Rumah keluarga Barack berdiri megah di atas tanah seluas dua hektar, dikelilingi taman yang dirancang oleh arsitek terkenal. Gerbang besar dengan logo keluarga terpahat di tengahnya dijaga ketat oleh dua petugas keamanan, sementara kamera tersembunyi memantau setiap sudut. Para pelayan berlalu-lalang di lorong marmer yang dingin, memastikan setiap sudut rumah tetap sempurna. Keluarga Barack bukan hanya kaya raya—mereka adalah simbol kekuasaan dan kehormatan di kota ini.
Di ruang makan yang luas, cahaya pagi menerobos tirai beludru, menerangi meja makan panjang yang dipenuhi peralatan porselen mahal. Di salah satu ujung meja, Nyonya Barbra Barack sedang menuangkan teh sambil berbicara dengan nada tajam, penuh keluhan. "Aku sungguh tak habis pikir, Reiner!" suara Barbra melengking, matanya yang tajam menyipit menatap putranya. "Kau kabur dari pesta tanpa pemberitahuan, meninggalkan Eva begitu saja. Orang tuanya pasti menganggap keluarga kita tidak punya sopan santun!" Reiner, yang duduk di kursi seberang, mengenakan kemeja santai tetapi tetap memancarkan aura elegan, hanya mengangkat bahu. "Eva baik-baik saja. Aku yakin dia lebih tertarik dengan pria lain daripada denganku." "Reiner!" Barbra mendesah frustrasi. "Kau tahu betapa pentingnya ini untuk keluargamu? Eva adalah wanita yang cocok untukmu. Cantik, berpendidikan, dan berasal dari keluarga terpandang. Atau kau ingin membuatku malu lagi seperti semalam?" Reiner meletakkan cangkir kopinya dengan perlahan, lalu menatap ibunya dengan dingin. "Aku tidak butuh seorang istri pilihanmu, Ibu. Jika kau ingin menambah koleksi porselen di rumah ini, mungkin Eva bisa kau jadikan salah satunya. Tapi aku tidak tertarik. Dan lagi... bisa-bisanya ibu memintaku menghadiri pesta di tempat seperti itu." "Reiner Barack!" Suara Barbra meninggi, membuat para pelayan yang berdiri di dekat dinding melirik waspada. Di sisi lain meja, Gale Barack, ayah Reiner, hanya menggeleng pelan. Pria paruh baya itu memiliki karisma yang tenang, dengan rambut yang mulai memutih di pelipisnya. Ia mengaduk teh tanpa bicara, membiarkan istrinya meluapkan emosinya. "Kau terlalu memanjakannya, Gale!" Barbra melirik suaminya dengan gusar. "Lihat bagaimana dia mempermalukan kita!" Sebelum Gale sempat menjawab, suara roda kursi berdecit lembut di lorong, menarik perhatian mereka. "Apa ini pagi tanpa sedikit drama?" Suara berat dan berwibawa milik Tuan Abraham Barack, kakek Reiner, mengisi ruangan. Pria tua itu didorong masuk oleh seorang pelayan. Ia tersenyum tipis, menatap keluarga di depannya dengan tatapan penuh makna. Reiner berdiri untuk membantu kakeknya, tetapi langkahnya terhenti ketika matanya menangkap sosok di belakang kursi roda. Seorang wanita muda, berpakaian pelayan, dengan rambut cokelat yang diikat rapi, berdiri canggung sambil menunduk. Elise. Seketika ruangan terasa hening, tetapi hanya bagi Reiner. Ia menatap Elise selama beberapa detik, matanya mengamati setiap detail wajah wanita itu, seolah ingin memastikan bahwa ia tidak salah lihat. Elise, yang merasa diperhatikan, berusaha tetap tenang, tetapi tangannya sedikit gemetar saat ia memegang pegangan kursi roda. Reiner menarik napas dalam dan segera mengalihkan pandangannya. Ia melangkah mundur, membiarkan pelayan lain membantu kakeknya duduk di kursi. "Siapa dia?" Barbra bertanya sambil melirik Elise dengan sedikit rasa penasaran bercampur ketidaksukaan. Wajah kampungan itu sungguh mengganggu pandangan