Share

Bagian 2

Penulis: Irma W
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-06 11:23:57

Rumah keluarga Barack berdiri megah di atas tanah seluas dua hektar, dikelilingi taman yang dirancang oleh arsitek terkenal. Gerbang besar dengan logo keluarga terpahat di tengahnya dijaga ketat oleh dua petugas keamanan, sementara kamera tersembunyi memantau setiap sudut. Para pelayan berlalu-lalang di lorong marmer yang dingin, memastikan setiap sudut rumah tetap sempurna. Keluarga Barack bukan hanya kaya raya—mereka adalah simbol kekuasaan dan kehormatan di kota ini.

Di ruang makan yang luas, cahaya pagi menerobos tirai beludru, menerangi meja makan panjang yang dipenuhi peralatan porselen mahal. Di salah satu ujung meja, Nyonya Barbra Barack sedang menuangkan teh sambil berbicara dengan nada tajam, penuh keluhan.

"Aku sungguh tak habis pikir, Reiner!" suara Barbra melengking, matanya yang tajam menyipit menatap putranya. "Kau kabur dari pesta tanpa pemberitahuan, meninggalkan Eva begitu saja. Orang tuanya pasti menganggap keluarga kita tidak punya sopan santun!"

Reiner, yang duduk di kursi seberang, mengenakan kemeja santai tetapi tetap memancarkan aura elegan, hanya mengangkat bahu. "Eva baik-baik saja. Aku yakin dia lebih tertarik dengan pria lain daripada denganku."

"Reiner!" Barbra mendesah frustrasi. "Kau tahu betapa pentingnya ini untuk keluargamu? Eva adalah wanita yang cocok untukmu. Cantik, berpendidikan, dan berasal dari keluarga terpandang. Atau kau ingin membuatku malu lagi seperti semalam?"

Reiner meletakkan cangkir kopinya dengan perlahan, lalu menatap ibunya dengan dingin. "Aku tidak butuh seorang istri pilihanmu, Ibu. Jika kau ingin menambah koleksi porselen di rumah ini, mungkin Eva bisa kau jadikan salah satunya. Tapi aku tidak tertarik. Dan lagi... bisa-bisanya ibu memintaku menghadiri pesta di tempat seperti itu."

"Reiner Barack!" Suara Barbra meninggi, membuat para pelayan yang berdiri di dekat dinding melirik waspada.

Di sisi lain meja, Gale Barack, ayah Reiner, hanya menggeleng pelan. Pria paruh baya itu memiliki karisma yang tenang, dengan rambut yang mulai memutih di pelipisnya. Ia mengaduk teh tanpa bicara, membiarkan istrinya meluapkan emosinya.

"Kau terlalu memanjakannya, Gale!" Barbra melirik suaminya dengan gusar. "Lihat bagaimana dia mempermalukan kita!"

Sebelum Gale sempat menjawab, suara roda kursi berdecit lembut di lorong, menarik perhatian mereka.

"Apa ini pagi tanpa sedikit drama?" Suara berat dan berwibawa milik Tuan Abraham Barack, kakek Reiner, mengisi ruangan. Pria tua itu didorong masuk oleh seorang pelayan. Ia tersenyum tipis, menatap keluarga di depannya dengan tatapan penuh makna.

Reiner berdiri untuk membantu kakeknya, tetapi langkahnya terhenti ketika matanya menangkap sosok di belakang kursi roda. Seorang wanita muda, berpakaian pelayan, dengan rambut cokelat yang diikat rapi, berdiri canggung sambil menunduk. Elise.

Seketika ruangan terasa hening, tetapi hanya bagi Reiner. Ia menatap Elise selama beberapa detik, matanya mengamati setiap detail wajah wanita itu, seolah ingin memastikan bahwa ia tidak salah lihat. Elise, yang merasa diperhatikan, berusaha tetap tenang, tetapi tangannya sedikit gemetar saat ia memegang pegangan kursi roda.

Reiner menarik napas dalam dan segera mengalihkan pandangannya. Ia melangkah mundur, membiarkan pelayan lain membantu kakeknya duduk di kursi.

