Padma melangkah ke toilet wanita dengan langkah anggun yang penuh perhitungan. Gaun hitamnya yang pas di tubuhnya berdesir lembut, menarik perhatian seorang pelayan yang kebetulan melintas di dekatnya. Namun Padma tidak peduli. Ia punya tujuan lain.
Setelah memastikan ruangan itu sepi, matanya segera menemukan sosok Elise yang sedang mencuci tangan di wastafel. Padma mendekat perlahan, berdiri di samping Elise sambil memeriksa riasan wajahnya di cermin. Senyum miring menghiasi wajahnya saat ia mulai berbicara."Cukup membuatku heran melihat Reiner bisa dekat dengan pelayannya."Nada suaranya terdengar tenang, namun penuh sindiran tajam. Elise, yang menyadari kehadiran Padma sejak beberapa detik lalu, menoleh dengan senyuman kecil yang tampak tenang namun penuh arti. Dia tahu siapa perempuan di sebelahnya—masa lalu Tuan Reiner yang kini mencoba mengusiknya."Tuan Reiner memang cukup dekat dengan saya, Nona."Jawaban itu terdengar sopan, naReiner dan Padma masih berdansa di tengah lantai ballroom yang diterangi lampu gantung kristal. Elise mengamati dari kejauhan, mencoba mempertahankan senyumnya meski hatinya terasa berat. Dari sudut pandangnya, Reiner dan Padma tampak begitu mesra, terutama ketika Padma dengan sengaja mendekatkan tubuhnya ke Reiner. Namun kenyataan tidak sepenuhnya seperti itu.Reiner berbisik dengan nada dingin, “Tidak perlu mencoba mendekatiku lagi. Aku hanya berdansa denganmu supaya kau tidak merasa malu di depan Teresa.”Padma tersenyum getir, menyembunyikan kekecewaannya. “Begitu, ya... aku pikir kau menikmati momen ini. Kau harusnya ingat betapa mesranya kita dulu.”Reiner tidak menanggapi ucapan itu. Dia hanya melepas pelukan Padma dengan perlahan, langkah kakinya sudah mengarah ke meja. “Sebaiknya kita kembali,” katanya singkat.Padma mengikuti dari belakang, menahan rasa malu yang perlahan menggerogoti dirinya. Namun, saat kembali ke meja, dia sengaja ter
Dalam perjalanan pulang, atmosfer di dalam mobil terasa berat. Elise duduk diam, menggigit bibir bawahnya sambil memilin-milin jarinya, seperti mencari pelarian dari rasa gelisah yang merongrong pikirannya. Di sebelahnya, Reiner memegang setir dengan ekspresi yang sulit terbaca. Sesekali, dia melirik Elise dari sudut matanya, tapi tak mengatakan apa pun. Hanya bunyi halus mesin mobil yang mengisi kesunyian di antara mereka.Tiba-tiba, mobil menepi. Elise tersentak, matanya terarah pada jalanan gelap di luar jendela. "Kenapa berhenti, Tuan—"Belum selesai dia bertanya, Reiner sudah memutuskan jarak di antara mereka dengan gerakan cepat. Tubuhnya condong ke arah Elise, matanya yang tajam menusuk langsung ke dalam milik Elise. Tangan besar Reiner mencengkeram lengan Elise, menariknya mendekat dengan tegas, namun tanpa kekerasan berlebihan."Aku tidak bisa menahannya, Elise," gumam Reiner, suaranya rendah dan berat, hampir seperti desahan. "Kau yang memancingk
