Pagi itu, Elise terbangun sebelum fajar.
Bayang-bayang kejadian semalam masih membekas di pikirannya, tetapi tidak ada waktu untuk berlama-lama dalam keresahan. Dengan cekatan, dia mulai membereskan rumah yang berantakan, mengangkat kursi yang terbalik, dan menyapu pecahan kaca yang masih berserakan di lantai. Sesekali, dia menoleh ke kamar ayahnya, memastikan tidak ada suara yang mencurigakan. Elise memasak sarapan sederhana, dua porsi nasi dan telur dadar. Porsinya harus cukup untuk Lily dan ayahnya. Sambil bekerja, pikirannya terusik oleh perintah Eddie semalam. Mendekati Reiner? Sungguh ide yang tidak masuk akal. Elise menggelengkan kepala, mencoba menyingkirkan pikiran itu. Saat Lily muncul dari kamar dengan rambut yang belum tersisir rapi, Elise tersenyum kecil. “Ayo cepat cuci muka. Setelah itu, makan dulu sebelum kita berangkat.” Elise menyerahkan sepiring nasi kepada adiknya. “Kakak sudah makan?” Lily bertanya dengan nada polos, suaranya masih serak karena baru bangun tidur. Elise hanya mengangguk sambil menyibukkan diri menyapu sudut ruangan yang belum rapi. “Sudah tadi,” jawabnya singkat. Setelah semuanya siap, Elise menggandeng tangan Lily, menuju pintu depan. Namun sebelum sempat melangkah keluar, Eddie muncul dari ruang tamu. “Elise,” panggilnya tegas. Elise menghentikan langkah, menoleh dengan ekspresi netral. “Jangan lupa pikirkan baik-baik usul ayah semalam.” Suaranya dingin, tapi penuh tekanan. Elise menghela napas. “Aku akan memikirkan apa yang terbaik untuk kita semua,” jawabnya singkat, tanpa menatap langsung ke mata Eddie. Eddie tampak tidak puas, tetapi dia tidak menahan Elise lebih lama. Dengan cepat, Elise dan Lily melangkah keluar. Di perjalanan menuju sekolah Lily, suasana terasa sunyi. Elise sibuk dengan pikirannya sendiri, sementara Lily sesekali menendang kerikil kecil di jalan. Gadis kecil itu akhirnya memecah keheningan dengan pertanyaan yang membuat Elise terhenti sejenak. “Kak, kenapa kakak selalu terlihat lelah?” Elise tersenyum samar, lalu merunduk sedikit agar sejajar dengan adiknya. “Kakak tidak lelah, kok. Kakak hanya… banyak yang harus dikerjakan,” jawabnya lembut, mencoba menenangkan hati kecil adiknya. “Tapi kakak tidak pernah tersenyum,” Lily menambahkan, ekspresi wajahnya serius. “Apa kakak tidak suka tinggal di rumah?” Elise mengusap kepala Lily dengan lembut, lalu berkata, “Kakak suka selama ada kamu di rumah. Kakak ingin kamu tumbuh bahagia dan sehat. Itu saja sudah cukup buat kakak.” Jawaban Elise membuat Lily terdiam, tetapi ia tampak puas. Tak lama kemudian, mereka tiba di depan gerbang sekolah. Elise berjongkok, merapikan seragam adiknya, dan memastikan ranselnya terpasang dengan baik. “Hati-hati di dalam, ya. Jangan lupa makan siang,” pesan Elise sambil tersenyum. Lily mengangguk, lalu masuk ke sekolah setelah melambaikan tangan. Elise memandangi punggung adiknya hingga menghilang di antara kerumunan anak-anak lainnya. Setelah mengantar Lily ke sekolah, Elise langsung bergegas menuju hunian keluarga Barack. Rumah besar yang megah itu berdiri kokoh di tengah-tengah hutan pinus, dengan gerbang besi tinggi yang tampak seperti batas dunia lain. Elise menarik napas dalam-dalam sebelum melangkah masuk. Setibanya di sana, Elise buru-buru menuju kamar kecil yang telah disediakan untuk para pelayan. Dia membuka pintu lemari kecil yang dipenuhi