Taman belakang itu sejuk dengan aroma tanah basah yang samar tercium di udara. Elise berdiri di dekat gazebo, menyapu daun-daun kering yang berserakan. Suara gemercik air dari kolam ikan di sampingnya memberikan sedikit ketenangan, meskipun pikirannya masih dipenuhi dengan kejadian-kejadian sebelumnya.Sebenarnya, menyapu bukanlah tugasnya. Di dalam kontraknya, jelas tertulis bahwa Elise bertugas sebagai pelayan pribadi Tuan Abraham. Tapi sejak Reiner Barack, cucu Tuan Abraham, kembali ke rumah dan Elise berpindah tugas melayani lelaki itu, Greta tampaknya selalu menemukan alasan untuk menambah beban pekerjaannya."Kau tidak perlu mengomel, Elise," suara Greta terdengar dari arah dinding pembatas, saat dia menyiram tanaman dengan gerakan malas. "Selagi kau nganggur, kau juga wajib ikut bantu beres-beres."Elise menghela napas panjang, menahan komentar yang ingin meluncur dari bibirnya. Dia memilih untuk membuang muka, pura-pura sibuk dengan sapunya. Namun dalam hatinya, dia merasa kes
Setelah Elise membersihkan diri dan merasa lega setelah seharian membantu pekerjaan rumah, pikirannya kembali tertuju pada buku catatan ibunya. Ia ingin duduk tenang di tanah kosong belakang rumah untuk membacanya. Namun, tugas yang menumpuk kembali menghentikannya.Saat hendak menuju kamar untuk mengambil buku catatan tersebut, pikirannya melayang. "Haruskah aku menyisihkan waktu untuk membaca ini sekarang? Tapi, pekerjaan belum selesai..."Elise menghela napas, mengingat pakaian bersih Tuan Reiner yang belum ditata di lemari. "Sebaiknya aku selesaikan dulu tugasku sebelum Tuan Reiner pulang." Dengan langkah cepat, Elise menuju ruang penyimpanan pakaian, mengangkat satu keranjang penuh milik Reiner.Namun, langkah Elise terhenti ketika suara Nyonya Barbra memanggilnya dengan nada tegas dari ujung ruangan.Barbra: "Berhenti di situ, Elise!"Elise menunduk sopan, meskipun hatinya mulai cemas. "Iya, Nyonya..."Barbra melangkah mendekat dengan ekspresi dingin khasnya, menunjuk keranjang
Reiner melangkah masuk ke tempat hiburan malam itu dengan langkah mantap. Bau alkohol dan suara musik keras menyambutnya, tapi wajahnya tetap dingin tanpa emosi. Beberapa wanita mencoba mendekat, menyapanya dengan suara manja, tapi Reiner hanya mengibaskan tangannya untuk menolak. Matanya terpaku pada sosok yang sedang tertawa keras di sofa, dikelilingi wanita-wanita berpakaian minim.Karl.Reiner berjalan mendekat. Sepatunya yang mahal menimbulkan bunyi tegas saat menyentuh lantai, membuat Karl menoleh dengan raut wajah terkejut sebelum dengan cepat kembali memasang senyum miringnya."Kau terkejut aku bisa menemukanmu?"Karl melepaskan lengannya dari salah satu wanita di sebelahnya, duduk lebih tegak, lalu meneguk minuman di tangannya sebelum tertawa kecil."Reiner Barack, pengusaha muda yang berpengaruh, datang menemuiku di tempat seperti ini. Suatu kehormatan."Reiner tak menjawab. Tatapannya yang tajam membuat wanita-wanita di sekitar Karl merasa tidak nyaman. Satu per satu mereka
