Pukul sepuluh pagi, dapur di rumah besar keluarga Barack terasa sepi dan hening. Hanya ada suara langit-langit yang berderak pelan saat angin dari luar menyentuhnya. Reiner duduk di meja kayu panjang, memegang gelas berisi air, namun matanya jauh lebih tertarik pada ketenangan sekelilingnya.
Dia baru saja meninggalkan ruang makan setelah percakapan yang menegangkan dengan ibunya. Rasa kesal masih tertinggal di bibirnya, namun dia tidak peduli. Semua itu akan berlalu, seperti semuanya yang pernah terjadi di hidupnya. Namun, ada satu hal yang menarik perhatian. Ketika Elise melangkah masuk dengan perlahan, pada kaki pelayan itu terselip aroma yang berbeda—sesuatu yang sederhana, namun kuat. Tidak ada keramahtamahan yang disampaikan melalui kata-kata, hanya seutas sapaan singkat yang penuh kehati-hatian. Reiner merasakan kehadirannya lebih dulu daripada mendengar langkahnya. Elise berjalan dengan perlahan, tubuhnya cenderung menyamping agar tidak mengganggu perhatiannya. Reiner tahu bahwa dia tidak akan pernah berbicara duluan, dan Elise, seperti biasanya, tidak memaksakan diri untuk berbicara. Tidak ada rasa terpaksa dalam gerakannya. "Permisi, Tuan Reiner," kata Elise dengan suara lembut, meskipun matanya tidak bersentuhan langsung dengan matanya. Reiner hanya mengangguk pelan, sedikit menyandarkan punggung ke kursi, matanya tetap tertuju pada gerak-geriknya. Tidak ada reaksi apapun dari dirinya—hanya sebuah pandangan tajam yang terus mengamati setiap detail kecil pada Elise. Setiap gerakan, setiap langkah. Elise berjalan menuju rak bahan herbal, mencari bahan untuk membuatkan minuman kesehatan untuk Tuan Abraham. Namun, sepertinya Reiner tidak pernah benar-benar memalingkan wajahnya dari wanita itu. Ada ketertarikan, namun dibalut dengan skeptisisme yang tajam. Baginya, ini bukan sekadar pertemuan kebetulan. Reiner berpikir, "Berapa banyak orang seperti dia yang akan menghabiskan hidup mereka di rumah mewah ini? Sementara sebagian besar pelayan hanya bertahan beberapa hari sebelum menyerah, dia... dia pasti punya cara untuk membuat kakekku tertarik padanya." Dengan santai, dia menyandarkan gelas ke meja. "Di mana kakek menemukanmu?" Suaranya datar, namun jelas, seolah-olah hanya ingin memastikan. Elise berhenti sejenak, lalu menoleh. Dia tahu betul apa yang Reiner maksud. Namun, dia memilih untuk diam, meski wajahnya sedikit memucat. Pekerjaan sebagai pelayan di keluarga Barack memang bukanlah hal yang biasa, dan tahu betul bahwa banyak yang menganggap ini sebagai kesempatan emas. Tetapi Elise tidak peduli tentang pendapat Reiner. “Tuan Abraham yang datang menemuiku,” jawab Elise kemudian. Elise hanya mengangguk, meskipun dalam hatinya ada kebencian yang terpendam. Reiner hanya seorang pria muda yang tak tahu apa yang dialaminya, dia pikir dia tahu segalanya. “Semoga saja kamu bisa tahan dengan sikap kakekku. Kebanyakan hanya cukup satu atau dua malam saja.” "Beberapa hari, beberapa minggu—siapa yang tahu," jawab Elise, suaranya tetap tenang. "Tapi saya pasti akan menyelesaikan tugas saya." Reiner tersenyum tipis, tapi tidak berkata apa-apa. Matanya yang tajam memandang ke arah Elise dengan cara yang tidak langsung—seperti predator yang menunggu mangsanya bergerak. Reiner masih duduk di meja kayu panjang, menyusuri setiap sudut dapur dengan matanya yang tajam. Ketika Elise kembali