Share

9. Penebus Utang

Penulis: Mustacis
last update Terakhir Diperbarui: 2023-09-14 05:42:59

“Sudah kujamu kau, kusambut dengan baik, tapi ternyata niatmu tidak bagus.” Mata Bik Ntun melotot. Segala keramahan yang tadi diperlihatkannya langsung sirna.

“Mak, sudah. Nanti dadanya sakit lagi.” Nunu mengurut dada Bik Ntun sambil menatap kami penuh peringatan.

“Tampaknya kau tak ikhlas membantu aku dulu, itu pun kau anggap utang, Kazim.”

Aku menghela napas kasar. Bukan tak ikhlas, aku hanya ingin meminta tolong untuk mengurus Bapak selama beberapa hari saja. Bukan maksudku mengungkit, aku berharap Bik Ntun mengingat segala kebaikan Bapak. Jika tak ingin dilunasi, tak apa. Aku perlu menitipkan Bapak saja ke mereka.

“Bapak saya sudah seringkali dihutangi, Bik Ntun. Uang dipinjam itu Bapak ambil dari tabungannya. Hampir tidak ada yang membayar sampai Bapak rugi besar. Kami pun anaknya jadi sengsara.”

Dada Bik Ntun naik turun dengan cepat.

“Bukan maksud saya menagih utang, saya ikhlas. Ambil saja untuk Bik Ntun, tapi tolong Bapak saya juga perlu bantuan. Dibantu sedikit saja.”

“Mem
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Jika Aku Membuang Bapak   10. Hadiah Ulang Tahun untuk Bapak

    Aku tertegun. Itu adalah kalimat terpanjang yang pernah diucapkan Bapak selama ini. Jantungku berdenyut keras, dipenuhi harapan yang sangat besar, bahwa Bapak bisa sembuh. Bapak akan kembali sehat seperti dulu.Langsung kuambil tangan Bapak dan menggenggamnya erat. “Bapak bilang apa tadi?”“Pha pha!” Bapak membuka dan menutup bibirnya dengan keras sampai mengeluarkan bunyi letusan-letusan kecil.Aku semakin antusias meski kali ini Bapak bermain-main. “Pak, ayo kita ke rumah sakit. Kita bilang ke dokter kalau Bapak sudah bisa bicara.”“Jangan lebay kamu, Bang. Bapak itu cuma asal ngeluarin suara. Mau habis-habisin duit beli obat lagi? Bensin kamu kepenuhan?!” Eda berkacak pinggang.Semangatku merosot seketika. “Beli obat untuk Bapak

    Terakhir Diperbarui : 2023-09-15
  • Jika Aku Membuang Bapak   11. Waktu dan Kenangan

    Setelah meninggalkan toko, aku kepikiran ucapan Pak Nurman. Selama ini Bapak tidak pernah meminta sesuatu padaku. Apa pun yang kubawakan untuknya, senyum Bapak selalu lebar layaknya anak kecil yang menerima mainan baru.Dalam perjalanan pulang, aku menoleh ke sana kemari. Apa yang bisa kubawakan untuk Bapak? Ini hari ulang tahunnya. Meski hanya hadiah kecil, aku ingin melihat tawa Bapak yang lebar.Mataku menangkap seorang anak kecil yang berdiri di pinggir jalan, membawa banyak topi dalam gantungan kecil. Beberapa tergantung di leher dan pundaknya.Aku menepikan motor. “Topinya berapa, Dek?”Anak laki-laki kecil berkaos gombrong yang kerahnya sudah robek-robek itu menatapku polos. “Sepuluh ribu, Bang.” Suaranya cempreng. Kutaksir usianya sepantaran Radit.Apa dia tidak bersekolah?&l

    Terakhir Diperbarui : 2023-09-16
  • Jika Aku Membuang Bapak   12. Pilih Istri atau Bapak