Taman di belakang rumah keluarga Barack tampak sunyi, hanya suara desiran angin yang menggoyangkan dedaunan pohon pinus yang terdengar. Elise duduk di atas rerumputan yang lembut, terlindung dari sinar matahari oleh bayangan pohon yang menjulang tinggi. Di pangkuannya, ada sebuah buku catatan setebal tiga sentimeter dengan sampul cokelat polos. Buku itu sudah tua, terlihat dari beberapa bagian yang warnanya memudar. Elise memandang buku itu dengan perasaan campur aduk.“Kenapa aku merasa buku ini seperti sebuah teka-teki?” gumamnya pelan.Ia menelan ludah, tangannya gemetar saat membuka halaman pertama. Selama ini, ia tidak pernah berani menyentuh terlalu dalam, tetapi rasa penasaran yang menumpuk selama bertahun-tahun akhirnya mengalahkan ketakutannya.“Maafkan aku, Mama. Aku hanya ingin tahu,” bisiknya lirih.Halaman pertama hanya berisi coretan kecil, seperti catatan harian biasa. Elise membaca pelan-pelan. Awalnya, tidak ada yang aneh. Ibunya, Roseta, menulis tentang pekerjaannya
Elise terbangun dengan napas yang berat. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, meski udara di kamar terasa cukup dingin. Cahaya remang dari lampu meja menyinari wajahnya yang pucat. Mimpi itu lagi. Sekilas bayangan api, teriakan, dan suara kaca pecah membangunkan dirinya.Namun, seperti biasa, semuanya kabur ketika dia mencoba mengingatnya.Dia mengusap wajah dengan tangan gemetar, lalu memutar tubuh menghadap laci kecil di samping tempat tidur. Tangannya meraih ke dalam laci, mencari sesuatu yang selama ini ia sembunyikan bahkan dari dirinya sendiri. Sebuah foto.Dengan hati-hati, Elise mengangkat foto itu ke atas, menatapnya sambil tetap berbaring. Foto itu sudah tua, warnanya memudar, tapi wajah seorang wanita tetap terlihat jelas. Rambutnya hitam panjang, mata sayunya terlihat lelah, namun ada senyum kecil di wajah itu. Hanya saja, sebuah luka yang menahun di pipi kanan wanita itu tampak mencolok."Mama..."Air mata Elise menggenang di pelupuk mata. Wanita di foto itu adalah ibu
Suara dentingan piring dan gelas memenuhi ruang makan megah keluarga Abraham. Elise bergerak lincah, menata piring-piring porselen di atas meja panjang yang berlapis kain linen putih. Aroma kopi dan roti panggang menyebar, memikat selera siapa saja yang berada di dekat dapur.Sementara itu, para pelayan lainnya sibuk dengan tugas masing-masing. Sebagian menyapu lantai, yang lain berkutat di dapur dengan panci-panci beruap. Elise, dengan pakaian pelayannya yang sederhana—gaun hitam dengan celemek putih—tampak tenggelam dalam rutinitasnya.Namun, dia tidak menyadari sepasang mata tajam yang terus mengawasinya dari belakang.Barbra, dengan wajah tegas dan tatapan yang tidak bisa disembunyikan dari sarkasme, melangkah mendekat. Tumit sepatu hak tingginya berdetak di atas lantai marmer, semakin mendekati Elise.“Sebaiknya kau jangan bermimpi terlalu tinggi, Elise,” suara dingin Barbra membuat Elise berhenti menata piring.Elise menoleh dengan kening berkerut. “Nyonya... apa maksud Nyonya?”
