Share

6. Bapak Tetap Bapak

Penulis: Mustacis
last update Terakhir Diperbarui: 2023-09-11 06:00:00

Aku berpindah ke kamar Bapak. Ruangan itu dua kali lebih sempit dari kamarku dan Eda. Hanya ada kasur yang sudah lembek, lemari plastik kecil, dan meja kecil untuk meletakkan obat-obatan serta barang yang lain. 

 

Bapak tertidur pulas sampai mendengkur. Dadanya bergerak naik turun dengan teratur. Aku tidak tahu apa saja yang dialami Bapak sejak pergi meninggalkan kami. Bapak menghilang sejak umurku 15 tahun dan kami baru bertemu enam bulan yang lalu. 

 

Ah, ternyata selama itu kami tidak pernah bertemu. Dua puluh tahun berpisah dengan Bapak membuatku terkejut hebat ketika kutemukan Bapak yang berbaring lemas di samping truk pembuangan sampah di pinggir jalan. 

 

Bapak punya riwayat sakit jiwa yang menurun dari orang tuanya. Terkadang dia linglung dan seperti orang yang kehilangan ingatan. Sampai akhirnya suatu hari, Bapak tiba-tiba menghilang dan meninggalkan utang yang banyak. 

 

Kata Ibu, uang tabungan Bapak dipinjamkan ke saudara dan keluarganya. Bapak juga meminjamkan namanya sebagai penjamin utang teman-temannya. Utang-utang itu tidak dibayar dan Bapak tidak tega menagihnya terus-terusan. 

 

Bapak merasa malu dan lelah dikejar penagih utang sampai kabur begitu saja. Kabarnya Bapak sudah menikah lagi dan menjauhi seluruh keluarganya. 

 

Suatu hari datang surat cerai ke rumah Ibu yang harus ditandatangani. Aku ingat betul dengan raut wajah Ibu saat menandatangani surat itu. Kaku dan datar. Sorot mata Ibu pasrah saat membubuhkan coretan pada selembar kertas itu. 

 

Rasanya pedih untuk diingat. Sejujurnya Bapak menorehkan banyak luka pada kami bertiga. Namun, Bapak pun tidak sengaja melakukannya. Satu-satunya kesalahan Bapak adalah menanggung penyakitnya sendirian. Penyakit linglung itulah yang dimanfaatkan orang-orang untuk mengeruk seluruh tabungan yang sudah Bapak kumpulkan. 

 

Kami semua sudah melewati hidup yang pahit dan kecut. Aku tak bisa menyalahkan Bapak yang meninggalkan kami karena sakit dan terjerat utang. Tak pula menyalahkan Eda yang terus memintaku menitipkan Bapak di tempat lain. 

 

Mereka adalah kelurgaku yang jauh dari kata sempurna, aku pun tidak sempurna di mata mereka. Belum mampu memberikan yang terbaik. Aku harus berusaha lebih keras lagi agar Eda tidak lagi mengeluh soal Bapak. 

 

Aku berjongkok di samping kasur Bapak. Mengusap keningnya dan memandang lekat wajah yang dipenuhi guratan keriput itu. Bapak pernah menjadi pria terhebat di hidupku. 

 

Kendati banyak kesalahan yang beliau perbuat, Bapak tetaplah Bapak. 

 

Tak ada yang bisa menggantikan sosoknya di mataku. Hidupku pun tak akan lebih baik jika seandainya aku menitipkan Bapak ke orang lain. Allah memberiku kesempatan untuk menemani Bapak di masa-masa tua dan sulitnya. Itu sudah cukup. 

 

“Pak, panjang umur, ya. Doakan Amar bisa menjadi anak yang berbakti.” Aku berbisik di telinga Bapak lalu mengecup keningnya yang beraroma bedak bayi. 

 

Aku berdiri dan memutuskan keluar dari kamar Bapak. Merasa belum mengantuk, aku berpikir sepertinya akan bagus jika aku mendirikan salat dua rakaat dulu. Untuk merayu Allah agar memberiku kemudahan dalam hidup ini. Itu lebih baik ketimbang tinggal merenung sendirian di teras.

