Pagi itu, Elise terbangun sebelum fajar.
Bayang-bayang kejadian semalam masih membekas di pikirannya, tetapi tidak ada waktu untuk berlama-lama dalam keresahan. Dengan cekatan, dia mulai membereskan rumah yang berantakan, mengangkat kursi yang terbalik, dan menyapu pecahan kaca yang masih berserakan di lantai. Sesekali, dia menoleh ke kamar ayahnya, memastikan tidak ada suara yang mencurigakan. Elise memasak sarapan sederhana, dua porsi nasi dan telur dadar. Porsinya harus cukup untuk Lily dan ayahnya. Sambil bekerja, pikirannya terusik oleh perintah Eddie semalam. Mendekati Reiner? Sungguh ide yang tidak masuk akal. Elise menggelengkan kepala, mencoba menyingkirkan pikiran itu. Saat Lily muncul dari kamar dengan rambut yang belum tersisir rapi, Elise tersenyum kecil. “Ayo cepat cuci muka. Setelah itu, makan dulu sebelum kita berangkat.” Elise menyerahkan sepiring nasi kepada adiknya. “Kakak sudah makan?” Lily bertanya dengan nada polos, suaranya masih serak karena baru bangun tidur. Elise hanya mengangguk sambil menyibukkan diri menyapu sudut ruangan yang belum rapi. “Sudah tadi,” jawabnya singkat. Setelah semuanya siap, Elise menggandeng tangan Lily, menuju pintu depan. Namun sebelum sempat melangkah keluar, Eddie muncul dari ruang tamu. “Elise,” panggilnya tegas. Elise menghentikan langkah, menoleh dengan ekspresi netral. “Jangan lupa pikirkan baik-baik usul ayah semalam.” Suaranya dingin, tapi penuh tekanan. Elise menghela napas. “Aku akan memikirkan apa yang terbaik untuk kita semua,” jawabnya singkat, tanpa menatap langsung ke mata Eddie. Eddie tampak tidak puas, tetapi dia tidak menahan Elise lebih lama. Dengan cepat, Elise dan Lily melangkah keluar. Di perjalanan menuju sekolah Lily, suasana terasa sunyi. Elise sibuk dengan pikirannya sendiri, sementara Lily sesekali menendang kerikil kecil di jalan. Gadis kecil itu akhirnya memecah keheningan dengan pertanyaan yang membuat Elise terhenti sejenak. “Kak, kenapa kakak selalu terlihat lelah?” Elise tersenyum samar, lalu merunduk sedikit agar sejajar dengan adiknya. “Kakak tidak lelah, kok. Kakak hanya… banyak yang harus dikerjakan,” jawabnya lembut, mencoba menenangkan hati kecil adiknya. “Tapi kakak tidak pernah tersenyum,” Lily menambahkan, ekspresi wajahnya serius. “Apa kakak tidak suka tinggal di rumah?” Elise mengusap kepala Lily dengan lembut, lalu berkata, “Kakak suka selama ada kamu di rumah. Kakak ingin kamu tumbuh bahagia dan sehat. Itu saja sudah cukup buat kakak.” Jawaban Elise membuat Lily terdiam, tetapi ia tampak puas. Tak lama kemudian, mereka tiba di depan gerbang sekolah. Elise berjongkok, merapikan seragam adiknya, dan memastikan ranselnya terpasang dengan baik. “Hati-hati di dalam, ya. Jangan lupa makan siang,” pesan Elise sambil tersenyum. Lily mengangguk, lalu masuk ke sekolah setelah melambaikan tangan. Elise memandangi punggung adiknya hingga menghilang di antara kerumunan anak-anak lainnya. Setelah mengantar Lily ke sekolah, Elise langsung bergegas menuju hunian keluarga Barack. Rumah besar yang megah itu berdiri kokoh di tengah-tengah hutan pinus, dengan gerbang besi tinggi yang tampak seperti batas dunia lain. Elise menarik napas dalam-dalam sebelum melangkah masuk. Setibanya di sana, Elise buru-buru