Selesai makan malam, Eva menggamit lengan Barbra dan membawanya menuju ruang perpustakaan. Tempat itu tenang, jauh dari keramaian, dan paling aman untuk berbicara. Barbra, yang semula keheranan, mengikuti tanpa banyak tanya, meskipun langkah Eva terasa tergesa-gesa.Begitu sampai, Eva menutup pintu dengan perlahan dan menguncinya. Dia memastikan tidak ada siapa pun yang mengintip atau mendengar. Barbra duduk di kursi panjang, matanya memandang Eva yang kini berdiri di depannya dengan gelisah."Kenapa mengajakku ke sini, Eva? Ada apa?"Eva mendesis kecil sambil memberi isyarat agar Barbra tidak terlalu berisik. Dia duduk di sebelah Barbra, menyusun kata-kata di kepalanya sebelum akhirnya berbicara dengan suara pelan namun tegas. "Aku mau bicara, Tante. Ini penting."Nada serius Eva membuat Barbra memicingkan mata. Ekspresinya berubah waspada."Penting tentang apa? Kenapa kau tiba-tiba seperti ini?"Eva menghela napas ber
Satu minggu berlalu...Di sebuah perumahan lain yang tidak kalah mewah dari hunian keluarga Barack, suasana sunyi menyelimuti sebuah rumah megah dengan arsitektur bergaya klasik modern. Di dalam ruang kerja yang dipenuhi dengan rak buku berisi koleksi literatur langka, Tobey Johnson sedang berbicara serius dengan salah satu orang kepercayaannya, Karl.Tobey duduk di kursi kulit berwarna gelap dengan ekspresi dingin, sementara Karl berdiri di hadapannya dengan sikap penuh hormat."Kau yakin mereka tidak tahu-menahu tentang ini?""Saya yakin begitu, Tuan. Mereka bahkan terlihat sudah tidak terlalu peduli dengan galeri itu. Semua dokumentasi dan catatan lama telah lenyap."Tobey mengusap dagunya, tampak berpikir dalam. Matanya menyipit, seolah mencoba membaca sesuatu yang tidak terlihat."Kau benar... Sialnya, keluarga itu sudah mati, dan tidak ada satu pun dari mereka yang meninggalkan jejak."Rasa frustrasi terpancar jelas dari raut wajahnya. Dia memukul meja kerjanya, membuat beberapa
Keluarga Barack dibangunkan oleh sebuah berita yang mengejutkan. Pagi yang biasanya tenang ini langsung dihantam kegelisahan yang datang begitu cepat.Gale yang terbangun lebih dulu segera keluar dari kamar tidur, berlari menuju kamar ayahnya yang masih terlelap. Pintu kamar terbuka dengan cepat, dan ia langsung mengguncang tubuh ayahnya yang terlihat tidur pulas."Ayah! Ayah, bangun! Cepat!"Abraham yang terkejut segera membuka matanya, wajahnya yang sudah keriput langsung berubah khawatir."Apa yang terjadi, Gale?""Ada berita penting! Kami semua harus segera ke ruang keluarga!"Setelah itu, Gale bergegas keluar, menuju kamar lain di lantai atas. Di sana, ia meminta bantuan Elise, untuk segera membangunkan Reiner."Elise, tolong bangunkan Reiner segera. Ini sangat penting!"Elise tampak panik, namun dia segera menga
Keluarga Barack bersiap-siap untuk pergi ke kediaman keluarga Johnson. Reiner, Abraham, dan Gale duduk di dalam mobil dengan suasana yang terasa tegang. Meskipun tampak tenang di luar, ada ketegangan yang mengalir di dalam keluarga ini seiring dengan kematian mendadak Padma.Abraham membuka percakapan, suaranya terdengar datar namun penuh penekanan. "Kau bertemu dengan Padma minggu lalu, kan?"Reiner menatap ayahnya sejenak, lalu mengangguk. "Ya. Aku bertemu dengannya. Dia terlihat baik-baik saja. Tidak ada yang aneh."Gale yang duduk di samping Reiner, mengalihkan pandangannya, mencoba menangkap ekspresi putranya."Kau datang bersama Elise?" tanya Gale, suaranya terdengar penuh perhatian, namun ada sesuatu yang lebih mendalam di balik kata-katanya.Reiner mengangguk, sedikit cemas dengan pertanyaan tersebut. "Iya, aku datang bersama Elise. Tapi aku hanya menemui Alex."