 

Aku melakukannya di ruang tengah. Duduk bersila setelah berzikir dan memikirkan apa yang salah selama ini. Kesalahan apa yang kulakukan sampai hidup terasa sangat sulit bagiku. 

 

“Hamba ini sudah sering berprasangka buruk padamu, Ya Malik. Ampuni, rahmati, dan kuatkan pundakku. Tunjukkan pada saya yang lemah ini jalan kemudahan dan ketenangan. Dada saya terasa sesak setiap waktu, tolong ringankanlah, Ya Karim. Sebab Engkau sanggup melakukan segalanya. Engkau bisa membalikkan hidup hamba semudah meniup debu yang paling kecil.”

 

Aku bermunajat. Mata terasa pedih dan sekujur tubuh bergetar. Hanya Allah yang tahu, untuk apa aku diberi kehidupan yang sulit seperti ini. Hanya Allah yang mampu memberikan petunjuk pada jiwa yang rapuh ini. 

 

Aku merendah, menundukkan kepala dan menitikkan air mata. “Jika diriku kurang bersyukur, maka genapkanlah hati ini. Lapangkanlah dada yang terasa berat untuk menerima segala ketentuan-Mu.”

 

Kuusap wajah hingga ke seluruh tubuh sambil mengumandangkan kata Aamiin yang menembus hingga ke hati. Tubuh menjadi ringan dan dada terasa lengang. Kendati semua masalah itu belum selesai, tapi alhamdulillah, Allah memberiku kelegaan hati. 

 

Besok mesti cari rezeki lagi. Besok harus menghadapi masalah lagi. Sajadah kulipat dengan perlahan. “Bismillah, hamba sedang berusaha, Ya Allah. Tolong dibantu.” 

 

Besoknya aku berangkat pagi-pagi sekali. Eda sudah bangun sejak pukul empat pagi, mencuci baju, dan membereskan rumah.

 

“Tumben berangkat pagi banget, Bang.”

 

Aku menunduk di kursi teras untuk memasang sepatu bututku yang sudah mengelupas sana-sini. “Iya, mau cari rezeki lebih pagi, biar berkah.”

 

“Sarapan dulu, Bang.” Eda mengulurkan sepiring nasi dengan lauk dua potong tempe dan mie goreng. 

 

Dengan semangat kuhabiskan sarapan yang sederhana itu. Ada perasaan tidak enak membayangkan Eda, kedua anak kami, serta Bapak harus makan seperti ini juga. Setidaknya aku ingin membelikan ayam atau ikan untuk mereka. 

 

“Daoakan Abang hari ini ya, Da. Semoga dapat rezeki yang banyak.”

 

“Aamiinn … hati-hati, Bang. Jangan ngebut. Eda selalu doain Abang di sini.” Eda memberiku senyum yang tulus dan sebagai gantinya, aku mengusap rambutnya yang kasar dan sedikit berminyak. Ah, sampo sudah habis sejak seminggu yang lalu. 

 

“Baik-baik di rumah ya, Sayang. Baik-baik sama Bapak juga.”

 

Eda langsung cemberut. “Iya iya. Aku ngeluh bukan karena benci sama Bapak, Bang. Aku juga masih punya bapak. Kamu ngerti ‘kan gimana capeknya aku ngurus mereka semua sekaligus ngerjain kerjaan rumah?”

 

“Abang ngerti, Eda. Doain Abang terus supaya bisa bikin kamu berkecukupan.”

 

Eda mengangguk. Pagi ini mata Eda berbinar memandangku. Setelah salat dua rakaat semalam, aku merasa beban di hatiku banyak berkurang. 

 

“Abang berangkat dulu, ya.”

 

Eda mengecup punggung tanganku lalu kubelai wajah Eda yang kasar dipenuhi bruntusan. Semoga suatu saat nanti aku bisa membelikan bedak dan alat perawatan wajah untuk Eda. 