bergerak, langkahnya berhenti sejenak saat mendengar suara lembut dari Reiner. "Oh, aku hampir lupa," kata Reiner, suaranya datar namun penuh penekanan. "Terima kasih sudah membantu aku bersembunyi di pesta kemarin malam." Elise terdiam beberapa detik. Kata-kata itu terdengar begitu ringan dan tak berharga, namun tiba-tiba semuanya terasa seperti beban di bahunya. Dia ingat ketika harus berhadapan dengan dua orang yang mencari keberadaan Reiner malam itu. Beruntung mereka tidak mencurigai Elise. Tanpa sempat berbalik untuk menatapnya, dia hanya mengangguk pelan, lalu melanjutkan langkahnya. Tetapi sebelum ia pergi, kata-kata Reiner kembali terngiang di telinganya, suara dingin dan tanpa perasaan itu membuat hatinya mendidih. "Tidak perlu merasa terlalu bangga," lanjut Reiner, dengan nada yang semakin dingin, "Karena itu hanya sedikit bantuan." Elise merasa bibirnya tercekat. Ada yang salah dengan cara Reiner mengucapkan terima kasih itu—seperti sesuatu yang diucapkan hanya sekadar formalitas, bukan karena benar-benar merasa berterima kasih. Tapi dia tidak menanggapi. Namun, tiba-tiba Reiner melanjutkan kalimat yang lebih mengejutkan. "Terima kasih," kata Reiner lagi, dengan suara yang lebih tegas kali ini, meskipun tetap dengan ekspresi yang tak berubah. "Tapi aku rasa itu lebih karena kamu ingin membantu dirimu sendiri, bukan karena benar-benar ingin menolongku." Elise berhenti sejenak. Jantungnya berdebar keras mendengar kalimat tersebut. Apa yang dia maksud dengan itu? Tapi, dia tidak membalas. Hanya tersenyum tipis dalam hati dan melanjutkan langkahnya menuju rak bahan herbal. Reiner memandang Elise dengan tatapan yang lebih tajam, seolah-olah menilai setiap gerakan tubuhnya. Ada yang tidak beres, pikirnya. Ada sesuatu di balik ketenangan Elise yang membuatnya terus merasa penasaran. Tapi, dia memilih untuk tetap diam, tidak melanjutkan percakapan lebih jauh. Pandangannya kembali tajam. Sejak kapan dia peduli dengan wanita sepertinya? Namun ada sesuatu yang menyentuhnya secara tidak sadar. Sesuatu yang tidak bisa dijelaskan. Sesuatu yang membuatnya ingin tahu lebih banyak, meski dia tidak ingin mengakuinya. Ketika Elise kembali ke rak untuk mengambil lebih banyak bahan, Reiner bisa merasakan perasaan yang bergolak di dalam dirinya. Ada rasa ketertarikan, namun lebih dari itu, ada rasa penasaran yang menyelubungi pikirannya. Apa yang membuat Elise berbeda? Mengapa dia bertahan begitu lama, sementara yang lain tidak bisa? Elise berjalan pergi tanpa menoleh ke belakang. Reiner tetap duduk di sana, memandangi wajah Elise yang menghilang ke lorong. Entah kenapa, dia merasa ada sesuatu yang lebih besar sedang berkembang, sesuatu yang tidak dia mengerti sepenuhnya. ***Sore itu, dapur rumah keluarga Barack dipenuhi aroma herbal yang baru saja diseduh. Elise sibuk membawa nampan berisi secangkir teh herbal untuk Tuan Abraham. Penampilannya sederhana, tapi menarik perhatian. Dengan tinggi badan 160 cm, tubuh mungilnya tampak anggun. Rambut hitam sebahunya selalu tertata rapi, meski wajahnya jarang dihiasi riasan. Sorot matanya lembut, menyiratkan kepribadian yang sabar, walau dalam hatinya sering tersimpan rasa gelisah.Elise, meskipun hanya pelayan, membawa aura yang berbeda. Ia terlihat tenang, tapi ada jejak kekuatan dari masa lalunya yang sulit—masa kecil di rumah yang penuh dengan pertengkaran, membuatnya belajar untuk menahan diri dan menghadapi segala situasi dengan kepala dingin.Salah seorang pelayan senior, Greta, berbisik pada rekannya sambil melirik Elise yang baru melewati mereka.“Lihat dia, baru beberapa hari di sini sudah begitu percaya diri melayani Tuan Abraham. Biasanya, pelayan lain lari dalam seminggu,” katanya sinis.“Entahlah,”
