Share

Bagian 2

Penulis: Irma W
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-06 11:23:57

Rumah keluarga Barack berdiri megah di atas tanah seluas dua hektar, dikelilingi taman yang dirancang oleh arsitek terkenal. Gerbang besar dengan logo keluarga terpahat di tengahnya dijaga ketat oleh dua petugas keamanan, sementara kamera tersembunyi memantau setiap sudut. Para pelayan berlalu-lalang di lorong marmer yang dingin, memastikan setiap sudut rumah tetap sempurna. Keluarga Barack bukan hanya kaya raya—mereka adalah simbol kekuasaan dan kehormatan di kota ini.

Di ruang makan yang luas, cahaya pagi menerobos tirai beludru, menerangi meja makan panjang yang dipenuhi peralatan porselen mahal. Di salah satu ujung meja, Nyonya Barbra Barack sedang menuangkan teh sambil berbicara dengan nada tajam, penuh keluhan.

"Aku sungguh tak habis pikir, Reiner!" suara Barbra melengking, matanya yang tajam menyipit menatap putranya. "Kau kabur dari pesta tanpa pemberitahuan, meninggalkan Eva begitu saja. Orang tuanya pasti menganggap keluarga kita tidak punya sopan santun!"

Reiner, yang duduk di kursi seberang, mengenakan kemeja santai tetapi tetap memancarkan aura elegan, hanya mengangkat bahu. "Eva baik-baik saja. Aku yakin dia lebih tertarik dengan pria lain daripada denganku."

"Reiner!" Barbra mendesah frustrasi. "Kau tahu betapa pentingnya ini untuk keluargamu? Eva adalah wanita yang cocok untukmu. Cantik, berpendidikan, dan berasal dari keluarga terpandang. Atau kau ingin membuatku malu lagi seperti semalam?"

Reiner meletakkan cangkir kopinya dengan perlahan, lalu menatap ibunya dengan dingin. "Aku tidak butuh seorang istri pilihanmu, Ibu. Jika kau ingin menambah koleksi porselen di rumah ini, mungkin Eva bisa kau jadikan salah satunya. Tapi aku tidak tertarik. Dan lagi... bisa-bisanya ibu memintaku menghadiri pesta di tempat seperti itu."

"Reiner Barack!" Suara Barbra meninggi, membuat para pelayan yang berdiri di dekat dinding melirik waspada.

Di sisi lain meja, Gale Barack, ayah Reiner, hanya menggeleng pelan. Pria paruh baya itu memiliki karisma yang tenang, dengan rambut yang mulai memutih di pelipisnya. Ia mengaduk teh tanpa bicara, membiarkan istrinya meluapkan emosinya.

"Kau terlalu memanjakannya, Gale!" Barbra melirik suaminya dengan gusar. "Lihat bagaimana dia mempermalukan kita!"

Sebelum Gale sempat menjawab, suara roda kursi berdecit lembut di lorong, menarik perhatian mereka.

"Apa ini pagi tanpa sedikit drama?" Suara berat dan berwibawa milik Tuan Abraham Barack, kakek Reiner, mengisi ruangan. Pria tua itu didorong masuk oleh seorang pelayan. Ia tersenyum tipis, menatap keluarga di depannya dengan tatapan penuh makna.

Reiner berdiri untuk membantu kakeknya, tetapi langkahnya terhenti ketika matanya menangkap sosok di belakang kursi roda. Seorang wanita muda, berpakaian pelayan, dengan rambut cokelat yang diikat rapi, berdiri canggung sambil menunduk. Elise.

Seketika ruangan terasa hening, tetapi hanya bagi Reiner. Ia menatap Elise selama beberapa detik, matanya mengamati setiap detail wajah wanita itu, seolah ingin memastikan bahwa ia tidak salah lihat. Elise, yang merasa diperhatikan, berusaha tetap tenang, tetapi tangannya sedikit gemetar saat ia memegang pegangan kursi roda.

Reiner menarik napas dalam dan segera mengalihkan pandangannya. Ia melangkah mundur, membiarkan pelayan lain membantu kakeknya duduk di kursi.