 

“Cia ilah, pagi-pagi udah mesra amat~” Motor Parwo berhenti di jalanan depan rumah. Kupikir akulah yang paling pagi berangkat ngojek, ternyata Parwo juga begitu. 

 

“Buat berkah hari ini, Wo.” Aku mengeluarkan motor dari ruang tengah. “Pagi juga kamu berangkatnya, Wo. Biasanya juga jam delapan baru keluar.”

 

“Aduh, biasa, Mar. Anak-anak ada kebutuhan mendadak lagi. Disuruh beli seragam porseni di sekolah.” Bibir Parwo cemberut sambil menggelengkan kepala. 

 

Parwo punya tiga anak yang semuanya sudah bersekolah. Dua yang duduk di bangku SD, sedangkan yang terakhir masih TK. Dia juga punya tanggungan yang tidak sedikit. Jika orderan sepi, Parwo juga sering berkeliling untuk mencari penumpang. 

 

“Selain ngojek, kamu tau kerjaan lain buat sampingan nggak, Wo?” Suara kubesarkan untuk mengalahkan angin yang menghantam dari depan. Motorku dan motor Parwo bersisian di pinggir jalan,

 

“Buruh harian ada, Mar. Sebenarnya pekerjaan sampingan banyak. Kamu mau buka jasa angkut-angkut barang di pasar bisa, jasa bersih-bersih halaman sama rumah, pokoknya banyak dah. Tapi ya itu, hasilnya recehan.”

 

Semua pekerjaan itu sudah kulakoni saat remaja dulu, untuk menyambung hidup dan membayar utang-utang yang ditinggalkan Bapak. “Yang penting bisa nambah-nambah, Wo. Lumayan kalau digabungin sama hasil narik.”

 

“Ya gitulah, Mar. Kamu mau kerja sampingan apa?”

 

“Kayaknya jasa buruh angkut di pasar lumayan, Wo. Dulu sih pernah kukerjain. Gak papalah duitnya sedikit, yang penting bisa nambahin.”

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Bab terkait

  • Jika Aku Membuang Bapak   7. Gara-Gara Bapak

    “Mau diangkutin barangnya, Bu? Kayaknya banyak banget ini.”Seorang ibu berjilbab cokelat dan kewalahan membawa tiga kardus yang cukup besar menurunkan barang bawaannya. “Capek banget ini, Mas. Tukang angkut, ya?” Ibu dengan tahi lalat besar di hidung itu menunjukku.Aku tersenyum ramah. “Iya, Bu. Sampingan habis ngojek.”Si ibu mengusap peluh di keningnya sambil mengerutkan hidung. “Saya mau diangkutin, Mas. Berapa ongkosnya?”“Kalau segini goceng bisa, Bu.”“Tiga ribu aja, ya? Duit saya di dompet sisa ongkos angkot sama tiga rebu itu.”Aku menghela napas tanpa memudarkan senyum. Itu adalah rezeki pertamaku sebagai buruh angkut. “Boleh, Bu. Sini saya bawain semua.” Total ada t

    Terakhir Diperbarui : 2023-09-12
  • Jika Aku Membuang Bapak   8. Menitipkan Bapak

    Motor yang sudah butut ini mengelilingi jalan poros, masuk ke gang-gang, dan mencari alamat sana-sini. Aku hanya mengandalkan ingatan puluhan tahun yang lalu soal letak rumah kerabat-kerabat Bapak yang dulu sering meminjam uang dan tidak dikembalikan.Sarung yang kuikat di punggung agar Bapak tidak terjatuh kulepas lalu membantunya turun dari motor. Kugendong Bapak di punggung lalu menyusuri lorong perumahan yang bersih. Setiap rumahnya bercat hijau dengan pagar hitam yang cukup tinggi. Sepertinya kerabat Bapak hidup sangat layak setelah memanfaatkan semua tabungan Bapak.Sambil menenteng tas berisi pakaian Bapak, aku mengingat-ingat nomor rumah Bik Ntun, salah satu sepupu jauh Bapak yang dulu meminjam uang cukup banyak. Aku bisa menitipkan Bapak dengan jaminan utang itu. Mudah-mudahan Bik Ntun masih tinggal di sekitar sini.“Permisi, Bu!” Aku melihat gerombolan i