Reiner menuntun mobilnya melewati jalanan yang tak terlalu terang, mengikuti arah yang ditunjukkan oleh Elise. Saat mobil berhenti di depan rumah yang sederhana namun sedikit kumuh, Reiner menatap bangunan itu sekilas dari dalam mobil. Tidak ada yang terlalu mencolok, hanya sebuah rumah dengan pagar kayu yang sudah mulai lapuk. Sangat kontras dengan rumah megah yang ia tinggali.Elise membuka pintu mobil, hendak turun. Reiner menundukkan wajahnya sejenak, berusaha menyembunyikan rasa keingintahuan yang tumbuh. Dengan sedikit ragu, dia mengikuti Elise keluar dari mobil dan berjalan mengikutinya ke pintu rumah. Dalam pikiran Reiner, rumah ini adalah tempat yang sangat berbeda dari kehidupannya yang mewah dan penuh privilese.Begitu masuk ke dalam, bau lembap dan udara pengap langsung terasa. Rumah itu tampak kacau, dengan barang-barang yang berserakan di lantai. Ruangan yang seharusnya menjadi ruang tamu tampak kosong, hanya berisi kursi-kursi kayu usang dan meja yang sudah tidak terawa
Malam itu, ketenangan yang rapuh melingkupi rumah kecil keluarga Elise. Bau darah samar masih terasa di udara, bercampur dengan aroma kayu yang lapuk. Elise menuntun ayahnya, Eddie, ke kamar untuk mengobati luka di tangannya. Luka itu tidak terlalu dalam, tapi cukup membuat Eddie meringis setiap kali Elise membersihkannya.Sebuah lampu redup di meja kecil di sudut kamar menjadi satu-satunya penerangan, memunculkan bayangan wajah Eddie yang penuh garis usia dan kelelahan. Elise bekerja dalam diam, tangannya cekatan, sementara pikirannya penuh pertanyaan yang tidak berani ia lontarkan."Ahh… pelan-pelan, Elise. Kau ini seperti mau mengulitiku saja!" kata Eddie setengah kesal.Elise tersenyum tipis. Sikap ayahnya memang cukup keras. "Ayah lebih baik diam kalau tidak tahan sakit. Luka ini karena ulah Ayah sendiri.""Huh, seperti aku punya pilihan lain. Kau tahu, mereka datang karena kita berutang! Kalau aku tidak menghadap mereka, mereka mungkin sudah menghancurkan rumah ini."Elise berhe
Pagi itu, Elise terbangun sebelum fajar.Bayang-bayang kejadian semalam masih membekas di pikirannya, tetapi tidak ada waktu untuk berlama-lama dalam keresahan. Dengan cekatan, dia mulai membereskan rumah yang berantakan, mengangkat kursi yang terbalik, dan menyapu pecahan kaca yang masih berserakan di lantai. Sesekali, dia menoleh ke kamar ayahnya, memastikan tidak ada suara yang mencurigakan.Elise memasak sarapan sederhana, dua porsi nasi dan telur dadar. Porsinya harus cukup untuk Lily dan ayahnya. Sambil bekerja, pikirannya terusik oleh perintah Eddie semalam. Mendekati Reiner? Sungguh ide yang tidak masuk akal. Elise menggelengkan kepala, mencoba menyingkirkan pikiran itu.Saat Lily muncul dari kamar dengan rambut yang belum tersisir rapi, Elise tersenyum kecil.“Ayo cepat cuci muka. Setelah itu, makan dulu sebelum kita berangkat.” Elise menyerahkan sepiring nasi kepada adiknya.“Kakak sudah makan?” Lily bertanya dengan nada polos, suaranya masih serak karena baru bangun tidur.
