“Amar, hari ini jajan ciloknya seribu aja, ya? Yang tiga ribunya kita bawa pulang buat ibu dan adekmu.”
Aku mengangguk. Diriku yang masih kecil dan lugu menuruti omongan Bapak. Usia sepuluh tahun adalah kenangan yang paling banyak kuingat bersama Bapak. Bapak punya kebiasaan. Dia selalu tertawa dengan suara renyah dan lembut lalu mengacak rambutku.
“Adek umur berapa sih, Pak?” tanyaku.
“Tiga tahun.”
“Emang udah bisa makan cilok.”
Bapak tertawa lagi. “Bisa. Yang penting jangan pedis-pedis, nanti perutnya meletus kayak gunung merapi.”
Aku tertawa, Bapak pun begitu. Lalu aku bertanya apa itu gunung merapi, seperti apa bentuknya dan kenapa bisa meledak. Bapak menjelaskannya sambil membentuk gunung dengan lengannya.
Di tepi jalan yang dipenuhi asap kendaraan, kami duduk dengan sepeda Bapak yang berdiri sambil menunggu penumpang. Cuaca tidak begitu panas. Di tanganku ada setusuk cilok yang kecapnya menetes ke kerikil.
Di sore hari menjelang Maghrib, Bapak mengayuh sepeda untuk membawaku pulang. Kayuhan kaki Bapak pelan dan santai. Bahunya tidak tegang sampai aku nyaman bersandar di punggung pria itu sambil menikmati cahaya senja yang menyinari sepanjang perjalanan kami.
“Pak, jadi orang dewasa itu enak, ya? Bisa cari duit dan beli jajan cilok setiap hari.”
Dengusan tawa Bapak terdengar. Aku ingin cepat-cepat dewasa dan mencari uang seperti Bapak. Setiap hari Bapak punya uang di kantong dan bebas membeli apa saja.“Nanti kamu juga bakal tau sendiri gimana rasanya.”
Waktu itu aku tidak mengerti arti senyuman dan perkataan Bapak. Aku hanya tahu, bahwa menjadi dewasa adalah menjadi kuat dan hebat seperti Bapak.
“Pak, nanti kalau besar Amar mau jadi kayak Bapak.”
“Jadi ojek sepeda?” Bapak menoleh sebentar lalu kembali fokus ke jalanan.
“Pokoknya cari uang setiap hari kayak Bapak.”
“Cita-cita itu yang tinggi, Nak. Jangan jadi kayak Bapak. Sekolah yang tinggi, jadi anak pintar, lalu membangun kehidupan kamu sendiri.”
“Emang Bapak sekolahnya nggak tinggi?”
“Bapak sekolahnya paling cuma sebentar. Tau hitung dan baca saja. Kalau sekolah Bapak tinggi, kamu nggak bakal naik sepeda ontel begini. Pasti Bapak boncengin pakai motor atau mobil biar nggak panas-panas.”
“Mobil bisa dipakai buat ngojek juga, Pak?”
Bapak tertawa lagi. Seolah pertanyaanku barusan sangatlah lucu sampai punggungnya bergetar. Kaos Bapak di bagian punggung sudah bolong-bolong. Aku menghitungnya dan menemukan tujuh bolongan kecil.
“Nanti kalau besar, Amar mau beli mobil terus ajak Bapak jalan-jalan sambil jajan cilok.”
“Hahaha! Aamiinnn! Kalau punya mobil, jangan cuma Bapak yang diajak jalan. Ada anak tetangga atau kenalan dikasih tumpangan juga. Makin banyak rezeki harus makin berguna untuk orang lain. Jangan cuma mau dinikmati sendiri.”
Kami sampai di rumah. Bapak memasukkan sepedanya ke kandang ayam sambil menepuk-nepuk kedua tangan. Nasihat Bapak barusan tidak begitu kuingat sampai aku masuk rumah, mandi, dan tidur sampai bangun di esok hari. Namun, ucapan itu merasuk ke kepala dan dapat kukenang sewaktu-waktu.