menuju kamar kecil yang telah disediakan untuk para pelayan. Dia membuka pintu lemari kecil yang dipenuhi seragam pelayan dan mengambil satu set pakaian pelayan yang sudah dipilihkan sebelumnya. Seragam itu cukup sederhana namun memiliki sentuhan elegan yang tak bisa diabaikan. Sebuah gaun hitam dengan rok rempel yang jatuh di atas lutut, dipadukan dengan celemek putih kecil yang melingkar rapi di pinggang. Lengan gaun itu pendek dan dihiasi pita kecil di bagian ujungnya. Sepasang sepatu hitam datar melengkapi penampilan tersebut. Elise memandang pantulan dirinya di cermin. Wajahnya yang lembut dan tubuh mungilnya tampak serasi dengan pakaian itu, meski menurutnya terlalu mencolok untuk tugas harian. "Sepertinya aku benar-benar terlihat seperti boneka," gumam Elise pelan sambil tersenyum tipis, mencoba mengabaikan perasaan tak nyaman. Ia sempat mainkan bando polos yang melingkar di kepalanya. Ketika Elise melangkah keluar menuju dapur, suasana langsung berubah. Beberapa pelayan yang tengah sibuk mengatur sarapan untuk penghuni rumah berhenti sejenak, melirik Elise dari atas hingga bawah. Tatapan mereka penuh rasa risih dan kecemburuan, meskipun mereka mencoba menyembunyikannya dengan pura-pura sibuk. Salah satu pelayan, seorang wanita bernama Clara, berbisik pelan kepada rekannya, Sofia. "Kenapa seragam itu terlihat begitu berbeda kalau dia yang memakainya?" tanya Clara dengan nada setengah jengkel. Sofia melirik Elise yang sedang sibuk mengambil nampan, lalu mengangkat bahu. "Mungkin karena dia masih baru. Atau mungkin dia tahu bagaimana cara membuat dirinya terlihat menarik," jawab Sofia dengan nada sinis. "Apa bagusnya, menurutku biasa saja," potong Greta yang muncul diantara mereka berdua. "Bajunya juga sama dengan kita," lanjutnya. Elise, yang merasa tatapan mereka menusuk punggungnya, memilih untuk tetap fokus pada tugasnya. Dia membawa nampan berisi minuman ke ruang makan tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Namun, di sudut lain ruangan, seorang pria muda sedang mengamati kejadian itu dengan ekspresi datar. Reiner, yang baru saja turun dari tangga, diam-diam memperhatikan bagaimana Elise bergerak. Tidak ada senyum atau sapaan dari bibirnya, hanya sorot mata tajam yang mengikuti setiap langkah Elise. "Dia benar-benar berbeda," pikir Reiner sambil menyandarkan tubuhnya di dinding, tak menyadari bahwa dia sudah menghabiskan beberapa menit hanya untuk mengawasi gadis itu. --- Elise membawa nampannya menuju ruangan Tuan Abraham. Langkah kakinya hati-hati, seraya memastikan gelas dan piring di atas nampan tidak bergoyang terlalu keras. Saat dia mencapai pintu yang megah dengan ukiran kayu khas kolonial, tangannya yang hendak mengetuk terhenti mendadak. Suara langkah kaki yang berat terdengar dari arah belakangnya. "Menarik sekali..." Suara itu rendah, dingin, dan membuat bulu kuduk Elise meremang. "Tu-Tuan Reiner?" Elise menelan ludah, berusaha mengontrol keterkejutannya. Matanya bertemu dengan tatapan tajam pria itu, penuh evaluasi dan sedikit... meremehkan. Reiner berdiri dengan santai, bahunya yang lebar sedikit miring saat dia menyunggingkan senyum penuh arti. "Huh, sialnya kamu cuma seorang pelayan," katanya lirih, hampir seperti bergumam. "A-apa?" Elise tertegun. Meski