Suara langkah kaki terdengar di sepanjang lorong marmer rumah keluarga Barack yang megah. Elise berjalan pelan mengikuti Will, pria berkacamata dengan setelan rapi yang selalu tampak seperti bayangan Tuan Abraham. Pagi ini, tugas Elise bertambah berat setelah arahan baru yang diberikan langsung oleh sang majikan.“Jadi, seperti yang Tuan Abraham katakan, mulai hari ini, kamu akan mengurus keperluan Tuan Reiner setiap pagi,” jelas Will sambil menyerahkan selembar kertas.Elise menerima kertas itu dengan ragu. Pandangannya menyapu barisan huruf yang tertera:Pakaian kerja harus tersedia di kamar jam 6 pagi.1. Segelas air putih harus tersedia di nakas.2. AC harus disetel pada suhu 24 derajat, tidak boleh lebih dingin.3. Dilarang mengeluarkan suara yang berpotensi membangunkan Tuan Reiner.4. Setelah Tuan Reiner bangun, sarapan harus siap di meja makan.5. Dilarang memasuki kamar tanpa izin setelah Tuan Reiner bangun.6. Aroma ruangan harus berganti setiap hari, sesuai dengan yang sud
Pagi itu, suasana ruang makan terasa tenang dan hangat oleh aroma roti panggang dan kopi. Elise baru saja selesai mengurus keperluan Reiner dan langsung bergegas membawa nampan sarapan untuk Tuan Abraham. Kebiasaan sang majikan memang berbeda dari anggota keluarga lainnya—Abraham selalu menikmati sarapan di ruang pribadinya, jauh dari hiruk-pikuk rumah besar itu.Elise mengetuk pintu dengan sopan.“Masuk,” terdengar suara berat Abraham dari dalam.Ketika Elise masuk, ia disambut oleh keheningan ruang kerja Abraham, yang dikelilingi oleh rak buku tinggi. Beliau duduk di kursi malasnya, tatapannya beralih dari buku yang sedang dibaca ke Elise.“Selamat pagi, Tuan,” ujar Elise lembut sambil menaruh nampan di atas meja kecil di samping kursi.“Pagi,” balas Abraham sambil melipat buku dan meletakkannya di pangkuan. “Kau sudah terbiasa bekerja di sini, Elise?”“Sudah cukup terbiasa, Tuan. Meski... masih banyak yang perlu saya pelajari,” Elise menjawab jujur, menundukkan kepala sedikit.“Bag
Eva Myles, dengan keanggunannya yang tak terbantahkan, melangkah masuk. Tubuhnya tegak, wajah ovalnya dihiasi senyuman tipis yang tampak ramah namun penuh dominasi. Rambut panjangnya yang bergelombang tergerai sempurna di atas blazer putih dan rok pensil hitam. Setiap langkahnya terdengar seperti irama sepatu hak tinggi di atas lantai, membuat semua mata karyawan yang semula sibuk mendadak menoleh.“Dia datang lagi,” bisik seorang resepsionis kepada rekannya.“Berani sekali, ya. Padahal semua tahu Tuan Reiner tidak menyukainya,” jawab yang lain dengan nada rendah."Kalian ingat tentang kabar di pesta waktu itu? Ugh! Harusnya dia malu."Eva tak memedulikan bisik-bisik itu. Baginya, mereka hanyalah bagian dari pemandangan sehari-hari. Dengan tenang, ia berjalan menuju lift, menekan tombol menuju lantai eksekutif tanpa meminta izin siapa pun.Setibanya di lantai atas, sekretaris pribadi Reiner, Hanna, mencoba menghadangnya dengan senyum profesional. “Nona Eva, Tuan Reiner sedang sibuk de