"Siapa dia?" Barbra bertanya sambil melirik Elise dengan sedikit rasa penasaran bercampur ketidaksukaan. Wajah kampungan itu sungguh mengganggu pandangan Barbra.

"Elise," jawab Abraham singkat. "Dia akan membantu merawatku mulai hari ini. Gadis ini bekerja keras dan jujur. Aku yakin dia akan menjadi tambahan yang baik untuk rumah ini."

Barbra mengernyit. "Baiklah, asalkan dia tahu aturan di sini. Semoga saja dia tidak menyerah."

Reiner tetap diam, pura-pura sibuk dengan makanannya. Ia tidak menyapa, tidak menunjukkan tanda bahwa ia mengenal Elise, meskipun pikirannya penuh dengan pertanyaan. Elise, di sisi lain, berusaha menjaga sikapnya tetap profesional, tetapi wajahnya sedikit memerah saat pandangan mereka sempat bertemu singkat.

Ketegangan yang tak terlihat mulai terbentuk di udara, menyelimuti meja makan megah itu.

***

Setelah Tuan Abraham duduk dengan nyaman di kursi roda, Elise mulai bergerak dengan cekatan. Ia memindahkan piring dan sendok dengan hati-hati, memastikan semuanya tersaji dengan rapi. Tangan Elise bergerak terampil, menuangkan teh ke dalam cangkir Tuan Abraham dengan gerakan lembut namun pasti. Ia bekerja dengan kesungguhan, seperti sudah terbiasa melayani orang-orang penting, meskipun ada kesan gugup di matanya setiap kali ia harus berhadapan dengan anggota keluarga Barack.

Reiner diam-diam mengamati setiap gerakan Elise. Matanya tidak lepas dari wanita itu, mengikuti pergerakannya yang luwes dan penuh perhatian. Ada sesuatu dalam diri Elise yang membuatnya terkesan, meski ia tidak mengerti apa itu. Mungkin hanya rasa kagum, atau mungkin lebih dari itu, tapi ia tak ingin mengakuinya. Keheningan8 di antara mereka terasa tebal, dengan hanya suara sendok yang menyentuh piring dan suara pelayan yang mondar-mandir memenuhi ruang makan yang luas.

Reiner memerhatikan bagaimana Elise menundukkan kepala dengan hormat saat menyajikan teh untuk kakeknya, menambahkan gula secukupnya seperti yang biasa dilakukan Tuan Abraham. Wanita itu tidak berbicara, tidak berani membuat kesan salah, hanya mengikuti instruksi dengan penuh kesabaran. Setiap gerakannya tampak dihitung dan penuh perhatian, seolah seluruh dunia ada di bawah kendalinya—selain dunia Reiner, yang selalu dipenuhi dengan harapan besar dan aturan ketat.

Di sisi meja, Barbra masih terus mengoceh, suaranya meninggi dengan setiap kata yang ia ucapkan. "Aku benar-benar malu dengan dirimu, Reiner! Pesta itu hampir hancur karena kelakuanmu yang sembrono! Apa kau kira keluarga Eva itu tidak bisa melihat bahwa kita dipermalukan?"

Reiner menyandarkan punggungnya pada kursi, menatap tanpa minat ke arah ibunya. Ia mengangkat cangkir kopinya dengan santai, membiarkan kata-kata Barbra berlalu begitu saja tanpa digubris. Ia terlalu sibuk mengamati Elise, yang kini sedang menyajikan sepotong roti kepada kakeknya dengan hati-hati. Elise bergerak seperti bayangan, begitu elegan meskipun dia hanya seorang pelayan. Reiner merasa ada yang aneh dengan dirinya—sesuatu yang tak pernah dirasakannya sebelumnya.

"Reiner," Barbra mendesah, tidak sabar dengan sikap acuh tak acuh putranya. "Ibu bilang, kau seharusnya lebih menghargai kesempatan ini! Eva adalah calon istri yang sempurna untukmu! Kau tak bisa terus mengabaikan semua usaha yang kami lakukan!"