    Hari ini aku keluar subuh-subuh ke pasar, mendatangi beberapa pedagang yang sedang mengangkat barang mereka untuk dijual hari ini. Aku menawarkan diri untuk membantu.“Ini, Mas. Nggak banyak. Sebenarnya kita ada pegawai, kok.” Pemilik toko retail di tengah pasar itu memberiku uang 30 ribu. Aku tahu dia hanya kasihan saat menerima tawaranku karena memang anak buahnya banyak.“Ah, iya. Makasih ya, Pak.”“Iya sama-sama, Mas.”Pundakku ditepuk sekali. Aku menatap dua lembar uang itu dengan penuh rasa syukur. Tak membuang waktu, aku kembali berlari dan membantu pedagang sayuran yang sedang mengangkat beberapa keranjang besar sendirian.“Saya bantu ya, Pak!”“Oh iya, Mas. Kebetulan saya se

    Terakhir Diperbarui : 2023-09-17
  • Jika Aku Membuang Bapak   13. Panti Jompo

    Pagi-pagi sekali aku membawa Bapak keluar rumah. Mengaitkan kain agar Bapak tidak terjatuh dari motor. Semilir angin pagi yang dingin membuatku khawatir Bapak akan masuk angin. Tapi apa mau dikata? Ini adalah satu-satunya jalan yang mampu kupikirkan. Aku akan rutin menengok Bapak dan menyisihkan uang. Dengan begitu, Bapak tidak akan mendengar omelan Eda dan melihat ekspresi tertekanku setiap hari. Ya, aku melakukannya demi Bapak. Atau … untuk diriku sendiri. Bangunan kecil di depan sana membuatku berkali-kali mengembuskan napas berat, seolah yang kuembuskan bukanlah udara, melainkan batu. Bapak aku gendong memasuki panti jompo dengan palang nama bertuliskan ‘Panti Tua’. Namanya menggambarkan bentuk bangunan yang sudah tua dengan cat mengelupas dan para penghuni yang ada di dalamnya. Lobi terasa kosong dan temaram. “Assalamu’alaikum, Mbak.” Petugas berhijab putih yang ada di balik meja tua menjawab salam dan menanyakan apa yang bisa dia lakukan untukku. “Saya ingin Bapak saya

    Terakhir Diperbarui : 2023-09-20
  • Jika Aku Membuang Bapak   14. Unur

    Unur membawa dua tas yang cukup besar. Katanya ia akan tinggal selama satu bulan. Ada banyak hal yang harus dia urus sebelum kembali ke Jerman. Aku menenteng satu tas yang lebih besar sambil memasuki rumah.Bibir Unur tersenyum senang ketika melantunkan salam dengan suara yang cukup keras. Ia sudah melangkah masuk sambil melompat riang ketika tiba-tiba Bapak merangkak dari dalam dan menggapai-gapai udara sambil tertawa-tawa. Seperti biasa saat dia menyambutku sehabis kerja.Unur terpaku cukup lama. Tas yang dia tenteng terjatuh lima detik kemudian. Aku hanya melihat punggungnya yang menegang.Bapak masih melompat-lompat sambil tertawa ke arahku. Dengan cepat aku menghampirinya, berjongkok di samping Bapak dan membersihkan kotoran di lututnya.“Jangan merangkak begitu, Pak. Lututnya bisa berdarah lagi.&r

    Terakhir Diperbarui : 2023-09-21
  • Jika Aku Membuang Bapak   15. Melepaskan Tanggung Jawab

