Taman di belakang rumah keluarga Barack tampak sunyi, hanya suara desiran angin yang menggoyangkan dedaunan pohon pinus yang terdengar. Elise duduk di atas rerumputan yang lembut, terlindung dari sinar matahari oleh bayangan pohon yang menjulang tinggi. Di pangkuannya, ada sebuah buku catatan setebal tiga sentimeter dengan sampul cokelat polos. Buku itu sudah tua, terlihat dari beberapa bagian yang warnanya memudar. Elise memandang buku itu dengan perasaan campur aduk.“Kenapa aku merasa buku ini seperti sebuah teka-teki?” gumamnya pelan.Ia menelan ludah, tangannya gemetar saat membuka halaman pertama. Selama ini, ia tidak pernah berani menyentuh terlalu dalam, tetapi rasa penasaran yang menumpuk selama bertahun-tahun akhirnya mengalahkan ketakutannya.“Maafkan aku, Mama. Aku hanya ingin tahu,” bisiknya lirih.Halaman pertama hanya berisi coretan kecil, seperti catatan harian biasa. Elise membaca pelan-pelan. Awalnya, tidak ada yang aneh. Ibunya, Roseta, menulis tentang pekerjaannya
Elise terbangun dengan napas yang berat. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, meski udara di kamar terasa cukup dingin. Cahaya remang dari lampu meja menyinari wajahnya yang pucat. Mimpi itu lagi. Sekilas bayangan api, teriakan, dan suara kaca pecah membangunkan dirinya.Namun, seperti biasa, semuanya kabur ketika dia mencoba mengingatnya.Dia mengusap wajah dengan tangan gemetar, lalu memutar tubuh menghadap laci kecil di samping tempat tidur. Tangannya meraih ke dalam laci, mencari sesuatu yang selama ini ia sembunyikan bahkan dari dirinya sendiri. Sebuah foto.Dengan hati-hati, Elise mengangkat foto itu ke atas, menatapnya sambil tetap berbaring. Foto itu sudah tua, warnanya memudar, tapi wajah seorang wanita tetap terlihat jelas. Rambutnya hitam panjang, mata sayunya terlihat lelah, namun ada senyum kecil di wajah itu. Hanya saja, sebuah luka yang menahun di pipi kanan wanita itu tampak mencolok."Mama..."Air mata Elise menggenang di pelupuk mata. Wanita di foto itu adalah ibu
Suara dentingan piring dan gelas memenuhi ruang makan megah keluarga Abraham. Elise bergerak lincah, menata piring-piring porselen di atas meja panjang yang berlapis kain linen putih. Aroma kopi dan roti panggang menyebar, memikat selera siapa saja yang berada di dekat dapur.Sementara itu, para pelayan lainnya sibuk dengan tugas masing-masing. Sebagian menyapu lantai, yang lain berkutat di dapur dengan panci-panci beruap. Elise, dengan pakaian pelayannya yang sederhana—gaun hitam dengan celemek putih—tampak tenggelam dalam rutinitasnya.Namun, dia tidak menyadari sepasang mata tajam yang terus mengawasinya dari belakang.Barbra, dengan wajah tegas dan tatapan yang tidak bisa disembunyikan dari sarkasme, melangkah mendekat. Tumit sepatu hak tingginya berdetak di atas lantai marmer, semakin mendekati Elise.“Sebaiknya kau jangan bermimpi terlalu tinggi, Elise,” suara dingin Barbra membuat Elise berhenti menata piring.Elise menoleh dengan kening berkerut. “Nyonya... apa maksud Nyonya?”