seragam pelayan dan mengambil satu set pakaian pelayan yang sudah dipilihkan sebelumnya. Seragam itu cukup sederhana namun memiliki sentuhan elegan yang tak bisa diabaikan. Sebuah gaun hitam dengan rok rempel yang jatuh di atas lutut, dipadukan dengan celemek putih kecil yang melingkar rapi di pinggang. Lengan gaun itu pendek dan dihiasi pita kecil di bagian ujungnya. Sepasang sepatu hitam datar melengkapi penampilan tersebut. Elise memandang pantulan dirinya di cermin. Wajahnya yang lembut dan tubuh mungilnya tampak serasi dengan pakaian itu, meski menurutnya terlalu mencolok untuk tugas harian. "Sepertinya aku benar-benar terlihat seperti boneka," gumam Elise pelan sambil tersenyum tipis, mencoba mengabaikan perasaan tak nyaman. Ia sempat mainkan bando polos yang melingkar di kepalanya. Ketika Elise melangkah keluar menuju dapur, suasana langsung berubah. Beberapa pelayan yang tengah sibuk mengatur sarapan untuk penghuni rumah berhenti sejenak, melirik Elise dari atas hingga bawah. Tatapan mereka penuh rasa risih dan kecemburuan, meskipun mereka mencoba menyembunyikannya dengan pura-pura sibuk. Salah satu pelayan, seorang wanita bernama Clara, berbisik pelan kepada rekannya, Sofia. "Kenapa seragam itu terlihat begitu berbeda kalau dia yang memakainya?" tanya Clara dengan nada setengah jengkel. Sofia melirik Elise yang sedang sibuk mengambil nampan, lalu mengangkat bahu. "Mungkin karena dia masih baru. Atau mungkin dia tahu bagaimana cara membuat dirinya terlihat menarik," jawab Sofia dengan nada sinis. "Apa bagusnya, menurutku biasa saja," potong Greta yang muncul diantara mereka berdua. "Bajunya juga sama dengan kita," lanjutnya. Elise, yang merasa tatapan mereka menusuk punggungnya, memilih untuk tetap fokus pada tugasnya. Dia membawa nampan berisi minuman ke ruang makan tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Namun, di sudut lain ruangan, seorang pria muda sedang mengamati kejadian itu dengan ekspresi datar. Reiner, yang baru saja turun dari tangga, diam-diam memperhatikan bagaimana Elise bergerak. Tidak ada senyum atau sapaan dari bibirnya, hanya sorot mata tajam yang mengikuti setiap langkah Elise. "Dia benar-benar berbeda," pikir Reiner sambil menyandarkan tubuhnya di dinding, tak menyadari bahwa dia sudah menghabiskan beberapa menit hanya untuk mengawasi gadis itu. --- Elise membawa nampannya menuju ruangan Tuan Abraham. Langkah kakinya hati-hati, seraya memastikan gelas dan piring di atas nampan tidak bergoyang terlalu keras. Saat dia mencapai pintu yang megah dengan ukiran kayu khas kolonial, tangannya yang hendak mengetuk terhenti mendadak. Suara langkah kaki yang berat terdengar dari arah belakangnya. "Menarik sekali..." Suara itu rendah, dingin, dan membuat bulu kuduk Elise meremang. "Tu-Tuan Reiner?" Elise menelan ludah, berusaha mengontrol keterkejutannya. Matanya bertemu dengan tatapan tajam pria itu, penuh evaluasi dan sedikit... meremehkan. Reiner berdiri dengan santai, bahunya yang lebar sedikit miring saat dia menyunggingkan senyum penuh arti. "Huh, sialnya kamu cuma seorang pelayan," katanya lirih, hampir seperti bergumam. "A-apa?" Elise tertegun. Meski ucapannya lirih, kata-kata itu menggema jelas di telinganya. Reiner tidak menjawab. Dia hanya memutar tubuhnya, berbalik, dan melangkah menjauh. Bahunya tegap, gerakannya penuh percaya diri, meninggalkan