ucapannya lirih, kata-kata itu menggema jelas di telinganya. Reiner tidak menjawab. Dia hanya memutar tubuhnya, berbalik, dan melangkah menjauh. Bahunya tegap, gerakannya penuh percaya diri, meninggalkan Elise dengan rasa panas di pipi dan dada. Jari-jarinya mencengkeram tepian nampan, gemetar antara marah dan menahan diri. Hanya seorang pelayan? Rahangnya mengeras, tapi dia tahu, membalas hanya akan berakhir dengan masalah besar. Dengan desahan panjang, dia kembali fokus pada tugasnya. "Selamat pagi, Tuan Abraham." Elise akhirnya melangkah masuk ke ruangan majikannya. Ruangan itu langsung membungkusnya dengan aroma kayu mahoni dan kulit tua dari kursi-kursi mewah yang berjajar rapi. Dindingnya dipenuhi rak buku yang menjulang, penuh dengan koleksi yang tampak antik dan mahal. Sebuah meja besar di tengah ruangan dihiasi lampu meja berbahan kuningan. Elise menelan rasa kagumnya, mencoba untuk tidak terlihat terlalu terpesona. "Saya bawakan sarapan untuk Anda, Tuan," katanya dengan nada lembut. "Taruh saja di meja," jawab Abraham tanpa menoleh. Lelaki tua itu sedang duduk di kursi goyang, bersandar santai dengan koran yang terbuka di pangkuannya. Elise menuruti perintah itu, meletakkan nampan di atas meja dengan hati-hati. Namun sebelum dia bisa berpaling, suara Abraham menghentikannya. "Kamu sudah sarapan, Elise?" tanyanya, kali ini dengan nada yang lebih personal. Elise tersenyum kikuk. "Sudah, Tuan. Saya sarapan di rumah bersama adik saya." "Bagus. Kemarilah." Abraham melipat koran, menyingkirkan kacamatanya ke meja kecil di sebelahnya. Tatapannya yang tajam namun bijak membuat Elise merasa was-was. "Ada apa, Tuan? Apa ada yang lain?" tanyanya dengan sopan, mendekat sambil meremas ujung celemeknya. "Aku mempekerjakanmu di sini untuk melayaniku," ucap Abraham pelan, namun nadanya penuh otoritas. Elise mengangguk, memperhatikan setiap kata dengan hati-hati. "Aku juga ingin kamu membantu Reiner." Jantung Elise terasa berhenti berdetak sejenak. "Ma-maksud Tuan bagaimana? Maaf... saya kurang paham," tanyanya dengan suara nyaris bergetar. Abraham mendesah, seolah merasa tak perlu menjelaskan lebih banyak. "Reiner punya banyak kebutuhan yang mungkin tidak akan dia ungkapkan padaku. Aku butuh seseorang yang bisa memastikan semuanya berjalan lancar. Kamu akan bertugas memastikan dia terurus dengan baik. Will akan memberimu arahan lebih lanjut." Elise menelan ludah, hatinya bercampur aduk antara kebingungan dan kekhawatiran. "Baik, Tuan," jawabnya singkat, meski sebenarnya masih ada seribu pertanyaan di benaknya. "Bagus." Abraham tersenyum kecil, tapi sorot matanya tetap serius. Elise menunduk hormat, lalu keluar dari ruangan dengan langkah yang sedikit berat. Di luar, udara terasa lebih dingin, atau mungkin itu hanya perasaannya. Pikiran tentang Reiner dan ucapannya tadi masih menggantung di kepalanya. "Kenapa aku harus mengurus pria itu? Bakankah sebelumnya sudah ada pelayan yang mengurusnya?" gumamnya pelan. Namun, dia tahu satu hal: menolak perintah Tuan Abraham bukanlah pilihan. ---Suara langkah kaki terdengar di sepanjang lorong marmer rumah keluarga Barack yang megah. Elise berjalan pelan mengikuti Will, pria berkacamata dengan setelan rapi yang selalu tampak seperti bayangan Tuan Abraham. Pagi ini, tugas Elise bertambah berat setelah arahan baru yang diberikan langsung oleh sang majikan.