Langit pagi yang cerah mengiringi langkah Elise saat mengikuti Reiner memasuki galeri seni yang terlihat megah meski terkesan klasik. Dindingnya dihiasi ukiran-ukiran rumit, dengan pintu kaca besar yang menyambut pengunjung dengan pantulan cahaya mentari. Elise memandang sekeliling, sedikit bingung. Ini bukan tempat yang biasa ia datangi, apalagi dalam situasi seperti ini.Elise menoleh, menatap punggung Reiner yang berjalan santai di depannya. “Tuan... kenapa Tuan membawa saya ke sini?” tanyanya, suaranya hampir tenggelam oleh gemuruh kecil para pengunjung yang berbicara pelan.Reiner menoleh singkat, sudut bibirnya sedikit terangkat. “Bukankah kau pernah bilang kau penasaran dengan galeri ini?”Elise mengerutkan kening, berusaha mengingat kapan ia mengungkapkan rasa penasaran itu. Namun, ia memilih untuk diam, mengikuti langkah Reiner yang melangkah dengan percaya diri.Memasuki ruang utama, Elise terpesona dengan interiornya. Galeri itu memiliki langit-langit tinggi dengan lampu ga
Restoran itu tampak elegan, dengan interior klasik yang berpadu harmonis dengan lampu-lampu temaram. Elise melangkah masuk dengan ragu, aroma makanan yang mewah bercampur dengan suara piano lembut semakin membuatnya gugup. Sesekali ia memandang ke arah pintu, berharap Reiner segera menyusul.Matanya menyapu ruangan, mencoba mencari meja nomor 10. Ia menemukan seorang pria duduk sendirian, mengenakan setelan jas yang rapi. Pria itu menatap Elise dengan alis sedikit terangkat."Apakah kau Elise?" tanya pria itu dengan nada datar.Elise mengangguk pelan. "Iya... Saya Elise."Pria itu bangkit dari kursinya dan berjalan mendekat. Elise mengenal wajahnya—Alex, pemilik galeri seni yang mereka kunjungi."Kau temannya Reiner, kan?" Alex melanjutkan.Belum sempat Elise menjawab, seorang wanita muncul dari belakang Alex. Wanita itu mengenakan gaun hitam pas badan yang memancarkan kesan glamor. Wajahnya sempurna dengan riasan yang terlihat profesional."Oh, bukan," wanita itu menyelipkan suara si
Padma melangkah ke toilet wanita dengan langkah anggun yang penuh perhitungan. Gaun hitamnya yang pas di tubuhnya berdesir lembut, menarik perhatian seorang pelayan yang kebetulan melintas di dekatnya. Namun Padma tidak peduli. Ia punya tujuan lain.Setelah memastikan ruangan itu sepi, matanya segera menemukan sosok Elise yang sedang mencuci tangan di wastafel. Padma mendekat perlahan, berdiri di samping Elise sambil memeriksa riasan wajahnya di cermin. Senyum miring menghiasi wajahnya saat ia mulai berbicara."Cukup membuatku heran melihat Reiner bisa dekat dengan pelayannya."Nada suaranya terdengar tenang, namun penuh sindiran tajam. Elise, yang menyadari kehadiran Padma sejak beberapa detik lalu, menoleh dengan senyuman kecil yang tampak tenang namun penuh arti. Dia tahu siapa perempuan di sebelahnya—masa lalu Tuan Reiner yang kini mencoba mengusiknya."Tuan Reiner memang cukup dekat dengan saya, Nona."Jawaban itu terdengar sopan, na
Reiner dan Padma masih berdansa di tengah lantai ballroom yang diterangi lampu gantung kristal. Elise mengamati dari kejauhan, mencoba mempertahankan senyumnya meski hatinya terasa berat. Dari sudut pandangnya, Reiner dan Padma tampak begitu mesra, terutama ketika Padma dengan sengaja mendekatkan tubuhnya ke Reiner. Namun kenyataan tidak sepenuhnya seperti itu.Reiner berbisik dengan nada dingin, “Tidak perlu mencoba mendekatiku lagi. Aku hanya berdansa denganmu supaya kau tidak merasa malu di depan Teresa.”Padma tersenyum getir, menyembunyikan kekecewaannya. “Begitu, ya... aku pikir kau menikmati momen ini. Kau harusnya ingat betapa mesranya kita dulu.”Reiner tidak menanggapi ucapan itu. Dia hanya melepas pelukan Padma dengan perlahan, langkah kakinya sudah mengarah ke meja. “Sebaiknya kita kembali,” katanya singkat.Padma mengikuti dari belakang, menahan rasa malu yang perlahan menggerogoti dirinya. Namun, saat kembali ke meja, dia sengaja ter