Di dalam perjalanan, Reiner duduk dengan gelisah di balik kemudi. Jemarinya mengetuk setir, matanya sesekali melirik ke kaca spion, seolah memeriksa apakah ada yang mengikutinya. Namun, bukan keheningan jalan yang mengganggu pikirannya, melainkan bayangan wajah Elise yang seakan terus menghantui."Beraninya dia pergi tanpa izin," gumam Reiner, suaranya terdengar tegas meski tak ada orang lain yang mendengar. "Apa dia tidak tahu siapa yang dia hadapi?"Ia menghela napas panjang, lalu mencengkeram erat setir mobil. "Nanti kalau aku sudah bertemu dengannya, dia pasti akan tahu akibatnya."Namun, saat mobilnya mendekati rumah yang dituju, amarah itu berganti dengan sesuatu yang lain—rasa penasaran bercampur kecemasan. Reiner memperlambat laju mobilnya dan berhenti di depan sebuah rumah sederhana. Pintu depan terlihat sedikit terbuka, membiarkan cahaya matahari menyelinap masuk.Reiner turun dengan
Elise duduk diam di dalam mobil, mencoba memahami ekspresi serius Reiner dan Eddie yang berbicara di luar. Mereka tampak berbicara dengan nada rendah, sesekali melirik ke arah mobil. Elise memiringkan kepalanya, berusaha menangkap sepatah dua patah kata dari percakapan itu, tetapi hanya keheningan yang menjawab.Dari jarak dekat, suara Reiner terdengar penuh ketegasan, meskipun Elise tidak dapat mendengar kata-kata pastinya."Aku harap kau tetap bisa dipercaya," ujar Reiner sambil menatap Eddie tajam.Eddie mengangguk dengan percaya diri. "Saya sudah menjalankan peran ini selama belasan tahun, Tuan. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan."Reiner memandangnya beberapa detik lebih lama sebelum mendesah pendek, lalu berbalik menuju mobil. Elise buru-buru duduk tegap, mencoba menyembunyikan rasa ingin tahunya.Saat Reiner membuka pintu dan duduk di kursi kemudi, Elise mencuri pandang sekilas.
Elise berdiri di halaman, berhadapan dengan Federic yang tampak semakin tidak sabar. Langit sore mulai memudar, dan suasana di sekitarnya terasa sunyi, hanya diiringi suara lembut angin yang berembus. Elise berusaha tetap tenang, meskipun di dalam hatinya bergemuruh.“Aku tahu Reiner, Elise. Dia memperlakukanmu dengan buruk, kan?” Federic memulai, suaranya terdengar seperti tuduhan.Elise menghela napas panjang, menatap Federic dengan ekspresi lelah. “Tidak, Federic. Kau tidak tahu apa-apa. Tuan Reiner tidak seperti itu. Aku bekerja di sini dan sudah siap dengan segala risikonya.”Federic mendekat, lalu meraih tangan Elise. “Kau harus tahu, Elise. Setelah bertemu lagi, aku sadar perasaanku padamu masih sama. Tidak ada yang berubah.”Elise buru-buru menarik tangannya, merasa canggung dengan jarak di antara mereka. Dia menoleh, sadar bahwa ada yang mengawasi dari balik dinding kaca ruang tamu. “Federic, jangan berlebihan. Tidak enak dilihat orang.”