Reiner mengalihkan pandangannya dari Elise sejenak untuk menatap ibunya, tetapi hanya untuk sekilas. Ia menjawab dengan suara datar, "Ibu, aku sudah bilang, aku tidak tertarik. Sudah bukan jamannya jodoh-jodohan."

Barbra hampir tersedak mendengar jawaban itu. "Bagaimana bisa kau berkata begitu? Apa kau tidak bisa sedikit memikirkan masa depan kita? Kau terlalu keras kepala! Eva berasal dari keluarga terpandang."

Elise kembali mendekat, kali ini membawa piring dengan menu sarapan yang sudah disiapkan. Tanpa sepatah kata pun, ia menundukkan kepala dengan hormat saat meletakkan piring di depan Tuan Abraham. Gerakannya begitu halus, seakan dia sudah menguasai seni melayani dengan sempurna. Reiner memperhatikan setiap detil, dari tatapan rendah Elise hingga gerakan tangannya yang sangat terkendali saat ia mengambil piring kotor dan mengembalikannya ke meja.

Tuan Abraham mengangkat alisnya, lalu menatap Reiner yang masih terlihat terfokus pada Elise. "Apa kau tidak akan menyapa gadis itu, Reiner?" suaranya rendah namun tajam.

Reiner terkejut, seolah baru menyadari bahwa ia telah terlalu lama memandangi Elise. Ia menatap kakeknya dengan canggung. "Oh, tidak perlu. Dia hanya pelayan di sini," jawabnya singkat, berusaha menutupinya dengan nada datar.

Namun, Elise merasa tidak nyaman dengan perhatian yang diberikan Reiner, meskipun ia berusaha untuk tidak menunjukkan kegugupan di wajahnya. Hanya tubuhnya yang sedikit tegang saat ia kembali ke tempatnya, di dekat pintu dapur.

Barbra, yang tidak menyadari ketegangan yang berkembang antara Reiner dan Elise, kembali menyela. "Reiner, kau harus memikirkan lebih banyak hal! Kami bukan hanya berbicara tentang istri untukmu, tetapi juga tentang masa depan keluarga ini!"

"Aku tahu, Ibu," jawab Reiner dengan nada datar, meskipun matanya masih sesekali mencuri pandang ke arah Elise yang sedang menata barang-barang di dekat meja makan.

Elise dengan cepat mengalihkan pandangannya ketika matanya bertemu dengan milik Reiner, merasa jantungnya berdegup lebih cepat. Ia tahu bahwa hubungan antara dirinya dan keluarga Barack hanyalah hubungan pelayan dan majikan. Tetapi, ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan dalam interaksi mereka, yang membuat suasana menjadi canggung dan penuh ketegangan.

***

Bab terkait

  • Jeratan Tuan Reiner   Bagian 3

    Pukul sepuluh pagi, dapur di rumah besar keluarga Barack terasa sepi dan hening. Hanya ada suara langit-langit yang berderak pelan saat angin dari luar menyentuhnya. Reiner duduk di meja kayu panjang, memegang gelas berisi air, namun matanya jauh lebih tertarik pada ketenangan sekelilingnya.Dia baru saja meninggalkan ruang makan setelah percakapan yang menegangkan dengan ibunya. Rasa kesal masih tertinggal di bibirnya, namun dia tidak peduli. Semua itu akan berlalu, seperti semuanya yang pernah terjadi di hidupnya. Namun, ada satu hal yang menarik perhatian.Ketika Elise melangkah masuk dengan perlahan, pada kaki pelayan itu terselip aroma yang berbeda—sesuatu yang sederhana, namun kuat. Tidak ada keramahtamahan yang disampaikan melalui kata-kata, hanya seutas sapaan singkat yang penuh kehati-hatian. Reiner merasakan kehadirannya lebih dulu daripada mendengar langkahnya.Elise berjalan dengan perlahan, tubuhnya cenderung menyamping agar tidak mengganggu perhatiannya. Reiner tahu bahw