Dalam perjalanan pulang, atmosfer di dalam mobil terasa berat. Elise duduk diam, menggigit bibir bawahnya sambil memilin-milin jarinya, seperti mencari pelarian dari rasa gelisah yang merongrong pikirannya. Di sebelahnya, Reiner memegang setir dengan ekspresi yang sulit terbaca. Sesekali, dia melirik Elise dari sudut matanya, tapi tak mengatakan apa pun. Hanya bunyi halus mesin mobil yang mengisi kesunyian di antara mereka.Tiba-tiba, mobil menepi. Elise tersentak, matanya terarah pada jalanan gelap di luar jendela. "Kenapa berhenti, Tuan—"Belum selesai dia bertanya, Reiner sudah memutuskan jarak di antara mereka dengan gerakan cepat. Tubuhnya condong ke arah Elise, matanya yang tajam menusuk langsung ke dalam milik Elise. Tangan besar Reiner mencengkeram lengan Elise, menariknya mendekat dengan tegas, namun tanpa kekerasan berlebihan."Aku tidak bisa menahannya, Elise," gumam Reiner, suaranya rendah dan berat, hampir seperti desahan. "Kau yang memancingk
Tobey duduk di kursi, wajahnya tegang dan penuh kemarahan. Tangan kanannya mencengkeram sandaran kursi dengan erat, sementara tangan kirinya meremas ponsel, matanya terpaku pada foto yang ada di layar—sebuah gambar pria yang tak lain adalah ayah Elise. Ketika matanya menyapu ruang itu, ia mendapati bawahannya masih sibuk mengutak-atik komputer, mencoba mencari solusi dari teka-teki yang membuatnya semakin jengkel. "Damn!" Tobey mengumpat kasar, suaranya serak penuh kekesalan. "Kau memang serakah, Harrys! Bahkan setelah mati, kau masih menyusahkan hidupku!" Ia melemparkan ponselnya ke meja dengan kasar, kemudian berdiri dan berjalan mondar-mandir, berpikir keras. Ruangan itu terasa semakin sempit, seolah-olah setiap sudutnya menekan perasaan Tobey yang semakin membara. Di ambang pintu, Karl muncul, memandangnya dengan wajah ragu-ragu. “Apakah mungkin kode sandinya ulang tahun Roseta?” Tobey menoleh, matanya menyipit dengan keraguan. "Itu terlalu mudah, Karl." Suaranya terdengar taj
Di dalam ruangan yang cukup terang, suasana semakin tegang. Semua mata tertuju pada brankas besar yang terletak di tengah ruangan. Ahli IT yang duduk di depan komputer mulai mengoperasikan alatnya, dan layar di hadapannya menunjukkan data yang bergerak cepat. Semua orang menunggu dengan cemas, menyadari bahwa brankas itu hanya bisa dibuka dengan sidik jari yang cocok. Tentu saja, itu hanya masalah waktu. Tak lama lagi, brankas itu akan terbuka, dan rahasia yang tersembunyi di dalamnya akan terungkap. Semua mata kini beralih ke Elise yang terikat di sudut ruangan. Wajahnya tampak pucat dan penuh kecemasan. Tiba-tiba, salah satu suruhan lainnya yang tampaknya bertugas menjaga keamanan ruangan, berjalan mendekat dengan ekspresi cemas. Wajahnya menunjukkan ketegangan. "Tuan, kami mendeteksi gerakan di sekitar gedung. Sepertinya ada orang lain yang mendekat." Tobey mengerutkan keningnya, lalu mengalihkan pandangannya ke Elise yang duduk di sudut ruangan, tampak semakin ketakutan. Tata