Bapak memberikan bungkusan cilok pada Ibu, juga gulungan uang yang sudah lecek. Unur yang dalam gendongan segera merebut kantong cilok dan antusias hendak memakannya. Tawa Bapak memenuhi rumah yang sempit dan cukup gelap. Tangan Bapak mengusap-usap kepala Unur.
“Amar udah dapat bagian?” tanya Ibu, yang saat itu kuingat memakai daster biru yang warnanya sudah pudar dan benangnya mencuat di bagian ujung daster.
“Udah, Bu. Tadi Amar beli cilok setusuk sama wafer.”
“Jangan jajan banyak-banyak. Bapak capek nyari duit buat kita.” Ibu memberiku tatapan tegas, tapi dengan nada suara yang biasa.
“Namanya juga anak-anak, maunya jajan terus. Nanti Unur kalau sudah besar mau jajan apa?” Bapak mencubit pelan pipi gembul Unur.Unur langsung memberontak ingin melompat ke gendongan Bapak. Bapak segera menghindar. “Bapak belum mandi, masih kotor. Itu ciloknya dihabisin dulu sambil nungguin Bapak mandi.” Bapak menepuk-nepuk kaosnya. “Ayo, Amar. Mandi dulu. Habis itu kerjakan PR-nya.”
“Hari ini kita makan apa, Pak?”
Bapak menggandengku ke kamar untuk melepas baju kotor kami. “Apa aja yang dimasakin Ibu mesti dimakan.”
“Kalau nggak enak?”
“Mana pernah ibumu masak nggak enak. Kalau nggak enak tetap dimakan. Nggak boleh buang-buang rezeki! Pamali!”
Bapak membantuku membuka baju lalu menggosok punggungku. Kami mandi bersama dengan sederet pertanyaan dariku yang harus Bapak jawab.
Tidak ada beban saat itu, sebab segalanya ditanggung oleh Bapak. Saat hendak tidur, kulihat Bapak duduk di meja bambu depan rumah dengan segelas kopi dan sebatang rokok dihisap secara pelan-pelan sambil menatap langit-langit malam yang gelap.
Selalu seperti itu. Setiap malam Bapak selalu duduk di sana dan melakukan hal yang sama. Aku tidak tahu kenapa beliau melakukannya, apa tidak bosan?
Sekarang aku tahu rasanya. Tempat Bapak aku yang gantikan. Di kursi plastik dan meja kecil sebagai tempat untuk menyimpan gelas kopi dan asbak rokok. Di teras yang sempit, aku memandang langit malam yang gelap gulita tanpa bintang.
Aku sudah menjadi bapak untuk anakku dan kelak aku tak ingin anakku membuangku pula. Sebab segala hal kecil yang mereka butuhkan, aku akan selalu mengusahakannya.
Meski hidup berkekurangan, aku ingin tetap bersama mereka. Barangkali itulah yang dirasakan Bapak.
Kopi hitam yang tinggal seteguk kuhabiskan dan rokok yang sudah pendek kumatikan. Sudah pukul sebelas malam. Orang-orang rumah telah tidur sejak tadi. Aku memperbaiki posisi sarung dan memutuskan masuk.
Rumah kontrakan yang harga sewanya 600 ribu sebulan ini tampak kusam. Lampu di ruang tengahnya mati dan tidak ada tambahan uang untuk menggantinya. Dua kamar yang hanya ditutupi dengan tirai berwarna hijau yang sudah bulukan kuperiksa satu per satu.
Eda berbaring miring sambil memeluk Fauzi sambil sesekali menepuk paha Radit. Matanya terpejam, tapi tangannya bergantian mengelus kedua anak kami. Dia melakukannya setiap malam sampai aku merasa Eda punya kekuatan super, bisa tidur sambil memastikan anak-anak kami tertidur pulas.
Sejujurnya, Eda bukanlah perempuan jahat yang menyuruhku menitipkan Bapak ke sembarang tempat tanpa alasan.
Eda sudah menemaniku selama sepuluh tahun di masa-masa yang sulit. Mulai dari tinggal di rumah Ibu di awal-awal menikah, Eda pun mesti mengurus Ibu yang sakit-sakitan sedangkan aku mencari nafkah untuk biaya berobat Ibu dan makan kami sehari-hari.