Barbra. "Elise," jawab Abraham singkat. "Dia akan membantu merawatku mulai hari ini. Gadis ini bekerja keras dan jujur. Aku yakin dia akan menjadi tambahan yang baik untuk rumah ini." Barbra mengernyit. "Baiklah, asalkan dia tahu aturan di sini. Semoga saja dia tidak menyerah." Reiner tetap diam, pura-pura sibuk dengan makanannya. Ia tidak menyapa, tidak menunjukkan tanda bahwa ia mengenal Elise, meskipun pikirannya penuh dengan pertanyaan. Elise, di sisi lain, berusaha menjaga sikapnya tetap profesional, tetapi wajahnya sedikit memerah saat pandangan mereka sempat bertemu singkat. Ketegangan yang tak terlihat mulai terbentuk di udara, menyelimuti meja makan megah itu. *** Setelah Tuan Abraham duduk dengan nyaman di kursi roda, Elise mulai bergerak dengan cekatan. Ia memindahkan piring dan sendok dengan hati-hati, memastikan semuanya tersaji dengan rapi. Tangan Elise bergerak terampil, menuangkan teh ke dalam cangkir Tuan Abraham dengan gerakan lembut namun pasti. Ia bekerja dengan kesungguhan, seperti sudah terbiasa melayani orang-orang penting, meskipun ada kesan gugup di matanya setiap kali ia harus berhadapan dengan anggota keluarga Barack. Reiner diam-diam mengamati setiap gerakan Elise. Matanya tidak lepas dari wanita itu, mengikuti pergerakannya yang luwes dan penuh perhatian. Ada sesuatu dalam diri Elise yang membuatnya terkesan, meski ia tidak mengerti apa itu. Mungkin hanya rasa kagum, atau mungkin lebih dari itu, tapi ia tak ingin mengakuinya. Keheningan8 di antara mereka terasa tebal, dengan hanya suara sendok yang menyentuh piring dan suara pelayan yang mondar-mandir memenuhi ruang makan yang luas. Reiner memerhatikan bagaimana Elise menundukkan kepala dengan hormat saat menyajikan teh untuk kakeknya, menambahkan gula secukupnya seperti yang biasa dilakukan Tuan Abraham. Wanita itu tidak berbicara, tidak berani membuat kesan salah, hanya mengikuti instruksi dengan penuh kesabaran. Setiap gerakannya tampak dihitung dan penuh perhatian, seolah seluruh dunia ada di bawah kendalinya—selain dunia Reiner, yang selalu dipenuhi dengan harapan besar dan aturan ketat. Di sisi meja, Barbra masih terus mengoceh, suaranya meninggi dengan setiap kata yang ia ucapkan. "Aku benar-benar malu dengan dirimu, Reiner! Pesta itu hampir hancur karena kelakuanmu yang sembrono! Apa kau kira keluarga Eva itu tidak bisa melihat bahwa kita dipermalukan?" Reiner menyandarkan punggungnya pada kursi, menatap tanpa minat ke arah ibunya. Ia mengangkat cangkir kopinya dengan santai, membiarkan kata-kata Barbra berlalu begitu saja tanpa digubris. Ia terlalu sibuk mengamati Elise, yang kini sedang menyajikan sepotong roti kepada kakeknya dengan hati-hati. Elise bergerak seperti bayangan, begitu elegan meskipun dia hanya seorang pelayan. Reiner merasa ada yang aneh dengan dirinya—sesuatu yang tak pernah dirasakannya sebelumnya. "Reiner," Barbra mendesah, tidak sabar dengan sikap acuh tak acuh putranya. "Ibu bilang, kau seharusnya lebih menghargai kesempatan ini! Eva adalah calon istri yang sempurna untukmu! Kau tak bisa terus mengabaikan semua usaha yang kami lakukan!" Reiner mengalihkan pandangannya dari Elise sejenak untuk menatap ibunya, tetapi hanya untuk sekilas. Ia menjawab dengan suara datar, "Ibu, aku sudah bilang, aku tidak tertarik. Sudah bukan jamannya jodoh-jodohan." Barbra hampir tersedak mendengar jawaban itu. "Bagaimana bisa kau berkata begitu? Apa kau tidak bisa sedikit memikirkan masa depan kita? Kau