    “Kasih Abang kesempatan untuk menjelaskan soal Bapak, Nur. Di mana kamu sekarang? Sudah dapat kos belum?” Unur akhirnya mengangkat teleponku keesokan harinya. Aku berharap amarahnya bisa perlahan reda sebelum dia kembali ke Jerman. “Sudah, Abang nggak usah ke sini kalau cuma mau ngomongin orang itu.”“Unur, Abang mohon. Kita masih punya orang tua. Biarkan Abang jelaskan tentang Bapak.”“Aku nggak mau dengar! Sejak dia meninggalkan kita, kita nggak punya bapak lagi, Bang.”Napas ini kuhela dengan berat. Tidak mudah untuk membujuk Unur. Dia sangat memegang teguh pendiriannya. “Kalau begitu Abang nggak akan membahas soal Bapak. Abang cuma khawatir. Di mana kosmu, Dek?”“Abang nggak bakal bawa dia, ‘kan?”“Bapak nggak bisa jalan, Nur. Abang nggak bisa bawa Bapak seenaknya.”Ada jeda yang cukup panjang di seberang sana. Unur terdiam cukup lama sampai aku kembali memanggilnya. “Kosku di jalan Mangga Durian, nomor 78,” jawabnya. Entah kenapa suara Unur terdengar lirih. “Abang ke sana, ya

    Terakhir Diperbarui : 2023-09-22
  • Jika Aku Membuang Bapak   16. Makanan Basi untuk Bapak

    Siang ini lebih terik dari biasanya. Aku beristirahat di pos-pos kecil yang biasanya aku, Parwo, dan Aziz pakai. Di sampingnya ada tiang listrik dan gunungan sampah. Meski baunya menusuk hidung, tapi ini satu-satunya tempat yang bisa kita gunakan untuk rehat dengan bebas. “Hasil nguli di pasar biasanya berapa, Mar?” Aziz mengembuskan asap rokoknya sambil menengadah. Bulir keringat menetes di lehernya. “Nggak nentu, Ziz. Mesti pontang-panting nyari pelanggan. Kalau ada 10 pelanggan ya bisa dapet 20 atau 30 ribu. Kalau datang pagi banget bisa nawarin ke pedagang, lumayanlah bisa dapat 50 ribu kalau ada tiga penjual mau diangkutin barangnya.”“Berat juga, ya.”“Mau apa kau tanya-tanya, Ziz? Mau nguli juga?” tanya Parwo lalu menyeruput kopi. Dia tidak merokok dan agak sensitif dengan asap rokok, tapi anehnya dia suka bergaul denganku dan Aziz yang seorang perokok, apalagi Aziz termasuk perokok berat. “Bapak lagi sakit di kampung, minta dikirimin duit. Mau cari tambahan,” terang Aziz.

    Terakhir Diperbarui : 2023-09-23
  • Jika Aku Membuang Bapak   17. Memilih Bapak

    Rumah bukan lagi tempat yang menyenangkan untuk kudatangi. Eda sudah mengkhianati kepercayaanku. Aku selalu memaklumi semua keluhannya karena aku mengerti seberapa repot dia mengurus anak-anak kami dan juga Bapak. Namun, memberi Bapak makanan basi dan mentah bukanlah hal yang bisa kumaklumi lagi. Aku tak berteriak memanggil Eda seperti sebelumnya karena ada Bapak dalam gendonganku. Bapak bisa kaget nanti. Alhasil aku membaringkan Bapak di kamarnya lebih dulu, memastikannya tertidur dengan pulas. Kemudian aku mencari Eda dan menemukannya di dalam kamar kami yang sangat berantakan. Semua baju di dalam lemari kocar-kacir dan beberapa tas besar sudah tersedia. Bahkan ada tas Radit dan juga barang-barang Fauzi seolah Eda sudah siap untuk meninggalkan rumah ini. “Ngapain kamu, Eda?” Eda yang sedang tertidur di samping Fauzi membuka mata, menatapku sejenak lalu bangun dengan kerjapan mata mengantuk. “Baru pulang? Nggak usah pulang aja sekalian.” “Makanan apa yang kamu kasih ke Bapak?”E