Eda tidak begitu mengeluh, sebab belum ada anak dan memikirkan betapa banyak Ibu berjasa untuk menyekolahkanku bersama Unur, serta menjual satu-satunya sawah sempit yang kami punya untuk biaya pernikahanku. Setahun kemudian, Ibu meninggal. Rumah peninggalan Ibu dijual untuk membayar utang-utang yang masih tersisa, serta melunasi utang yang Bapak tinggalkan.Tidak banyak yang tersisa. Aku membaginya dengan Unur. Bagianku lebih besar karena ada Eda bersamaku. Unur pun menerimanya untuk biaya merantau ke kota dan berjuang sendirian. Tak ada sedikit pun yang ditinggalkan oleh Bapak. Kata Eda, Bapak hanya memberi kami kesulitan.
Aku berpindah ke kamar Bapak. Ruangan itu dua kali lebih sempit dari kamarku dan Eda. Hanya ada kasur yang sudah lembek, lemari plastik kecil, dan meja kecil untuk meletakkan obat-obatan serta barang yang lain.Bapak tertidur pulas sampai mendengkur. Dadanya bergerak naik turun dengan teratur. Aku tidak tahu apa saja yang dialami Bapak sejak pergi meninggalkan kami. Bapak menghilang sejak umurku 15 tahun dan kami baru bertemu enam bulan yang lalu.Ah, ternyata selama itu kami tidak pernah bertemu. Dua puluh tahun berpisah dengan Bapak membuatku terkejut hebat ketika kutemukan Bapak yang berbaring lemas di samping truk pembuangan sampah di pinggir jalan.Bapak punya riwayat sakit jiwa yang menurun dari orang tuanya. Terkadang dia linglung dan seperti orang yang kehilangan ingatan. Sampai akhirnya suatu hari, Bapak tiba-tiba menghilang dan meninggalkan utang yang banyak.
“Mau diangkutin barangnya, Bu? Kayaknya banyak banget ini.”Seorang ibu berjilbab cokelat dan kewalahan membawa tiga kardus yang cukup besar menurunkan barang bawaannya. “Capek banget ini, Mas. Tukang angkut, ya?” Ibu dengan tahi lalat besar di hidung itu menunjukku.Aku tersenyum ramah. “Iya, Bu. Sampingan habis ngojek.”Si ibu mengusap peluh di keningnya sambil mengerutkan hidung. “Saya mau diangkutin, Mas. Berapa ongkosnya?”“Kalau segini goceng bisa, Bu.”“Tiga ribu aja, ya? Duit saya di dompet sisa ongkos angkot sama tiga rebu itu.”Aku menghela napas tanpa memudarkan senyum. Itu adalah rezeki pertamaku sebagai buruh angkut. “Boleh, Bu. Sini saya bawain semua.” Total ada t
Motor yang sudah butut ini mengelilingi jalan poros, masuk ke gang-gang, dan mencari alamat sana-sini. Aku hanya mengandalkan ingatan puluhan tahun yang lalu soal letak rumah kerabat-kerabat Bapak yang dulu sering meminjam uang dan tidak dikembalikan.Sarung yang kuikat di punggung agar Bapak tidak terjatuh kulepas lalu membantunya turun dari motor. Kugendong Bapak di punggung lalu menyusuri lorong perumahan yang bersih. Setiap rumahnya bercat hijau dengan pagar hitam yang cukup tinggi. Sepertinya kerabat Bapak hidup sangat layak setelah memanfaatkan semua tabungan Bapak.Sambil menenteng tas berisi pakaian Bapak, aku mengingat-ingat nomor rumah Bik Ntun, salah satu sepupu jauh Bapak yang dulu meminjam uang cukup banyak. Aku bisa menitipkan Bapak dengan jaminan utang itu. Mudah-mudahan Bik Ntun masih tinggal di sekitar sini.“Permisi, Bu!” Aku melihat gerombolan i