“Jadi, seperti yang Tuan Abraham katakan, mulai hari ini, kamu akan mengurus keperluan Tuan Reiner setiap pagi,” jelas Will sambil menyerahkan selembar kertas.Elise menerima kertas itu dengan ragu. Pandangannya menyapu barisan huruf yang tertera:Pakaian kerja harus tersedia di kamar jam 6 pagi.1. Segelas air putih harus tersedia di nakas.2. AC harus disetel pada suhu 24 derajat, tidak boleh lebih dingin.3. Dilarang mengeluarkan suara yang berpotensi membangunkan Tuan Reiner.4. Setelah Tuan Reiner bangun, sarapan harus siap di meja makan.5. Dilarang memasuki kamar tanpa izin setelah Tuan Reiner bangun.6. Aroma ruangan harus berganti setiap hari, sesuai dengan yang sud
Pagi itu, suasana ruang makan terasa tenang dan hangat oleh aroma roti panggang dan kopi. Elise baru saja selesai mengurus keperluan Reiner dan langsung bergegas membawa nampan sarapan untuk Tuan Abraham. Kebiasaan sang majikan memang berbeda dari anggota keluarga lainnya—Abraham selalu menikmati sarapan di ruang pribadinya, jauh dari hiruk-pikuk rumah besar itu.Elise mengetuk pintu dengan sopan.“Masuk,” terdengar suara berat Abraham dari dalam.Ketika Elise masuk, ia disambut oleh keheningan ruang kerja Abraham, yang dikelilingi oleh rak buku tinggi. Beliau duduk di kursi malasnya, tatapannya beralih dari buku yang sedang dibaca ke Elise.“Selamat pagi, Tuan,” ujar Elise lembut sambil menaruh nampan di atas meja kecil di samping kursi.“Pagi,” balas Abraham sambil melipat buku dan meletakkannya di pangkuan. “Kau sudah terbiasa bekerja di sini, Elise?”“Sudah cukup terbiasa, Tuan. Meski... masih banyak yang perlu saya pelajari,” Elise menjawab jujur, menundukkan kepala sedikit.“Bag
Eva Myles, dengan keanggunannya yang tak terbantahkan, melangkah masuk. Tubuhnya tegak, wajah ovalnya dihiasi senyuman tipis yang tampak ramah namun penuh dominasi. Rambut panjangnya yang bergelombang tergerai sempurna di atas blazer putih dan rok pensil hitam. Setiap langkahnya terdengar seperti irama sepatu hak tinggi di atas lantai, membuat semua mata karyawan yang semula sibuk mendadak menoleh.“Dia datang lagi,” bisik seorang resepsionis kepada rekannya.“Berani sekali, ya. Padahal semua tahu Tuan Reiner tidak menyukainya,” jawab yang lain dengan nada rendah."Kalian ingat tentang kabar di pesta waktu itu? Ugh! Harusnya dia malu."Eva tak memedulikan bisik-bisik itu. Baginya, mereka hanyalah bagian dari pemandangan sehari-hari. Dengan tenang, ia berjalan menuju lift, menekan tombol menuju lantai eksekutif tanpa meminta izin siapa pun.Setibanya di lantai atas, sekretaris pribadi Reiner, Hanna, mencoba menghadangnya dengan senyum profesional. “Nona Eva, Tuan Reiner sedang sibuk de