    Terakhir Diperbarui : 2023-09-24

Bab terbaru

  • Jika Aku Membuang Bapak   Penutup

    Bagi anak laki-laki, Bapak adalah pahlawan. Ia mengagumi dan mengandalkan Bapak. Bermimpi saat besar nanti akan seberani dan sekuat Bapak. Akan berdiri gagah melindungi keluarga seperti Bapak. Sedang bagi anak perempuan, Bapak adalah cinta pertama. Berharap suatu hari nanti ia akan menemukan laki-laki yang menjaga dan mencintai dirinya seperti Bapak. Ada berapa banyak pahlawan dan cinta pertama yang meninggalkan kita? Seperti aku dan Unur. Tapi … di saat-saat terakhir, kendati hanya sebentar, kami membuang ego dan menemukan kembali pahlawan dan cinta pertama kami. Menariknya kembali ke sisi kami. Sebab aku sangat tahu, betapa sulitnya hidup tanpa kehadiran Bapak. Fisik dan mental kami dipaksakan kuat oleh keadaan, bukan karena motivasi untuk menjadi kuat seperti Bapak lagi. Jika dia masih hidup, di mana pun dia berada, suatu hari nanti … raihlah Bapak yang telah pergi. Genggam kembali pahlawanmu yang sempat hilang dan cinta pertama yang sempat kandas itu jadikanlah sebagai

  • Jika Aku Membuang Bapak   27. Diary Bapak (End)

    5 Juni 20XXSaya menikahi seorang perempuan hebat yang senyumnya sangat manis. Jannah namanya. Saya bahagia sekali.4 April 20XXAnak pertama kami lahir. Amar Kazim namanya. Mau kuberi nama Omar, tapi kata Jannah, kami bukan orang Arab. Takut diketawai orang. Jadi kuubah jadi Amar.10 Agustus 20XXAmar sudah besar. Saya harap dia tidak menjadi seperti saya. Semoga penyakit ini tidak menurun padanya. Aku mengernyit. Tangan sudah bergetar memegang buku cokelat kusam yang kertas-kertasnya sudah menguning itu. 25 September 20XXAnak perempuan lahir. Cantik sekali. Kuberi nama Nur Ainun. Suatu hari nanti dia akan menjadi gadis yang paling bercahaya. Masa depannya akan cerah. Unur terisak pelan di sampingku.30 Desember 20XXNur dan Amar tidak boleh tahu penyakitku. Mereka bisa malu jika tahu bapaknya gila. 12 Januari 20XXSebelum mereka tahu, saya harus pergi. Mereka tidak punya masa depan di tangan seorang Bapak yang sinting. Unur menggeleng keras. Air matanya tak berhenti menderas.

  • Jika Aku Membuang Bapak   26. Amanat Terakhir Bapak

    Aku dan Unur memutuskan untuk melaksakan amanat terakhir Bapak. Pergi ke Jalan Daun Mawar dan menemukan nomor rumah yang Bapak sebutkan. Saat aku mengetuk pintu, seorang wanita yang kira-kira seusia Eda membukakan pintu.“Iya, cari siapa?”“Mbak kenal Pak Kazim?” Wanita berkuncir dan berpipi tirus itu menghela napas. Pintu yang semula hanya dibuka sedikit sekarang ia buka semakin lebar. “Silakan masuk dulu.”Rumah itu cukup kecil. Ruang tamunya menyatu dengan ruang tengah dengan televisi kecil dan karpet tipis yang kumal, serta kursi kayu yang berbunyi ketika kami mendudukinya. “Anak-anaknya, ya?” Raut wajah perempuan itu terlihat yakin. “Iya, kami disuruh ke sini,” jawabku. “Saya buatin teh dulu, ya.” Perempuan yang belum kami tahu namanya itu meninggalkan ruang tengah dan masuk melewati tirai. Sepertinya itu adalah dapur. Mataku mengedar ke seluruh ruangan. Tak ada satu pun bingkai foto yang terpasang. Suasana rumah ini terasa suram dan pengap. Tirai dan jendela tidak dibuka.