Para pelayan sibuk dengan tugas masing-masing, sementara di ruang tamu, Barbra sedang menikmati teh sore di meja kecil berukir elegan. Suara langkah sepatu hak tinggi yang mendekat segera menarik perhatian semua orang.Eva muncul dengan anggun, mengenakan dress pastel berpotongan sederhana namun tetap memancarkan aura kemewahan. Rambut panjangnya yang bergelombang tergerai rapi, dan senyum manis menghiasi wajah ovalnya. Namun, di balik senyum itu, ada rasa percaya diri yang nyaris menyerupai kesombongan.“Tante Barbra, sayang,” sapanya sambil mendekati ibu Reiner. “Kukira sore ini akan membosankan, tapi ternyata aku punya alasan untuk berkunjung.”Barbra tersenyum kecil, menyesap tehnya sebelum menjawab, “Eva, sayangku. Selalu menyenangkan melihatmu. Apa yang membawamu ke sini?”Eva meletakkan kantong belanja di meja samping, penuh dengan berbagai oleh-oleh mahal. “Aku hanya ingin berbagi sedikit hadiah untukmu, Om Gale, dan bahkan para pelayan. Sudah lama aku tidak mampir.”Barbra te
Tobey duduk di kursi, wajahnya tegang dan penuh kemarahan. Tangan kanannya mencengkeram sandaran kursi dengan erat, sementara tangan kirinya meremas ponsel, matanya terpaku pada foto yang ada di layar—sebuah gambar pria yang tak lain adalah ayah Elise. Ketika matanya menyapu ruang itu, ia mendapati bawahannya masih sibuk mengutak-atik komputer, mencoba mencari solusi dari teka-teki yang membuatnya semakin jengkel. "Damn!" Tobey mengumpat kasar, suaranya serak penuh kekesalan. "Kau memang serakah, Harrys! Bahkan setelah mati, kau masih menyusahkan hidupku!" Ia melemparkan ponselnya ke meja dengan kasar, kemudian berdiri dan berjalan mondar-mandir, berpikir keras. Ruangan itu terasa semakin sempit, seolah-olah setiap sudutnya menekan perasaan Tobey yang semakin membara. Di ambang pintu, Karl muncul, memandangnya dengan wajah ragu-ragu. “Apakah mungkin kode sandinya ulang tahun Roseta?” Tobey menoleh, matanya menyipit dengan keraguan. "Itu terlalu mudah, Karl." Suaranya terdengar taj
Di dalam ruangan yang cukup terang, suasana semakin tegang. Semua mata tertuju pada brankas besar yang terletak di tengah ruangan. Ahli IT yang duduk di depan komputer mulai mengoperasikan alatnya, dan layar di hadapannya menunjukkan data yang bergerak cepat. Semua orang menunggu dengan cemas, menyadari bahwa brankas itu hanya bisa dibuka dengan sidik jari yang cocok. Tentu saja, itu hanya masalah waktu. Tak lama lagi, brankas itu akan terbuka, dan rahasia yang tersembunyi di dalamnya akan terungkap. Semua mata kini beralih ke Elise yang terikat di sudut ruangan. Wajahnya tampak pucat dan penuh kecemasan. Tiba-tiba, salah satu suruhan lainnya yang tampaknya bertugas menjaga keamanan ruangan, berjalan mendekat dengan ekspresi cemas. Wajahnya menunjukkan ketegangan. "Tuan, kami mendeteksi gerakan di sekitar gedung. Sepertinya ada orang lain yang mendekat." Tobey mengerutkan keningnya, lalu mengalihkan pandangannya ke Elise yang duduk di sudut ruangan, tampak semakin ketakutan. Tata
Pagi itu, tubuh Elise tersentak hebat, seakan terbangun dari mimpi buruk yang terlalu nyata. Matanya langsung terbuka lebar, menatap langit-langit gelap di atasnya. Napasnya memburu, dadanya naik-turun seiring ketakutan yang belum sepenuhnya hilang dari pikirannya. Dia bergumam pelan, hampir tidak terdengar, "Sudah pagi ternyata..." Namun, pagi itu tidak membawa ketenangan. Elise masih terikat di kursi kayu keras, dengan tali yang menggerus pergelangan tangannya. Dia mencoba lagi untuk membebaskan diri, menarik-narik tali bergantian dengan penuh harap, tetapi usahanya hanya membuat kulitnya semakin memerah dan perih. Rasa sakit itu seperti memperingatkan bahwa kebebasan masih jauh dari jangkauan. Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat. Elise segera berhenti bergerak, memejamkan mata, dan menyandarkan kepalanya ke dinding. Dia berpura-pura tidur, mencoba mendengarkan percakapan yang terjadi di luar ruangannya. "Tuan akan langsung membawa dia pergi?" suara berat Karl terde
