Pagi itu, Elise terbangun sebelum fajar.
Bayang-bayang kejadian semalam masih membekas di pikirannya, tetapi tidak ada waktu untuk berlama-lama dalam keresahan. Dengan cekatan, dia mulai membereskan rumah yang berantakan, mengangkat kursi yang terbalik, dan menyapu pecahan kaca yang masih berserakan di lantai. Sesekali, dia menoleh ke kamar ayahnya, memastikan tidak ada suara yang mencurigakan. Elise memasak sarapan sederhana, dua porsi nasi dan telur dadar. Porsinya harus cukup untuk Lily dan ayahnya. Sambil bekerja, pikirannya terusik oleh perintah Eddie semalam. Mendekati Reiner? Sungguh ide yang tidak masuk akal. Elise menggelengkan kepala, mencoba menyingkirkan pikiran itu. Saat Lily muncul dari kamar dengan rambut yang belum tersisir rapi, Elise tersenyum kecil. “Ayo cepat cuci muka. Setelah itu, makan dulu sebelum kita berangkat.” Elise menyerahkan sepiring nasi kepada adiknya. “Kakak sudah makan?” Lily bertanya dengan nada polos, suaranya masih serak karena baru bangun tidur. Elise hanya mengangguk sambil menyibukkan diri menyapu sudut ruangan yang belum rapi. “Sudah tadi,” jawabnya singkat. Setelah semuanya siap, Elise menggandeng tangan Lily, menuju pintu depan. Namun sebelum sempat melangkah keluar, Eddie muncul dari ruang tamu. “Elise,” panggilnya tegas. Elise menghentikan langkah, menoleh dengan ekspresi netral. “Jangan lupa pikirkan baik-baik usul ayah semalam.” Suaranya dingin, tapi penuh tekanan. Elise menghela napas. “Aku akan memikirkan apa yang terbaik untuk kita semua,” jawabnya singkat, tanpa menatap langsung ke mata Eddie. Eddie tampak tidak puas, tetapi dia tidak menahan Elise lebih lama. Dengan cepat, Elise dan Lily melangkah keluar. Di perjalanan menuju sekolah Lily, suasana terasa sunyi. Elise sibuk dengan pikirannya sendiri, sementara Lily sesekali menendang kerikil kecil di jalan. Gadis kecil itu akhirnya memecah keheningan dengan pertanyaan yang membuat Elise terhenti sejenak. “Kak, kenapa kakak selalu terlihat lelah?” Elise tersenyum samar, lalu merunduk sedikit agar sejajar dengan adiknya. “Kakak tidak lelah, kok. Kakak hanya… banyak yang harus dikerjakan,” jawabnya lembut, mencoba menenangkan hati kecil adiknya. “Tapi kakak tidak pernah tersenyum,” Lily menambahkan, ekspresi wajahnya serius. “Apa kakak tidak suka tinggal di rumah?” Elise mengusap kepala Lily dengan lembut, lalu berkata, “Kakak suka selama ada kamu di rumah. Kakak ingin kamu tumbuh bahagia dan sehat. Itu saja sudah cukup buat kakak.” Jawaban Elise membuat Lily terdiam, tetapi ia tampak puas. Tak lama kemudian, mereka tiba di depan gerbang sekolah. Elise berjongkok, merapikan seragam adiknya, dan memastikan ranselnya terpasang dengan baik. “Hati-hati di dalam, ya. Jangan lupa makan siang,” pesan Elise sambil tersenyum. Lily mengangguk, lalu masuk ke sekolah setelah melambaikan tangan. Elise memandangi punggung adiknya hingga menghilang di antara kerumunan anak-anak lainnya. Setelah mengantar Lily ke sekolah, Elise langsung bergegas menuju hunian keluarga Barack. Rumah besar yang megah itu berdiri kokoh di tengah-tengah hutan pinus, dengan gerbang besi tinggi yang tampak seperti batas dunia lain. Elise menarik napas dalam-dalam sebelum melangkah masuk. Setibanya di sana, Elise buru-buru menuju kamar kecil yang telah disediakan untuk para pelayan. Dia membuka pintu lemari kecil yang dipenuhi seragam pelayan dan mengambil satu set pakaian pelayan yang sudah dipilihkan sebelumnya. Seragam itu cukup sederhana namun memiliki sentuhan elegan yang tak bisa diabaikan. Sebuah gaun hitam dengan rok rempel yang jatuh di atas lutut, dipadukan dengan