Elise mondar-mandir di dalam kamar Reiner, tangannya sesekali mencoba menggoyang-goyangkan gagang pintu. Namun, pintu itu tetap terkunci rapat. Helaan napas panjang keluar dari bibirnya yang pucat, sementara pikirannya dipenuhi pertanyaan yang tak terjawab.“Sebenarnya, kenapa aku harus dikurung di sini?” desah Elise lirih, lebih kepada dirinya sendiri.Ia melirik ke arah jendela yang memantulkan bayangan dirinya. Wajahnya tampak kusut, rambutnya sedikit berantakan akibat gerakan gelisahnya. Elise mengusap pelipisnya, mencoba menenangkan diri.Di lantai bawah, Federic duduk santai di ruang tamu, berhadapan dengan Abraham. Meskipun suasana terlihat tenang, ada ketegangan terselubung di antara mereka.“Kenapa kau datang-datang langsung bertanya tentang Elise?” Abraham memecah keheningan dengan nada rendah, tetapi penuh tekanan. “Kau kenal Elise?”Federic menyunggingkan senyum lebar. “Tentu saja kenal, Kakek. Dia teman lamaku, bahkan bisa di
Setelah keluar dari mobil, Reiner disambut oleh Hanna yang tampak gelisah. Perempuan itu berjalan cepat ke arahnya dengan wajah panik."Kenapa, Hanna? Wajahmu panik begitu?" tanya Reiner sambil merapikan jasnya."Ada tamu di ruangan Tuan," jawab Hanna dengan napas sedikit tersengal.Reiner mengerutkan kening. "Tamu? Siapa?""Sepupu Tuan," jawab Hanna dengan nada pelan tetapi penuh tekanan.Langkah Reiner terhenti sejenak, matanya menyipit tajam. "Untuk apa Federic ke sini?" gumamnya.Tanpa menunggu jawaban, Reiner melangkah cepat menuju tangga yang mengarah ke ruangannya. Hanna, yang terlihat enggan menaiki tangga, mendesah berat tetapi tetap membuntutinya.Sesampainya di ruangan, Reiner mendorong pintu dengan sedikit tenaga lebih. Di dalam, Federic sudah duduk santai di sofa dengan senyum lebar, seperti sedang menikmati pemandangan."Reiner, sepupuku sayang!" seru Federic sambil membuka kedua tangannya seolah i
Elise merasakan seluruh tubuhnya seperti dihantam ombak besar yang membuatnya terseret ke dasar laut. Setiap gerakan terasa pegal dan perih, terutama di bagian tubuh yang tak biasa disentuh sebelumnya. Begitu kedua matanya terbuka, ia baru menyadari sepenuhnya apa yang terjadi semalam—sebuah kenyataan yang membuatnya merasa tersudut."Astaga, Elise!" umpatnya pelan, sambil menarik diri dengan cepat dari tubuh yang ada di sampingnya. Jantungnya berdebar kencang, dan rasa malu mulai merayap di dalam diri. Tangannya mencengkeram ujung selimut, matanya celingukan, dan saat melihat pakaian tergeletak di lantai, kepalanya terasa berat."Apa yang sudah aku lakukan?" gumam Elise pada dirinya sendiri. Suaranya serak, suara yang penuh kebingungannya sendiri.Tiba-tiba, ada pergerakan dari samping, dan Elise terkejut saat melihat Reiner mulai melenguh pelan sebelum akhirnya tersenyum santai."Selamat pagi..." kata Reiner dengan nada lembut yang terdengar beg
Sesampainya di rumah, Will turun lebih dulu dari mobil. Dia membuka pintu untuk Reiner yang tampak terhuyung-huyung. Namun, bukannya mengikuti arahan Will, Reiner malah meracau dengan suara serak."Aku mau sama dia," gumam Reiner sambil merangkul Elise. "Kau pergi saja, Will."Will menatap Elise, yang terlihat canggung dengan situasi ini. Mereka saling pandang sejenak, seolah mencoba mencari solusi terbaik."Tidak apa-apa, Will," kata Elise akhirnya, meskipun suaranya terdengar ragu. "Tuan Reiner masih bisa berjalan. Aku akan bantu memapahnya ke kamar."Will mengerutkan dahi. "Kau yakin, Elise?"Elise mengangguk pelan, meski dalam hati dia merasa kewalahan. Reiner semakin berat bersandar padanya, sementara tangannya bermain-main dengan rambut Elise, membuat wajahnya memerah."Ayo, Tuan, saya antar ke kamar," ujar Elise, melingkarkan satu tangan di pinggang Reiner. Dengan susah payah, dia memapah Reiner menaiki tangga.Di