Pukul delapan malam, suasana di luar rumah Eddie masih tampak tenang. Reiner memarkir mobilnya di depan pagar yang sudah mulai berkarat. Langkahnya terdengar berat dan cepat di atas jalan setapak menuju pintu utama. Ketika pintu terbuka, Eddie—dengan rambutnya yang mulai memutih dan postur tubuh sedikit membungkuk—terlihat terkejut mendapati Reiner berdiri di ambang pintu dengan ekspresi tegang. “Silakan masuk, Tuan... sepertinya ada yang genting,” kata Eddie sambil mempersilakan Reiner masuk ke ruang tamu. Tanpa menunggu basa-basi, Reiner langsung membuka pembicaraan. “Apa kau masih sering menemui Karl?” Kening Eddie berkerut. Nama itu seperti pisau tua yang kembali mengiris luka lama. “Ada apa dengan Karl?” tanyanya penuh kebingungan. Reiner mendesah berat, mencoba menahan ledakan emosinya. “Elise hilang.” Mata Eddie membelalak. “E-Elise hilang? Bagaimana bisa, Tuan?” Reiner meraup wajahnya dengan kasar, frustrasi. “Kau tahu kira-kira Karl tinggal di mana? Kau itu kakak kandun
Tubuh Elise gemetar, kedua tangannya terikat erat di belakang punggung, sementara kakinya dililit tali yang sama kuatnya. Lakban menutup rapat mulutnya, membuatnya hanya bisa mengeluarkan suara samar dari tenggorokannya. Dia duduk bersimpuh di lantai, punggungnya bersandar pada sebuah lemari kayu yang besar. Perlahan, Elise membuka matanya. Pandangannya buram pada awalnya, tapi sedikit demi sedikit, ruangan itu mulai terlihat jelas. Cahaya remang dari sebuah lampu gantung tua memantulkan bayangan menyeramkan di dinding. Jantungnya berdegup kencang saat ia menyadari bahwa dirinya berada di tempat asing, dalam kondisi tidak berdaya. Suara langkah kaki terdengar mendekat. Karl muncul dari kegelapan, mengenakan jaket kulit yang terlihat usang. Wajahnya dihiasi seringaian dingin yang mengirimkan hawa menakutkan ke seluruh ruangan. "Bangun juga kau, Elise," ucap Karl dengan nada mengejek, matanya menyipit tajam saat dia mendekati tubuh Elise yang terikat. Elise berusaha menggerakkan tub
Polisi mulai sibuk bergerak, menyebar ke seluruh area bangunan tua yang telah lama terbengkalai di tengah hutan. Mereka menggedor setiap sudut, membuka pintu-pintu berkarat dan menyisir ruang-ruang yang diselimuti debu tebal. Meskipun bangunan ini sudah lama ditinggalkan, tidak ada yang tahu bahwa di dalamnya masih tersimpan sesuatu yang sangat penting, sesuatu yang bisa mengubah banyak hal."Dua langkah ke kiri!" perintah seorang polisi dengan suara tegas saat ia menyisir ruang yang dipenuhi komputer-komputer tua dan alat-alat aneh. Dalam salah satu sudut ruangan, sebuah brangkas besar berdiri tegak, menunggu untuk dibuka oleh Tobey. Tapi kini, brangkas itu hanya menjadi objek misteri bagi para penyelidik."Jangan bergerak! Kalian sudah terkepung!" teriak polisi lain yang sudah mengarahkan senjata mereka ke empat orang yang berada di dalam ruangan tersebut. Para pengikut Tobey terkejut, namun mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Tangan mereka terangkat ke udara sebagai tanda menyerah.
