Aku menerima amplop putih yang cukup tebal itu, juga membiarkan mereka merekam ekspresiku yang tengah kaget bercampur bingung. “Kalau ini dikirimkan oleh teman-teman metuber dan influencer kami, Pak. Tolong diterima, ya.” Salah satu dari mereka mengangkat kardus-kardus itu ke teras sementara aku kelimpungan antara mau membantu atau tetap diam di depan kamera.“Anu ….” Aku mengusap tengkuk, mengira ini adalah mimpi. “Ini serius, Mas–”“Saya Juanda, ini teman saya Eric dan kami sangat serius, Pak. Kami sangat tergerak dengan pengabdian Bapak dan berharap orang-orang juga bisa terinspirasi. Kita bisa mengobrol setelah ini, ‘kan?”“Bi-sa, Mas.”Mereka menanyakan keberadaan Bapak dan aku menunjuk ke dalam kamar. Mereka meminta izin masuk untuk melihat dan aku mempersilakannya. Mereka masuk, memfokuskan pandangan pada Bapak yang selalu terlihat menyedihkan bagi orang lain, ditambah dengan kamar kos kami yang tidak punya barang selain tikar dan tas kumal. Tatapan Mas Juanda dan temannya se
Hadiah kerapkali berdatangan ke kamar kos sempit yang bahkan hanya cukup untuk tikar dan lemari itu. Beberapa kardus makanan dan pakaian memenuhi kamar sampai aku mesti membagikannya ke tetangga, ibu kos, mengirimkannya ke Eda dan Unur serta ke Aziz dan Parwo. Dompetku tak pernah kosong lagi. Selalu ada orang yang menyelipkan uang saat aku keluar rumah, sebab kini aku dikenali. Terlebih jika aku membawa Bapak jalan-jalan. Mereka sering mengulurkan uang.Bapak sangat senang bertemu orang-orang. Senyumnya selalu lebar dan kini badannya tak lagi hanya tinggal tulang dan kulit. Ada sedikit perbedaan sejak kami pindah kos. “Nah, caranya gini, Mar. Aku udah belajar di Metube. Tinggal bikin channel-nya.”Saat ini aku, Aziz, dan Parwo berkumpul di kamarku. Banyak camilan yang bisa mereka makan selama beristirahat. Aziz sedang mengutak-utak ponselku membuatkan akun Outstagram sambil sesekali diganggu oleh Bapak, sedangkan Parwo mengajariku membuat channel Metube dari laptop yang kupinjam dar
‘Unur, Abang diundang ke televisi sama Bapak. Tolong ditonton, ya.’Pesan itu kukirimkan untuk Unur yang sudah kembali ke Jerman selepas kedatangannya malam itu. Aku berharap ia berusaha menontonnya. Aku dengar semua acara TV bisa ditonton di Metube. Berbeda denganku yang merasa tegang, Bapak tampak senang dalam balutan baju batik yang rapi. Matanya berbinar-binar melihat beberapa kamera yang sudah bersiap merekam kami. Di sampingku ada Eda dan anak-anak serta Aziz dan Parwo yang sejak tadi mendampingi kami.“Jangan gugup, Mar. Nanti kau kelihatan kayak orang sawan. Santai,” ucap Parwo yang malah memakai setelan jas lengkap dengan dasi yang super rapi. “Lu mau tampil juga, Wo?” tanya Aziz yang memakai jaket ojeknya seperti biasanya. Dia lebih santai daripada kami semua. “Yang diundang ‘kan si Amar, Ziz, tapi mana tahu aku disorot juga.” Parwo memamerkan senyum penuh harapannya. “Yok siap-siap! Satu menit lagi mulai!” Suara teriakan salah satu kru membuat kami semua terlonjak. A
