Share

Jeritan yang Tak Terdengar
Jeritan yang Tak Terdengar
Penulis: Astuti Ayu

Bab 1

Ketika kesadaranku perlahan kembali, aku melihat Ayah berjalan ke arahku.

Aku langsung terdiam di tempat, tidak tahu harus berbuat apa.

Namun, saat dia melewati tubuhku, aku baru menyadari bahwa dia sama sekali tidak bisa melihatku.

"Kiara, selamat ulang tahun!"

Aku melihat dia tersenyum dan mengelus kepala sepupuku, Kiara, lalu memberinya sebuah hadiah yang dibungkus rapi.

"Terima kasih, Om Teddy!"

Ulang tahun Kiara tujuh hari setelah ulang tahunku.

Baru sekarang aku menyadari bahwa aku sudah meninggal tujuh hari.

Mereka duduk mengelilingi kue yang indah, merayakan ulang tahun Kiara.

Suasananya ramai dan penuh tawa!

Sepertinya kehadiranku tidak menimbulkan perbedaan di sini.

Dari kecil, ulang tahun Kiara selalu sangat meriah.

Sedangkan ulang tahunku, tidak ada yang mau membahasnya, bahkan tidak ada yang peduli.

Ketika Kiara hendak membuat permohonan, Tante Sandra yang ada di sampingnya tiba-tiba bertanya.

"Kak Teddy, di mana Yolanda? Kenapa dia nggak muncul-muncul?"

Mendengar namaku, Ayah menyipitkan mata dengan muak dan berkata dengan dingin.

"Dia sudah melukai Kiara, jadi aku memberi pelajaran padanya. Sekarang dia ngambek entah ke mana."

Mendengar itu, Tante Sandra langsung terlihat khawatir.

"Apa kamu nggak terlalu berat menghukumnya? Yolanda selalu baik, dia nggak akan pergi sembarangan!"

Namun, Ayah tampak acuh tak acuh.

"Aku hanya mengurungnya satu atau dua hari, sekarang sudah dibebaskan. Aku rasa aku masih terlalu ringan menghukumnya!"

Hukuman singkat dari Ayah ini, akan selalu kuingat di sepanjang hidupku.

Malam itu, dia menatapku dengan tajam sambil memegang tongkat besar.

"Kenapa kamu mendorong sepupumu dari tangga?"

Tubuhku bergetar ketakutan, tetapi aku tetap menahan diri dan berkata padanya.

"Ayah, aku nggak mendorongnya, dia terjatuh sendiri!"

Namun, dia langsung memukul kakiku dengan keras.

"Ah ...."

Sakit yang luar biasa membuatku jatuh berlutut, dan aku tak bisa menahan teriakanku.

Namun, Ayah yang di sampingku menyindirku dengan kesal.

Sekarang kamu tahu bagaimana rasanya kesakitan? Waktu kamu dorong sepupumu sampai terjatuh dari tangga, kenapa kamu nggak mikir kalau dia juga akan kesakitan?

Tongkat itu kembali menghantam tubuhku di berbagai tempat, seperti badai yang datang dengan cepat.

Aku menggigit bibirku kuat-kuat, tetap tidak mau mengaku.

Dia makin marah dan memukulku dengan lebih keras.

Ketika akhirnya dia berhenti, aku merasa semua organ dalamku nyeri.

Aku tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun, tetapi di mata Ayah, aku tetap dianggap melawannya.

Jadi dia melemparkan aku yang sudah hampir tidak sadarkan diri ke dalam gudang bawah tanah.

Tempat itu gelap dan sempit, dan aku dijatuhkan di lantai seperti sampah.

Sebagai penderita klaustrofobia, tubuhku bergetar tanpa henti.

"Ayah ... Ayah, jangan .... Jangan kunci aku di sini!"

Namun, di matanya tidak ada sedikit pun rasa sayang, hanya ada rasa dingin dan kebencian.

Dia menarik tangannya dan dengan nada merendahkan, berbicara padaku

"Yolanda, kalau kamu sudah bisa membuang pikiran jahatmu itu, baru aku akan mengeluarkanmu!"

Setelah itu, dia berbalik pergi tanpa belas kasihan, menutup satu-satunya pintu kecil di sana.

Suasana di sekitarku menjadi gelap gulita. Dalam keputusasaan dan rasa sakit, mataku perlahan terpejam.

Sebenarnya, aku tidak tahu bagaimana aku mati.

Sejak saat itu, kesadaranku selalu terasa buram.

Aku pikir hidupku akan terhenti di usia 18 tahun.

Namun, tidak kusangka, meski sudah mati, jiwaku tetap bisa tinggal di sini.

Melihat kemarahan di wajah Ayah, Tante Sandra juga tidak bisa berkata apa-apa lagi.

Sebagai penopang utama keluarga Limanta, setiap kali Ayah marah, tidak ada yang berani membahasnya lagi.

Hanya Kiara yang dengan mata berbinar menarik tangan Ayah sambil bersikap manja.

"Om Teddy, jangan marah! Kalau marah, nanti kesehatanmu akan terganggu!"

Ayah yang sebelumnya tampak dingin seketika menjadi sangat lembut.

"Untung sekali ada Kiara yang paham! Seandainya saja Yolanda yang nakal itu bisa baik seperti kamu!"

Kalimat ini sudah berulang kali aku dengar sejak Kiara datang ke rumah ini.

Kiara tampaknya selalu menunjukkan sikap pengertian.

Apakah ini yang dianggap Ayah sebagai sikap yang baik?

Namun, apa dia tahu bahwa di balik penampilannya yang sopan dan santun itu, tersembunyi niat jahat yang mengerikan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status