terlalu keras kepala! Eva berasal dari keluarga terpandang." Elise kembali mendekat, kali ini membawa piring dengan menu sarapan yang sudah disiapkan. Tanpa sepatah kata pun, ia menundukkan kepala dengan hormat saat meletakkan piring di depan Tuan Abraham. Gerakannya begitu halus, seakan dia sudah menguasai seni melayani dengan sempurna. Reiner memperhatikan setiap detil, dari tatapan rendah Elise hingga gerakan tangannya yang sangat terkendali saat ia mengambil piring kotor dan mengembalikannya ke meja. Tuan Abraham mengangkat alisnya, lalu menatap Reiner yang masih terlihat terfokus pada Elise. "Apa kau tidak akan menyapa gadis itu, Reiner?" suaranya rendah namun tajam. Reiner terkejut, seolah baru menyadari bahwa ia telah terlalu lama memandangi Elise. Ia menatap kakeknya dengan canggung. "Oh, tidak perlu. Dia hanya pelayan di sini," jawabnya singkat, berusaha menutupinya dengan nada datar. Namun, Elise merasa tidak nyaman dengan perhatian yang diberikan Reiner, meskipun ia berusaha untuk tidak menunjukkan kegugupan di wajahnya. Hanya tubuhnya yang sedikit tegang saat ia kembali ke tempatnya, di dekat pintu dapur. Barbra, yang tidak menyadari ketegangan yang berkembang antara Reiner dan Elise, kembali menyela. "Reiner, kau harus memikirkan lebih banyak hal! Kami bukan hanya berbicara tentang istri untukmu, tetapi juga tentang masa depan keluarga ini!" "Aku tahu, Ibu," jawab Reiner dengan nada datar, meskipun matanya masih sesekali mencuri pandang ke arah Elise yang sedang menata barang-barang di dekat meja makan. Elise dengan cepat mengalihkan pandangannya ketika matanya bertemu dengan milik Reiner, merasa jantungnya berdegup lebih cepat. Ia tahu bahwa hubungan antara dirinya dan keluarga Barack hanyalah hubungan pelayan dan majikan. Tetapi, ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan dalam interaksi mereka, yang membuat suasana menjadi canggung dan penuh ketegangan. ***Pukul sepuluh pagi, dapur di rumah besar keluarga Barack terasa sepi dan hening. Hanya ada suara langit-langit yang berderak pelan saat angin dari luar menyentuhnya. Reiner duduk di meja kayu panjang, memegang gelas berisi air, namun matanya jauh lebih tertarik pada ketenangan sekelilingnya.Dia baru saja meninggalkan ruang makan setelah percakapan yang menegangkan dengan ibunya. Rasa kesal masih tertinggal di bibirnya, namun dia tidak peduli. Semua itu akan berlalu, seperti semuanya yang pernah terjadi di hidupnya. Namun, ada satu hal yang menarik perhatian.Ketika Elise melangkah masuk dengan perlahan, pada kaki pelayan itu terselip aroma yang berbeda—sesuatu yang sederhana, namun kuat. Tidak ada keramahtamahan yang disampaikan melalui kata-kata, hanya seutas sapaan singkat yang penuh kehati-hatian. Reiner merasakan kehadirannya lebih dulu daripada mendengar langkahnya.Elise berjalan dengan perlahan, tubuhnya cenderung menyamping agar tidak mengganggu perhatiannya. Reiner tahu bahw
Sore itu, dapur rumah keluarga Barack dipenuhi aroma herbal yang baru saja diseduh. Elise sibuk membawa nampan berisi secangkir teh herbal untuk Tuan Abraham. Penampilannya sederhana, tapi menarik perhatian. Dengan tinggi badan 160 cm, tubuh mungilnya tampak anggun. Rambut hitam sebahunya selalu tertata rapi, meski wajahnya jarang dihiasi riasan. Sorot matanya lembut, menyiratkan kepribadian yang sabar, walau dalam hatinya sering tersimpan rasa gelisah.Elise, meskipun hanya pelayan, membawa aura yang berbeda. Ia terlihat tenang, tapi ada jejak kekuatan dari masa lalunya yang sulit—masa kecil di rumah yang penuh dengan pertengkaran, membuatnya belajar untuk menahan diri dan menghadapi segala situasi dengan kepala dingin.Salah seorang pelayan senior, Greta, berbisik pada rekannya sambil melirik Elise yang baru melewati mereka.“Lihat dia, baru beberapa hari di sini sudah begitu percaya diri melayani Tuan Abraham. Biasanya, pelayan lain lari dalam seminggu,” katanya sinis.“Entahlah,”
