Hari itu, saat Ayah kembali, matanya sudah penuh kemarahan dan dia berteriak padaku."Kenapa kamu harus berbohong?"Aku sama sekali tidak mengerti apa yang dia katakan, dan hanya bisa menangis ketakutan.Tiba-tiba, salah satu tangannya mencengkeram leherku dengan kencang.Aku kesulitan bernapas dan ingin mendorongnya pergi.Namun, kekuatannya luar biasa. Aku sudah berusaha sekuat tenaga tetapi tetap tidak bisa melepaskan diri.Aku bergumam tanpa sadar."A .... Ayah!"Saat aku berpikir bahwa aku akan mati dicekiknya, Tante Sandra datang dan menyelamatkanku."Kak Teddy, apa yang kamu lakukan?"Tante Sandra menarikku ke dalam pelukannya dan menatap Ayah dengan penuh tanya.Akan tetapi, Ayah hanya terus marah dan menunjuk ke arahku.Dia berkata, "Kalau saja dia nggak berbohong, Susan nggak akan sampai mati! Dia yang berbohong padaku!""Yolanda baru lima tahun, apa yang dia tahu? Bagaimana bisa kamu menyalahkan seorang anak kecil?""Dia tahu Susan ada di pantai, tapi dia sengaja berbohong.
Ayah buru-buru menaruh kotak itu dan langsung berlari keluar.Yansen adalah asisten Ayah, tetapi umurnya tidak jauh berbeda dengan Ayah.Ayah berjalan mendekatinya dan langsung bertanya."Apa yang terjadi dengan Kiara?"Melihat Ayah begitu cemas terhadap Kiara, aku merasa iri. Iri karena dia mendapatkan kasih sayang Ayah dengan begitu mudah.Seolah-olah tanpa perlu melakukan apa pun, hati Ayah sepenuhnya ada padanya.Kasih sayangnya kepada Kiara, bahkan seperti pada anak kandungnya sendiri.Meski begitu, aku tidak menyalahkan Ayah.Yansen menundukkan kepala dan memberi tahu Ayah."Nona Kiara diculik, penculiknya ingin Bapak sendiri yang berbicara dengannya!"Mendengar itu, Ayah langsung bergegas ke pintu, tetapi sebelum keluar, dia berbalik dan bertanya dengan suara pelan,"Yansen, kamu benar-benar sudah melepaskan Yolanda, 'kan?"Sekilas ada kepanikan di mata Yansen, tetapi dia segera menyembunyikannya."Ya, Pak Teddy, sudah!"Ayah menatapnya sekali lagi sebelum keluar.Padahal, kalau
Kiara tertegun sejenak, namun tetap berpura-pura bingung."Om Teddy, apa maksudmu? Aku nggak mengerti!"Ayah langsung berkata kepadanya."Ternyata penculiknya adalah Yansen, dan kamu bersekongkol dengannya."Namun, Kiara masih berpura-pura bodoh."Om Teddy, aku nggak tahu apa yang kamu bicarakan."Ayah menatapnya sambil tertawa mengejek.Pandangannya setajam elang, tertuju penuh pada Kiara, tanpa memberinya kesempatan untuk bersembunyi."Kalau kamu nggak tahu, biar aku jelaskan padamu.""Waktu itu, kamu memintaku hadir di kompetisi menarimu, ternyata niatmu adalah menculikku di perjalanan. Ketika rencana itu gagal, kamu dan Yansen berpikir untuk membuat seolah-olah kamu yang diculik, agar aku mau menukar saham perusahaan sebagai tebusan.""Tapi, saat panggilan video, aku melihat hal aneh. Tahi lalat di jari penculik itu sama persis dengan milik Yansen."Suara Ayah pelan, namun penuh wibawa, seolah-olah mampu menembus kedalaman hati.Setiap kata yang diucapkannya menghantam tepat pada k