Elise dengan rasa panas di pipi dan dada. Jari-jarinya mencengkeram tepian nampan, gemetar antara marah dan menahan diri. Hanya seorang pelayan? Rahangnya mengeras, tapi dia tahu, membalas hanya akan berakhir dengan masalah besar. Dengan desahan panjang, dia kembali fokus pada tugasnya. "Selamat pagi, Tuan Abraham." Elise akhirnya melangkah masuk ke ruangan majikannya. Ruangan itu langsung membungkusnya dengan aroma kayu mahoni dan kulit tua dari kursi-kursi mewah yang berjajar rapi. Dindingnya dipenuhi rak buku yang menjulang, penuh dengan koleksi yang tampak antik dan mahal. Sebuah meja besar di tengah ruangan dihiasi lampu meja berbahan kuningan. Elise menelan rasa kagumnya, mencoba untuk tidak terlihat terlalu terpesona. "Saya bawakan sarapan untuk Anda, Tuan," katanya dengan nada lembut. "Taruh saja di meja," jawab Abraham tanpa menoleh. Lelaki tua itu sedang duduk di kursi goyang, bersandar santai dengan koran yang terbuka di pangkuannya. Elise menuruti perintah itu, meletakkan nampan di atas meja dengan hati-hati. Namun sebelum dia bisa berpaling, suara Abraham menghentikannya. "Kamu sudah sarapan, Elise?" tanyanya, kali ini dengan nada yang lebih personal. Elise tersenyum kikuk. "Sudah, Tuan. Saya sarapan di rumah bersama adik saya." "Bagus. Kemarilah." Abraham melipat koran, menyingkirkan kacamatanya ke meja kecil di sebelahnya. Tatapannya yang tajam namun bijak membuat Elise merasa was-was. "Ada apa, Tuan? Apa ada yang lain?" tanyanya dengan sopan, mendekat sambil meremas ujung celemeknya. "Aku mempekerjakanmu di sini untuk melayaniku," ucap Abraham pelan, namun nadanya penuh otoritas. Elise mengangguk, memperhatikan setiap kata dengan hati-hati. "Aku juga ingin kamu membantu Reiner." Jantung Elise terasa berhenti berdetak sejenak. "Ma-maksud Tuan bagaimana? Maaf... saya kurang paham," tanyanya dengan suara nyaris bergetar. Abraham mendesah, seolah merasa tak perlu menjelaskan lebih banyak. "Reiner punya banyak kebutuhan yang mungkin tidak akan dia ungkapkan padaku. Aku butuh seseorang yang bisa memastikan semuanya berjalan lancar. Kamu akan bertugas memastikan dia terurus dengan baik. Will akan memberimu arahan lebih lanjut." Elise menelan ludah, hatinya bercampur aduk antara kebingungan dan kekhawatiran. "Baik, Tuan," jawabnya singkat, meski sebenarnya masih ada seribu pertanyaan di benaknya. "Bagus." Abraham tersenyum kecil, tapi sorot matanya tetap serius. Elise menunduk hormat, lalu keluar dari ruangan dengan langkah yang sedikit berat. Di luar, udara terasa lebih dingin, atau mungkin itu hanya perasaannya. Pikiran tentang Reiner dan ucapannya tadi masih menggantung di kepalanya. "Kenapa aku harus mengurus pria itu? Bakankah sebelumnya sudah ada pelayan yang mengurusnya?" gumamnya pelan. Namun, dia tahu satu hal: menolak perintah Tuan Abraham bukanlah pilihan. ---Suara langkah kaki terdengar di sepanjang lorong marmer rumah keluarga Barack yang megah. Elise berjalan pelan mengikuti Will, pria berkacamata dengan setelan rapi yang selalu tampak seperti bayangan Tuan Abraham. Pagi ini, tugas Elise bertambah berat setelah arahan baru yang diberikan langsung oleh sang majikan.“Jadi, seperti yang Tuan Abraham katakan, mulai hari ini, kamu akan mengurus keperluan Tuan Reiner setiap pagi,” jelas Will sambil menyerahkan selembar kertas.Elise menerima kertas itu dengan ragu. Pandangannya menyapu barisan huruf yang tertera:Pakaian kerja harus tersedia di kamar jam 6 pagi.1. Segelas air putih harus tersedia di nakas.2. AC harus disetel pada suhu 24 derajat, tidak boleh lebih dingin.3. Dilarang mengeluarkan suara yang berpotensi membangunkan Tuan Reiner.4. Setelah Tuan Reiner bangun, sarapan harus siap di meja makan.5. Dilarang memasuki kamar tanpa izin setelah Tuan Reiner bangun.6. Aroma ruangan harus berganti setiap hari, sesuai dengan yang sud