    Terakhir Diperbarui : 2023-09-13
  • Jika Aku Membuang Bapak   9. Penebus Utang

    “Sudah kujamu kau, kusambut dengan baik, tapi ternyata niatmu tidak bagus.” Mata Bik Ntun melotot. Segala keramahan yang tadi diperlihatkannya langsung sirna. “Mak, sudah. Nanti dadanya sakit lagi.” Nunu mengurut dada Bik Ntun sambil menatap kami penuh peringatan.“Tampaknya kau tak ikhlas membantu aku dulu, itu pun kau anggap utang, Kazim.”Aku menghela napas kasar. Bukan tak ikhlas, aku hanya ingin meminta tolong untuk mengurus Bapak selama beberapa hari saja. Bukan maksudku mengungkit, aku berharap Bik Ntun mengingat segala kebaikan Bapak. Jika tak ingin dilunasi, tak apa. Aku perlu menitipkan Bapak saja ke mereka. “Bapak saya sudah seringkali dihutangi, Bik Ntun. Uang dipinjam itu Bapak ambil dari tabungannya. Hampir tidak ada yang membayar sampai Bapak rugi besar. Kami pun anaknya jadi sengsara.” Dada Bik Ntun naik turun dengan cepat.“Bukan maksud saya menagih utang, saya ikhlas. Ambil saja untuk Bik Ntun, tapi tolong Bapak saya juga perlu bantuan. Dibantu sedikit saja.”“Mem

    Terakhir Diperbarui : 2023-09-14
  • Jika Aku Membuang Bapak   10. Hadiah Ulang Tahun untuk Bapak

    Aku tertegun. Itu adalah kalimat terpanjang yang pernah diucapkan Bapak selama ini. Jantungku berdenyut keras, dipenuhi harapan yang sangat besar, bahwa Bapak bisa sembuh. Bapak akan kembali sehat seperti dulu.Langsung kuambil tangan Bapak dan menggenggamnya erat. “Bapak bilang apa tadi?”“Pha pha!” Bapak membuka dan menutup bibirnya dengan keras sampai mengeluarkan bunyi letusan-letusan kecil.Aku semakin antusias meski kali ini Bapak bermain-main. “Pak, ayo kita ke rumah sakit. Kita bilang ke dokter kalau Bapak sudah bisa bicara.”“Jangan lebay kamu, Bang. Bapak itu cuma asal ngeluarin suara. Mau habis-habisin duit beli obat lagi? Bensin kamu kepenuhan?!” Eda berkacak pinggang.Semangatku merosot seketika. “Beli obat untuk Bapak

    Terakhir Diperbarui : 2023-09-15
  • Jika Aku Membuang Bapak   11. Waktu dan Kenangan

    Setelah meninggalkan toko, aku kepikiran ucapan Pak Nurman. Selama ini Bapak tidak pernah meminta sesuatu padaku. Apa pun yang kubawakan untuknya, senyum Bapak selalu lebar layaknya anak kecil yang menerima mainan baru.Dalam perjalanan pulang, aku menoleh ke sana kemari. Apa yang bisa kubawakan untuk Bapak? Ini hari ulang tahunnya. Meski hanya hadiah kecil, aku ingin melihat tawa Bapak yang lebar.Mataku menangkap seorang anak kecil yang berdiri di pinggir jalan, membawa banyak topi dalam gantungan kecil. Beberapa tergantung di leher dan pundaknya.Aku menepikan motor. “Topinya berapa, Dek?”Anak laki-laki kecil berkaos gombrong yang kerahnya sudah robek-robek itu menatapku polos. “Sepuluh ribu, Bang.” Suaranya cempreng. Kutaksir usianya sepantaran Radit.Apa dia tidak bersekolah?&l

