kejutan. Kalau bocor ya berarti gagal dong ngasih kejutan ke Iskha.Faiz: Kay, aku sudah tahu apa keinginan Iskha.Kayla: Ya? Apa emangnya?Faiz: Dia ingin punya iPod. Gitu sih katanya. Alasannya karena tidak suka saja dengerin musik pakai ponsel.Kayla: Nah, gitu dong. OK, aku akan usahakan cari iPod. Pasti dia bakalan suka nantinya.Faiz: Trus, uangnya? Emang kamu punya uang?Kayla: Halah, itu nggak masalah. Kalau cuma iPod mah aku bisa beli. Ngomong-ngomong hadiahnya kamu yang kasih ya nanti. Anggap itu hadiah darimu.Faiz: Hah? Koq aku?Kayla: Woi
Kayla berdandan. Malam ini ia ingin pergi ke mall mencarikan hadiah untuk Iskha. Dia tak begitu kesulitan kalau soal uang. Di lemarinya uangnya sudah sangat banyak. Kalau mau membeli rumah baru pun sudah pasti akan bisa. Dia perlu mencari-cari informasi lewat internet tempat dimana ada toko yang menjual gadget. Sampai akhirnya diapun menemukan tempat toko yang menjual hardwarde dan gadget canggih di kota ini. Setelah mendapatkan informasinya ia mulai mempersiapkan bajunya untuk keluar. Dia menemukan baju kemeja kotak-kotak biru bergaris putih, kemudian celana jins sebetis, tak lupa ia membawa tas warna pink. Tak lupa ponselnya ia masukkan ke celana untuk menghubungi ayahnya sewaktu-waktu.Sebelum Kayla bergegas untuk keluar kamarnya tiba-tiba dia ditelepon seseorang. Begitu ia melihat layar ponselnya tampak nama tertera di sana. Arief? Kenapa dia menelpon malam-malam begini?Kayla pun mengangkat teleponnya, “Halo?”“Hai, di rumah?” tanya
Keduanya naik ke lantai dua. Di sini barang-barang elektronik gampang ditemui. Kayla mampir dari satu stand ke stand yang lainnya untuk mencari gadget yang dimaksud. Ternyata selain gadgetnya, harganya juga banyak yang bersaing. Kayla tak masalah dengan harga, ia bahkan mampu membeli sepuluh biji gadget hipster itu. Tetapi ia ingin bisa seperti orang-orang lainnya yaitu tawar-menawar. Arief cukup heran dengan kegigihan Kayla dalam menawar barang, dia pergi dari satu toko ke toko yang lain sampai-sampai kakinya capek sendiri. Dari sini saja Arief mulai faham mendampingi cewek belanja itu bukan soal yang mudah. Dia sering membaca gurauan-gurauan meme di internet kalau wanita itu kalau sudah belanja lupa segalanya, seperti sekarang ini. Kayla lupa sama sekali kalau Arief itu bersamanya.Akhirnya sampailah mereka di toko yang memberikan harga bersaing. Lebih murah meskipun hanya terpaut Rp. 2.000,- tapi itu lebih berharga bagi Kayla. Ia memenangkan pertarungan tawar-menawar harga
Arief senyum-senyum sendiri. Entah bodoh atau bagaimana tetapi yang dilakukannya tadi benar-benar konyol sampai ia tak habis pikir bagaimana secara reflek tangannya bergerak seperti itu. Kayla jelas benar-benar berbeda. Sudah pasti seluruh cewek-cewek di sekolahnya ingin sekali dicium olehnya, tetapi Kayla tidak. Dia benar-benar tak suka. Hal itu makin membuat Arief penasaran. Fix, dia suka Kayla. Di atas tempat tidurnya, pikirannya menerawang, seluruh yang ada di benaknya hanyalah Kayla. Bagaimana gadis itu tertawa, bagaimana dia berjalan, bagaimana pula cara Kayla berbicara rasa-rasanya membuat Arief tak bisa tidur malam ini. Bahkan rasa bibirnya saja masih terasa sampai sekarang.Lain halnya dengan Kayla. Dia benar-benar khawatir, tangannya tadi terlihat tembus pandang.Ini tidak baik. Bagaimana bisa Arief menyukainya? Kenapa bisa demikian? Kayla berkali-kali menelpon Andro tapi tak ada jawaban. Kemana orang itu? Kenapa robot yang menyerupai ayahnya pergi? Menggelikan sekal