Langit pagi yang cerah mengiringi langkah Elise saat mengikuti Reiner memasuki galeri seni yang terlihat megah meski terkesan klasik. Dindingnya dihiasi ukiran-ukiran rumit, dengan pintu kaca besar yang menyambut pengunjung dengan pantulan cahaya mentari. Elise memandang sekeliling, sedikit bingung. Ini bukan tempat yang biasa ia datangi, apalagi dalam situasi seperti ini.Elise menoleh, menatap punggung Reiner yang berjalan santai di depannya. “Tuan... kenapa Tuan membawa saya ke sini?” tanyanya, suaranya hampir tenggelam oleh gemuruh kecil para pengunjung yang berbicara pelan.Reiner menoleh singkat, sudut bibirnya sedikit terangkat. “Bukankah kau pernah bilang kau penasaran dengan galeri ini?”Elise mengerutkan kening, berusaha mengingat kapan ia mengungkapkan rasa penasaran itu. Namun, ia memilih untuk diam, mengikuti langkah Reiner yang melangkah dengan percaya diri.Memasuki ruang utama, Elise terpesona dengan interiornya. Galeri itu memiliki langit-langit tinggi dengan lampu ga
Restoran itu tampak elegan, dengan interior klasik yang berpadu harmonis dengan lampu-lampu temaram. Elise melangkah masuk dengan ragu, aroma makanan yang mewah bercampur dengan suara piano lembut semakin membuatnya gugup. Sesekali ia memandang ke arah pintu, berharap Reiner segera menyusul.Matanya menyapu ruangan, mencoba mencari meja nomor 10. Ia menemukan seorang pria duduk sendirian, mengenakan setelan jas yang rapi. Pria itu menatap Elise dengan alis sedikit terangkat."Apakah kau Elise?" tanya pria itu dengan nada datar.Elise mengangguk pelan. "Iya... Saya Elise."Pria itu bangkit dari kursinya dan berjalan mendekat. Elise mengenal wajahnya—Alex, pemilik galeri seni yang mereka kunjungi."Kau temannya Reiner, kan?" Alex melanjutkan.Belum sempat Elise menjawab, seorang wanita muncul dari belakang Alex. Wanita itu mengenakan gaun hitam pas badan yang memancarkan kesan glamor. Wajahnya sempurna dengan riasan yang terlihat profesional."Oh, bukan," wanita itu menyelipkan suara si
Elise berdiri di halaman, berhadapan dengan Federic yang tampak semakin tidak sabar. Langit sore mulai memudar, dan suasana di sekitarnya terasa sunyi, hanya diiringi suara lembut angin yang berembus. Elise berusaha tetap tenang, meskipun di dalam hatinya bergemuruh.“Aku tahu Reiner, Elise. Dia memperlakukanmu dengan buruk, kan?” Federic memulai, suaranya terdengar seperti tuduhan.Elise menghela napas panjang, menatap Federic dengan ekspresi lelah. “Tidak, Federic. Kau tidak tahu apa-apa. Tuan Reiner tidak seperti itu. Aku bekerja di sini dan sudah siap dengan segala risikonya.”Federic mendekat, lalu meraih tangan Elise. “Kau harus tahu, Elise. Setelah bertemu lagi, aku sadar perasaanku padamu masih sama. Tidak ada yang berubah.”Elise buru-buru menarik tangannya, merasa canggung dengan jarak di antara mereka. Dia menoleh, sadar bahwa ada yang mengawasi dari balik dinding kaca ruang tamu. “Federic, jangan berlebihan. Tidak enak dilihat orang.”
Elise mondar-mandir di dalam kamar Reiner, tangannya sesekali mencoba menggoyang-goyangkan gagang pintu. Namun, pintu itu tetap terkunci rapat. Helaan napas panjang keluar dari bibirnya yang pucat, sementara pikirannya dipenuhi pertanyaan yang tak terjawab.“Sebenarnya, kenapa aku harus dikurung di sini?” desah Elise lirih, lebih kepada dirinya sendiri.Ia melirik ke arah jendela yang memantulkan bayangan dirinya. Wajahnya tampak kusut, rambutnya sedikit berantakan akibat gerakan gelisahnya. Elise mengusap pelipisnya, mencoba menenangkan diri.Di lantai bawah, Federic duduk santai di ruang tamu, berhadapan dengan Abraham. Meskipun suasana terlihat tenang, ada ketegangan terselubung di antara mereka.“Kenapa kau datang-datang langsung bertanya tentang Elise?” Abraham memecah keheningan dengan nada rendah, tetapi penuh tekanan. “Kau kenal Elise?”Federic menyunggingkan senyum lebar. “Tentu saja kenal, Kakek. Dia teman lamaku, bahkan bisa di