celemek putih kecil yang melingkar rapi di pinggang. Lengan gaun itu pendek dan dihiasi pita kecil di bagian ujungnya. Sepasang sepatu hitam datar melengkapi penampilan tersebut. Elise memandang pantulan dirinya di cermin. Wajahnya yang lembut dan tubuh mungilnya tampak serasi dengan pakaian itu, meski menurutnya terlalu mencolok untuk tugas harian. "Sepertinya aku benar-benar terlihat seperti boneka," gumam Elise pelan sambil tersenyum tipis, mencoba mengabaikan perasaan tak nyaman. Ia sempat mainkan bando polos yang melingkar di kepalanya. Ketika Elise melangkah keluar menuju dapur, suasana langsung berubah. Beberapa pelayan yang tengah sibuk mengatur sarapan untuk penghuni rumah berhenti sejenak, melirik Elise dari atas hingga bawah. Tatapan mereka penuh rasa risih dan kecemburuan, meskipun mereka mencoba menyembunyikannya dengan pura-pura sibuk. Salah satu pelayan, seorang wanita bernama Clara, berbisik pelan kepada rekannya, Sofia. "Kenapa seragam itu terlihat begitu berbeda kalau dia yang memakainya?" tanya Clara dengan nada setengah jengkel. Sofia melirik Elise yang sedang sibuk mengambil nampan, lalu mengangkat bahu. "Mungkin karena dia masih baru. Atau mungkin dia tahu bagaimana cara membuat dirinya terlihat menarik," jawab Sofia dengan nada sinis. "Apa bagusnya, menurutku biasa saja," potong Greta yang muncul diantara mereka berdua. "Bajunya juga sama dengan kita," lanjutnya. Elise, yang merasa tatapan mereka menusuk punggungnya, memilih untuk tetap fokus pada tugasnya. Dia membawa nampan berisi minuman ke ruang makan tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Namun, di sudut lain ruangan, seorang pria muda sedang mengamati kejadian itu dengan ekspresi datar. Reiner, yang baru saja turun dari tangga, diam-diam memperhatikan bagaimana Elise bergerak. Tidak ada senyum atau sapaan dari bibirnya, hanya sorot mata tajam yang mengikuti setiap langkah Elise. "Dia benar-benar berbeda," pikir Reiner sambil menyandarkan tubuhnya di dinding, tak menyadari bahwa dia sudah menghabiskan beberapa menit hanya untuk mengawasi gadis itu. --- Elise membawa nampannya menuju ruangan Tuan Abraham. Langkah kakinya hati-hati, seraya memastikan gelas dan piring di atas nampan tidak bergoyang terlalu keras. Saat dia mencapai pintu yang megah dengan ukiran kayu khas kolonial, tangannya yang hendak mengetuk terhenti mendadak. Suara langkah kaki yang berat terdengar dari arah belakangnya. "Menarik sekali..." Suara itu rendah, dingin, dan membuat bulu kuduk Elise meremang. "Tu-Tuan Reiner?" Elise menelan ludah, berusaha mengontrol keterkejutannya. Matanya bertemu dengan tatapan tajam pria itu, penuh evaluasi dan sedikit... meremehkan. Reiner berdiri dengan santai, bahunya yang lebar sedikit miring saat dia menyunggingkan senyum penuh arti. "Huh, sialnya kamu cuma seorang pelayan," katanya lirih, hampir seperti bergumam. "A-apa?" Elise tertegun. Meski ucapannya lirih, kata-kata itu menggema jelas di telinganya. Reiner tidak menjawab. Dia hanya memutar tubuhnya, berbalik, dan melangkah menjauh. Bahunya tegap, gerakannya penuh percaya diri, meninggalkan Elise dengan rasa panas di pipi dan dada. Jari-jarinya mencengkeram tepian nampan, gemetar antara marah dan menahan diri. Hanya seorang pelayan? Rahangnya mengeras, tapi dia tahu, membalas hanya akan berakhir dengan masalah besar. Dengan desahan panjang, dia kembali fokus pada tugasnya. "Selamat pagi, Tuan Abraham." Elise akhirnya melangkah masuk ke ruangan majikannya. Ruangan itu langsung membungkusnya dengan aroma kayu mahoni dan kulit tua dari kursi-kursi mewah yang berjajar rapi. Dindingnya