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-06
  • Jeratan Tuan Reiner   Bagian 4

    Sore itu, dapur rumah keluarga Barack dipenuhi aroma herbal yang baru saja diseduh. Elise sibuk membawa nampan berisi secangkir teh herbal untuk Tuan Abraham. Penampilannya sederhana, tapi menarik perhatian. Dengan tinggi badan 160 cm, tubuh mungilnya tampak anggun. Rambut hitam sebahunya selalu tertata rapi, meski wajahnya jarang dihiasi riasan. Sorot matanya lembut, menyiratkan kepribadian yang sabar, walau dalam hatinya sering tersimpan rasa gelisah.Elise, meskipun hanya pelayan, membawa aura yang berbeda. Ia terlihat tenang, tapi ada jejak kekuatan dari masa lalunya yang sulit—masa kecil di rumah yang penuh dengan pertengkaran, membuatnya belajar untuk menahan diri dan menghadapi segala situasi dengan kepala dingin.Salah seorang pelayan senior, Greta, berbisik pada rekannya sambil melirik Elise yang baru melewati mereka.“Lihat dia, baru beberapa hari di sini sudah begitu percaya diri melayani Tuan Abraham. Biasanya, pelayan lain lari dalam seminggu,” katanya sinis.“Entahlah,”

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-06
  • Jeratan Tuan Reiner   Bagian 5

    Reiner menuntun mobilnya melewati jalanan yang tak terlalu terang, mengikuti arah yang ditunjukkan oleh Elise. Saat mobil berhenti di depan rumah yang sederhana namun sedikit kumuh, Reiner menatap bangunan itu sekilas dari dalam mobil. Tidak ada yang terlalu mencolok, hanya sebuah rumah dengan pagar kayu yang sudah mulai lapuk. Sangat kontras dengan rumah megah yang ia tinggali.Elise membuka pintu mobil, hendak turun. Reiner menundukkan wajahnya sejenak, berusaha menyembunyikan rasa keingintahuan yang tumbuh. Dengan sedikit ragu, dia mengikuti Elise keluar dari mobil dan berjalan mengikutinya ke pintu rumah. Dalam pikiran Reiner, rumah ini adalah tempat yang sangat berbeda dari kehidupannya yang mewah dan penuh privilese.Begitu masuk ke dalam, bau lembap dan udara pengap langsung terasa. Rumah itu tampak kacau, dengan barang-barang yang berserakan di lantai. Ruangan yang seharusnya menjadi ruang tamu tampak kosong, hanya berisi kursi-kursi kayu usang dan meja yang sudah tidak terawa

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-06
  • Jeratan Tuan Reiner   Bagian 6

    Malam itu, ketenangan yang rapuh melingkupi rumah kecil keluarga Elise. Bau darah samar masih terasa di udara, bercampur dengan aroma kayu yang lapuk. Elise menuntun ayahnya, Eddie, ke kamar untuk mengobati luka di tangannya. Luka itu tidak terlalu dalam, tapi cukup membuat Eddie meringis setiap kali Elise membersihkannya.Sebuah lampu redup di meja kecil di sudut kamar menjadi satu-satunya penerangan, memunculkan bayangan wajah Eddie yang penuh garis usia dan kelelahan. Elise bekerja dalam diam, tangannya cekatan, sementara pikirannya penuh pertanyaan yang tidak berani ia lontarkan."Ahh… pelan-pelan, Elise. Kau ini seperti mau mengulitiku saja!" kata Eddie setengah kesal.Elise tersenyum tipis. Sikap ayahnya memang cukup keras. "Ayah lebih baik diam kalau tidak tahan sakit. Luka ini karena ulah Ayah sendiri.""Huh, seperti aku punya pilihan lain. Kau tahu, mereka datang karena kita berutang! Kalau aku tidak menghadap mereka, mereka mungkin sudah menghancurkan rumah ini."Elise berhe

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-06
  • Jeratan Tuan Reiner   Bagian 7