“Sudah kujamu kau, kusambut dengan baik, tapi ternyata niatmu tidak bagus.” Mata Bik Ntun melotot. Segala keramahan yang tadi diperlihatkannya langsung sirna. “Mak, sudah. Nanti dadanya sakit lagi.” Nunu mengurut dada Bik Ntun sambil menatap kami penuh peringatan.“Tampaknya kau tak ikhlas membantu aku dulu, itu pun kau anggap utang, Kazim.”Aku menghela napas kasar. Bukan tak ikhlas, aku hanya ingin meminta tolong untuk mengurus Bapak selama beberapa hari saja. Bukan maksudku mengungkit, aku berharap Bik Ntun mengingat segala kebaikan Bapak. Jika tak ingin dilunasi, tak apa. Aku perlu menitipkan Bapak saja ke mereka. “Bapak saya sudah seringkali dihutangi, Bik Ntun. Uang dipinjam itu Bapak ambil dari tabungannya. Hampir tidak ada yang membayar sampai Bapak rugi besar. Kami pun anaknya jadi sengsara.” Dada Bik Ntun naik turun dengan cepat.“Bukan maksud saya menagih utang, saya ikhlas. Ambil saja untuk Bik Ntun, tapi tolong Bapak saya juga perlu bantuan. Dibantu sedikit saja.”“Mem
Aku tertegun. Itu adalah kalimat terpanjang yang pernah diucapkan Bapak selama ini. Jantungku berdenyut keras, dipenuhi harapan yang sangat besar, bahwa Bapak bisa sembuh. Bapak akan kembali sehat seperti dulu.Langsung kuambil tangan Bapak dan menggenggamnya erat. “Bapak bilang apa tadi?”“Pha pha!” Bapak membuka dan menutup bibirnya dengan keras sampai mengeluarkan bunyi letusan-letusan kecil.Aku semakin antusias meski kali ini Bapak bermain-main. “Pak, ayo kita ke rumah sakit. Kita bilang ke dokter kalau Bapak sudah bisa bicara.”“Jangan lebay kamu, Bang. Bapak itu cuma asal ngeluarin suara. Mau habis-habisin duit beli obat lagi? Bensin kamu kepenuhan?!” Eda berkacak pinggang.Semangatku merosot seketika. “Beli obat untuk Bapak
Setelah meninggalkan toko, aku kepikiran ucapan Pak Nurman. Selama ini Bapak tidak pernah meminta sesuatu padaku. Apa pun yang kubawakan untuknya, senyum Bapak selalu lebar layaknya anak kecil yang menerima mainan baru.Dalam perjalanan pulang, aku menoleh ke sana kemari. Apa yang bisa kubawakan untuk Bapak? Ini hari ulang tahunnya. Meski hanya hadiah kecil, aku ingin melihat tawa Bapak yang lebar.Mataku menangkap seorang anak kecil yang berdiri di pinggir jalan, membawa banyak topi dalam gantungan kecil. Beberapa tergantung di leher dan pundaknya.Aku menepikan motor. “Topinya berapa, Dek?”Anak laki-laki kecil berkaos gombrong yang kerahnya sudah robek-robek itu menatapku polos. “Sepuluh ribu, Bang.” Suaranya cempreng. Kutaksir usianya sepantaran Radit.Apa dia tidak bersekolah?&l
Hari ini aku keluar subuh-subuh ke pasar, mendatangi beberapa pedagang yang sedang mengangkat barang mereka untuk dijual hari ini. Aku menawarkan diri untuk membantu.“Ini, Mas. Nggak banyak. Sebenarnya kita ada pegawai, kok.” Pemilik toko retail di tengah pasar itu memberiku uang 30 ribu. Aku tahu dia hanya kasihan saat menerima tawaranku karena memang anak buahnya banyak.“Ah, iya. Makasih ya, Pak.”“Iya sama-sama, Mas.”Pundakku ditepuk sekali. Aku menatap dua lembar uang itu dengan penuh rasa syukur. Tak membuang waktu, aku kembali berlari dan membantu pedagang sayuran yang sedang mengangkat beberapa keranjang besar sendirian.“Saya bantu ya, Pak!”“Oh iya, Mas. Kebetulan saya se