  • Jika Aku Membuang Bapak   25. Pergi Jalan Senja

    Radio masjid mulai terdengar samar di telinga. Cahaya kekuningan dari langit petang hampir sepenuhnya menjadi merah. Sunyi menelan semua suara di antara kami. Kelopak mata Bapak terpejam kaku. Sehelai pun bulu matanya tak bergerak walaupun aku menepuk-neluk wajah dan tangannya hingga mengguncang tubuh pria itu dengan panik. “Bangun, Pak!” Bapak bergeming. Seolah sedang bermimpi indah dan tak ingin diganggu. Eda menepuk punggungku dari luar mobil. “Bang, sudah. Kita bawa Bapak masuk.” Detik ini aku menyadari tangan Bapak yang perlahan kaku menandakan pria itu telah pergi. Bapak meninggalkan kami. Bahuku meluruh pedih. Harapan yang sejak tadi melambung naik hancur dalam sekejap. Bapak sembuh bukan untuk tinggal lebih lama. Bapak ingin pulang bukan karena merasa sehat, tapi karena ia tahu ia benar-benar akan pulang pada Tuhan. Sesaat kemudian, Unur menangis hebat. Supir taksi masih duduk di belakang kemudi. Mematikan argo dan membiarkan kami tetap berada di dalam mobil. Unur merau

  • Jika Aku Membuang Bapak   24. Bapak Sudah Sembuh

    Pukul empat pagi. Bapak mengerang kesakitan. Kami memutuskan bermalam karena Bapak tak mau pulang ke kosan. Unur pun ikut bermalam. Aku yang tidur bersama Bapak langsung terbangun. Bapak muntah hebat. Membasahi kasur tipis lusuh yang seprainya sudah menguning. Kugendong Bapak dengan panik sambil berteriak memanggil Eda dan Unur. Tak lama kemudian, Eda dan Unur berlarian dari kamar.Eda menggendong Faiz yang menangis keras, sementara Unur ikut panik. Ada ketakutan yang sangat dari bias matanya. “Bawa ke rumah sakit, Bang! Aku pesankan taksi.” Unur-lah yang mempersiapkan segala keperluan Bapak karena Eda kewalahan menenangkan anak bungsu kami. Subuh yang dipenuhi tangisan dan erangan itu terasa sangat ramai sampai sebuah taksi datang. Aku dan Unur masuk sementara Eda tetap tinggal untuk menjaga anak-anak. Setelah ditangani di rumah sakit, Bapak dipindahkan ke ruang ICU. Selang infus dan selang lainnya terpasang di tubuhnya yang kian ringkih. Bapak bahkan tak punya tenaga lagi untuk

  • Jika Aku Membuang Bapak   23. Anak Gadis yang Menemukan Kembali Pahlawannya

    ‘Unur, Abang diundang ke televisi sama Bapak. Tolong ditonton, ya.’Pesan itu kukirimkan untuk Unur yang sudah kembali ke Jerman selepas kedatangannya malam itu. Aku berharap ia berusaha menontonnya. Aku dengar semua acara TV bisa ditonton di Metube. Berbeda denganku yang merasa tegang, Bapak tampak senang dalam balutan baju batik yang rapi. Matanya berbinar-binar melihat beberapa kamera yang sudah bersiap merekam kami. Di sampingku ada Eda dan anak-anak serta Aziz dan Parwo yang sejak tadi mendampingi kami.“Jangan gugup, Mar. Nanti kau kelihatan kayak orang sawan. Santai,” ucap Parwo yang malah memakai setelan jas lengkap dengan dasi yang super rapi. “Lu mau tampil juga, Wo?” tanya Aziz yang memakai jaket ojeknya seperti biasanya. Dia lebih santai daripada kami semua. “Yang diundang ‘kan si Amar, Ziz, tapi mana tahu aku disorot juga.” Parwo memamerkan senyum penuh harapannya. “Yok siap-siap! Satu menit lagi mulai!” Suara teriakan salah satu kru membuat kami semua terlonjak. A