Para pelayan sibuk dengan tugas masing-masing, sementara di ruang tamu, Barbra sedang menikmati teh sore di meja kecil berukir elegan. Suara langkah sepatu hak tinggi yang mendekat segera menarik perhatian semua orang.Eva muncul dengan anggun, mengenakan dress pastel berpotongan sederhana namun tetap memancarkan aura kemewahan. Rambut panjangnya yang bergelombang tergerai rapi, dan senyum manis menghiasi wajah ovalnya. Namun, di balik senyum itu, ada rasa percaya diri yang nyaris menyerupai kesombongan.“Tante Barbra, sayang,” sapanya sambil mendekati ibu Reiner. “Kukira sore ini akan membosankan, tapi ternyata aku punya alasan untuk berkunjung.”Barbra tersenyum kecil, menyesap tehnya sebelum menjawab, “Eva, sayangku. Selalu menyenangkan melihatmu. Apa yang membawamu ke sini?”Eva meletakkan kantong belanja di meja samping, penuh dengan berbagai oleh-oleh mahal. “Aku hanya ingin berbagi sedikit hadiah untukmu, Om Gale, dan bahkan para pelayan. Sudah lama aku tidak mampir.”Barbra te
Elise membawa gelas kosong keluar dari kamar Reiner. Langkahnya pelan, berusaha tidak menarik perhatian siapa pun, namun suara langkahnya di lantai kayu tetap terdengar samar. Setibanya di dapur, ia langsung meletakkan gelas di wastafel dan mulai mencuci beberapa piring serta gelas kotor yang tertumpuk.Ruang makan di sebelah dapur tampak sepi. Namun, keheningan itu tidak berlangsung lama. Elise menyadari seseorang masuk ke dapur dengan langkah santai. Ia tidak perlu menoleh untuk tahu siapa itu—aroma parfum yang lembut namun mewah sudah memberinya jawaban. Eva."Elise, ya?" suara Eva terdengar ramah, hampir terlalu ramah. Elise menoleh sejenak, hanya untuk mengangguk sopan.Eva duduk di kursi ruang makan, mengambil selembar roti tawar dari keranjang di atas meja, lalu mulai mengoleskan selai stroberi dengan gerakan lambat."Sudah lama bekerja di sini?" tanyanya tanpa melihat Elise, seolah-olah pertanyaan itu hanya basa-basi.Elise, yang terus mencuci piring, menjawab singkat, "Belum
Langit pagi memancarkan cahaya lembut melalui tirai jendela yang sedikit terbuka, memberikan kesan hangat pada kamar Reiner. Elise bergerak dengan hati-hati, membersihkan kamar yang luas itu. Dengan tangan terampil, ia mengganti pengharum ruangan, mengelap meja kecil, dan menyiapkan pakaian untuk Reiner di atas sofa. Earphone yang terselip di telinganya membuatnya sesekali menggoyangkan kepala mengikuti irama lagu yang ia dengarkan, tanpa sadar tubuhnya meliuk dengan santai.Di atas ranjang, Reiner membuka matanya perlahan. Ia telah bangun beberapa saat sebelumnya, tetapi memilih tetap diam, memperhatikan gerakan Elise. Sebuah seringai muncul di wajahnya saat melihat pelayan itu bekerja dengan ekspresi serius yang, entah bagaimana, tampak menggemaskan. Elise, tanpa menyadari bahwa dirinya tengah diawasi, bergumam kecil."Kenapa harus bekerja di kamar orang yang masih tidur? Aneh sekali aturannya..." suaranya lirih, tetapi cukup jelas untuk didengar oleh Reiner."Aku tidak keberatan,"
Elise sedang mengelap meja dapur masih sambil berbicara dengan Will, yang baru saja selesai membawa bahan makanan ke pantry. Mereka berbicara ringan, membahas rutinitas di rumah besar itu. Elise tersenyum kecil mendengar lelucon Will, meskipun dia tetap menjaga agar fokus pada pekerjaannya.“Jadi, kau sudah mulai terbiasa di sini?” tanya Will sambil bersandar di dinding, melihat Elise dengan penuh rasa ingin tahu.Elise mengangguk kecil. “Ya, walaupun ada beberapa hal yang masih harus kupelajari.”Will menyeringai. “Bagus. Tapi hati-hati, rumah ini penuh dengan aturan tak tertulis. Jangan sampai salah langkah, terutama dengan…”Sebelum Will menyelesaikan kalimatnya, terdengar suara lantang dari arah tangga. “Elise!”Suara berat Reiner menggema, membuat Elise spontan berhenti bergerak. Para pelayan yang berada di dapur langsung menoleh, saling berbisik dengan tatapan penuh arti.“Lagi-lagi dia memanggil Elise,” bisik seorang pelayan muda pada rekannya. “Apa sebenarnya yang terjadi?”“K