Pagi-pagi sekali aku membawa Bapak keluar rumah. Mengaitkan kain agar Bapak tidak terjatuh dari motor. Semilir angin pagi yang dingin membuatku khawatir Bapak akan masuk angin. Tapi apa mau dikata? Ini adalah satu-satunya jalan yang mampu kupikirkan. Aku akan rutin menengok Bapak dan menyisihkan uang. Dengan begitu, Bapak tidak akan mendengar omelan Eda dan melihat ekspresi tertekanku setiap hari. Ya, aku melakukannya demi Bapak. Atau … untuk diriku sendiri. Bangunan kecil di depan sana membuatku berkali-kali mengembuskan napas berat, seolah yang kuembuskan bukanlah udara, melainkan batu. Bapak aku gendong memasuki panti jompo dengan palang nama bertuliskan ‘Panti Tua’. Namanya menggambarkan bentuk bangunan yang sudah tua dengan cat mengelupas dan para penghuni yang ada di dalamnya. Lobi terasa kosong dan temaram. “Assalamu’alaikum, Mbak.” Petugas berhijab putih yang ada di balik meja tua menjawab salam dan menanyakan apa yang bisa dia lakukan untukku. “Saya ingin Bapak saya
Bagi anak laki-laki, Bapak adalah pahlawan. Ia mengagumi dan mengandalkan Bapak. Bermimpi saat besar nanti akan seberani dan sekuat Bapak. Akan berdiri gagah melindungi keluarga seperti Bapak. Sedang bagi anak perempuan, Bapak adalah cinta pertama. Berharap suatu hari nanti ia akan menemukan laki-laki yang menjaga dan mencintai dirinya seperti Bapak. Ada berapa banyak pahlawan dan cinta pertama yang meninggalkan kita? Seperti aku dan Unur. Tapi … di saat-saat terakhir, kendati hanya sebentar, kami membuang ego dan menemukan kembali pahlawan dan cinta pertama kami. Menariknya kembali ke sisi kami. Sebab aku sangat tahu, betapa sulitnya hidup tanpa kehadiran Bapak. Fisik dan mental kami dipaksakan kuat oleh keadaan, bukan karena motivasi untuk menjadi kuat seperti Bapak lagi. Jika dia masih hidup, di mana pun dia berada, suatu hari nanti … raihlah Bapak yang telah pergi. Genggam kembali pahlawanmu yang sempat hilang dan cinta pertama yang sempat kandas itu jadikanlah sebagai
5 Juni 20XXSaya menikahi seorang perempuan hebat yang senyumnya sangat manis. Jannah namanya. Saya bahagia sekali.4 April 20XXAnak pertama kami lahir. Amar Kazim namanya. Mau kuberi nama Omar, tapi kata Jannah, kami bukan orang Arab. Takut diketawai orang. Jadi kuubah jadi Amar.10 Agustus 20XXAmar sudah besar. Saya harap dia tidak menjadi seperti saya. Semoga penyakit ini tidak menurun padanya. Aku mengernyit. Tangan sudah bergetar memegang buku cokelat kusam yang kertas-kertasnya sudah menguning itu. 25 September 20XXAnak perempuan lahir. Cantik sekali. Kuberi nama Nur Ainun. Suatu hari nanti dia akan menjadi gadis yang paling bercahaya. Masa depannya akan cerah. Unur terisak pelan di sampingku.30 Desember 20XXNur dan Amar tidak boleh tahu penyakitku. Mereka bisa malu jika tahu bapaknya gila. 12 Januari 20XXSebelum mereka tahu, saya harus pergi. Mereka tidak punya masa depan di tangan seorang Bapak yang sinting. Unur menggeleng keras. Air matanya tak berhenti menderas.