Keesokan harinya Kayla benar-benar membisu ketika masuk kelas. Dari masuk sampai jam istirahat pandangannya selalu terarah kepada Arief. Dia merutuki dirinya sendiri yang betapa bego dan tololnya. Seharusnya dia bisa lolos, seandainya ia bersikeras menolak tawaran Arief, atau misalnya memanggil satpam penjaga komplek pastinya semuanya akan aman terkendali, tapi sayang itu sudah terlambat dan dia tidak bisa memundurkan waktu. Sekarang persoalannya hanya waktu. Apa dia punya cukup waktu untuk sampai menyerahkan arloji itu kepada Iskha tepat pada waktunya?Neneknya pernah berkata, “Arloji kuno ini diberikan sahabat nenek. Namanya sama dengan namamu. Dia memberikannya saat festival sekolah. Nenek tak akan pernah lupa.”Kayla makin kusut. Beberapa kali ia mengacak-acak sendiri rambutnya. Seandainya neneknya berkata “Diberikan seseorang” tanpa menyebut “sahabat” maka Kayla akan langsung saja pergi ke masa saat festival sekolah itu be
“Kenapa? Apa salahnya? Karena orangtuamu kah? Tak masalah aku akan menemui mereka,” Arief masih bersikeras. Dia memang seorang cowok yang tak pernah kenal menyerah.“Kau gila! Ini gila. Arrgghh!” jerit Kayla.“Dengarlah! Baiklah, aku minta maaf karena telah menciummu kemarin. Itu kecelakaan, tak akan terjadi lagi. Tapi biarlah aku berusaha untuk mendapatkan hatimu. Sebab aku benar-benar menyukaimu, Kay.”Kayla terdiam. Dia menarik napas dalam-dalam. Apa dia harus jujur kepada Arief kalau dia cucunya dari masa depan? Tidak, itu terlalu berisiko. Dia bisa saja mengubah sejarah, bisa saja dia menghilang sekarang. Ini tak boleh terjadi.“Aku akan pergi dari sini,” ucap Kayla.“Hah? Pergi?”“Iya,” ucap Kayla.“Pergi? Itukah alasanmu kau menolakku?”Kayla berbohong. “Iya. Karena itu.”“Kemana kau akan pergi?”&ldq
Jam pelajaran berikutnya Lusi tampak diam saja. Dia tak ceria seperti biasa. Iskha tak menyadarinya ia mengira tak ada yang terjadi. Perasaan Lusi bergejolak seperti kapal yang terombang-ambing ombak di lautan. Haruskah ia menyerah begitu saja sekarang?Waktu pun cepat berlalu hingga tak terasa jam pelajaran sudah berakhir. Kayla sudah ada janji bertemu dengan Faiz. Ia harus memastikan Iskha sudah pulang dan tidak ada satupun orang yang mengetahui kalau akan ada orang menggunakan atap sekolah. Ternyata dugaannya sedikit meleset. Iskha masih di sekolah karena ada ekstrakurikuler musik, serta atap tempat janji bertemunya dia dan Faiz sedang dipakai oleh ekstrakurikuler lain.“Yah, nggak ada tempat yang cocok nih. Trus gimana?” tanya Kayla.“Anjir, aku jadi malu sendiri. Sebenarnya aku nggak begitu tahu tentang persoalan semacam ini. Lagipula mengungkapkan perasaan itu tidak pernah aku lakukan sebelumnya,” jawab Faiz sambil menggaruk-garuk k
Akhirnya keduanya bergegas keluar dari kelas. Mereka berpisah di jalan masing-masing. Kayla cukup gembira dengan latihan tadi. Ia yakin Faiz akan mengungkapkan perasaannya kepada Iskha sehingga sejarah tak akan berubah. Dengan begitu ia bisa memberikan arloji itu kepada Iskha nanti, sedangkan Faiz merasa senang karena ia mendapatkan rasa kepercayaan diri untuk bisa mengungkapkan isi hatinya.Suasana sekolah terasa nyaman dengan hembusan angin sepoi-sepoi. Beberapa murid yang sedang mengadakan ekstrakurikuler tampak terlihat sedang berlatih seperti ekstra baskset, futsal dan dari ekstra beladiri. Latihannya cukup seru sampai suara mereka terdengar hingga seluruh sudut sekolah. Kayla berjalan sendiri hingga sampai di gerbang. Saat itulah dia berpapasan dengan Arief.“Hai, mau pulang bareng?” sapa Arief.“Ogah,” jawab Kayla singkat. Dia langsung merasa sial ketika cowok itu tiba-tiba saja sudah ada di gerbang seolah-olah memang menunggunya.