  • Jika Aku Membuang Bapak   22. Tampil di Televisi

    Hadiah kerapkali berdatangan ke kamar kos sempit yang bahkan hanya cukup untuk tikar dan lemari itu. Beberapa kardus makanan dan pakaian memenuhi kamar sampai aku mesti membagikannya ke tetangga, ibu kos, mengirimkannya ke Eda dan Unur serta ke Aziz dan Parwo. Dompetku tak pernah kosong lagi. Selalu ada orang yang menyelipkan uang saat aku keluar rumah, sebab kini aku dikenali. Terlebih jika aku membawa Bapak jalan-jalan. Mereka sering mengulurkan uang.Bapak sangat senang bertemu orang-orang. Senyumnya selalu lebar dan kini badannya tak lagi hanya tinggal tulang dan kulit. Ada sedikit perbedaan sejak kami pindah kos. “Nah, caranya gini, Mar. Aku udah belajar di Metube. Tinggal bikin channel-nya.”Saat ini aku, Aziz, dan Parwo berkumpul di kamarku. Banyak camilan yang bisa mereka makan selama beristirahat. Aziz sedang mengutak-utak ponselku membuatkan akun Outstagram sambil sesekali diganggu oleh Bapak, sedangkan Parwo mengajariku membuat channel Metube dari laptop yang kupinjam dar

  • Jika Aku Membuang Bapak   21. Rezeki untuk Bapak

    Aku menerima amplop putih yang cukup tebal itu, juga membiarkan mereka merekam ekspresiku yang tengah kaget bercampur bingung. “Kalau ini dikirimkan oleh teman-teman metuber dan influencer kami, Pak. Tolong diterima, ya.” Salah satu dari mereka mengangkat kardus-kardus itu ke teras sementara aku kelimpungan antara mau membantu atau tetap diam di depan kamera.“Anu ….” Aku mengusap tengkuk, mengira ini adalah mimpi. “Ini serius, Mas–”“Saya Juanda, ini teman saya Eric dan kami sangat serius, Pak. Kami sangat tergerak dengan pengabdian Bapak dan berharap orang-orang juga bisa terinspirasi. Kita bisa mengobrol setelah ini, ‘kan?”“Bi-sa, Mas.”Mereka menanyakan keberadaan Bapak dan aku menunjuk ke dalam kamar. Mereka meminta izin masuk untuk melihat dan aku mempersilakannya. Mereka masuk, memfokuskan pandangan pada Bapak yang selalu terlihat menyedihkan bagi orang lain, ditambah dengan kamar kos kami yang tidak punya barang selain tikar dan tas kumal. Tatapan Mas Juanda dan temannya se

  • Jika Aku Membuang Bapak   20. Kesulitan Merawat Bapak

    “Eh, Mar! Sini-sini!” Dari kejauhan, Parwo sudah melambaikan tangan memberikan tanda agar aku mendekat. Aziz juga ada di sampingnya, merokok seperti biasanya. Raut wajahnya serius alih-alih cuek. “Ke mana aja kau kemarin? Ndak narik-narik.”“Assalamu’alaikum.” Parwo dan Aziz menjawab bersamaan. Aziz malah menatapku lama sementara Parwo tampak tidak sabar ingin mengatakan sesuatu. “Lu udah liat Metube atau Facenew kagak?” tanya Aziz.“Nggak. Aku nggak ada waktu buat nonton. Aku pergi dari kontrakan sama Bapak.”“Hah? Kok bisa, Mar?” Parwo memajukan kepalanya, tampak sangat penasaran.“Yah … biasalah, soal Bapak. Kalian pasti paham perangai Eda gimana.”“Lu diusir sama bini lu?”“Bukan, aku yang pergi sendiri karena Eda sudah mau pulang ke rumah orang tuanya. Si bungsu masih kecil banget, si Radit masih sekolah di sini. Repot kalau pulang kampung, jadi mending aku aja yang pergi.”“Terus kau tinggal di mana sekarang, Mar?” tanya Parwo.“Di kosan. Aku udah dapat kosan tadi pagi.” “Wa

DMCA.com Protection Status