    Pagi itu, Elise terbangun sebelum fajar.Bayang-bayang kejadian semalam masih membekas di pikirannya, tetapi tidak ada waktu untuk berlama-lama dalam keresahan. Dengan cekatan, dia mulai membereskan rumah yang berantakan, mengangkat kursi yang terbalik, dan menyapu pecahan kaca yang masih berserakan di lantai. Sesekali, dia menoleh ke kamar ayahnya, memastikan tidak ada suara yang mencurigakan.Elise memasak sarapan sederhana, dua porsi nasi dan telur dadar. Porsinya harus cukup untuk Lily dan ayahnya. Sambil bekerja, pikirannya terusik oleh perintah Eddie semalam. Mendekati Reiner? Sungguh ide yang tidak masuk akal. Elise menggelengkan kepala, mencoba menyingkirkan pikiran itu.Saat Lily muncul dari kamar dengan rambut yang belum tersisir rapi, Elise tersenyum kecil.“Ayo cepat cuci muka. Setelah itu, makan dulu sebelum kita berangkat.” Elise menyerahkan sepiring nasi kepada adiknya.“Kakak sudah makan?” Lily bertanya dengan nada polos, suaranya masih serak karena baru bangun tidur.

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-23
  • Jeratan Tuan Reiner   Bagian 8

    Suara langkah kaki terdengar di sepanjang lorong marmer rumah keluarga Barack yang megah. Elise berjalan pelan mengikuti Will, pria berkacamata dengan setelan rapi yang selalu tampak seperti bayangan Tuan Abraham. Pagi ini, tugas Elise bertambah berat setelah arahan baru yang diberikan langsung oleh sang majikan.“Jadi, seperti yang Tuan Abraham katakan, mulai hari ini, kamu akan mengurus keperluan Tuan Reiner setiap pagi,” jelas Will sambil menyerahkan selembar kertas.Elise menerima kertas itu dengan ragu. Pandangannya menyapu barisan huruf yang tertera:Pakaian kerja harus tersedia di kamar jam 6 pagi.1. Segelas air putih harus tersedia di nakas.2. AC harus disetel pada suhu 24 derajat, tidak boleh lebih dingin.3. Dilarang mengeluarkan suara yang berpotensi membangunkan Tuan Reiner.4. Setelah Tuan Reiner bangun, sarapan harus siap di meja makan.5. Dilarang memasuki kamar tanpa izin setelah Tuan Reiner bangun.6. Aroma ruangan harus berganti setiap hari, sesuai dengan yang sud

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-23
  • Jeratan Tuan Reiner   Bagian 9

    Pagi itu, suasana ruang makan terasa tenang dan hangat oleh aroma roti panggang dan kopi. Elise baru saja selesai mengurus keperluan Reiner dan langsung bergegas membawa nampan sarapan untuk Tuan Abraham. Kebiasaan sang majikan memang berbeda dari anggota keluarga lainnya—Abraham selalu menikmati sarapan di ruang pribadinya, jauh dari hiruk-pikuk rumah besar itu.Elise mengetuk pintu dengan sopan.“Masuk,” terdengar suara berat Abraham dari dalam.Ketika Elise masuk, ia disambut oleh keheningan ruang kerja Abraham, yang dikelilingi oleh rak buku tinggi. Beliau duduk di kursi malasnya, tatapannya beralih dari buku yang sedang dibaca ke Elise.“Selamat pagi, Tuan,” ujar Elise lembut sambil menaruh nampan di atas meja kecil di samping kursi.“Pagi,” balas Abraham sambil melipat buku dan meletakkannya di pangkuan. “Kau sudah terbiasa bekerja di sini, Elise?”“Sudah cukup terbiasa, Tuan. Meski... masih banyak yang perlu saya pelajari,” Elise menjawab jujur, menundukkan kepala sedikit.“Bag

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-23
  • Jeratan Tuan Reiner   Bagian 10