Pagi itu, tubuh Elise tersentak hebat, seakan terbangun dari mimpi buruk yang terlalu nyata. Matanya langsung terbuka lebar, menatap langit-langit gelap di atasnya. Napasnya memburu, dadanya naik-turun seiring ketakutan yang belum sepenuhnya hilang dari pikirannya. Dia bergumam pelan, hampir tidak terdengar, "Sudah pagi ternyata..." Namun, pagi itu tidak membawa ketenangan. Elise masih terikat di kursi kayu keras, dengan tali yang menggerus pergelangan tangannya. Dia mencoba lagi untuk membebaskan diri, menarik-narik tali bergantian dengan penuh harap, tetapi usahanya hanya membuat kulitnya semakin memerah dan perih. Rasa sakit itu seperti memperingatkan bahwa kebebasan masih jauh dari jangkauan. Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat. Elise segera berhenti bergerak, memejamkan mata, dan menyandarkan kepalanya ke dinding. Dia berpura-pura tidur, mencoba mendengarkan percakapan yang terjadi di luar ruangannya. "Tuan akan langsung membawa dia pergi?" suara berat Karl terde
Pukul delapan malam, suasana di luar rumah Eddie masih tampak tenang. Reiner memarkir mobilnya di depan pagar yang sudah mulai berkarat. Langkahnya terdengar berat dan cepat di atas jalan setapak menuju pintu utama. Ketika pintu terbuka, Eddie—dengan rambutnya yang mulai memutih dan postur tubuh sedikit membungkuk—terlihat terkejut mendapati Reiner berdiri di ambang pintu dengan ekspresi tegang. “Silakan masuk, Tuan... sepertinya ada yang genting,” kata Eddie sambil mempersilakan Reiner masuk ke ruang tamu. Tanpa menunggu basa-basi, Reiner langsung membuka pembicaraan. “Apa kau masih sering menemui Karl?” Kening Eddie berkerut. Nama itu seperti pisau tua yang kembali mengiris luka lama. “Ada apa dengan Karl?” tanyanya penuh kebingungan. Reiner mendesah berat, mencoba menahan ledakan emosinya. “Elise hilang.” Mata Eddie membelalak. “E-Elise hilang? Bagaimana bisa, Tuan?” Reiner meraup wajahnya dengan kasar, frustrasi. “Kau tahu kira-kira Karl tinggal di mana? Kau itu kakak kandun
Tubuh Elise gemetar, kedua tangannya terikat erat di belakang punggung, sementara kakinya dililit tali yang sama kuatnya. Lakban menutup rapat mulutnya, membuatnya hanya bisa mengeluarkan suara samar dari tenggorokannya. Dia duduk bersimpuh di lantai, punggungnya bersandar pada sebuah lemari kayu yang besar. Perlahan, Elise membuka matanya. Pandangannya buram pada awalnya, tapi sedikit demi sedikit, ruangan itu mulai terlihat jelas. Cahaya remang dari sebuah lampu gantung tua memantulkan bayangan menyeramkan di dinding. Jantungnya berdegup kencang saat ia menyadari bahwa dirinya berada di tempat asing, dalam kondisi tidak berdaya. Suara langkah kaki terdengar mendekat. Karl muncul dari kegelapan, mengenakan jaket kulit yang terlihat usang. Wajahnya dihiasi seringaian dingin yang mengirimkan hawa menakutkan ke seluruh ruangan. "Bangun juga kau, Elise," ucap Karl dengan nada mengejek, matanya menyipit tajam saat dia mendekati tubuh Elise yang terikat. Elise berusaha menggerakkan tub
Polisi mulai sibuk bergerak, menyebar ke seluruh area bangunan tua yang telah lama terbengkalai di tengah hutan. Mereka menggedor setiap sudut, membuka pintu-pintu berkarat dan menyisir ruang-ruang yang diselimuti debu tebal. Meskipun bangunan ini sudah lama ditinggalkan, tidak ada yang tahu bahwa di dalamnya masih tersimpan sesuatu yang sangat penting, sesuatu yang bisa mengubah banyak hal."Dua langkah ke kiri!" perintah seorang polisi dengan suara tegas saat ia menyisir ruang yang dipenuhi komputer-komputer tua dan alat-alat aneh. Dalam salah satu sudut ruangan, sebuah brangkas besar berdiri tegak, menunggu untuk dibuka oleh Tobey. Tapi kini, brangkas itu hanya menjadi objek misteri bagi para penyelidik."Jangan bergerak! Kalian sudah terkepung!" teriak polisi lain yang sudah mengarahkan senjata mereka ke empat orang yang berada di dalam ruangan tersebut. Para pengikut Tobey terkejut, namun mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Tangan mereka terangkat ke udara sebagai tanda menyerah.