Pukul empat pagi. Bapak mengerang kesakitan. Kami memutuskan bermalam karena Bapak tak mau pulang ke kosan. Unur pun ikut bermalam. Aku yang tidur bersama Bapak langsung terbangun. Bapak muntah hebat. Membasahi kasur tipis lusuh yang seprainya sudah menguning. Kugendong Bapak dengan panik sambil berteriak memanggil Eda dan Unur. Tak lama kemudian, Eda dan Unur berlarian dari kamar.Eda menggendong Faiz yang menangis keras, sementara Unur ikut panik. Ada ketakutan yang sangat dari bias matanya. “Bawa ke rumah sakit, Bang! Aku pesankan taksi.” Unur-lah yang mempersiapkan segala keperluan Bapak karena Eda kewalahan menenangkan anak bungsu kami. Subuh yang dipenuhi tangisan dan erangan itu terasa sangat ramai sampai sebuah taksi datang. Aku dan Unur masuk sementara Eda tetap tinggal untuk menjaga anak-anak. Setelah ditangani di rumah sakit, Bapak dipindahkan ke ruang ICU. Selang infus dan selang lainnya terpasang di tubuhnya yang kian ringkih. Bapak bahkan tak punya tenaga lagi untuk
Radio masjid mulai terdengar samar di telinga. Cahaya kekuningan dari langit petang hampir sepenuhnya menjadi merah. Sunyi menelan semua suara di antara kami. Kelopak mata Bapak terpejam kaku. Sehelai pun bulu matanya tak bergerak walaupun aku menepuk-neluk wajah dan tangannya hingga mengguncang tubuh pria itu dengan panik. “Bangun, Pak!” Bapak bergeming. Seolah sedang bermimpi indah dan tak ingin diganggu. Eda menepuk punggungku dari luar mobil. “Bang, sudah. Kita bawa Bapak masuk.” Detik ini aku menyadari tangan Bapak yang perlahan kaku menandakan pria itu telah pergi. Bapak meninggalkan kami. Bahuku meluruh pedih. Harapan yang sejak tadi melambung naik hancur dalam sekejap. Bapak sembuh bukan untuk tinggal lebih lama. Bapak ingin pulang bukan karena merasa sehat, tapi karena ia tahu ia benar-benar akan pulang pada Tuhan. Sesaat kemudian, Unur menangis hebat. Supir taksi masih duduk di belakang kemudi. Mematikan argo dan membiarkan kami tetap berada di dalam mobil. Unur merau
Aku dan Unur memutuskan untuk melaksakan amanat terakhir Bapak. Pergi ke Jalan Daun Mawar dan menemukan nomor rumah yang Bapak sebutkan. Saat aku mengetuk pintu, seorang wanita yang kira-kira seusia Eda membukakan pintu.“Iya, cari siapa?”“Mbak kenal Pak Kazim?” Wanita berkuncir dan berpipi tirus itu menghela napas. Pintu yang semula hanya dibuka sedikit sekarang ia buka semakin lebar. “Silakan masuk dulu.”Rumah itu cukup kecil. Ruang tamunya menyatu dengan ruang tengah dengan televisi kecil dan karpet tipis yang kumal, serta kursi kayu yang berbunyi ketika kami mendudukinya. “Anak-anaknya, ya?” Raut wajah perempuan itu terlihat yakin. “Iya, kami disuruh ke sini,” jawabku. “Saya buatin teh dulu, ya.” Perempuan yang belum kami tahu namanya itu meninggalkan ruang tengah dan masuk melewati tirai. Sepertinya itu adalah dapur. Mataku mengedar ke seluruh ruangan. Tak ada satu pun bingkai foto yang terpasang. Suasana rumah ini terasa suram dan pengap. Tirai dan jendela tidak dibuka.
5 Juni 20XXSaya menikahi seorang perempuan hebat yang senyumnya sangat manis. Jannah namanya. Saya bahagia sekali.4 April 20XXAnak pertama kami lahir. Amar Kazim namanya. Mau kuberi nama Omar, tapi kata Jannah, kami bukan orang Arab. Takut diketawai orang. Jadi kuubah jadi Amar.10 Agustus 20XXAmar sudah besar. Saya harap dia tidak menjadi seperti saya. Semoga penyakit ini tidak menurun padanya. Aku mengernyit. Tangan sudah bergetar memegang buku cokelat kusam yang kertas-kertasnya sudah menguning itu. 25 September 20XXAnak perempuan lahir. Cantik sekali. Kuberi nama Nur Ainun. Suatu hari nanti dia akan menjadi gadis yang paling bercahaya. Masa depannya akan cerah. Unur terisak pelan di sampingku.30 Desember 20XXNur dan Amar tidak boleh tahu penyakitku. Mereka bisa malu jika tahu bapaknya gila. 12 Januari 20XXSebelum mereka tahu, saya harus pergi. Mereka tidak punya masa depan di tangan seorang Bapak yang sinting. Unur menggeleng keras. Air matanya tak berhenti menderas.