Pagi itu, suasana ruang makan terasa tenang dan hangat oleh aroma roti panggang dan kopi. Elise baru saja selesai mengurus keperluan Reiner dan langsung bergegas membawa nampan sarapan untuk Tuan Abraham. Kebiasaan sang majikan memang berbeda dari anggota keluarga lainnya—Abraham selalu menikmati sarapan di ruang pribadinya, jauh dari hiruk-pikuk rumah besar itu.Elise mengetuk pintu dengan sopan.“Masuk,” terdengar suara berat Abraham dari dalam.Ketika Elise masuk, ia disambut oleh keheningan ruang kerja Abraham, yang dikelilingi oleh rak buku tinggi. Beliau duduk di kursi malasnya, tatapannya beralih dari buku yang sedang dibaca ke Elise.“Selamat pagi, Tuan,” ujar Elise lembut sambil menaruh nampan di atas meja kecil di samping kursi.“Pagi,” balas Abraham sambil melipat buku dan meletakkannya di pangkuan. “Kau sudah terbiasa bekerja di sini, Elise?”“Sudah cukup terbiasa, Tuan. Meski... masih banyak yang perlu saya pelajari,” Elise menjawab jujur, menundukkan kepala sedikit.“Bag
Eva Myles, dengan keanggunannya yang tak terbantahkan, melangkah masuk. Tubuhnya tegak, wajah ovalnya dihiasi senyuman tipis yang tampak ramah namun penuh dominasi. Rambut panjangnya yang bergelombang tergerai sempurna di atas blazer putih dan rok pensil hitam. Setiap langkahnya terdengar seperti irama sepatu hak tinggi di atas lantai, membuat semua mata karyawan yang semula sibuk mendadak menoleh.“Dia datang lagi,” bisik seorang resepsionis kepada rekannya.“Berani sekali, ya. Padahal semua tahu Tuan Reiner tidak menyukainya,” jawab yang lain dengan nada rendah."Kalian ingat tentang kabar di pesta waktu itu? Ugh! Harusnya dia malu."Eva tak memedulikan bisik-bisik itu. Baginya, mereka hanyalah bagian dari pemandangan sehari-hari. Dengan tenang, ia berjalan menuju lift, menekan tombol menuju lantai eksekutif tanpa meminta izin siapa pun.Setibanya di lantai atas, sekretaris pribadi Reiner, Hanna, mencoba menghadangnya dengan senyum profesional. “Nona Eva, Tuan Reiner sedang sibuk de
Para pelayan sibuk dengan tugas masing-masing, sementara di ruang tamu, Barbra sedang menikmati teh sore di meja kecil berukir elegan. Suara langkah sepatu hak tinggi yang mendekat segera menarik perhatian semua orang.Eva muncul dengan anggun, mengenakan dress pastel berpotongan sederhana namun tetap memancarkan aura kemewahan. Rambut panjangnya yang bergelombang tergerai rapi, dan senyum manis menghiasi wajah ovalnya. Namun, di balik senyum itu, ada rasa percaya diri yang nyaris menyerupai kesombongan.“Tante Barbra, sayang,” sapanya sambil mendekati ibu Reiner. “Kukira sore ini akan membosankan, tapi ternyata aku punya alasan untuk berkunjung.”Barbra tersenyum kecil, menyesap tehnya sebelum menjawab, “Eva, sayangku. Selalu menyenangkan melihatmu. Apa yang membawamu ke sini?”Eva meletakkan kantong belanja di meja samping, penuh dengan berbagai oleh-oleh mahal. “Aku hanya ingin berbagi sedikit hadiah untukmu, Om Gale, dan bahkan para pelayan. Sudah lama aku tidak mampir.”Barbra te