"Siapa dia?" Barbra bertanya sambil melirik Elise dengan sedikit rasa penasaran bercampur ketidaksukaan. Wajah kampungan itu sungguh mengganggu pandangan Barbra.

"Elise," jawab Abraham singkat. "Dia akan membantu merawatku mulai hari ini. Gadis ini bekerja keras dan jujur. Aku yakin dia akan menjadi tambahan yang baik untuk rumah ini."

Barbra mengernyit. "Baiklah, asalkan dia tahu aturan di sini. Semoga saja dia tidak menyerah."

Reiner tetap diam, pura-pura sibuk dengan makanannya. Ia tidak menyapa, tidak menunjukkan tanda bahwa ia mengenal Elise, meskipun pikirannya penuh dengan pertanyaan. Elise, di sisi lain, berusaha menjaga sikapnya tetap profesional, tetapi wajahnya sedikit memerah saat pandangan mereka sempat bertemu singkat.

Ketegangan yang tak terlihat mulai terbentuk di udara, menyelimuti meja makan megah itu.

***

Setelah Tuan Abraham duduk dengan nyaman di kursi roda, Elise mulai bergerak dengan cekatan. Ia memindahkan piring dan sendok dengan hati-hati, memastikan semuanya tersaji dengan rapi. Tangan Elise bergerak terampil, menuangkan teh ke dalam cangkir Tuan Abraham dengan gerakan lembut namun pasti. Ia bekerja dengan kesungguhan, seperti sudah terbiasa melayani orang-orang penting, meskipun ada kesan gugup di matanya setiap kali ia harus berhadapan dengan anggota keluarga Barack.

Reiner diam-diam mengamati setiap gerakan Elise. Matanya tidak lepas dari wanita itu, mengikuti pergerakannya yang luwes dan penuh perhatian. Ada sesuatu dalam diri Elise yang membuatnya terkesan, meski ia tidak mengerti apa itu. Mungkin hanya rasa kagum, atau mungkin lebih dari itu, tapi ia tak ingin mengakuinya. Keheningan8 di antara mereka terasa tebal, dengan hanya suara sendok yang menyentuh piring dan suara pelayan yang mondar-mandir memenuhi ruang makan yang luas.

Reiner memerhatikan bagaimana Elise menundukkan kepala dengan hormat saat menyajikan teh untuk kakeknya, menambahkan gula secukupnya seperti yang biasa dilakukan Tuan Abraham. Wanita itu tidak berbicara, tidak berani membuat kesan salah, hanya mengikuti instruksi dengan penuh kesabaran. Setiap gerakannya tampak dihitung dan penuh perhatian, seolah seluruh dunia ada di bawah kendalinya—selain dunia Reiner, yang selalu dipenuhi dengan harapan besar dan aturan ketat.

Di sisi meja, Barbra masih terus mengoceh, suaranya meninggi dengan setiap kata yang ia ucapkan. "Aku benar-benar malu dengan dirimu, Reiner! Pesta itu hampir hancur karena kelakuanmu yang sembrono! Apa kau kira keluarga Eva itu tidak bisa melihat bahwa kita dipermalukan?"

Reiner menyandarkan punggungnya pada kursi, menatap tanpa minat ke arah ibunya. Ia mengangkat cangkir kopinya dengan santai, membiarkan kata-kata Barbra berlalu begitu saja tanpa digubris. Ia terlalu sibuk mengamati Elise, yang kini sedang menyajikan sepotong roti kepada kakeknya dengan hati-hati. Elise bergerak seperti bayangan, begitu elegan meskipun dia hanya seorang pelayan. Reiner merasa ada yang aneh dengan dirinya—sesuatu yang tak pernah dirasakannya sebelumnya.

"Reiner," Barbra mendesah, tidak sabar dengan sikap acuh tak acuh putranya. "Ibu bilang, kau seharusnya lebih menghargai kesempatan ini! Eva adalah calon istri yang sempurna untukmu! Kau tak bisa terus mengabaikan semua usaha yang kami lakukan!"