Bagi anak laki-laki, Bapak adalah pahlawan. Ia mengagumi dan mengandalkan Bapak. Bermimpi saat besar nanti akan seberani dan sekuat Bapak. Akan berdiri gagah melindungi keluarga seperti Bapak. Sedang bagi anak perempuan, Bapak adalah cinta pertama. Berharap suatu hari nanti ia akan menemukan laki-laki yang menjaga dan mencintai dirinya seperti Bapak. Ada berapa banyak pahlawan dan cinta pertama yang meninggalkan kita? Seperti aku dan Unur. Tapi … di saat-saat terakhir, kendati hanya sebentar, kami membuang ego dan menemukan kembali pahlawan dan cinta pertama kami. Menariknya kembali ke sisi kami. Sebab aku sangat tahu, betapa sulitnya hidup tanpa kehadiran Bapak. Fisik dan mental kami dipaksakan kuat oleh keadaan, bukan karena motivasi untuk menjadi kuat seperti Bapak lagi. Jika dia masih hidup, di mana pun dia berada, suatu hari nanti … raihlah Bapak yang telah pergi. Genggam kembali pahlawanmu yang sempat hilang dan cinta pertama yang sempat kandas itu jadikanlah sebagai
Bagi anak laki-laki, Bapak adalah pahlawan. Ia mengagumi dan mengandalkan Bapak. Bermimpi saat besar nanti akan seberani dan sekuat Bapak. Akan berdiri gagah melindungi keluarga seperti Bapak. Sedang bagi anak perempuan, Bapak adalah cinta pertama. Berharap suatu hari nanti ia akan menemukan laki-laki yang menjaga dan mencintai dirinya seperti Bapak. Ada berapa banyak pahlawan dan cinta pertama yang meninggalkan kita? Seperti aku dan Unur. Tapi … di saat-saat terakhir, kendati hanya sebentar, kami membuang ego dan menemukan kembali pahlawan dan cinta pertama kami. Menariknya kembali ke sisi kami. Sebab aku sangat tahu, betapa sulitnya hidup tanpa kehadiran Bapak. Fisik dan mental kami dipaksakan kuat oleh keadaan, bukan karena motivasi untuk menjadi kuat seperti Bapak lagi. Jika dia masih hidup, di mana pun dia berada, suatu hari nanti … raihlah Bapak yang telah pergi. Genggam kembali pahlawanmu yang sempat hilang dan cinta pertama yang sempat kandas itu jadikanlah sebagai
5 Juni 20XXSaya menikahi seorang perempuan hebat yang senyumnya sangat manis. Jannah namanya. Saya bahagia sekali.4 April 20XXAnak pertama kami lahir. Amar Kazim namanya. Mau kuberi nama Omar, tapi kata Jannah, kami bukan orang Arab. Takut diketawai orang. Jadi kuubah jadi Amar.10 Agustus 20XXAmar sudah besar. Saya harap dia tidak menjadi seperti saya. Semoga penyakit ini tidak menurun padanya. Aku mengernyit. Tangan sudah bergetar memegang buku cokelat kusam yang kertas-kertasnya sudah menguning itu. 25 September 20XXAnak perempuan lahir. Cantik sekali. Kuberi nama Nur Ainun. Suatu hari nanti dia akan menjadi gadis yang paling bercahaya. Masa depannya akan cerah. Unur terisak pelan di sampingku.30 Desember 20XXNur dan Amar tidak boleh tahu penyakitku. Mereka bisa malu jika tahu bapaknya gila. 12 Januari 20XXSebelum mereka tahu, saya harus pergi. Mereka tidak punya masa depan di tangan seorang Bapak yang sinting. Unur menggeleng keras. Air matanya tak berhenti menderas.