    Terakhir Diperbarui : 2023-09-16
  • Jika Aku Membuang Bapak   12. Pilih Istri atau Bapak

    Hari ini aku keluar subuh-subuh ke pasar, mendatangi beberapa pedagang yang sedang mengangkat barang mereka untuk dijual hari ini. Aku menawarkan diri untuk membantu.“Ini, Mas. Nggak banyak. Sebenarnya kita ada pegawai, kok.” Pemilik toko retail di tengah pasar itu memberiku uang 30 ribu. Aku tahu dia hanya kasihan saat menerima tawaranku karena memang anak buahnya banyak.“Ah, iya. Makasih ya, Pak.”“Iya sama-sama, Mas.”Pundakku ditepuk sekali. Aku menatap dua lembar uang itu dengan penuh rasa syukur. Tak membuang waktu, aku kembali berlari dan membantu pedagang sayuran yang sedang mengangkat beberapa keranjang besar sendirian.“Saya bantu ya, Pak!”“Oh iya, Mas. Kebetulan saya se

    Terakhir Diperbarui : 2023-09-17
  • Jika Aku Membuang Bapak   13. Panti Jompo

    Pagi-pagi sekali aku membawa Bapak keluar rumah. Mengaitkan kain agar Bapak tidak terjatuh dari motor. Semilir angin pagi yang dingin membuatku khawatir Bapak akan masuk angin. Tapi apa mau dikata? Ini adalah satu-satunya jalan yang mampu kupikirkan. Aku akan rutin menengok Bapak dan menyisihkan uang. Dengan begitu, Bapak tidak akan mendengar omelan Eda dan melihat ekspresi tertekanku setiap hari. Ya, aku melakukannya demi Bapak. Atau … untuk diriku sendiri. Bangunan kecil di depan sana membuatku berkali-kali mengembuskan napas berat, seolah yang kuembuskan bukanlah udara, melainkan batu. Bapak aku gendong memasuki panti jompo dengan palang nama bertuliskan ‘Panti Tua’. Namanya menggambarkan bentuk bangunan yang sudah tua dengan cat mengelupas dan para penghuni yang ada di dalamnya. Lobi terasa kosong dan temaram. “Assalamu’alaikum, Mbak.” Petugas berhijab putih yang ada di balik meja tua menjawab salam dan menanyakan apa yang bisa dia lakukan untukku. “Saya ingin Bapak saya

    Terakhir Diperbarui : 2023-09-20
  • Jika Aku Membuang Bapak   14. Unur

    Unur membawa dua tas yang cukup besar. Katanya ia akan tinggal selama satu bulan. Ada banyak hal yang harus dia urus sebelum kembali ke Jerman. Aku menenteng satu tas yang lebih besar sambil memasuki rumah.Bibir Unur tersenyum senang ketika melantunkan salam dengan suara yang cukup keras. Ia sudah melangkah masuk sambil melompat riang ketika tiba-tiba Bapak merangkak dari dalam dan menggapai-gapai udara sambil tertawa-tawa. Seperti biasa saat dia menyambutku sehabis kerja.Unur terpaku cukup lama. Tas yang dia tenteng terjatuh lima detik kemudian. Aku hanya melihat punggungnya yang menegang.Bapak masih melompat-lompat sambil tertawa ke arahku. Dengan cepat aku menghampirinya, berjongkok di samping Bapak dan membersihkan kotoran di lututnya.“Jangan merangkak begitu, Pak. Lututnya bisa berdarah lagi.&r