Reiner mengalihkan pandangannya dari Elise sejenak untuk menatap ibunya, tetapi hanya untuk sekilas. Ia menjawab dengan suara datar, "Ibu, aku sudah bilang, aku tidak tertarik. Sudah bukan jamannya jodoh-jodohan."

Barbra hampir tersedak mendengar jawaban itu. "Bagaimana bisa kau berkata begitu? Apa kau tidak bisa sedikit memikirkan masa depan kita? Kau terlalu keras kepala! Eva berasal dari keluarga terpandang."

Elise kembali mendekat, kali ini membawa piring dengan menu sarapan yang sudah disiapkan. Tanpa sepatah kata pun, ia menundukkan kepala dengan hormat saat meletakkan piring di depan Tuan Abraham. Gerakannya begitu halus, seakan dia sudah menguasai seni melayani dengan sempurna. Reiner memperhatikan setiap detil, dari tatapan rendah Elise hingga gerakan tangannya yang sangat terkendali saat ia mengambil piring kotor dan mengembalikannya ke meja.

Tuan Abraham mengangkat alisnya, lalu menatap Reiner yang masih terlihat terfokus pada Elise. "Apa kau tidak akan menyapa gadis itu, Reiner?" suaranya rendah namun tajam.

Reiner terkejut, seolah baru menyadari bahwa ia telah terlalu lama memandangi Elise. Ia menatap kakeknya dengan canggung. "Oh, tidak perlu. Dia hanya pelayan di sini," jawabnya singkat, berusaha menutupinya dengan nada datar.

Namun, Elise merasa tidak nyaman dengan perhatian yang diberikan Reiner, meskipun ia berusaha untuk tidak menunjukkan kegugupan di wajahnya. Hanya tubuhnya yang sedikit tegang saat ia kembali ke tempatnya, di dekat pintu dapur.

Barbra, yang tidak menyadari ketegangan yang berkembang antara Reiner dan Elise, kembali menyela. "Reiner, kau harus memikirkan lebih banyak hal! Kami bukan hanya berbicara tentang istri untukmu, tetapi juga tentang masa depan keluarga ini!"

"Aku tahu, Ibu," jawab Reiner dengan nada datar, meskipun matanya masih sesekali mencuri pandang ke arah Elise yang sedang menata barang-barang di dekat meja makan.

Elise dengan cepat mengalihkan pandangannya ketika matanya bertemu dengan milik Reiner, merasa jantungnya berdegup lebih cepat. Ia tahu bahwa hubungan antara dirinya dan keluarga Barack hanyalah hubungan pelayan dan majikan. Tetapi, ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan dalam interaksi mereka, yang membuat suasana menjadi canggung dan penuh ketegangan.

***

Bab terkait

  • Jeratan Tuan Reiner   Bagian 3

    Pukul sepuluh pagi, dapur di rumah besar keluarga Barack terasa sepi dan hening. Hanya ada suara langit-langit yang berderak pelan saat angin dari luar menyentuhnya. Reiner duduk di meja kayu panjang, memegang gelas berisi air, namun matanya jauh lebih tertarik pada ketenangan sekelilingnya.Dia baru saja meninggalkan ruang makan setelah percakapan yang menegangkan dengan ibunya. Rasa kesal masih tertinggal di bibirnya, namun dia tidak peduli. Semua itu akan berlalu, seperti semuanya yang pernah terjadi di hidupnya. Namun, ada satu hal yang menarik perhatian.Ketika Elise melangkah masuk dengan perlahan, pada kaki pelayan itu terselip aroma yang berbeda—sesuatu yang sederhana, namun kuat. Tidak ada keramahtamahan yang disampaikan melalui kata-kata, hanya seutas sapaan singkat yang penuh kehati-hatian. Reiner merasakan kehadirannya lebih dulu daripada mendengar langkahnya.Elise berjalan dengan perlahan, tubuhnya cenderung menyamping agar tidak mengganggu perhatiannya. Reiner tahu bahw

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-06
  • Jeratan Tuan Reiner   Bagian 4