Aku dan Unur memutuskan untuk melaksakan amanat terakhir Bapak. Pergi ke Jalan Daun Mawar dan menemukan nomor rumah yang Bapak sebutkan. Saat aku mengetuk pintu, seorang wanita yang kira-kira seusia Eda membukakan pintu.“Iya, cari siapa?”“Mbak kenal Pak Kazim?” Wanita berkuncir dan berpipi tirus itu menghela napas. Pintu yang semula hanya dibuka sedikit sekarang ia buka semakin lebar. “Silakan masuk dulu.”Rumah itu cukup kecil. Ruang tamunya menyatu dengan ruang tengah dengan televisi kecil dan karpet tipis yang kumal, serta kursi kayu yang berbunyi ketika kami mendudukinya. “Anak-anaknya, ya?” Raut wajah perempuan itu terlihat yakin. “Iya, kami disuruh ke sini,” jawabku. “Saya buatin teh dulu, ya.” Perempuan yang belum kami tahu namanya itu meninggalkan ruang tengah dan masuk melewati tirai. Sepertinya itu adalah dapur. Mataku mengedar ke seluruh ruangan. Tak ada satu pun bingkai foto yang terpasang. Suasana rumah ini terasa suram dan pengap. Tirai dan jendela tidak dibuka.
Radio masjid mulai terdengar samar di telinga. Cahaya kekuningan dari langit petang hampir sepenuhnya menjadi merah. Sunyi menelan semua suara di antara kami. Kelopak mata Bapak terpejam kaku. Sehelai pun bulu matanya tak bergerak walaupun aku menepuk-neluk wajah dan tangannya hingga mengguncang tubuh pria itu dengan panik. “Bangun, Pak!” Bapak bergeming. Seolah sedang bermimpi indah dan tak ingin diganggu. Eda menepuk punggungku dari luar mobil. “Bang, sudah. Kita bawa Bapak masuk.” Detik ini aku menyadari tangan Bapak yang perlahan kaku menandakan pria itu telah pergi. Bapak meninggalkan kami. Bahuku meluruh pedih. Harapan yang sejak tadi melambung naik hancur dalam sekejap. Bapak sembuh bukan untuk tinggal lebih lama. Bapak ingin pulang bukan karena merasa sehat, tapi karena ia tahu ia benar-benar akan pulang pada Tuhan. Sesaat kemudian, Unur menangis hebat. Supir taksi masih duduk di belakang kemudi. Mematikan argo dan membiarkan kami tetap berada di dalam mobil. Unur merau
Pukul empat pagi. Bapak mengerang kesakitan. Kami memutuskan bermalam karena Bapak tak mau pulang ke kosan. Unur pun ikut bermalam. Aku yang tidur bersama Bapak langsung terbangun. Bapak muntah hebat. Membasahi kasur tipis lusuh yang seprainya sudah menguning. Kugendong Bapak dengan panik sambil berteriak memanggil Eda dan Unur. Tak lama kemudian, Eda dan Unur berlarian dari kamar.Eda menggendong Faiz yang menangis keras, sementara Unur ikut panik. Ada ketakutan yang sangat dari bias matanya. “Bawa ke rumah sakit, Bang! Aku pesankan taksi.” Unur-lah yang mempersiapkan segala keperluan Bapak karena Eda kewalahan menenangkan anak bungsu kami. Subuh yang dipenuhi tangisan dan erangan itu terasa sangat ramai sampai sebuah taksi datang. Aku dan Unur masuk sementara Eda tetap tinggal untuk menjaga anak-anak. Setelah ditangani di rumah sakit, Bapak dipindahkan ke ruang ICU. Selang infus dan selang lainnya terpasang di tubuhnya yang kian ringkih. Bapak bahkan tak punya tenaga lagi untuk