Elise membawa gelas kosong keluar dari kamar Reiner. Langkahnya pelan, berusaha tidak menarik perhatian siapa pun, namun suara langkahnya di lantai kayu tetap terdengar samar. Setibanya di dapur, ia langsung meletakkan gelas di wastafel dan mulai mencuci beberapa piring serta gelas kotor yang tertumpuk.Ruang makan di sebelah dapur tampak sepi. Namun, keheningan itu tidak berlangsung lama. Elise menyadari seseorang masuk ke dapur dengan langkah santai. Ia tidak perlu menoleh untuk tahu siapa itu—aroma parfum yang lembut namun mewah sudah memberinya jawaban. Eva."Elise, ya?" suara Eva terdengar ramah, hampir terlalu ramah. Elise menoleh sejenak, hanya untuk mengangguk sopan.Eva duduk di kursi ruang makan, mengambil selembar roti tawar dari keranjang di atas meja, lalu mulai mengoleskan selai stroberi dengan gerakan lambat."Sudah lama bekerja di sini?" tanyanya tanpa melihat Elise, seolah-olah pertanyaan itu hanya basa-basi.Elise, yang terus mencuci piring, menjawab singkat, "Belum
Ruang pesta dipenuhi kemewahan yang mencerminkan kekayaan para pesohor. Lampu gantung kristal berkilauan, memantulkan cahaya lembut ke seluruh aula yang luas. Meski begitu, tempat yang dipilih sejujurnya bukan tempat yang terlalu terbuka.Para tamu, berpakaian sempurna dengan gaun malam dan setelan mahal, bercakap-cakap sambil menyesap sampanye dari gelas kristal. Suara tawa ringan bercampur dengan dentingan alat musik dari orkestra yang bermain di sudut ruangan.Namun, momen itu seolah terhenti ketika sosok Reiner Barack melangkah masuk.Setelan jas hitamnya dibuat khusus, membingkai tubuh tegapnya dengan sempurna. Rambutnya disisir rapi ke belakang, tetapi sehelai jatuh ke dahinya, memberikan kesan santai yang memikat. Wajahnya membawa ekspresi dingin, namun karismanya tak terbantahkan. Setiap langkahnya memancarkan kepercayaan diri yang begitu kuat hingga semua kepala menoleh ke arahnya.Para wanita berbisik-bisik, beberapa menyembunyikan senyum malu-malu di balik kipas mereka. Sal
Rumah keluarga Barack berdiri megah di atas tanah seluas dua hektar, dikelilingi taman yang dirancang oleh arsitek terkenal. Gerbang besar dengan logo keluarga terpahat di tengahnya dijaga ketat oleh dua petugas keamanan, sementara kamera tersembunyi memantau setiap sudut. Para pelayan berlalu-lalang di lorong marmer yang dingin, memastikan setiap sudut rumah tetap sempurna. Keluarga Barack bukan hanya kaya raya—mereka adalah simbol kekuasaan dan kehormatan di kota ini.Di ruang makan yang luas, cahaya pagi menerobos tirai beludru, menerangi meja makan panjang yang dipenuhi peralatan porselen mahal. Di salah satu ujung meja, Nyonya Barbra Barack sedang menuangkan teh sambil berbicara dengan nada tajam, penuh keluhan."Aku sungguh tak habis pikir, Reiner!" suara Barbra melengking, matanya yang tajam menyipit menatap putranya. "Kau kabur dari pesta tanpa pemberitahuan, meninggalkan Eva begitu saja. Orang tuanya pasti menganggap keluarga kita tidak punya sopan santun!"Reiner, yang duduk