    Sore itu, dapur rumah keluarga Barack dipenuhi aroma herbal yang baru saja diseduh. Elise sibuk membawa nampan berisi secangkir teh herbal untuk Tuan Abraham. Penampilannya sederhana, tapi menarik perhatian. Dengan tinggi badan 160 cm, tubuh mungilnya tampak anggun. Rambut hitam sebahunya selalu tertata rapi, meski wajahnya jarang dihiasi riasan. Sorot matanya lembut, menyiratkan kepribadian yang sabar, walau dalam hatinya sering tersimpan rasa gelisah.Elise, meskipun hanya pelayan, membawa aura yang berbeda. Ia terlihat tenang, tapi ada jejak kekuatan dari masa lalunya yang sulit—masa kecil di rumah yang penuh dengan pertengkaran, membuatnya belajar untuk menahan diri dan menghadapi segala situasi dengan kepala dingin.Salah seorang pelayan senior, Greta, berbisik pada rekannya sambil melirik Elise yang baru melewati mereka.“Lihat dia, baru beberapa hari di sini sudah begitu percaya diri melayani Tuan Abraham. Biasanya, pelayan lain lari dalam seminggu,” katanya sinis.“Entahlah,”

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-06
  • Jeratan Tuan Reiner   Bagian 5

    Reiner menuntun mobilnya melewati jalanan yang tak terlalu terang, mengikuti arah yang ditunjukkan oleh Elise. Saat mobil berhenti di depan rumah yang sederhana namun sedikit kumuh, Reiner menatap bangunan itu sekilas dari dalam mobil. Tidak ada yang terlalu mencolok, hanya sebuah rumah dengan pagar kayu yang sudah mulai lapuk. Sangat kontras dengan rumah megah yang ia tinggali.Elise membuka pintu mobil, hendak turun. Reiner menundukkan wajahnya sejenak, berusaha menyembunyikan rasa keingintahuan yang tumbuh. Dengan sedikit ragu, dia mengikuti Elise keluar dari mobil dan berjalan mengikutinya ke pintu rumah. Dalam pikiran Reiner, rumah ini adalah tempat yang sangat berbeda dari kehidupannya yang mewah dan penuh privilese.Begitu masuk ke dalam, bau lembap dan udara pengap langsung terasa. Rumah itu tampak kacau, dengan barang-barang yang berserakan di lantai. Ruangan yang seharusnya menjadi ruang tamu tampak kosong, hanya berisi kursi-kursi kayu usang dan meja yang sudah tidak terawa

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-06
  • Jeratan Tuan Reiner   Bagian 6

    Malam itu, ketenangan yang rapuh melingkupi rumah kecil keluarga Elise. Bau darah samar masih terasa di udara, bercampur dengan aroma kayu yang lapuk. Elise menuntun ayahnya, Eddie, ke kamar untuk mengobati luka di tangannya. Luka itu tidak terlalu dalam, tapi cukup membuat Eddie meringis setiap kali Elise membersihkannya.Sebuah lampu redup di meja kecil di sudut kamar menjadi satu-satunya penerangan, memunculkan bayangan wajah Eddie yang penuh garis usia dan kelelahan. Elise bekerja dalam diam, tangannya cekatan, sementara pikirannya penuh pertanyaan yang tidak berani ia lontarkan."Ahh… pelan-pelan, Elise. Kau ini seperti mau mengulitiku saja!" kata Eddie setengah kesal.Elise tersenyum tipis. Sikap ayahnya memang cukup keras. "Ayah lebih baik diam kalau tidak tahan sakit. Luka ini karena ulah Ayah sendiri.""Huh, seperti aku punya pilihan lain. Kau tahu, mereka datang karena kita berutang! Kalau aku tidak menghadap mereka, mereka mungkin sudah menghancurkan rumah ini."Elise berhe

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-06
  • Jeratan Tuan Reiner   Bagian 7