Malam semakin larut, dan Elise menahan napas saat berdiri di depan pintu kamar Reiner yang setengah terbuka. Cahaya lampu redup dari dalam membuat ruangan itu terlihat semakin megah sekaligus menyeramkan. Namun, dia tidak punya pilihan lain. Alat pemutar musik milik adiknya, Lily, mungkin terjatuh di kamar ini saat dia merapikan ruangan tadi pagi. Itu barang yang penting, dan dia tidak bisa pulang tanpa menemukannya.Elise melangkah masuk dengan hati-hati, hampir tanpa suara. Jantungnya berdegup kencang, seolah memberontak dari dadanya. Matanya menyapu ruangan yang sunyi, sementara kakinya bergerak pelan menuju area dekat keranjang pakaian kotor. Tidak ada apa-apa di sana. Dengan frustrasi, Elise mulai mencari di sudut lain, memeriksa meja kecil di dekat tempat tidur, dan rak buku tinggi di sisi ruangan.Langkahnya terhenti saat sebuah benda jatuh dari salah satu rak. Selembar foto usang melayang perlahan ke lantai, tepat di kakinya. Elise meraih foto itu dengan ragu, lalu membalikkan
Elise berdiri di halaman, berhadapan dengan Federic yang tampak semakin tidak sabar. Langit sore mulai memudar, dan suasana di sekitarnya terasa sunyi, hanya diiringi suara lembut angin yang berembus. Elise berusaha tetap tenang, meskipun di dalam hatinya bergemuruh.“Aku tahu Reiner, Elise. Dia memperlakukanmu dengan buruk, kan?” Federic memulai, suaranya terdengar seperti tuduhan.Elise menghela napas panjang, menatap Federic dengan ekspresi lelah. “Tidak, Federic. Kau tidak tahu apa-apa. Tuan Reiner tidak seperti itu. Aku bekerja di sini dan sudah siap dengan segala risikonya.”Federic mendekat, lalu meraih tangan Elise. “Kau harus tahu, Elise. Setelah bertemu lagi, aku sadar perasaanku padamu masih sama. Tidak ada yang berubah.”Elise buru-buru menarik tangannya, merasa canggung dengan jarak di antara mereka. Dia menoleh, sadar bahwa ada yang mengawasi dari balik dinding kaca ruang tamu. “Federic, jangan berlebihan. Tidak enak dilihat orang.”
Elise mondar-mandir di dalam kamar Reiner, tangannya sesekali mencoba menggoyang-goyangkan gagang pintu. Namun, pintu itu tetap terkunci rapat. Helaan napas panjang keluar dari bibirnya yang pucat, sementara pikirannya dipenuhi pertanyaan yang tak terjawab.“Sebenarnya, kenapa aku harus dikurung di sini?” desah Elise lirih, lebih kepada dirinya sendiri.Ia melirik ke arah jendela yang memantulkan bayangan dirinya. Wajahnya tampak kusut, rambutnya sedikit berantakan akibat gerakan gelisahnya. Elise mengusap pelipisnya, mencoba menenangkan diri.Di lantai bawah, Federic duduk santai di ruang tamu, berhadapan dengan Abraham. Meskipun suasana terlihat tenang, ada ketegangan terselubung di antara mereka.“Kenapa kau datang-datang langsung bertanya tentang Elise?” Abraham memecah keheningan dengan nada rendah, tetapi penuh tekanan. “Kau kenal Elise?”Federic menyunggingkan senyum lebar. “Tentu saja kenal, Kakek. Dia teman lamaku, bahkan bisa di