Kediaman Keluarga BarackReiner memarkir mobil di area halaman, suara mesin yang berhenti menarik perhatian Will yang sedang duduk di pos bersama para penjaga. "Baru pulang, Tuan?"Reiner hanya mengangguk singkat, kemudian berjalan masuk ke dalam rumah. Udara di dalam terasa hangat, namun pikirannya tidak. Ada sesuatu yang mengganjal sejak dia melihat barang berserakan di jalan pinus tadi.Saat tiba di ruang tengah, suaranya bergema, memanggil, "Elise!"Yang muncul bukan Elise, melainkan Clara, dengan wajah sedikit ragu."Maaf, Tuan... Elise sedang tidak di rumah."Kening Reiner langsung berkerut, nada suaranya berubah. "Kemana dia?" "Saya kurang tahu, Tuan. Dari siang saya tidak melihat Elise."Reiner terdiam, pikirannya langsung berputar. Dia berjalan menuju tangga, melangkah ke lantai dua sambil mencoba menenangkan diri.Reiner membatin, "Apa dia pergi menemui ayah dan adiknya lagi? Atau ke galeri seni seperti biasa?"Tapi kenapa tidak ada pesan? Dia merogoh ponsel dari saku cela
Siang itu, matahari bersinar terang di halaman rumah keluarga Barbra. Elise sedang sibuk menyapu dedaunan kering yang berguguran. Dengan gerakan cepat, ia mencoba menyelesaikan pekerjaannya, namun perhatiannya terusik oleh percakapan yang terjadi di teras depan. "Reiner sering sekali mencuri pandang padaku waktu itu," suara Olivia terdengar jelas, diiringi tawa kecil. "Ah, aku ingat itu. Anak itu selalu mencari alasan untuk bertemu denganmu," sahut Barbra dengan nada bercanda, tetapi ada kehangatan di dalamnya. Mendengar obrolan itu, Elise menghentikan gerakan sapunya. Ia berdiri di balik pohon besar, mencuri dengar pembicaraan mereka. Dadanya terasa sedikit sesak, meskipun ia sendiri tidak mengerti mengapa. Olivia melanjutkan, "Dia benar-benar berbeda saat itu, Bibi. Lebih hangat, lebih perhatian. Tapi, yah, waktu memang mengubah segalanya." Elise mendengus pelan, mencoba mengalihkan rasa tak nyaman dengan menyapu daun-daun kering lebih keras. Tak lama kemudian, Reiner muncul da
Pagi itu, Elise sudah berdiri di depan kamar Reiner, memeluk keranjang pakaian yang semalam harus ia setrika ulang. Matanya menatap pintu kayu itu dengan ragu. Dia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri sebelum mengetuk. Namun, sebelum tangannya sempat menyentuh pintu, gagang pintu itu berputar, dan sosok Olivia muncul dari dalam. Olivia menguap kecil, tampak santai dengan piyama satin yang terkesan mahal. Rambutnya tergerai rapi, meskipun baru saja bangun tidur. Elise membeku. Pandangan mereka bertemu, dan Olivia tampak terkejut. “Eh, Elise? Kau di sini pagi-pagi sekali?” tanya Olivia sambil merapikan rambutnya. Elise menelan ludah. “Sa-saya… saya mau mengantar pakaian, Nona. Semua harus rapi sebelum Tuan Reiner bangun.” “Oh, begitu ya?” Olivia tersenyum tipis sambil menyingkir memberi jalan. “Silakan masuk saja.” Elise mengangguk canggung, melangkah masuk ke kamar sambil memeluk keranjang pakaian erat-erat. Dia tidak berani menoleh, tetapi langkah Olivia yang gemulai ta