    Pagi itu, Elise terbangun sebelum fajar.Bayang-bayang kejadian semalam masih membekas di pikirannya, tetapi tidak ada waktu untuk berlama-lama dalam keresahan. Dengan cekatan, dia mulai membereskan rumah yang berantakan, mengangkat kursi yang terbalik, dan menyapu pecahan kaca yang masih berserakan di lantai. Sesekali, dia menoleh ke kamar ayahnya, memastikan tidak ada suara yang mencurigakan.Elise memasak sarapan sederhana, dua porsi nasi dan telur dadar. Porsinya harus cukup untuk Lily dan ayahnya. Sambil bekerja, pikirannya terusik oleh perintah Eddie semalam. Mendekati Reiner? Sungguh ide yang tidak masuk akal. Elise menggelengkan kepala, mencoba menyingkirkan pikiran itu.Saat Lily muncul dari kamar dengan rambut yang belum tersisir rapi, Elise tersenyum kecil.“Ayo cepat cuci muka. Setelah itu, makan dulu sebelum kita berangkat.” Elise menyerahkan sepiring nasi kepada adiknya.“Kakak sudah makan?” Lily bertanya dengan nada polos, suaranya masih serak karena baru bangun tidur.

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-23
  • Jeratan Tuan Reiner   Bagian 8

    Suara langkah kaki terdengar di sepanjang lorong marmer rumah keluarga Barack yang megah. Elise berjalan pelan mengikuti Will, pria berkacamata dengan setelan rapi yang selalu tampak seperti bayangan Tuan Abraham. Pagi ini, tugas Elise bertambah berat setelah arahan baru yang diberikan langsung oleh sang majikan.“Jadi, seperti yang Tuan Abraham katakan, mulai hari ini, kamu akan mengurus keperluan Tuan Reiner setiap pagi,” jelas Will sambil menyerahkan selembar kertas.Elise menerima kertas itu dengan ragu. Pandangannya menyapu barisan huruf yang tertera:Pakaian kerja harus tersedia di kamar jam 6 pagi.1. Segelas air putih harus tersedia di nakas.2. AC harus disetel pada suhu 24 derajat, tidak boleh lebih dingin.3. Dilarang mengeluarkan suara yang berpotensi membangunkan Tuan Reiner.4. Setelah Tuan Reiner bangun, sarapan harus siap di meja makan.5. Dilarang memasuki kamar tanpa izin setelah Tuan Reiner bangun.6. Aroma ruangan harus berganti setiap hari, sesuai dengan yang sud

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-23
  • Jeratan Tuan Reiner   Bagian 9

    Pagi itu, suasana ruang makan terasa tenang dan hangat oleh aroma roti panggang dan kopi. Elise baru saja selesai mengurus keperluan Reiner dan langsung bergegas membawa nampan sarapan untuk Tuan Abraham. Kebiasaan sang majikan memang berbeda dari anggota keluarga lainnya—Abraham selalu menikmati sarapan di ruang pribadinya, jauh dari hiruk-pikuk rumah besar itu.Elise mengetuk pintu dengan sopan.“Masuk,” terdengar suara berat Abraham dari dalam.Ketika Elise masuk, ia disambut oleh keheningan ruang kerja Abraham, yang dikelilingi oleh rak buku tinggi. Beliau duduk di kursi malasnya, tatapannya beralih dari buku yang sedang dibaca ke Elise.“Selamat pagi, Tuan,” ujar Elise lembut sambil menaruh nampan di atas meja kecil di samping kursi.“Pagi,” balas Abraham sambil melipat buku dan meletakkannya di pangkuan. “Kau sudah terbiasa bekerja di sini, Elise?”“Sudah cukup terbiasa, Tuan. Meski... masih banyak yang perlu saya pelajari,” Elise menjawab jujur, menundukkan kepala sedikit.“Bag

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-23
  • Jeratan Tuan Reiner   Bagian 10