    Terakhir Diperbarui : 2023-09-21

Bab terbaru

  • Jika Aku Membuang Bapak   Penutup

    Bagi anak laki-laki, Bapak adalah pahlawan. Ia mengagumi dan mengandalkan Bapak. Bermimpi saat besar nanti akan seberani dan sekuat Bapak. Akan berdiri gagah melindungi keluarga seperti Bapak. Sedang bagi anak perempuan, Bapak adalah cinta pertama. Berharap suatu hari nanti ia akan menemukan laki-laki yang menjaga dan mencintai dirinya seperti Bapak. Ada berapa banyak pahlawan dan cinta pertama yang meninggalkan kita? Seperti aku dan Unur. Tapi … di saat-saat terakhir, kendati hanya sebentar, kami membuang ego dan menemukan kembali pahlawan dan cinta pertama kami. Menariknya kembali ke sisi kami. Sebab aku sangat tahu, betapa sulitnya hidup tanpa kehadiran Bapak. Fisik dan mental kami dipaksakan kuat oleh keadaan, bukan karena motivasi untuk menjadi kuat seperti Bapak lagi. Jika dia masih hidup, di mana pun dia berada, suatu hari nanti … raihlah Bapak yang telah pergi. Genggam kembali pahlawanmu yang sempat hilang dan cinta pertama yang sempat kandas itu jadikanlah sebagai

  • Jika Aku Membuang Bapak   27. Diary Bapak (End)

    5 Juni 20XXSaya menikahi seorang perempuan hebat yang senyumnya sangat manis. Jannah namanya. Saya bahagia sekali.4 April 20XXAnak pertama kami lahir. Amar Kazim namanya. Mau kuberi nama Omar, tapi kata Jannah, kami bukan orang Arab. Takut diketawai orang. Jadi kuubah jadi Amar.10 Agustus 20XXAmar sudah besar. Saya harap dia tidak menjadi seperti saya. Semoga penyakit ini tidak menurun padanya. Aku mengernyit. Tangan sudah bergetar memegang buku cokelat kusam yang kertas-kertasnya sudah menguning itu. 25 September 20XXAnak perempuan lahir. Cantik sekali. Kuberi nama Nur Ainun. Suatu hari nanti dia akan menjadi gadis yang paling bercahaya. Masa depannya akan cerah. Unur terisak pelan di sampingku.30 Desember 20XXNur dan Amar tidak boleh tahu penyakitku. Mereka bisa malu jika tahu bapaknya gila. 12 Januari 20XXSebelum mereka tahu, saya harus pergi. Mereka tidak punya masa depan di tangan seorang Bapak yang sinting. Unur menggeleng keras. Air matanya tak berhenti menderas.

  • Jika Aku Membuang Bapak   26. Amanat Terakhir Bapak

    Aku dan Unur memutuskan untuk melaksakan amanat terakhir Bapak. Pergi ke Jalan Daun Mawar dan menemukan nomor rumah yang Bapak sebutkan. Saat aku mengetuk pintu, seorang wanita yang kira-kira seusia Eda membukakan pintu.“Iya, cari siapa?”“Mbak kenal Pak Kazim?” Wanita berkuncir dan berpipi tirus itu menghela napas. Pintu yang semula hanya dibuka sedikit sekarang ia buka semakin lebar. “Silakan masuk dulu.”Rumah itu cukup kecil. Ruang tamunya menyatu dengan ruang tengah dengan televisi kecil dan karpet tipis yang kumal, serta kursi kayu yang berbunyi ketika kami mendudukinya. “Anak-anaknya, ya?” Raut wajah perempuan itu terlihat yakin. “Iya, kami disuruh ke sini,” jawabku. “Saya buatin teh dulu, ya.” Perempuan yang belum kami tahu namanya itu meninggalkan ruang tengah dan masuk melewati tirai. Sepertinya itu adalah dapur. Mataku mengedar ke seluruh ruangan. Tak ada satu pun bingkai foto yang terpasang. Suasana rumah ini terasa suram dan pengap. Tirai dan jendela tidak dibuka.