‘Unur, Abang diundang ke televisi sama Bapak. Tolong ditonton, ya.’Pesan itu kukirimkan untuk Unur yang sudah kembali ke Jerman selepas kedatangannya malam itu. Aku berharap ia berusaha menontonnya. Aku dengar semua acara TV bisa ditonton di Metube. Berbeda denganku yang merasa tegang, Bapak tampak senang dalam balutan baju batik yang rapi. Matanya berbinar-binar melihat beberapa kamera yang sudah bersiap merekam kami. Di sampingku ada Eda dan anak-anak serta Aziz dan Parwo yang sejak tadi mendampingi kami.“Jangan gugup, Mar. Nanti kau kelihatan kayak orang sawan. Santai,” ucap Parwo yang malah memakai setelan jas lengkap dengan dasi yang super rapi. “Lu mau tampil juga, Wo?” tanya Aziz yang memakai jaket ojeknya seperti biasanya. Dia lebih santai daripada kami semua. “Yang diundang ‘kan si Amar, Ziz, tapi mana tahu aku disorot juga.” Parwo memamerkan senyum penuh harapannya. “Yok siap-siap! Satu menit lagi mulai!” Suara teriakan salah satu kru membuat kami semua terlonjak. A
Hadiah kerapkali berdatangan ke kamar kos sempit yang bahkan hanya cukup untuk tikar dan lemari itu. Beberapa kardus makanan dan pakaian memenuhi kamar sampai aku mesti membagikannya ke tetangga, ibu kos, mengirimkannya ke Eda dan Unur serta ke Aziz dan Parwo. Dompetku tak pernah kosong lagi. Selalu ada orang yang menyelipkan uang saat aku keluar rumah, sebab kini aku dikenali. Terlebih jika aku membawa Bapak jalan-jalan. Mereka sering mengulurkan uang.Bapak sangat senang bertemu orang-orang. Senyumnya selalu lebar dan kini badannya tak lagi hanya tinggal tulang dan kulit. Ada sedikit perbedaan sejak kami pindah kos. “Nah, caranya gini, Mar. Aku udah belajar di Metube. Tinggal bikin channel-nya.”Saat ini aku, Aziz, dan Parwo berkumpul di kamarku. Banyak camilan yang bisa mereka makan selama beristirahat. Aziz sedang mengutak-utak ponselku membuatkan akun Outstagram sambil sesekali diganggu oleh Bapak, sedangkan Parwo mengajariku membuat channel Metube dari laptop yang kupinjam dar
Aku menerima amplop putih yang cukup tebal itu, juga membiarkan mereka merekam ekspresiku yang tengah kaget bercampur bingung. “Kalau ini dikirimkan oleh teman-teman metuber dan influencer kami, Pak. Tolong diterima, ya.” Salah satu dari mereka mengangkat kardus-kardus itu ke teras sementara aku kelimpungan antara mau membantu atau tetap diam di depan kamera.“Anu ….” Aku mengusap tengkuk, mengira ini adalah mimpi. “Ini serius, Mas–”“Saya Juanda, ini teman saya Eric dan kami sangat serius, Pak. Kami sangat tergerak dengan pengabdian Bapak dan berharap orang-orang juga bisa terinspirasi. Kita bisa mengobrol setelah ini, ‘kan?”“Bi-sa, Mas.”Mereka menanyakan keberadaan Bapak dan aku menunjuk ke dalam kamar. Mereka meminta izin masuk untuk melihat dan aku mempersilakannya. Mereka masuk, memfokuskan pandangan pada Bapak yang selalu terlihat menyedihkan bagi orang lain, ditambah dengan kamar kos kami yang tidak punya barang selain tikar dan tas kumal. Tatapan Mas Juanda dan temannya se
“Eh, Mar! Sini-sini!” Dari kejauhan, Parwo sudah melambaikan tangan memberikan tanda agar aku mendekat. Aziz juga ada di sampingnya, merokok seperti biasanya. Raut wajahnya serius alih-alih cuek. “Ke mana aja kau kemarin? Ndak narik-narik.”“Assalamu’alaikum.” Parwo dan Aziz menjawab bersamaan. Aziz malah menatapku lama sementara Parwo tampak tidak sabar ingin mengatakan sesuatu. “Lu udah liat Metube atau Facenew kagak?” tanya Aziz.“Nggak. Aku nggak ada waktu buat nonton. Aku pergi dari kontrakan sama Bapak.”“Hah? Kok bisa, Mar?” Parwo memajukan kepalanya, tampak sangat penasaran.“Yah … biasalah, soal Bapak. Kalian pasti paham perangai Eda gimana.”“Lu diusir sama bini lu?”“Bukan, aku yang pergi sendiri karena Eda sudah mau pulang ke rumah orang tuanya. Si bungsu masih kecil banget, si Radit masih sekolah di sini. Repot kalau pulang kampung, jadi mending aku aja yang pergi.”“Terus kau tinggal di mana sekarang, Mar?” tanya Parwo.“Di kosan. Aku udah dapat kosan tadi pagi.” “Wa