Reiner menuntun mobilnya melewati jalanan yang tak terlalu terang, mengikuti arah yang ditunjukkan oleh Elise. Saat mobil berhenti di depan rumah yang sederhana namun sedikit kumuh, Reiner menatap bangunan itu sekilas dari dalam mobil. Tidak ada yang terlalu mencolok, hanya sebuah rumah dengan pagar kayu yang sudah mulai lapuk. Sangat kontras dengan rumah megah yang ia tinggali.Elise membuka pintu mobil, hendak turun. Reiner menundukkan wajahnya sejenak, berusaha menyembunyikan rasa keingintahuan yang tumbuh. Dengan sedikit ragu, dia mengikuti Elise keluar dari mobil dan berjalan mengikutinya ke pintu rumah. Dalam pikiran Reiner, rumah ini adalah tempat yang sangat berbeda dari kehidupannya yang mewah dan penuh privilese.Begitu masuk ke dalam, bau lembap dan udara pengap langsung terasa. Rumah itu tampak kacau, dengan barang-barang yang berserakan di lantai. Ruangan yang seharusnya menjadi ruang tamu tampak kosong, hanya berisi kursi-kursi kayu usang dan meja yang sudah tidak terawa
Malam itu, ketenangan yang rapuh melingkupi rumah kecil keluarga Elise. Bau darah samar masih terasa di udara, bercampur dengan aroma kayu yang lapuk. Elise menuntun ayahnya, Eddie, ke kamar untuk mengobati luka di tangannya. Luka itu tidak terlalu dalam, tapi cukup membuat Eddie meringis setiap kali Elise membersihkannya.Sebuah lampu redup di meja kecil di sudut kamar menjadi satu-satunya penerangan, memunculkan bayangan wajah Eddie yang penuh garis usia dan kelelahan. Elise bekerja dalam diam, tangannya cekatan, sementara pikirannya penuh pertanyaan yang tidak berani ia lontarkan."Ahh… pelan-pelan, Elise. Kau ini seperti mau mengulitiku saja!" kata Eddie setengah kesal.Elise tersenyum tipis. Sikap ayahnya memang cukup keras. "Ayah lebih baik diam kalau tidak tahan sakit. Luka ini karena ulah Ayah sendiri.""Huh, seperti aku punya pilihan lain. Kau tahu, mereka datang karena kita berutang! Kalau aku tidak menghadap mereka, mereka mungkin sudah menghancurkan rumah ini."Elise berhe
Pagi itu, Elise terbangun sebelum fajar.Bayang-bayang kejadian semalam masih membekas di pikirannya, tetapi tidak ada waktu untuk berlama-lama dalam keresahan. Dengan cekatan, dia mulai membereskan rumah yang berantakan, mengangkat kursi yang terbalik, dan menyapu pecahan kaca yang masih berserakan di lantai. Sesekali, dia menoleh ke kamar ayahnya, memastikan tidak ada suara yang mencurigakan.Elise memasak sarapan sederhana, dua porsi nasi dan telur dadar. Porsinya harus cukup untuk Lily dan ayahnya. Sambil bekerja, pikirannya terusik oleh perintah Eddie semalam. Mendekati Reiner? Sungguh ide yang tidak masuk akal. Elise menggelengkan kepala, mencoba menyingkirkan pikiran itu.Saat Lily muncul dari kamar dengan rambut yang belum tersisir rapi, Elise tersenyum kecil.“Ayo cepat cuci muka. Setelah itu, makan dulu sebelum kita berangkat.” Elise menyerahkan sepiring nasi kepada adiknya.“Kakak sudah makan?” Lily bertanya dengan nada polos, suaranya masih serak karena baru bangun tidur.