    Eva Myles, dengan keanggunannya yang tak terbantahkan, melangkah masuk. Tubuhnya tegak, wajah ovalnya dihiasi senyuman tipis yang tampak ramah namun penuh dominasi. Rambut panjangnya yang bergelombang tergerai sempurna di atas blazer putih dan rok pensil hitam. Setiap langkahnya terdengar seperti irama sepatu hak tinggi di atas lantai, membuat semua mata karyawan yang semula sibuk mendadak menoleh.“Dia datang lagi,” bisik seorang resepsionis kepada rekannya.“Berani sekali, ya. Padahal semua tahu Tuan Reiner tidak menyukainya,” jawab yang lain dengan nada rendah."Kalian ingat tentang kabar di pesta waktu itu? Ugh! Harusnya dia malu."Eva tak memedulikan bisik-bisik itu. Baginya, mereka hanyalah bagian dari pemandangan sehari-hari. Dengan tenang, ia berjalan menuju lift, menekan tombol menuju lantai eksekutif tanpa meminta izin siapa pun.Setibanya di lantai atas, sekretaris pribadi Reiner, Hanna, mencoba menghadangnya dengan senyum profesional. “Nona Eva, Tuan Reiner sedang sibuk de

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-23

Bab terbaru

  • Jeratan Tuan Reiner   Bagian 90 TAMAT

    Elise berdiri di halaman, berhadapan dengan Federic yang tampak semakin tidak sabar. Langit sore mulai memudar, dan suasana di sekitarnya terasa sunyi, hanya diiringi suara lembut angin yang berembus. Elise berusaha tetap tenang, meskipun di dalam hatinya bergemuruh.“Aku tahu Reiner, Elise. Dia memperlakukanmu dengan buruk, kan?” Federic memulai, suaranya terdengar seperti tuduhan.Elise menghela napas panjang, menatap Federic dengan ekspresi lelah. “Tidak, Federic. Kau tidak tahu apa-apa. Tuan Reiner tidak seperti itu. Aku bekerja di sini dan sudah siap dengan segala risikonya.”Federic mendekat, lalu meraih tangan Elise. “Kau harus tahu, Elise. Setelah bertemu lagi, aku sadar perasaanku padamu masih sama. Tidak ada yang berubah.”Elise buru-buru menarik tangannya, merasa canggung dengan jarak di antara mereka. Dia menoleh, sadar bahwa ada yang mengawasi dari balik dinding kaca ruang tamu. “Federic, jangan berlebihan. Tidak enak dilihat orang.”

  • Jeratan Tuan Reiner   Bagian 89

    Elise mondar-mandir di dalam kamar Reiner, tangannya sesekali mencoba menggoyang-goyangkan gagang pintu. Namun, pintu itu tetap terkunci rapat. Helaan napas panjang keluar dari bibirnya yang pucat, sementara pikirannya dipenuhi pertanyaan yang tak terjawab.“Sebenarnya, kenapa aku harus dikurung di sini?” desah Elise lirih, lebih kepada dirinya sendiri.Ia melirik ke arah jendela yang memantulkan bayangan dirinya. Wajahnya tampak kusut, rambutnya sedikit berantakan akibat gerakan gelisahnya. Elise mengusap pelipisnya, mencoba menenangkan diri.Di lantai bawah, Federic duduk santai di ruang tamu, berhadapan dengan Abraham. Meskipun suasana terlihat tenang, ada ketegangan terselubung di antara mereka.“Kenapa kau datang-datang langsung bertanya tentang Elise?” Abraham memecah keheningan dengan nada rendah, tetapi penuh tekanan. “Kau kenal Elise?”Federic menyunggingkan senyum lebar. “Tentu saja kenal, Kakek. Dia teman lamaku, bahkan bisa di