"Kenapa?"Ayah bertanya dengan geram.Namun, Yansen tiba-tiba berteriak gila padanya."Perusahaan Limanta seharusnya memang milikku dari awal! Kamu yang mengambilnya dan juga membunuh ibuku! Aku bersembunyi di dekatmu selama lebih dari sepuluh tahun hanya untuk bisa membalas dendam!"Aku pikir Ayah akan memukulnya sampai mati, tetapi dia hanya berkata."Kamu hanya seorang anak haram. Bagaimana kamu bisa berpikir kamu layak mendapatkan Perusahaan Limanta?"Setelah mengatakan itu, dia tidak peduli lagi dengan sumpah serapah Yansen di belakang dan langsung membuka pintu.Sekelompok polisi menyerbu masuk.Pergeseran mendadak ini membuatku agak bingung."Aku hanya tertegun melihat bulan sejenak pada malam itu, dan Ayah tiba-tiba melakukan hal ini.Namun, aku lupa, dia memang selalu tenang dan teliti.Dia hanya tidak ingin memikirkan lebih jauh tentang masalahku, tidak mau mengakui bahwa aku tidak bersalah.Aku mengikuti dia kembali ke rumah tua keluarga Limanta.Aku melihatnya berjalan semp
Ketika kesadaranku perlahan kembali, aku melihat Ayah berjalan ke arahku.Aku langsung terdiam di tempat, tidak tahu harus berbuat apa.Namun, saat dia melewati tubuhku, aku baru menyadari bahwa dia sama sekali tidak bisa melihatku."Kiara, selamat ulang tahun!"Aku melihat dia tersenyum dan mengelus kepala sepupuku, Kiara, lalu memberinya sebuah hadiah yang dibungkus rapi."Terima kasih, Om Teddy!"Ulang tahun Kiara tujuh hari setelah ulang tahunku.Baru sekarang aku menyadari bahwa aku sudah meninggal tujuh hari.Mereka duduk mengelilingi kue yang indah, merayakan ulang tahun Kiara.Suasananya ramai dan penuh tawa!Sepertinya kehadiranku tidak menimbulkan perbedaan di sini.Dari kecil, ulang tahun Kiara selalu sangat meriah.Sedangkan ulang tahunku, tidak ada yang mau membahasnya, bahkan tidak ada yang peduli.Ketika Kiara hendak membuat permohonan, Tante Sandra yang ada di sampingnya tiba-tiba bertanya."Kak Teddy, di mana Yolanda? Kenapa dia nggak muncul-muncul?"Mendengar namaku,
Saat usiaku tujuh tahun, Ayah membawa pulang Kiara.Hanya karena Kiara berkata dia suka kamarku, aku diusir ke kamar tamu.Setiap hari, Ayah sendiri yang mengantarnya berangkat dan pulang dari sekolah.Bahkan saat pertemuan orang tua, dia memilih untuk pergi ke kelas Kiara.Aku pun menjadi anak terlantar tanpa orang tua di mata teman-teman.Tante Sandra juga mengeluh tentang hal itu. Dia bilang, seharusnya Ayah tidak begitu pilih kasih.Namun, dengan santai Ayah berkata."Kiara yang kecil ini sudah kehilangan orang tuanya, kasihan sekali dia. Bukankah seharusnya aku lebih memperhatikannya?"Namun, sepertinya dia lupa, aku juga kehilangan ibu saat masih kecil.Sedangkan Kiara, adalah anak yang penurut dan pengertian menurutnya.Namun, pada hari ulang tahunku itu, Kiara datang ke kamarku dan mencuri kalung peninggalan ibuku.Aku mengejarnya ke lantai dua, dan melihat dia mengangkat kalung itu dengan muka jahat."Yolanda, apa kamu mau kalung ini?"Aku mengepalkan tanganku sambil menahan m
Dengan gembira Kiara melompat-lompat kembali ke dalam rumah.Aku mengikutinya masuk ke dalam kamar yang dulunya milikku.Dulu, ini adalah kamar yang dipersiapkan oleh ibuku, tapi sekarang sudah tidak terlihat seperti sebelumnya.Kiara berbaring di tempat tidur, tidak sabar untuk menelepon seseorang."Aku mau bilang, si tua Teddy itu sudah setuju."Setelah itu, tidak tahu apa yang dikatakan di seberang telepon, tapi Kiara mengerutkan bibirnya dan berkata lagi."Tapi, kamu benar-benar nggak akan melepaskan Yolanda begitu saja, 'kan?"....Mendengar kata-kata Kiara, aku merasa sangat ketakutan.Keesokan harinya, mereka pergi ke lokasi kompetisi dengan mobil.Di sepanjang perjalanan, Ayah terlihat agak tidak fokus.Matanya sesekali menatap ponsel, tetapi tidak melakukan apa-apa.Aku mendekat dan baru menyadari bahwa namaku yang terpampang di layar itu.Apakah Ayah ingin meneleponku?Detik berikutnya, dia memang menelepon seperti yang aku duga."Maaf, nomor yang Anda hubungi ...."Namun, se