Suara langkah kaki terdengar di sepanjang lorong marmer rumah keluarga Barack yang megah. Elise berjalan pelan mengikuti Will, pria berkacamata dengan setelan rapi yang selalu tampak seperti bayangan Tuan Abraham. Pagi ini, tugas Elise bertambah berat setelah arahan baru yang diberikan langsung oleh sang majikan.“Jadi, seperti yang Tuan Abraham katakan, mulai hari ini, kamu akan mengurus keperluan Tuan Reiner setiap pagi,” jelas Will sambil menyerahkan selembar kertas.Elise menerima kertas itu dengan ragu. Pandangannya menyapu barisan huruf yang tertera:Pakaian kerja harus tersedia di kamar jam 6 pagi.1. Segelas air putih harus tersedia di nakas.2. AC harus disetel pada suhu 24 derajat, tidak boleh lebih dingin.3. Dilarang mengeluarkan suara yang berpotensi membangunkan Tuan Reiner.4. Setelah Tuan Reiner bangun, sarapan harus siap di meja makan.5. Dilarang memasuki kamar tanpa izin setelah Tuan Reiner bangun.6. Aroma ruangan harus berganti setiap hari, sesuai dengan yang sud
Pagi itu, suasana ruang makan terasa tenang dan hangat oleh aroma roti panggang dan kopi. Elise baru saja selesai mengurus keperluan Reiner dan langsung bergegas membawa nampan sarapan untuk Tuan Abraham. Kebiasaan sang majikan memang berbeda dari anggota keluarga lainnya—Abraham selalu menikmati sarapan di ruang pribadinya, jauh dari hiruk-pikuk rumah besar itu.Elise mengetuk pintu dengan sopan.“Masuk,” terdengar suara berat Abraham dari dalam.Ketika Elise masuk, ia disambut oleh keheningan ruang kerja Abraham, yang dikelilingi oleh rak buku tinggi. Beliau duduk di kursi malasnya, tatapannya beralih dari buku yang sedang dibaca ke Elise.“Selamat pagi, Tuan,” ujar Elise lembut sambil menaruh nampan di atas meja kecil di samping kursi.“Pagi,” balas Abraham sambil melipat buku dan meletakkannya di pangkuan. “Kau sudah terbiasa bekerja di sini, Elise?”“Sudah cukup terbiasa, Tuan. Meski... masih banyak yang perlu saya pelajari,” Elise menjawab jujur, menundukkan kepala sedikit.“Bag
Eva Myles, dengan keanggunannya yang tak terbantahkan, melangkah masuk. Tubuhnya tegak, wajah ovalnya dihiasi senyuman tipis yang tampak ramah namun penuh dominasi. Rambut panjangnya yang bergelombang tergerai sempurna di atas blazer putih dan rok pensil hitam. Setiap langkahnya terdengar seperti irama sepatu hak tinggi di atas lantai, membuat semua mata karyawan yang semula sibuk mendadak menoleh.“Dia datang lagi,” bisik seorang resepsionis kepada rekannya.“Berani sekali, ya. Padahal semua tahu Tuan Reiner tidak menyukainya,” jawab yang lain dengan nada rendah."Kalian ingat tentang kabar di pesta waktu itu? Ugh! Harusnya dia malu."Eva tak memedulikan bisik-bisik itu. Baginya, mereka hanyalah bagian dari pemandangan sehari-hari. Dengan tenang, ia berjalan menuju lift, menekan tombol menuju lantai eksekutif tanpa meminta izin siapa pun.Setibanya di lantai atas, sekretaris pribadi Reiner, Hanna, mencoba menghadangnya dengan senyum profesional. “Nona Eva, Tuan Reiner sedang sibuk de