Aku dan Unur memutuskan untuk melaksakan amanat terakhir Bapak. Pergi ke Jalan Daun Mawar dan menemukan nomor rumah yang Bapak sebutkan. Saat aku mengetuk pintu, seorang wanita yang kira-kira seusia Eda membukakan pintu.“Iya, cari siapa?”“Mbak kenal Pak Kazim?” Wanita berkuncir dan berpipi tirus itu menghela napas. Pintu yang semula hanya dibuka sedikit sekarang ia buka semakin lebar. “Silakan masuk dulu.”Rumah itu cukup kecil. Ruang tamunya menyatu dengan ruang tengah dengan televisi kecil dan karpet tipis yang kumal, serta kursi kayu yang berbunyi ketika kami mendudukinya. “Anak-anaknya, ya?” Raut wajah perempuan itu terlihat yakin. “Iya, kami disuruh ke sini,” jawabku. “Saya buatin teh dulu, ya.” Perempuan yang belum kami tahu namanya itu meninggalkan ruang tengah dan masuk melewati tirai. Sepertinya itu adalah dapur. Mataku mengedar ke seluruh ruangan. Tak ada satu pun bingkai foto yang terpasang. Suasana rumah ini terasa suram dan pengap. Tirai dan jendela tidak dibuka.
Radio masjid mulai terdengar samar di telinga. Cahaya kekuningan dari langit petang hampir sepenuhnya menjadi merah. Sunyi menelan semua suara di antara kami. Kelopak mata Bapak terpejam kaku. Sehelai pun bulu matanya tak bergerak walaupun aku menepuk-neluk wajah dan tangannya hingga mengguncang tubuh pria itu dengan panik. “Bangun, Pak!” Bapak bergeming. Seolah sedang bermimpi indah dan tak ingin diganggu. Eda menepuk punggungku dari luar mobil. “Bang, sudah. Kita bawa Bapak masuk.” Detik ini aku menyadari tangan Bapak yang perlahan kaku menandakan pria itu telah pergi. Bapak meninggalkan kami. Bahuku meluruh pedih. Harapan yang sejak tadi melambung naik hancur dalam sekejap. Bapak sembuh bukan untuk tinggal lebih lama. Bapak ingin pulang bukan karena merasa sehat, tapi karena ia tahu ia benar-benar akan pulang pada Tuhan. Sesaat kemudian, Unur menangis hebat. Supir taksi masih duduk di belakang kemudi. Mematikan argo dan membiarkan kami tetap berada di dalam mobil. Unur merau
Pukul empat pagi. Bapak mengerang kesakitan. Kami memutuskan bermalam karena Bapak tak mau pulang ke kosan. Unur pun ikut bermalam. Aku yang tidur bersama Bapak langsung terbangun. Bapak muntah hebat. Membasahi kasur tipis lusuh yang seprainya sudah menguning. Kugendong Bapak dengan panik sambil berteriak memanggil Eda dan Unur. Tak lama kemudian, Eda dan Unur berlarian dari kamar.Eda menggendong Faiz yang menangis keras, sementara Unur ikut panik. Ada ketakutan yang sangat dari bias matanya. “Bawa ke rumah sakit, Bang! Aku pesankan taksi.” Unur-lah yang mempersiapkan segala keperluan Bapak karena Eda kewalahan menenangkan anak bungsu kami. Subuh yang dipenuhi tangisan dan erangan itu terasa sangat ramai sampai sebuah taksi datang. Aku dan Unur masuk sementara Eda tetap tinggal untuk menjaga anak-anak. Setelah ditangani di rumah sakit, Bapak dipindahkan ke ruang ICU. Selang infus dan selang lainnya terpasang di tubuhnya yang kian ringkih. Bapak bahkan tak punya tenaga lagi untuk