Setelah keluar dari mobil, Reiner disambut oleh Hanna yang tampak gelisah. Perempuan itu berjalan cepat ke arahnya dengan wajah panik."Kenapa, Hanna? Wajahmu panik begitu?" tanya Reiner sambil merapikan jasnya."Ada tamu di ruangan Tuan," jawab Hanna dengan napas sedikit tersengal.Reiner mengerutkan kening. "Tamu? Siapa?""Sepupu Tuan," jawab Hanna dengan nada pelan tetapi penuh tekanan.Langkah Reiner terhenti sejenak, matanya menyipit tajam. "Untuk apa Federic ke sini?" gumamnya.Tanpa menunggu jawaban, Reiner melangkah cepat menuju tangga yang mengarah ke ruangannya. Hanna, yang terlihat enggan menaiki tangga, mendesah berat tetapi tetap membuntutinya.Sesampainya di ruangan, Reiner mendorong pintu dengan sedikit tenaga lebih. Di dalam, Federic sudah duduk santai di sofa dengan senyum lebar, seperti sedang menikmati pemandangan."Reiner, sepupuku sayang!" seru Federic sambil membuka kedua tangannya seolah i
Elise merasakan seluruh tubuhnya seperti dihantam ombak besar yang membuatnya terseret ke dasar laut. Setiap gerakan terasa pegal dan perih, terutama di bagian tubuh yang tak biasa disentuh sebelumnya. Begitu kedua matanya terbuka, ia baru menyadari sepenuhnya apa yang terjadi semalam—sebuah kenyataan yang membuatnya merasa tersudut."Astaga, Elise!" umpatnya pelan, sambil menarik diri dengan cepat dari tubuh yang ada di sampingnya. Jantungnya berdebar kencang, dan rasa malu mulai merayap di dalam diri. Tangannya mencengkeram ujung selimut, matanya celingukan, dan saat melihat pakaian tergeletak di lantai, kepalanya terasa berat."Apa yang sudah aku lakukan?" gumam Elise pada dirinya sendiri. Suaranya serak, suara yang penuh kebingungannya sendiri.Tiba-tiba, ada pergerakan dari samping, dan Elise terkejut saat melihat Reiner mulai melenguh pelan sebelum akhirnya tersenyum santai."Selamat pagi..." kata Reiner dengan nada lembut yang terdengar beg
Sesampainya di rumah, Will turun lebih dulu dari mobil. Dia membuka pintu untuk Reiner yang tampak terhuyung-huyung. Namun, bukannya mengikuti arahan Will, Reiner malah meracau dengan suara serak."Aku mau sama dia," gumam Reiner sambil merangkul Elise. "Kau pergi saja, Will."Will menatap Elise, yang terlihat canggung dengan situasi ini. Mereka saling pandang sejenak, seolah mencoba mencari solusi terbaik."Tidak apa-apa, Will," kata Elise akhirnya, meskipun suaranya terdengar ragu. "Tuan Reiner masih bisa berjalan. Aku akan bantu memapahnya ke kamar."Will mengerutkan dahi. "Kau yakin, Elise?"Elise mengangguk pelan, meski dalam hati dia merasa kewalahan. Reiner semakin berat bersandar padanya, sementara tangannya bermain-main dengan rambut Elise, membuat wajahnya memerah."Ayo, Tuan, saya antar ke kamar," ujar Elise, melingkarkan satu tangan di pinggang Reiner. Dengan susah payah, dia memapah Reiner menaiki tangga.Di
Reiner tidak memberi Elise kesempatan untuk menjauh. Bahkan ketika dia diminta memberikan pidato singkat, Reiner tetap meminta Elise berdiri di dekat panggung kecil, cukup terlihat oleh semua tamu.Tatapan tajam dari beberapa orang dan bisik-bisik yang mulai terdengar membuat Elise merasa sangat tidak nyaman. Dia menggenggam ujung gaunnya dengan gugup, ingin segera keluar dari ruangan ini."Dia itu siapa?" bisik salah satu tamu wanita sambil mencuri pandang ke arah Elise."Aku kurang tahu, tapi dia bersama Tuan Reiner terus sedari tadi," sahut yang lain. "Bahkan Nona Eva dan Olivia tidak dihiraukan olehnya."Pidato singkat Reiner berakhir, disambut tepuk tangan riuh. Saat dia turun dari panggung, alunan musik mulai menggema, mengundang para tamu untuk berdansa di ballroom.Langkah Reiner baru saja menjejak lantai ketika Olivia mendekat dengan senyum memikat. "Reiner, mau dansa denganku?" tanyanya, suaranya lembut namun cukup keras untuk d