  • Jeratan Tuan Reiner   Bagian 88

    Setelah keluar dari mobil, Reiner disambut oleh Hanna yang tampak gelisah. Perempuan itu berjalan cepat ke arahnya dengan wajah panik."Kenapa, Hanna? Wajahmu panik begitu?" tanya Reiner sambil merapikan jasnya."Ada tamu di ruangan Tuan," jawab Hanna dengan napas sedikit tersengal.Reiner mengerutkan kening. "Tamu? Siapa?""Sepupu Tuan," jawab Hanna dengan nada pelan tetapi penuh tekanan.Langkah Reiner terhenti sejenak, matanya menyipit tajam. "Untuk apa Federic ke sini?" gumamnya.Tanpa menunggu jawaban, Reiner melangkah cepat menuju tangga yang mengarah ke ruangannya. Hanna, yang terlihat enggan menaiki tangga, mendesah berat tetapi tetap membuntutinya.Sesampainya di ruangan, Reiner mendorong pintu dengan sedikit tenaga lebih. Di dalam, Federic sudah duduk santai di sofa dengan senyum lebar, seperti sedang menikmati pemandangan."Reiner, sepupuku sayang!" seru Federic sambil membuka kedua tangannya seolah i

  • Jeratan Tuan Reiner   Bagian 87

    Elise merasakan seluruh tubuhnya seperti dihantam ombak besar yang membuatnya terseret ke dasar laut. Setiap gerakan terasa pegal dan perih, terutama di bagian tubuh yang tak biasa disentuh sebelumnya. Begitu kedua matanya terbuka, ia baru menyadari sepenuhnya apa yang terjadi semalam—sebuah kenyataan yang membuatnya merasa tersudut."Astaga, Elise!" umpatnya pelan, sambil menarik diri dengan cepat dari tubuh yang ada di sampingnya. Jantungnya berdebar kencang, dan rasa malu mulai merayap di dalam diri. Tangannya mencengkeram ujung selimut, matanya celingukan, dan saat melihat pakaian tergeletak di lantai, kepalanya terasa berat."Apa yang sudah aku lakukan?" gumam Elise pada dirinya sendiri. Suaranya serak, suara yang penuh kebingungannya sendiri.Tiba-tiba, ada pergerakan dari samping, dan Elise terkejut saat melihat Reiner mulai melenguh pelan sebelum akhirnya tersenyum santai."Selamat pagi..." kata Reiner dengan nada lembut yang terdengar beg

  • Jeratan Tuan Reiner   Bagian 86

    Sesampainya di rumah, Will turun lebih dulu dari mobil. Dia membuka pintu untuk Reiner yang tampak terhuyung-huyung. Namun, bukannya mengikuti arahan Will, Reiner malah meracau dengan suara serak."Aku mau sama dia," gumam Reiner sambil merangkul Elise. "Kau pergi saja, Will."Will menatap Elise, yang terlihat canggung dengan situasi ini. Mereka saling pandang sejenak, seolah mencoba mencari solusi terbaik."Tidak apa-apa, Will," kata Elise akhirnya, meskipun suaranya terdengar ragu. "Tuan Reiner masih bisa berjalan. Aku akan bantu memapahnya ke kamar."Will mengerutkan dahi. "Kau yakin, Elise?"Elise mengangguk pelan, meski dalam hati dia merasa kewalahan. Reiner semakin berat bersandar padanya, sementara tangannya bermain-main dengan rambut Elise, membuat wajahnya memerah."Ayo, Tuan, saya antar ke kamar," ujar Elise, melingkarkan satu tangan di pinggang Reiner. Dengan susah payah, dia memapah Reiner menaiki tangga.Di

  • Jeratan Tuan Reiner   Bagian 85

    Reiner tidak memberi Elise kesempatan untuk menjauh. Bahkan ketika dia diminta memberikan pidato singkat, Reiner tetap meminta Elise berdiri di dekat panggung kecil, cukup terlihat oleh semua tamu.Tatapan tajam dari beberapa orang dan bisik-bisik yang mulai terdengar membuat Elise merasa sangat tidak nyaman. Dia menggenggam ujung gaunnya dengan gugup, ingin segera keluar dari ruangan ini."Dia itu siapa?" bisik salah satu tamu wanita sambil mencuri pandang ke arah Elise."Aku kurang tahu, tapi dia bersama Tuan Reiner terus sedari tadi," sahut yang lain. "Bahkan Nona Eva dan Olivia tidak dihiraukan olehnya."Pidato singkat Reiner berakhir, disambut tepuk tangan riuh. Saat dia turun dari panggung, alunan musik mulai menggema, mengundang para tamu untuk berdansa di ballroom.Langkah Reiner baru saja menjejak lantai ketika Olivia mendekat dengan senyum memikat. "Reiner, mau dansa denganku?" tanyanya, suaranya lembut namun cukup keras untuk d