Pukul sepuluh pagi, dapur di rumah besar keluarga Barack terasa sepi dan hening. Hanya ada suara langit-langit yang berderak pelan saat angin dari luar menyentuhnya. Reiner duduk di meja kayu panjang, memegang gelas berisi air, namun matanya jauh lebih tertarik pada ketenangan sekelilingnya.Dia baru saja meninggalkan ruang makan setelah percakapan yang menegangkan dengan ibunya. Rasa kesal masih tertinggal di bibirnya, namun dia tidak peduli. Semua itu akan berlalu, seperti semuanya yang pernah terjadi di hidupnya. Namun, ada satu hal yang menarik perhatian.Ketika Elise melangkah masuk dengan perlahan, pada kaki pelayan itu terselip aroma yang berbeda—sesuatu yang sederhana, namun kuat. Tidak ada keramahtamahan yang disampaikan melalui kata-kata, hanya seutas sapaan singkat yang penuh kehati-hatian. Reiner merasakan kehadirannya lebih dulu daripada mendengar langkahnya.Elise berjalan dengan perlahan, tubuhnya cenderung menyamping agar tidak mengganggu perhatiannya. Reiner tahu bahw
Elise membawa gelas kosong keluar dari kamar Reiner. Langkahnya pelan, berusaha tidak menarik perhatian siapa pun, namun suara langkahnya di lantai kayu tetap terdengar samar. Setibanya di dapur, ia langsung meletakkan gelas di wastafel dan mulai mencuci beberapa piring serta gelas kotor yang tertumpuk.Ruang makan di sebelah dapur tampak sepi. Namun, keheningan itu tidak berlangsung lama. Elise menyadari seseorang masuk ke dapur dengan langkah santai. Ia tidak perlu menoleh untuk tahu siapa itu—aroma parfum yang lembut namun mewah sudah memberinya jawaban. Eva."Elise, ya?" suara Eva terdengar ramah, hampir terlalu ramah. Elise menoleh sejenak, hanya untuk mengangguk sopan.Eva duduk di kursi ruang makan, mengambil selembar roti tawar dari keranjang di atas meja, lalu mulai mengoleskan selai stroberi dengan gerakan lambat."Sudah lama bekerja di sini?" tanyanya tanpa melihat Elise, seolah-olah pertanyaan itu hanya basa-basi.Elise, yang terus mencuci piring, menjawab singkat, "Belum
Para pelayan sibuk dengan tugas masing-masing, sementara di ruang tamu, Barbra sedang menikmati teh sore di meja kecil berukir elegan. Suara langkah sepatu hak tinggi yang mendekat segera menarik perhatian semua orang.Eva muncul dengan anggun, mengenakan dress pastel berpotongan sederhana namun tetap memancarkan aura kemewahan. Rambut panjangnya yang bergelombang tergerai rapi, dan senyum manis menghiasi wajah ovalnya. Namun, di balik senyum itu, ada rasa percaya diri yang nyaris menyerupai kesombongan.“Tante Barbra, sayang,” sapanya sambil mendekati ibu Reiner. “Kukira sore ini akan membosankan, tapi ternyata aku punya alasan untuk berkunjung.”Barbra tersenyum kecil, menyesap tehnya sebelum menjawab, “Eva, sayangku. Selalu menyenangkan melihatmu. Apa yang membawamu ke sini?”Eva meletakkan kantong belanja di meja samping, penuh dengan berbagai oleh-oleh mahal. “Aku hanya ingin berbagi sedikit hadiah untukmu, Om Gale, dan bahkan para pelayan. Sudah lama aku tidak mampir.”Barbra te
Eva Myles, dengan keanggunannya yang tak terbantahkan, melangkah masuk. Tubuhnya tegak, wajah ovalnya dihiasi senyuman tipis yang tampak ramah namun penuh dominasi. Rambut panjangnya yang bergelombang tergerai sempurna di atas blazer putih dan rok pensil hitam. Setiap langkahnya terdengar seperti irama sepatu hak tinggi di atas lantai, membuat semua mata karyawan yang semula sibuk mendadak menoleh.“Dia datang lagi,” bisik seorang resepsionis kepada rekannya.“Berani sekali, ya. Padahal semua tahu Tuan Reiner tidak menyukainya,” jawab yang lain dengan nada rendah."Kalian ingat tentang kabar di pesta waktu itu? Ugh! Harusnya dia malu."Eva tak memedulikan bisik-bisik itu. Baginya, mereka hanyalah bagian dari pemandangan sehari-hari. Dengan tenang, ia berjalan menuju lift, menekan tombol menuju lantai eksekutif tanpa meminta izin siapa pun.Setibanya di lantai atas, sekretaris pribadi Reiner, Hanna, mencoba menghadangnya dengan senyum profesional. “Nona Eva, Tuan Reiner sedang sibuk de