  • Jika Aku Membuang Bapak   25. Pergi Jalan Senja

    Radio masjid mulai terdengar samar di telinga. Cahaya kekuningan dari langit petang hampir sepenuhnya menjadi merah. Sunyi menelan semua suara di antara kami. Kelopak mata Bapak terpejam kaku. Sehelai pun bulu matanya tak bergerak walaupun aku menepuk-neluk wajah dan tangannya hingga mengguncang tubuh pria itu dengan panik. “Bangun, Pak!” Bapak bergeming. Seolah sedang bermimpi indah dan tak ingin diganggu. Eda menepuk punggungku dari luar mobil. “Bang, sudah. Kita bawa Bapak masuk.” Detik ini aku menyadari tangan Bapak yang perlahan kaku menandakan pria itu telah pergi. Bapak meninggalkan kami. Bahuku meluruh pedih. Harapan yang sejak tadi melambung naik hancur dalam sekejap. Bapak sembuh bukan untuk tinggal lebih lama. Bapak ingin pulang bukan karena merasa sehat, tapi karena ia tahu ia benar-benar akan pulang pada Tuhan. Sesaat kemudian, Unur menangis hebat. Supir taksi masih duduk di belakang kemudi. Mematikan argo dan membiarkan kami tetap berada di dalam mobil. Unur merau

  • Jika Aku Membuang Bapak   24. Bapak Sudah Sembuh

    Pukul empat pagi. Bapak mengerang kesakitan. Kami memutuskan bermalam karena Bapak tak mau pulang ke kosan. Unur pun ikut bermalam. Aku yang tidur bersama Bapak langsung terbangun. Bapak muntah hebat. Membasahi kasur tipis lusuh yang seprainya sudah menguning. Kugendong Bapak dengan panik sambil berteriak memanggil Eda dan Unur. Tak lama kemudian, Eda dan Unur berlarian dari kamar.Eda menggendong Faiz yang menangis keras, sementara Unur ikut panik. Ada ketakutan yang sangat dari bias matanya. “Bawa ke rumah sakit, Bang! Aku pesankan taksi.” Unur-lah yang mempersiapkan segala keperluan Bapak karena Eda kewalahan menenangkan anak bungsu kami. Subuh yang dipenuhi tangisan dan erangan itu terasa sangat ramai sampai sebuah taksi datang. Aku dan Unur masuk sementara Eda tetap tinggal untuk menjaga anak-anak. Setelah ditangani di rumah sakit, Bapak dipindahkan ke ruang ICU. Selang infus dan selang lainnya terpasang di tubuhnya yang kian ringkih. Bapak bahkan tak punya tenaga lagi untuk

  • Jika Aku Membuang Bapak   23. Anak Gadis yang Menemukan Kembali Pahlawannya

    ‘Unur, Abang diundang ke televisi sama Bapak. Tolong ditonton, ya.’Pesan itu kukirimkan untuk Unur yang sudah kembali ke Jerman selepas kedatangannya malam itu. Aku berharap ia berusaha menontonnya. Aku dengar semua acara TV bisa ditonton di Metube. Berbeda denganku yang merasa tegang, Bapak tampak senang dalam balutan baju batik yang rapi. Matanya berbinar-binar melihat beberapa kamera yang sudah bersiap merekam kami. Di sampingku ada Eda dan anak-anak serta Aziz dan Parwo yang sejak tadi mendampingi kami.“Jangan gugup, Mar. Nanti kau kelihatan kayak orang sawan. Santai,” ucap Parwo yang malah memakai setelan jas lengkap dengan dasi yang super rapi. “Lu mau tampil juga, Wo?” tanya Aziz yang memakai jaket ojeknya seperti biasanya. Dia lebih santai daripada kami semua. “Yang diundang ‘kan si Amar, Ziz, tapi mana tahu aku disorot juga.” Parwo memamerkan senyum penuh harapannya. “Yok siap-siap! Satu menit lagi mulai!” Suara teriakan salah satu kru membuat kami semua terlonjak. A