Elise membawa gelas kosong keluar dari kamar Reiner. Langkahnya pelan, berusaha tidak menarik perhatian siapa pun, namun suara langkahnya di lantai kayu tetap terdengar samar. Setibanya di dapur, ia langsung meletakkan gelas di wastafel dan mulai mencuci beberapa piring serta gelas kotor yang tertumpuk.Ruang makan di sebelah dapur tampak sepi. Namun, keheningan itu tidak berlangsung lama. Elise menyadari seseorang masuk ke dapur dengan langkah santai. Ia tidak perlu menoleh untuk tahu siapa itu—aroma parfum yang lembut namun mewah sudah memberinya jawaban. Eva."Elise, ya?" suara Eva terdengar ramah, hampir terlalu ramah. Elise menoleh sejenak, hanya untuk mengangguk sopan.Eva duduk di kursi ruang makan, mengambil selembar roti tawar dari keranjang di atas meja, lalu mulai mengoleskan selai stroberi dengan gerakan lambat."Sudah lama bekerja di sini?" tanyanya tanpa melihat Elise, seolah-olah pertanyaan itu hanya basa-basi.Elise, yang terus mencuci piring, menjawab singkat, "Belum
Para pelayan sibuk dengan tugas masing-masing, sementara di ruang tamu, Barbra sedang menikmati teh sore di meja kecil berukir elegan. Suara langkah sepatu hak tinggi yang mendekat segera menarik perhatian semua orang.Eva muncul dengan anggun, mengenakan dress pastel berpotongan sederhana namun tetap memancarkan aura kemewahan. Rambut panjangnya yang bergelombang tergerai rapi, dan senyum manis menghiasi wajah ovalnya. Namun, di balik senyum itu, ada rasa percaya diri yang nyaris menyerupai kesombongan.“Tante Barbra, sayang,” sapanya sambil mendekati ibu Reiner. “Kukira sore ini akan membosankan, tapi ternyata aku punya alasan untuk berkunjung.”Barbra tersenyum kecil, menyesap tehnya sebelum menjawab, “Eva, sayangku. Selalu menyenangkan melihatmu. Apa yang membawamu ke sini?”Eva meletakkan kantong belanja di meja samping, penuh dengan berbagai oleh-oleh mahal. “Aku hanya ingin berbagi sedikit hadiah untukmu, Om Gale, dan bahkan para pelayan. Sudah lama aku tidak mampir.”Barbra te
Eva Myles, dengan keanggunannya yang tak terbantahkan, melangkah masuk. Tubuhnya tegak, wajah ovalnya dihiasi senyuman tipis yang tampak ramah namun penuh dominasi. Rambut panjangnya yang bergelombang tergerai sempurna di atas blazer putih dan rok pensil hitam. Setiap langkahnya terdengar seperti irama sepatu hak tinggi di atas lantai, membuat semua mata karyawan yang semula sibuk mendadak menoleh.“Dia datang lagi,” bisik seorang resepsionis kepada rekannya.“Berani sekali, ya. Padahal semua tahu Tuan Reiner tidak menyukainya,” jawab yang lain dengan nada rendah."Kalian ingat tentang kabar di pesta waktu itu? Ugh! Harusnya dia malu."Eva tak memedulikan bisik-bisik itu. Baginya, mereka hanyalah bagian dari pemandangan sehari-hari. Dengan tenang, ia berjalan menuju lift, menekan tombol menuju lantai eksekutif tanpa meminta izin siapa pun.Setibanya di lantai atas, sekretaris pribadi Reiner, Hanna, mencoba menghadangnya dengan senyum profesional. “Nona Eva, Tuan Reiner sedang sibuk de