‘Unur, Abang diundang ke televisi sama Bapak. Tolong ditonton, ya.’Pesan itu kukirimkan untuk Unur yang sudah kembali ke Jerman selepas kedatangannya malam itu. Aku berharap ia berusaha menontonnya. Aku dengar semua acara TV bisa ditonton di Metube. Berbeda denganku yang merasa tegang, Bapak tampak senang dalam balutan baju batik yang rapi. Matanya berbinar-binar melihat beberapa kamera yang sudah bersiap merekam kami. Di sampingku ada Eda dan anak-anak serta Aziz dan Parwo yang sejak tadi mendampingi kami.“Jangan gugup, Mar. Nanti kau kelihatan kayak orang sawan. Santai,” ucap Parwo yang malah memakai setelan jas lengkap dengan dasi yang super rapi. “Lu mau tampil juga, Wo?” tanya Aziz yang memakai jaket ojeknya seperti biasanya. Dia lebih santai daripada kami semua. “Yang diundang ‘kan si Amar, Ziz, tapi mana tahu aku disorot juga.” Parwo memamerkan senyum penuh harapannya. “Yok siap-siap! Satu menit lagi mulai!” Suara teriakan salah satu kru membuat kami semua terlonjak. A
Hadiah kerapkali berdatangan ke kamar kos sempit yang bahkan hanya cukup untuk tikar dan lemari itu. Beberapa kardus makanan dan pakaian memenuhi kamar sampai aku mesti membagikannya ke tetangga, ibu kos, mengirimkannya ke Eda dan Unur serta ke Aziz dan Parwo. Dompetku tak pernah kosong lagi. Selalu ada orang yang menyelipkan uang saat aku keluar rumah, sebab kini aku dikenali. Terlebih jika aku membawa Bapak jalan-jalan. Mereka sering mengulurkan uang.Bapak sangat senang bertemu orang-orang. Senyumnya selalu lebar dan kini badannya tak lagi hanya tinggal tulang dan kulit. Ada sedikit perbedaan sejak kami pindah kos. “Nah, caranya gini, Mar. Aku udah belajar di Metube. Tinggal bikin channel-nya.”Saat ini aku, Aziz, dan Parwo berkumpul di kamarku. Banyak camilan yang bisa mereka makan selama beristirahat. Aziz sedang mengutak-utak ponselku membuatkan akun Outstagram sambil sesekali diganggu oleh Bapak, sedangkan Parwo mengajariku membuat channel Metube dari laptop yang kupinjam dar
Aku menerima amplop putih yang cukup tebal itu, juga membiarkan mereka merekam ekspresiku yang tengah kaget bercampur bingung. “Kalau ini dikirimkan oleh teman-teman metuber dan influencer kami, Pak. Tolong diterima, ya.” Salah satu dari mereka mengangkat kardus-kardus itu ke teras sementara aku kelimpungan antara mau membantu atau tetap diam di depan kamera.“Anu ….” Aku mengusap tengkuk, mengira ini adalah mimpi. “Ini serius, Mas–”“Saya Juanda, ini teman saya Eric dan kami sangat serius, Pak. Kami sangat tergerak dengan pengabdian Bapak dan berharap orang-orang juga bisa terinspirasi. Kita bisa mengobrol setelah ini, ‘kan?”“Bi-sa, Mas.”Mereka menanyakan keberadaan Bapak dan aku menunjuk ke dalam kamar. Mereka meminta izin masuk untuk melihat dan aku mempersilakannya. Mereka masuk, memfokuskan pandangan pada Bapak yang selalu terlihat menyedihkan bagi orang lain, ditambah dengan kamar kos kami yang tidak punya barang selain tikar dan tas kumal. Tatapan Mas Juanda dan temannya se
“Eh, Mar! Sini-sini!” Dari kejauhan, Parwo sudah melambaikan tangan memberikan tanda agar aku mendekat. Aziz juga ada di sampingnya, merokok seperti biasanya. Raut wajahnya serius alih-alih cuek. “Ke mana aja kau kemarin? Ndak narik-narik.”“Assalamu’alaikum.” Parwo dan Aziz menjawab bersamaan. Aziz malah menatapku lama sementara Parwo tampak tidak sabar ingin mengatakan sesuatu. “Lu udah liat Metube atau Facenew kagak?” tanya Aziz.“Nggak. Aku nggak ada waktu buat nonton. Aku pergi dari kontrakan sama Bapak.”“Hah? Kok bisa, Mar?” Parwo memajukan kepalanya, tampak sangat penasaran.“Yah … biasalah, soal Bapak. Kalian pasti paham perangai Eda gimana.”“Lu diusir sama bini lu?”“Bukan, aku yang pergi sendiri karena Eda sudah mau pulang ke rumah orang tuanya. Si bungsu masih kecil banget, si Radit masih sekolah di sini. Repot kalau pulang kampung, jadi mending aku aja yang pergi.”“Terus kau tinggal di mana sekarang, Mar?” tanya Parwo.“Di kosan. Aku udah dapat kosan tadi pagi.” “Wa