Pagi itu, suasana ruang makan terasa tenang dan hangat oleh aroma roti panggang dan kopi. Elise baru saja selesai mengurus keperluan Reiner dan langsung bergegas membawa nampan sarapan untuk Tuan Abraham. Kebiasaan sang majikan memang berbeda dari anggota keluarga lainnya—Abraham selalu menikmati sarapan di ruang pribadinya, jauh dari hiruk-pikuk rumah besar itu.Elise mengetuk pintu dengan sopan.“Masuk,” terdengar suara berat Abraham dari dalam.Ketika Elise masuk, ia disambut oleh keheningan ruang kerja Abraham, yang dikelilingi oleh rak buku tinggi. Beliau duduk di kursi malasnya, tatapannya beralih dari buku yang sedang dibaca ke Elise.“Selamat pagi, Tuan,” ujar Elise lembut sambil menaruh nampan di atas meja kecil di samping kursi.“Pagi,” balas Abraham sambil melipat buku dan meletakkannya di pangkuan. “Kau sudah terbiasa bekerja di sini, Elise?”“Sudah cukup terbiasa, Tuan. Meski... masih banyak yang perlu saya pelajari,” Elise menjawab jujur, menundukkan kepala sedikit.“Bag
Suara langkah kaki terdengar di sepanjang lorong marmer rumah keluarga Barack yang megah. Elise berjalan pelan mengikuti Will, pria berkacamata dengan setelan rapi yang selalu tampak seperti bayangan Tuan Abraham. Pagi ini, tugas Elise bertambah berat setelah arahan baru yang diberikan langsung oleh sang majikan.“Jadi, seperti yang Tuan Abraham katakan, mulai hari ini, kamu akan mengurus keperluan Tuan Reiner setiap pagi,” jelas Will sambil menyerahkan selembar kertas.Elise menerima kertas itu dengan ragu. Pandangannya menyapu barisan huruf yang tertera:Pakaian kerja harus tersedia di kamar jam 6 pagi.1. Segelas air putih harus tersedia di nakas.2. AC harus disetel pada suhu 24 derajat, tidak boleh lebih dingin.3. Dilarang mengeluarkan suara yang berpotensi membangunkan Tuan Reiner.4. Setelah Tuan Reiner bangun, sarapan harus siap di meja makan.5. Dilarang memasuki kamar tanpa izin setelah Tuan Reiner bangun.6. Aroma ruangan harus berganti setiap hari, sesuai dengan yang sud
Pagi itu, Elise terbangun sebelum fajar.Bayang-bayang kejadian semalam masih membekas di pikirannya, tetapi tidak ada waktu untuk berlama-lama dalam keresahan. Dengan cekatan, dia mulai membereskan rumah yang berantakan, mengangkat kursi yang terbalik, dan menyapu pecahan kaca yang masih berserakan di lantai. Sesekali, dia menoleh ke kamar ayahnya, memastikan tidak ada suara yang mencurigakan.Elise memasak sarapan sederhana, dua porsi nasi dan telur dadar. Porsinya harus cukup untuk Lily dan ayahnya. Sambil bekerja, pikirannya terusik oleh perintah Eddie semalam. Mendekati Reiner? Sungguh ide yang tidak masuk akal. Elise menggelengkan kepala, mencoba menyingkirkan pikiran itu.Saat Lily muncul dari kamar dengan rambut yang belum tersisir rapi, Elise tersenyum kecil.“Ayo cepat cuci muka. Setelah itu, makan dulu sebelum kita berangkat.” Elise menyerahkan sepiring nasi kepada adiknya.“Kakak sudah makan?” Lily bertanya dengan nada polos, suaranya masih serak karena baru bangun tidur.