  • Jika Aku Membuang Bapak   22. Tampil di Televisi

    Hadiah kerapkali berdatangan ke kamar kos sempit yang bahkan hanya cukup untuk tikar dan lemari itu. Beberapa kardus makanan dan pakaian memenuhi kamar sampai aku mesti membagikannya ke tetangga, ibu kos, mengirimkannya ke Eda dan Unur serta ke Aziz dan Parwo. Dompetku tak pernah kosong lagi. Selalu ada orang yang menyelipkan uang saat aku keluar rumah, sebab kini aku dikenali. Terlebih jika aku membawa Bapak jalan-jalan. Mereka sering mengulurkan uang.Bapak sangat senang bertemu orang-orang. Senyumnya selalu lebar dan kini badannya tak lagi hanya tinggal tulang dan kulit. Ada sedikit perbedaan sejak kami pindah kos. “Nah, caranya gini, Mar. Aku udah belajar di Metube. Tinggal bikin channel-nya.”Saat ini aku, Aziz, dan Parwo berkumpul di kamarku. Banyak camilan yang bisa mereka makan selama beristirahat. Aziz sedang mengutak-utak ponselku membuatkan akun Outstagram sambil sesekali diganggu oleh Bapak, sedangkan Parwo mengajariku membuat channel Metube dari laptop yang kupinjam dar

  • Jika Aku Membuang Bapak   21. Rezeki untuk Bapak

    Aku menerima amplop putih yang cukup tebal itu, juga membiarkan mereka merekam ekspresiku yang tengah kaget bercampur bingung. “Kalau ini dikirimkan oleh teman-teman metuber dan influencer kami, Pak. Tolong diterima, ya.” Salah satu dari mereka mengangkat kardus-kardus itu ke teras sementara aku kelimpungan antara mau membantu atau tetap diam di depan kamera.“Anu ….” Aku mengusap tengkuk, mengira ini adalah mimpi. “Ini serius, Mas–”“Saya Juanda, ini teman saya Eric dan kami sangat serius, Pak. Kami sangat tergerak dengan pengabdian Bapak dan berharap orang-orang juga bisa terinspirasi. Kita bisa mengobrol setelah ini, ‘kan?”“Bi-sa, Mas.”Mereka menanyakan keberadaan Bapak dan aku menunjuk ke dalam kamar. Mereka meminta izin masuk untuk melihat dan aku mempersilakannya. Mereka masuk, memfokuskan pandangan pada Bapak yang selalu terlihat menyedihkan bagi orang lain, ditambah dengan kamar kos kami yang tidak punya barang selain tikar dan tas kumal. Tatapan Mas Juanda dan temannya se

  • Jika Aku Membuang Bapak   20. Kesulitan Merawat Bapak

    “Eh, Mar! Sini-sini!” Dari kejauhan, Parwo sudah melambaikan tangan memberikan tanda agar aku mendekat. Aziz juga ada di sampingnya, merokok seperti biasanya. Raut wajahnya serius alih-alih cuek. “Ke mana aja kau kemarin? Ndak narik-narik.”“Assalamu’alaikum.” Parwo dan Aziz menjawab bersamaan. Aziz malah menatapku lama sementara Parwo tampak tidak sabar ingin mengatakan sesuatu. “Lu udah liat Metube atau Facenew kagak?” tanya Aziz.“Nggak. Aku nggak ada waktu buat nonton. Aku pergi dari kontrakan sama Bapak.”“Hah? Kok bisa, Mar?” Parwo memajukan kepalanya, tampak sangat penasaran.“Yah … biasalah, soal Bapak. Kalian pasti paham perangai Eda gimana.”“Lu diusir sama bini lu?”“Bukan, aku yang pergi sendiri karena Eda sudah mau pulang ke rumah orang tuanya. Si bungsu masih kecil banget, si Radit masih sekolah di sini. Repot kalau pulang kampung, jadi mending aku aja yang pergi.”“Terus kau tinggal di mana sekarang, Mar?” tanya Parwo.“Di kosan. Aku udah dapat kosan tadi pagi.” “Wa

DMCA.com Protection Status