Kediaman Keluarga BarackReiner memarkir mobil di area halaman, suara mesin yang berhenti menarik perhatian Will yang sedang duduk di pos bersama para penjaga. "Baru pulang, Tuan?"Reiner hanya mengangguk singkat, kemudian berjalan masuk ke dalam rumah. Udara di dalam terasa hangat, namun pikirannya tidak. Ada sesuatu yang mengganjal sejak dia melihat barang berserakan di jalan pinus tadi.Saat tiba di ruang tengah, suaranya bergema, memanggil, "Elise!"Yang muncul bukan Elise, melainkan Clara, dengan wajah sedikit ragu."Maaf, Tuan... Elise sedang tidak di rumah."Kening Reiner langsung berkerut, nada suaranya berubah. "Kemana dia?" "Saya kurang tahu, Tuan. Dari siang saya tidak melihat Elise."Reiner terdiam, pikirannya langsung berputar. Dia berjalan menuju tangga, melangkah ke lantai dua sambil mencoba menenangkan diri.Reiner membatin, "Apa dia pergi menemui ayah dan adiknya lagi? Atau ke galeri seni seperti biasa?"Tapi kenapa tidak ada pesan? Dia merogoh ponsel dari saku cela
Siang itu, matahari bersinar terang di halaman rumah keluarga Barbra. Elise sedang sibuk menyapu dedaunan kering yang berguguran. Dengan gerakan cepat, ia mencoba menyelesaikan pekerjaannya, namun perhatiannya terusik oleh percakapan yang terjadi di teras depan. "Reiner sering sekali mencuri pandang padaku waktu itu," suara Olivia terdengar jelas, diiringi tawa kecil. "Ah, aku ingat itu. Anak itu selalu mencari alasan untuk bertemu denganmu," sahut Barbra dengan nada bercanda, tetapi ada kehangatan di dalamnya. Mendengar obrolan itu, Elise menghentikan gerakan sapunya. Ia berdiri di balik pohon besar, mencuri dengar pembicaraan mereka. Dadanya terasa sedikit sesak, meskipun ia sendiri tidak mengerti mengapa. Olivia melanjutkan, "Dia benar-benar berbeda saat itu, Bibi. Lebih hangat, lebih perhatian. Tapi, yah, waktu memang mengubah segalanya." Elise mendengus pelan, mencoba mengalihkan rasa tak nyaman dengan menyapu daun-daun kering lebih keras. Tak lama kemudian, Reiner muncul da
Pagi itu, Elise sudah berdiri di depan kamar Reiner, memeluk keranjang pakaian yang semalam harus ia setrika ulang. Matanya menatap pintu kayu itu dengan ragu. Dia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri sebelum mengetuk. Namun, sebelum tangannya sempat menyentuh pintu, gagang pintu itu berputar, dan sosok Olivia muncul dari dalam. Olivia menguap kecil, tampak santai dengan piyama satin yang terkesan mahal. Rambutnya tergerai rapi, meskipun baru saja bangun tidur. Elise membeku. Pandangan mereka bertemu, dan Olivia tampak terkejut. “Eh, Elise? Kau di sini pagi-pagi sekali?” tanya Olivia sambil merapikan rambutnya. Elise menelan ludah. “Sa-saya… saya mau mengantar pakaian, Nona. Semua harus rapi sebelum Tuan Reiner bangun.” “Oh, begitu ya?” Olivia tersenyum tipis sambil menyingkir memberi jalan. “Silakan masuk saja.” Elise mengangguk canggung, melangkah masuk ke kamar sambil memeluk keranjang pakaian erat-erat. Dia tidak berani menoleh, tetapi langkah Olivia yang gemulai ta