Malam itu, ketenangan yang rapuh melingkupi rumah kecil keluarga Elise. Bau darah samar masih terasa di udara, bercampur dengan aroma kayu yang lapuk. Elise menuntun ayahnya, Eddie, ke kamar untuk mengobati luka di tangannya. Luka itu tidak terlalu dalam, tapi cukup membuat Eddie meringis setiap kali Elise membersihkannya.Sebuah lampu redup di meja kecil di sudut kamar menjadi satu-satunya penerangan, memunculkan bayangan wajah Eddie yang penuh garis usia dan kelelahan. Elise bekerja dalam diam, tangannya cekatan, sementara pikirannya penuh pertanyaan yang tidak berani ia lontarkan."Ahh… pelan-pelan, Elise. Kau ini seperti mau mengulitiku saja!" kata Eddie setengah kesal.Elise tersenyum tipis. Sikap ayahnya memang cukup keras. "Ayah lebih baik diam kalau tidak tahan sakit. Luka ini karena ulah Ayah sendiri.""Huh, seperti aku punya pilihan lain. Kau tahu, mereka datang karena kita berutang! Kalau aku tidak menghadap mereka, mereka mungkin sudah menghancurkan rumah ini."Elise berhe
Reiner menuntun mobilnya melewati jalanan yang tak terlalu terang, mengikuti arah yang ditunjukkan oleh Elise. Saat mobil berhenti di depan rumah yang sederhana namun sedikit kumuh, Reiner menatap bangunan itu sekilas dari dalam mobil. Tidak ada yang terlalu mencolok, hanya sebuah rumah dengan pagar kayu yang sudah mulai lapuk. Sangat kontras dengan rumah megah yang ia tinggali.Elise membuka pintu mobil, hendak turun. Reiner menundukkan wajahnya sejenak, berusaha menyembunyikan rasa keingintahuan yang tumbuh. Dengan sedikit ragu, dia mengikuti Elise keluar dari mobil dan berjalan mengikutinya ke pintu rumah. Dalam pikiran Reiner, rumah ini adalah tempat yang sangat berbeda dari kehidupannya yang mewah dan penuh privilese.Begitu masuk ke dalam, bau lembap dan udara pengap langsung terasa. Rumah itu tampak kacau, dengan barang-barang yang berserakan di lantai. Ruangan yang seharusnya menjadi ruang tamu tampak kosong, hanya berisi kursi-kursi kayu usang dan meja yang sudah tidak terawa
Sore itu, dapur rumah keluarga Barack dipenuhi aroma herbal yang baru saja diseduh. Elise sibuk membawa nampan berisi secangkir teh herbal untuk Tuan Abraham. Penampilannya sederhana, tapi menarik perhatian. Dengan tinggi badan 160 cm, tubuh mungilnya tampak anggun. Rambut hitam sebahunya selalu tertata rapi, meski wajahnya jarang dihiasi riasan. Sorot matanya lembut, menyiratkan kepribadian yang sabar, walau dalam hatinya sering tersimpan rasa gelisah.Elise, meskipun hanya pelayan, membawa aura yang berbeda. Ia terlihat tenang, tapi ada jejak kekuatan dari masa lalunya yang sulit—masa kecil di rumah yang penuh dengan pertengkaran, membuatnya belajar untuk menahan diri dan menghadapi segala situasi dengan kepala dingin.Salah seorang pelayan senior, Greta, berbisik pada rekannya sambil melirik Elise yang baru melewati mereka.“Lihat dia, baru beberapa hari di sini sudah begitu percaya diri melayani Tuan Abraham. Biasanya, pelayan lain lari dalam seminggu,” katanya sinis.“Entahlah,”