Pagi itu, suasana ruang makan terasa tenang dan hangat oleh aroma roti panggang dan kopi. Elise baru saja selesai mengurus keperluan Reiner dan langsung bergegas membawa nampan sarapan untuk Tuan Abraham. Kebiasaan sang majikan memang berbeda dari anggota keluarga lainnya—Abraham selalu menikmati sarapan di ruang pribadinya, jauh dari hiruk-pikuk rumah besar itu.Elise mengetuk pintu dengan sopan.“Masuk,” terdengar suara berat Abraham dari dalam.Ketika Elise masuk, ia disambut oleh keheningan ruang kerja Abraham, yang dikelilingi oleh rak buku tinggi. Beliau duduk di kursi malasnya, tatapannya beralih dari buku yang sedang dibaca ke Elise.“Selamat pagi, Tuan,” ujar Elise lembut sambil menaruh nampan di atas meja kecil di samping kursi.“Pagi,” balas Abraham sambil melipat buku dan meletakkannya di pangkuan. “Kau sudah terbiasa bekerja di sini, Elise?”“Sudah cukup terbiasa, Tuan. Meski... masih banyak yang perlu saya pelajari,” Elise menjawab jujur, menundukkan kepala sedikit.“Bag
Suara langkah kaki terdengar di sepanjang lorong marmer rumah keluarga Barack yang megah. Elise berjalan pelan mengikuti Will, pria berkacamata dengan setelan rapi yang selalu tampak seperti bayangan Tuan Abraham. Pagi ini, tugas Elise bertambah berat setelah arahan baru yang diberikan langsung oleh sang majikan.“Jadi, seperti yang Tuan Abraham katakan, mulai hari ini, kamu akan mengurus keperluan Tuan Reiner setiap pagi,” jelas Will sambil menyerahkan selembar kertas.Elise menerima kertas itu dengan ragu. Pandangannya menyapu barisan huruf yang tertera:Pakaian kerja harus tersedia di kamar jam 6 pagi.1. Segelas air putih harus tersedia di nakas.2. AC harus disetel pada suhu 24 derajat, tidak boleh lebih dingin.3. Dilarang mengeluarkan suara yang berpotensi membangunkan Tuan Reiner.4. Setelah Tuan Reiner bangun, sarapan harus siap di meja makan.5. Dilarang memasuki kamar tanpa izin setelah Tuan Reiner bangun.6. Aroma ruangan harus berganti setiap hari, sesuai dengan yang sud
Pagi itu, Elise terbangun sebelum fajar.Bayang-bayang kejadian semalam masih membekas di pikirannya, tetapi tidak ada waktu untuk berlama-lama dalam keresahan. Dengan cekatan, dia mulai membereskan rumah yang berantakan, mengangkat kursi yang terbalik, dan menyapu pecahan kaca yang masih berserakan di lantai. Sesekali, dia menoleh ke kamar ayahnya, memastikan tidak ada suara yang mencurigakan.Elise memasak sarapan sederhana, dua porsi nasi dan telur dadar. Porsinya harus cukup untuk Lily dan ayahnya. Sambil bekerja, pikirannya terusik oleh perintah Eddie semalam. Mendekati Reiner? Sungguh ide yang tidak masuk akal. Elise menggelengkan kepala, mencoba menyingkirkan pikiran itu.Saat Lily muncul dari kamar dengan rambut yang belum tersisir rapi, Elise tersenyum kecil.“Ayo cepat cuci muka. Setelah itu, makan dulu sebelum kita berangkat.” Elise menyerahkan sepiring nasi kepada adiknya.“Kakak sudah makan?” Lily bertanya dengan nada polos, suaranya masih serak karena baru bangun tidur.