    Eva Myles, dengan keanggunannya yang tak terbantahkan, melangkah masuk. Tubuhnya tegak, wajah ovalnya dihiasi senyuman tipis yang tampak ramah namun penuh dominasi. Rambut panjangnya yang bergelombang tergerai sempurna di atas blazer putih dan rok pensil hitam. Setiap langkahnya terdengar seperti irama sepatu hak tinggi di atas lantai, membuat semua mata karyawan yang semula sibuk mendadak menoleh.“Dia datang lagi,” bisik seorang resepsionis kepada rekannya.“Berani sekali, ya. Padahal semua tahu Tuan Reiner tidak menyukainya,” jawab yang lain dengan nada rendah."Kalian ingat tentang kabar di pesta waktu itu? Ugh! Harusnya dia malu."Eva tak memedulikan bisik-bisik itu. Baginya, mereka hanyalah bagian dari pemandangan sehari-hari. Dengan tenang, ia berjalan menuju lift, menekan tombol menuju lantai eksekutif tanpa meminta izin siapa pun.Setibanya di lantai atas, sekretaris pribadi Reiner, Hanna, mencoba menghadangnya dengan senyum profesional. “Nona Eva, Tuan Reiner sedang sibuk de

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-23

Bab terbaru

  • Jeratan Tuan Reiner   Ban 75

    Tobey duduk di kursi, wajahnya tegang dan penuh kemarahan. Tangan kanannya mencengkeram sandaran kursi dengan erat, sementara tangan kirinya meremas ponsel, matanya terpaku pada foto yang ada di layar—sebuah gambar pria yang tak lain adalah ayah Elise. Ketika matanya menyapu ruang itu, ia mendapati bawahannya masih sibuk mengutak-atik komputer, mencoba mencari solusi dari teka-teki yang membuatnya semakin jengkel. "Damn!" Tobey mengumpat kasar, suaranya serak penuh kekesalan. "Kau memang serakah, Harrys! Bahkan setelah mati, kau masih menyusahkan hidupku!" Ia melemparkan ponselnya ke meja dengan kasar, kemudian berdiri dan berjalan mondar-mandir, berpikir keras. Ruangan itu terasa semakin sempit, seolah-olah setiap sudutnya menekan perasaan Tobey yang semakin membara. Di ambang pintu, Karl muncul, memandangnya dengan wajah ragu-ragu. “Apakah mungkin kode sandinya ulang tahun Roseta?” Tobey menoleh, matanya menyipit dengan keraguan. "Itu terlalu mudah, Karl." Suaranya terdengar taj

  • Jeratan Tuan Reiner   Bab 74

    Di dalam ruangan yang cukup terang, suasana semakin tegang. Semua mata tertuju pada brankas besar yang terletak di tengah ruangan. Ahli IT yang duduk di depan komputer mulai mengoperasikan alatnya, dan layar di hadapannya menunjukkan data yang bergerak cepat. Semua orang menunggu dengan cemas, menyadari bahwa brankas itu hanya bisa dibuka dengan sidik jari yang cocok. Tentu saja, itu hanya masalah waktu. Tak lama lagi, brankas itu akan terbuka, dan rahasia yang tersembunyi di dalamnya akan terungkap. Semua mata kini beralih ke Elise yang terikat di sudut ruangan. Wajahnya tampak pucat dan penuh kecemasan. Tiba-tiba, salah satu suruhan lainnya yang tampaknya bertugas menjaga keamanan ruangan, berjalan mendekat dengan ekspresi cemas. Wajahnya menunjukkan ketegangan. "Tuan, kami mendeteksi gerakan di sekitar gedung. Sepertinya ada orang lain yang mendekat." Tobey mengerutkan keningnya, lalu mengalihkan pandangannya ke Elise yang duduk di sudut ruangan, tampak semakin ketakutan. Tata

  • Jeratan Tuan Reiner   Bab 73

    Pagi itu, tubuh Elise tersentak hebat, seakan terbangun dari mimpi buruk yang terlalu nyata. Matanya langsung terbuka lebar, menatap langit-langit gelap di atasnya. Napasnya memburu, dadanya naik-turun seiring ketakutan yang belum sepenuhnya hilang dari pikirannya. Dia bergumam pelan, hampir tidak terdengar, "Sudah pagi ternyata..." Namun, pagi itu tidak membawa ketenangan. Elise masih terikat di kursi kayu keras, dengan tali yang menggerus pergelangan tangannya. Dia mencoba lagi untuk membebaskan diri, menarik-narik tali bergantian dengan penuh harap, tetapi usahanya hanya membuat kulitnya semakin memerah dan perih. Rasa sakit itu seperti memperingatkan bahwa kebebasan masih jauh dari jangkauan. Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat. Elise segera berhenti bergerak, memejamkan mata, dan menyandarkan kepalanya ke dinding. Dia berpura-pura tidur, mencoba mendengarkan percakapan yang terjadi di luar ruangannya. "Tuan akan langsung membawa dia pergi?" suara berat Karl terde