  • Jeratan Tuan Reiner   Bagian 84

    Lampu kristal besar bergantung di tengah aula, memancarkan kilauan yang memantul di lantai marmer yang licin seperti cermin. Musik klasik lembut mengalun dari orkestra kecil di sudut ruangan, menciptakan suasana elegan yang memikat. Meja-meja prasmanan penuh dengan hidangan mewah—seafood segar, aneka keju, dan dessert berlapis cokelat berkilau.Reiner melangkah masuk dengan penuh percaya diri, mengenakan setelan hitam yang membuatnya terlihat semakin gagah. Aura karismanya langsung menarik perhatian seluruh tamu, terutama para wanita yang tak henti-hentinya berbisik."Siapa perempuan itu?" bisik salah satu tamu wanita sambil menatap Elise yang berjalan di samping Reiner."Kenapa dia datang bersama Tuan Reiner?" sambung yang lain, suaranya nyaris terdengar iri."Mereka terlihat tidak cocok."Tatapan tajam dan senyum sinis mulai bermunculan, membuat Elise merasa seperti pusat perhatian yang tak diinginkan. Tangannya semakin gemetar, tetapi

  • Jeratan Tuan Reiner   Bagian 83

    Satu hari berlalu…Elise duduk di atas ranjang kecilnya, kedua kaki terlipat, sementara tangannya memegang erat sebuah paperbag. Wajahnya tampak termenung, seolah memikirkan sesuatu yang berat."Sepertinya di sana bukan tempatku," gumam Elise pelan, tatapannya kosong. "Tapi Tuan Reiner memintaku ikut."Tangannya perlahan merogoh ke dalam paperbag, merasakan kain halus yang tersimpan di dalamnya. Sebuah gaun elegan berwarna hitam yang dibelikan Reiner kemarin. Elise menarik gaun itu perlahan, jemarinya menyentuh setiap detail kainnya.Namun, suasana hening itu tiba-tiba pecah. Dari balik pintu, suara berbisik terdengar samar. Sebelum Elise sempat bereaksi, Greta muncul bersama Sofia dan Clara, dengan cepat menyambar paperbag dari tangannya."Apa ini isinya?" tanya Greta dengan nada penuh penasaran. Senyumnya menyeringai, penuh ejekan."Kembalikan padaku!" Elise langsung bangkit dari ranjang, wajahnya memerah karena marah dan malu.

  • Jeratan Tuan Reiner   Bagian 82

    Elise dan Reiner masih berada di kamar. Niatnya Elise ingin keluar untuk menemui ayahnya, tapi Reiner melarangnya dengan alasan tidak mau sendirian di kamar sempit ini.Sementara itu, di ruang tengah yang terhubung dengan ruang makan, Lily baru saja meletakkan minuman untuk dua tamunya di atas meja."Kakak Elise kemana, Ayah?" tanya Lily.Eddie sedang mencuci tangan menjawab. "Kakakmu sedang mengantar Tuan Reiner untuk istirahat.""Aku panggil saja ya, biar ikut makan siang."Dengan cepat Eddie mencegah langkah putrinya itu, "Tidak usah, Lily. Nanti kakakmu pasti ke sini."Akhirnya Lily mengangguk, lalu berlanjut menata makan siang di atas meja. Meski umurnya baru menjelas sebelah tahun, Lily cukup pandai untuk membuat makanan. Ya, meskipun aja beberapa lembar omelet dan salad.Di dalam kamar, Elise mondar-mandir dengan gelisah. Dia sesekali melirik ke arah Reiner yang masih bersandar di ujung ranjang dengan tiga tumpuka

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status