Setelah keluar dari mobil, Reiner disambut oleh Hanna yang tampak gelisah. Perempuan itu berjalan cepat ke arahnya dengan wajah panik."Kenapa, Hanna? Wajahmu panik begitu?" tanya Reiner sambil merapikan jasnya."Ada tamu di ruangan Tuan," jawab Hanna dengan napas sedikit tersengal.Reiner mengerutkan kening. "Tamu? Siapa?""Sepupu Tuan," jawab Hanna dengan nada pelan tetapi penuh tekanan.Langkah Reiner terhenti sejenak, matanya menyipit tajam. "Untuk apa Federic ke sini?" gumamnya.Tanpa menunggu jawaban, Reiner melangkah cepat menuju tangga yang mengarah ke ruangannya. Hanna, yang terlihat enggan menaiki tangga, mendesah berat tetapi tetap membuntutinya.Sesampainya di ruangan, Reiner mendorong pintu dengan sedikit tenaga lebih. Di dalam, Federic sudah duduk santai di sofa dengan senyum lebar, seperti sedang menikmati pemandangan."Reiner, sepupuku sayang!" seru Federic sambil membuka kedua tangannya seolah i
Elise merasakan seluruh tubuhnya seperti dihantam ombak besar yang membuatnya terseret ke dasar laut. Setiap gerakan terasa pegal dan perih, terutama di bagian tubuh yang tak biasa disentuh sebelumnya. Begitu kedua matanya terbuka, ia baru menyadari sepenuhnya apa yang terjadi semalam—sebuah kenyataan yang membuatnya merasa tersudut."Astaga, Elise!" umpatnya pelan, sambil menarik diri dengan cepat dari tubuh yang ada di sampingnya. Jantungnya berdebar kencang, dan rasa malu mulai merayap di dalam diri. Tangannya mencengkeram ujung selimut, matanya celingukan, dan saat melihat pakaian tergeletak di lantai, kepalanya terasa berat."Apa yang sudah aku lakukan?" gumam Elise pada dirinya sendiri. Suaranya serak, suara yang penuh kebingungannya sendiri.Tiba-tiba, ada pergerakan dari samping, dan Elise terkejut saat melihat Reiner mulai melenguh pelan sebelum akhirnya tersenyum santai."Selamat pagi..." kata Reiner dengan nada lembut yang terdengar beg
Sesampainya di rumah, Will turun lebih dulu dari mobil. Dia membuka pintu untuk Reiner yang tampak terhuyung-huyung. Namun, bukannya mengikuti arahan Will, Reiner malah meracau dengan suara serak."Aku mau sama dia," gumam Reiner sambil merangkul Elise. "Kau pergi saja, Will."Will menatap Elise, yang terlihat canggung dengan situasi ini. Mereka saling pandang sejenak, seolah mencoba mencari solusi terbaik."Tidak apa-apa, Will," kata Elise akhirnya, meskipun suaranya terdengar ragu. "Tuan Reiner masih bisa berjalan. Aku akan bantu memapahnya ke kamar."Will mengerutkan dahi. "Kau yakin, Elise?"Elise mengangguk pelan, meski dalam hati dia merasa kewalahan. Reiner semakin berat bersandar padanya, sementara tangannya bermain-main dengan rambut Elise, membuat wajahnya memerah."Ayo, Tuan, saya antar ke kamar," ujar Elise, melingkarkan satu tangan di pinggang Reiner. Dengan susah payah, dia memapah Reiner menaiki tangga.Di