Reiner tidak memberi Elise kesempatan untuk menjauh. Bahkan ketika dia diminta memberikan pidato singkat, Reiner tetap meminta Elise berdiri di dekat panggung kecil, cukup terlihat oleh semua tamu.Tatapan tajam dari beberapa orang dan bisik-bisik yang mulai terdengar membuat Elise merasa sangat tidak nyaman. Dia menggenggam ujung gaunnya dengan gugup, ingin segera keluar dari ruangan ini."Dia itu siapa?" bisik salah satu tamu wanita sambil mencuri pandang ke arah Elise."Aku kurang tahu, tapi dia bersama Tuan Reiner terus sedari tadi," sahut yang lain. "Bahkan Nona Eva dan Olivia tidak dihiraukan olehnya."Pidato singkat Reiner berakhir, disambut tepuk tangan riuh. Saat dia turun dari panggung, alunan musik mulai menggema, mengundang para tamu untuk berdansa di ballroom.Langkah Reiner baru saja menjejak lantai ketika Olivia mendekat dengan senyum memikat. "Reiner, mau dansa denganku?" tanyanya, suaranya lembut namun cukup keras untuk d
Lampu kristal besar bergantung di tengah aula, memancarkan kilauan yang memantul di lantai marmer yang licin seperti cermin. Musik klasik lembut mengalun dari orkestra kecil di sudut ruangan, menciptakan suasana elegan yang memikat. Meja-meja prasmanan penuh dengan hidangan mewah—seafood segar, aneka keju, dan dessert berlapis cokelat berkilau.Reiner melangkah masuk dengan penuh percaya diri, mengenakan setelan hitam yang membuatnya terlihat semakin gagah. Aura karismanya langsung menarik perhatian seluruh tamu, terutama para wanita yang tak henti-hentinya berbisik."Siapa perempuan itu?" bisik salah satu tamu wanita sambil menatap Elise yang berjalan di samping Reiner."Kenapa dia datang bersama Tuan Reiner?" sambung yang lain, suaranya nyaris terdengar iri."Mereka terlihat tidak cocok."Tatapan tajam dan senyum sinis mulai bermunculan, membuat Elise merasa seperti pusat perhatian yang tak diinginkan. Tangannya semakin gemetar, tetapi
Satu hari berlalu…Elise duduk di atas ranjang kecilnya, kedua kaki terlipat, sementara tangannya memegang erat sebuah paperbag. Wajahnya tampak termenung, seolah memikirkan sesuatu yang berat."Sepertinya di sana bukan tempatku," gumam Elise pelan, tatapannya kosong. "Tapi Tuan Reiner memintaku ikut."Tangannya perlahan merogoh ke dalam paperbag, merasakan kain halus yang tersimpan di dalamnya. Sebuah gaun elegan berwarna hitam yang dibelikan Reiner kemarin. Elise menarik gaun itu perlahan, jemarinya menyentuh setiap detail kainnya.Namun, suasana hening itu tiba-tiba pecah. Dari balik pintu, suara berbisik terdengar samar. Sebelum Elise sempat bereaksi, Greta muncul bersama Sofia dan Clara, dengan cepat menyambar paperbag dari tangannya."Apa ini isinya?" tanya Greta dengan nada penuh penasaran. Senyumnya menyeringai, penuh ejekan."Kembalikan padaku!" Elise langsung bangkit dari ranjang, wajahnya memerah karena marah dan malu.
Elise dan Reiner masih berada di kamar. Niatnya Elise ingin keluar untuk menemui ayahnya, tapi Reiner melarangnya dengan alasan tidak mau sendirian di kamar sempit ini.Sementara itu, di ruang tengah yang terhubung dengan ruang makan, Lily baru saja meletakkan minuman untuk dua tamunya di atas meja."Kakak Elise kemana, Ayah?" tanya Lily.Eddie sedang mencuci tangan menjawab. "Kakakmu sedang mengantar Tuan Reiner untuk istirahat.""Aku panggil saja ya, biar ikut makan siang."Dengan cepat Eddie mencegah langkah putrinya itu, "Tidak usah, Lily. Nanti kakakmu pasti ke sini."Akhirnya Lily mengangguk, lalu berlanjut menata makan siang di atas meja. Meski umurnya baru menjelas sebelah tahun, Lily cukup pandai untuk membuat makanan. Ya, meskipun aja beberapa lembar omelet dan salad.Di dalam kamar, Elise mondar-mandir dengan gelisah. Dia sesekali melirik ke arah Reiner yang masih bersandar di ujung ranjang dengan tiga tumpuka