Malam itu, ketenangan yang rapuh melingkupi rumah kecil keluarga Elise. Bau darah samar masih terasa di udara, bercampur dengan aroma kayu yang lapuk. Elise menuntun ayahnya, Eddie, ke kamar untuk mengobati luka di tangannya. Luka itu tidak terlalu dalam, tapi cukup membuat Eddie meringis setiap kali Elise membersihkannya.Sebuah lampu redup di meja kecil di sudut kamar menjadi satu-satunya penerangan, memunculkan bayangan wajah Eddie yang penuh garis usia dan kelelahan. Elise bekerja dalam diam, tangannya cekatan, sementara pikirannya penuh pertanyaan yang tidak berani ia lontarkan."Ahh… pelan-pelan, Elise. Kau ini seperti mau mengulitiku saja!" kata Eddie setengah kesal.Elise tersenyum tipis. Sikap ayahnya memang cukup keras. "Ayah lebih baik diam kalau tidak tahan sakit. Luka ini karena ulah Ayah sendiri.""Huh, seperti aku punya pilihan lain. Kau tahu, mereka datang karena kita berutang! Kalau aku tidak menghadap mereka, mereka mungkin sudah menghancurkan rumah ini."Elise berhe
Reiner menuntun mobilnya melewati jalanan yang tak terlalu terang, mengikuti arah yang ditunjukkan oleh Elise. Saat mobil berhenti di depan rumah yang sederhana namun sedikit kumuh, Reiner menatap bangunan itu sekilas dari dalam mobil. Tidak ada yang terlalu mencolok, hanya sebuah rumah dengan pagar kayu yang sudah mulai lapuk. Sangat kontras dengan rumah megah yang ia tinggali.Elise membuka pintu mobil, hendak turun. Reiner menundukkan wajahnya sejenak, berusaha menyembunyikan rasa keingintahuan yang tumbuh. Dengan sedikit ragu, dia mengikuti Elise keluar dari mobil dan berjalan mengikutinya ke pintu rumah. Dalam pikiran Reiner, rumah ini adalah tempat yang sangat berbeda dari kehidupannya yang mewah dan penuh privilese.Begitu masuk ke dalam, bau lembap dan udara pengap langsung terasa. Rumah itu tampak kacau, dengan barang-barang yang berserakan di lantai. Ruangan yang seharusnya menjadi ruang tamu tampak kosong, hanya berisi kursi-kursi kayu usang dan meja yang sudah tidak terawa
Sore itu, dapur rumah keluarga Barack dipenuhi aroma herbal yang baru saja diseduh. Elise sibuk membawa nampan berisi secangkir teh herbal untuk Tuan Abraham. Penampilannya sederhana, tapi menarik perhatian. Dengan tinggi badan 160 cm, tubuh mungilnya tampak anggun. Rambut hitam sebahunya selalu tertata rapi, meski wajahnya jarang dihiasi riasan. Sorot matanya lembut, menyiratkan kepribadian yang sabar, walau dalam hatinya sering tersimpan rasa gelisah.Elise, meskipun hanya pelayan, membawa aura yang berbeda. Ia terlihat tenang, tapi ada jejak kekuatan dari masa lalunya yang sulit—masa kecil di rumah yang penuh dengan pertengkaran, membuatnya belajar untuk menahan diri dan menghadapi segala situasi dengan kepala dingin.Salah seorang pelayan senior, Greta, berbisik pada rekannya sambil melirik Elise yang baru melewati mereka.“Lihat dia, baru beberapa hari di sini sudah begitu percaya diri melayani Tuan Abraham. Biasanya, pelayan lain lari dalam seminggu,” katanya sinis.“Entahlah,”