Reiner tidak memberi Elise kesempatan untuk menjauh. Bahkan ketika dia diminta memberikan pidato singkat, Reiner tetap meminta Elise berdiri di dekat panggung kecil, cukup terlihat oleh semua tamu.Tatapan tajam dari beberapa orang dan bisik-bisik yang mulai terdengar membuat Elise merasa sangat tidak nyaman. Dia menggenggam ujung gaunnya dengan gugup, ingin segera keluar dari ruangan ini."Dia itu siapa?" bisik salah satu tamu wanita sambil mencuri pandang ke arah Elise."Aku kurang tahu, tapi dia bersama Tuan Reiner terus sedari tadi," sahut yang lain. "Bahkan Nona Eva dan Olivia tidak dihiraukan olehnya."Pidato singkat Reiner berakhir, disambut tepuk tangan riuh. Saat dia turun dari panggung, alunan musik mulai menggema, mengundang para tamu untuk berdansa di ballroom.Langkah Reiner baru saja menjejak lantai ketika Olivia mendekat dengan senyum memikat. "Reiner, mau dansa denganku?" tanyanya, suaranya lembut namun cukup keras untuk d
Lampu kristal besar bergantung di tengah aula, memancarkan kilauan yang memantul di lantai marmer yang licin seperti cermin. Musik klasik lembut mengalun dari orkestra kecil di sudut ruangan, menciptakan suasana elegan yang memikat. Meja-meja prasmanan penuh dengan hidangan mewah—seafood segar, aneka keju, dan dessert berlapis cokelat berkilau.Reiner melangkah masuk dengan penuh percaya diri, mengenakan setelan hitam yang membuatnya terlihat semakin gagah. Aura karismanya langsung menarik perhatian seluruh tamu, terutama para wanita yang tak henti-hentinya berbisik."Siapa perempuan itu?" bisik salah satu tamu wanita sambil menatap Elise yang berjalan di samping Reiner."Kenapa dia datang bersama Tuan Reiner?" sambung yang lain, suaranya nyaris terdengar iri."Mereka terlihat tidak cocok."Tatapan tajam dan senyum sinis mulai bermunculan, membuat Elise merasa seperti pusat perhatian yang tak diinginkan. Tangannya semakin gemetar, tetapi
Satu hari berlalu…Elise duduk di atas ranjang kecilnya, kedua kaki terlipat, sementara tangannya memegang erat sebuah paperbag. Wajahnya tampak termenung, seolah memikirkan sesuatu yang berat."Sepertinya di sana bukan tempatku," gumam Elise pelan, tatapannya kosong. "Tapi Tuan Reiner memintaku ikut."Tangannya perlahan merogoh ke dalam paperbag, merasakan kain halus yang tersimpan di dalamnya. Sebuah gaun elegan berwarna hitam yang dibelikan Reiner kemarin. Elise menarik gaun itu perlahan, jemarinya menyentuh setiap detail kainnya.Namun, suasana hening itu tiba-tiba pecah. Dari balik pintu, suara berbisik terdengar samar. Sebelum Elise sempat bereaksi, Greta muncul bersama Sofia dan Clara, dengan cepat menyambar paperbag dari tangannya."Apa ini isinya?" tanya Greta dengan nada penuh penasaran. Senyumnya menyeringai, penuh ejekan."Kembalikan padaku!" Elise langsung bangkit dari ranjang, wajahnya memerah karena marah dan malu.
Elise dan Reiner masih berada di kamar. Niatnya Elise ingin keluar untuk menemui ayahnya, tapi Reiner melarangnya dengan alasan tidak mau sendirian di kamar sempit ini.Sementara itu, di ruang tengah yang terhubung dengan ruang makan, Lily baru saja meletakkan minuman untuk dua tamunya di atas meja."Kakak Elise kemana, Ayah?" tanya Lily.Eddie sedang mencuci tangan menjawab. "Kakakmu sedang mengantar Tuan Reiner untuk istirahat.""Aku panggil saja ya, biar ikut makan siang."Dengan cepat Eddie mencegah langkah putrinya itu, "Tidak usah, Lily. Nanti kakakmu pasti ke sini."Akhirnya Lily mengangguk, lalu berlanjut menata makan siang di atas meja. Meski umurnya baru menjelas sebelah tahun, Lily cukup pandai untuk membuat makanan. Ya, meskipun aja beberapa lembar omelet dan salad.Di dalam kamar, Elise mondar-mandir dengan gelisah. Dia sesekali melirik ke arah Reiner yang masih bersandar di ujung ranjang dengan tiga tumpuka