  • Jeratan Tuan Reiner   Bab 72

    Pukul delapan malam, suasana di luar rumah Eddie masih tampak tenang. Reiner memarkir mobilnya di depan pagar yang sudah mulai berkarat. Langkahnya terdengar berat dan cepat di atas jalan setapak menuju pintu utama. Ketika pintu terbuka, Eddie—dengan rambutnya yang mulai memutih dan postur tubuh sedikit membungkuk—terlihat terkejut mendapati Reiner berdiri di ambang pintu dengan ekspresi tegang. “Silakan masuk, Tuan... sepertinya ada yang genting,” kata Eddie sambil mempersilakan Reiner masuk ke ruang tamu. Tanpa menunggu basa-basi, Reiner langsung membuka pembicaraan. “Apa kau masih sering menemui Karl?” Kening Eddie berkerut. Nama itu seperti pisau tua yang kembali mengiris luka lama. “Ada apa dengan Karl?” tanyanya penuh kebingungan. Reiner mendesah berat, mencoba menahan ledakan emosinya. “Elise hilang.” Mata Eddie membelalak. “E-Elise hilang? Bagaimana bisa, Tuan?” Reiner meraup wajahnya dengan kasar, frustrasi. “Kau tahu kira-kira Karl tinggal di mana? Kau itu kakak kandun

  • Jeratan Tuan Reiner   Bab 71

    Tubuh Elise gemetar, kedua tangannya terikat erat di belakang punggung, sementara kakinya dililit tali yang sama kuatnya. Lakban menutup rapat mulutnya, membuatnya hanya bisa mengeluarkan suara samar dari tenggorokannya. Dia duduk bersimpuh di lantai, punggungnya bersandar pada sebuah lemari kayu yang besar. Perlahan, Elise membuka matanya. Pandangannya buram pada awalnya, tapi sedikit demi sedikit, ruangan itu mulai terlihat jelas. Cahaya remang dari sebuah lampu gantung tua memantulkan bayangan menyeramkan di dinding. Jantungnya berdegup kencang saat ia menyadari bahwa dirinya berada di tempat asing, dalam kondisi tidak berdaya. Suara langkah kaki terdengar mendekat. Karl muncul dari kegelapan, mengenakan jaket kulit yang terlihat usang. Wajahnya dihiasi seringaian dingin yang mengirimkan hawa menakutkan ke seluruh ruangan. "Bangun juga kau, Elise," ucap Karl dengan nada mengejek, matanya menyipit tajam saat dia mendekati tubuh Elise yang terikat. Elise berusaha menggerakkan tub

  • Jeratan Tuan Reiner   Bab 76

    Polisi mulai sibuk bergerak, menyebar ke seluruh area bangunan tua yang telah lama terbengkalai di tengah hutan. Mereka menggedor setiap sudut, membuka pintu-pintu berkarat dan menyisir ruang-ruang yang diselimuti debu tebal. Meskipun bangunan ini sudah lama ditinggalkan, tidak ada yang tahu bahwa di dalamnya masih tersimpan sesuatu yang sangat penting, sesuatu yang bisa mengubah banyak hal."Dua langkah ke kiri!" perintah seorang polisi dengan suara tegas saat ia menyisir ruang yang dipenuhi komputer-komputer tua dan alat-alat aneh. Dalam salah satu sudut ruangan, sebuah brangkas besar berdiri tegak, menunggu untuk dibuka oleh Tobey. Tapi kini, brangkas itu hanya menjadi objek misteri bagi para penyelidik."Jangan bergerak! Kalian sudah terkepung!" teriak polisi lain yang sudah mengarahkan senjata mereka ke empat orang yang berada di dalam ruangan tersebut. Para pengikut Tobey terkejut, namun mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Tangan mereka terangkat ke udara sebagai tanda menyerah.