Lampu kristal besar bergantung di tengah aula, memancarkan kilauan yang memantul di lantai marmer yang licin seperti cermin. Musik klasik lembut mengalun dari orkestra kecil di sudut ruangan, menciptakan suasana elegan yang memikat. Meja-meja prasmanan penuh dengan hidangan mewah—seafood segar, aneka keju, dan dessert berlapis cokelat berkilau.Reiner melangkah masuk dengan penuh percaya diri, mengenakan setelan hitam yang membuatnya terlihat semakin gagah. Aura karismanya langsung menarik perhatian seluruh tamu, terutama para wanita yang tak henti-hentinya berbisik."Siapa perempuan itu?" bisik salah satu tamu wanita sambil menatap Elise yang berjalan di samping Reiner."Kenapa dia datang bersama Tuan Reiner?" sambung yang lain, suaranya nyaris terdengar iri."Mereka terlihat tidak cocok."Tatapan tajam dan senyum sinis mulai bermunculan, membuat Elise merasa seperti pusat perhatian yang tak diinginkan. Tangannya semakin gemetar, tetapi
Satu hari berlalu…Elise duduk di atas ranjang kecilnya, kedua kaki terlipat, sementara tangannya memegang erat sebuah paperbag. Wajahnya tampak termenung, seolah memikirkan sesuatu yang berat."Sepertinya di sana bukan tempatku," gumam Elise pelan, tatapannya kosong. "Tapi Tuan Reiner memintaku ikut."Tangannya perlahan merogoh ke dalam paperbag, merasakan kain halus yang tersimpan di dalamnya. Sebuah gaun elegan berwarna hitam yang dibelikan Reiner kemarin. Elise menarik gaun itu perlahan, jemarinya menyentuh setiap detail kainnya.Namun, suasana hening itu tiba-tiba pecah. Dari balik pintu, suara berbisik terdengar samar. Sebelum Elise sempat bereaksi, Greta muncul bersama Sofia dan Clara, dengan cepat menyambar paperbag dari tangannya."Apa ini isinya?" tanya Greta dengan nada penuh penasaran. Senyumnya menyeringai, penuh ejekan."Kembalikan padaku!" Elise langsung bangkit dari ranjang, wajahnya memerah karena marah dan malu.
Elise dan Reiner masih berada di kamar. Niatnya Elise ingin keluar untuk menemui ayahnya, tapi Reiner melarangnya dengan alasan tidak mau sendirian di kamar sempit ini.Sementara itu, di ruang tengah yang terhubung dengan ruang makan, Lily baru saja meletakkan minuman untuk dua tamunya di atas meja."Kakak Elise kemana, Ayah?" tanya Lily.Eddie sedang mencuci tangan menjawab. "Kakakmu sedang mengantar Tuan Reiner untuk istirahat.""Aku panggil saja ya, biar ikut makan siang."Dengan cepat Eddie mencegah langkah putrinya itu, "Tidak usah, Lily. Nanti kakakmu pasti ke sini."Akhirnya Lily mengangguk, lalu berlanjut menata makan siang di atas meja. Meski umurnya baru menjelas sebelah tahun, Lily cukup pandai untuk membuat makanan. Ya, meskipun aja beberapa lembar omelet dan salad.Di dalam kamar, Elise mondar-mandir dengan gelisah. Dia sesekali melirik ke arah Reiner yang masih bersandar di ujung ranjang dengan tiga tumpuka