  • Jeratan Tuan Reiner   Bab 70

    Kediaman Keluarga BarackReiner memarkir mobil di area halaman, suara mesin yang berhenti menarik perhatian Will yang sedang duduk di pos bersama para penjaga. "Baru pulang, Tuan?"Reiner hanya mengangguk singkat, kemudian berjalan masuk ke dalam rumah. Udara di dalam terasa hangat, namun pikirannya tidak. Ada sesuatu yang mengganjal sejak dia melihat barang berserakan di jalan pinus tadi.Saat tiba di ruang tengah, suaranya bergema, memanggil, "Elise!"Yang muncul bukan Elise, melainkan Clara, dengan wajah sedikit ragu."Maaf, Tuan... Elise sedang tidak di rumah."Kening Reiner langsung berkerut, nada suaranya berubah. "Kemana dia?" "Saya kurang tahu, Tuan. Dari siang saya tidak melihat Elise."Reiner terdiam, pikirannya langsung berputar. Dia berjalan menuju tangga, melangkah ke lantai dua sambil mencoba menenangkan diri.Reiner membatin, "Apa dia pergi menemui ayah dan adiknya lagi? Atau ke galeri seni seperti biasa?"Tapi kenapa tidak ada pesan? Dia merogoh ponsel dari saku cela

  • Jeratan Tuan Reiner   Bab 69

    Siang itu, matahari bersinar terang di halaman rumah keluarga Barbra. Elise sedang sibuk menyapu dedaunan kering yang berguguran. Dengan gerakan cepat, ia mencoba menyelesaikan pekerjaannya, namun perhatiannya terusik oleh percakapan yang terjadi di teras depan. "Reiner sering sekali mencuri pandang padaku waktu itu," suara Olivia terdengar jelas, diiringi tawa kecil. "Ah, aku ingat itu. Anak itu selalu mencari alasan untuk bertemu denganmu," sahut Barbra dengan nada bercanda, tetapi ada kehangatan di dalamnya. Mendengar obrolan itu, Elise menghentikan gerakan sapunya. Ia berdiri di balik pohon besar, mencuri dengar pembicaraan mereka. Dadanya terasa sedikit sesak, meskipun ia sendiri tidak mengerti mengapa. Olivia melanjutkan, "Dia benar-benar berbeda saat itu, Bibi. Lebih hangat, lebih perhatian. Tapi, yah, waktu memang mengubah segalanya." Elise mendengus pelan, mencoba mengalihkan rasa tak nyaman dengan menyapu daun-daun kering lebih keras. Tak lama kemudian, Reiner muncul da

  • Jeratan Tuan Reiner   Bab 68

    Pagi itu, Elise sudah berdiri di depan kamar Reiner, memeluk keranjang pakaian yang semalam harus ia setrika ulang. Matanya menatap pintu kayu itu dengan ragu. Dia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri sebelum mengetuk. Namun, sebelum tangannya sempat menyentuh pintu, gagang pintu itu berputar, dan sosok Olivia muncul dari dalam. Olivia menguap kecil, tampak santai dengan piyama satin yang terkesan mahal. Rambutnya tergerai rapi, meskipun baru saja bangun tidur. Elise membeku. Pandangan mereka bertemu, dan Olivia tampak terkejut. “Eh, Elise? Kau di sini pagi-pagi sekali?” tanya Olivia sambil merapikan rambutnya. Elise menelan ludah. “Sa-saya… saya mau mengantar pakaian, Nona. Semua harus rapi sebelum Tuan Reiner bangun.” “Oh, begitu ya?” Olivia tersenyum tipis sambil menyingkir memberi jalan. “Silakan masuk saja.” Elise mengangguk canggung, melangkah masuk ke kamar sambil memeluk keranjang pakaian erat-erat. Dia tidak berani menoleh, tetapi langkah Olivia yang gemulai ta

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status