dipenuhi rak buku yang menjulang, penuh dengan koleksi yang tampak antik dan mahal. Sebuah meja besar di tengah ruangan dihiasi lampu meja berbahan kuningan. Elise menelan rasa kagumnya, mencoba untuk tidak terlihat terlalu terpesona. "Saya bawakan sarapan untuk Anda, Tuan," katanya dengan nada lembut. "Taruh saja di meja," jawab Abraham tanpa menoleh. Lelaki tua itu sedang duduk di kursi goyang, bersandar santai dengan koran yang terbuka di pangkuannya. Elise menuruti perintah itu, meletakkan nampan di atas meja dengan hati-hati. Namun sebelum dia bisa berpaling, suara Abraham menghentikannya. "Kamu sudah sarapan, Elise?" tanyanya, kali ini dengan nada yang lebih personal. Elise tersenyum kikuk. "Sudah, Tuan. Saya sarapan di rumah bersama adik saya." "Bagus. Kemarilah." Abraham melipat koran, menyingkirkan kacamatanya ke meja kecil di sebelahnya. Tatapannya yang tajam namun bijak membuat Elise merasa was-was. "Ada apa, Tuan? Apa ada yang lain?" tanyanya dengan sopan, mendekat sambil meremas ujung celemeknya. "Aku mempekerjakanmu di sini untuk melayaniku," ucap Abraham pelan, namun nadanya penuh otoritas. Elise mengangguk, memperhatikan setiap kata dengan hati-hati. "Aku juga ingin kamu membantu Reiner." Jantung Elise terasa berhenti berdetak sejenak. "Ma-maksud Tuan bagaimana? Maaf... saya kurang paham," tanyanya dengan suara nyaris bergetar. Abraham mendesah, seolah merasa tak perlu menjelaskan lebih banyak. "Reiner punya banyak kebutuhan yang mungkin tidak akan dia ungkapkan padaku. Aku butuh seseorang yang bisa memastikan semuanya berjalan lancar. Kamu akan bertugas memastikan dia terurus dengan baik. Will akan memberimu arahan lebih lanjut." Elise menelan ludah, hatinya bercampur aduk antara kebingungan dan kekhawatiran. "Baik, Tuan," jawabnya singkat, meski sebenarnya masih ada seribu pertanyaan di benaknya. "Bagus." Abraham tersenyum kecil, tapi sorot matanya tetap serius. Elise menunduk hormat, lalu keluar dari ruangan dengan langkah yang sedikit berat. Di luar, udara terasa lebih dingin, atau mungkin itu hanya perasaannya. Pikiran tentang Reiner dan ucapannya tadi masih menggantung di kepalanya. "Kenapa aku harus mengurus pria itu? Bakankah sebelumnya sudah ada pelayan yang mengurusnya?" gumamnya pelan. Namun, dia tahu satu hal: menolak perintah Tuan Abraham bukanlah pilihan. ---Suara langkah kaki terdengar di sepanjang lorong marmer rumah keluarga Barack yang megah. Elise berjalan pelan mengikuti Will, pria berkacamata dengan setelan rapi yang selalu tampak seperti bayangan Tuan Abraham. Pagi ini, tugas Elise bertambah berat setelah arahan baru yang diberikan langsung oleh sang majikan.“Jadi, seperti yang Tuan Abraham katakan, mulai hari ini, kamu akan mengurus keperluan Tuan Reiner setiap pagi,” jelas Will sambil menyerahkan selembar kertas.Elise menerima kertas itu dengan ragu. Pandangannya menyapu barisan huruf yang tertera:Pakaian kerja harus tersedia di kamar jam 6 pagi.1. Segelas air putih harus tersedia di nakas.2. AC harus disetel pada suhu 24 derajat, tidak boleh lebih dingin.3. Dilarang mengeluarkan suara yang berpotensi membangunkan Tuan Reiner.4. Setelah Tuan Reiner bangun, sarapan harus siap di meja makan.5. Dilarang memasuki kamar tanpa izin setelah Tuan Reiner bangun.6. Aroma ruangan harus berganti setiap hari, sesuai dengan yang sud
Pagi itu, suasana ruang makan terasa tenang dan hangat oleh aroma roti panggang dan kopi. Elise baru saja selesai mengurus keperluan Reiner dan langsung bergegas membawa nampan sarapan untuk Tuan Abraham. Kebiasaan sang majikan memang berbeda dari anggota keluarga lainnya—Abraham selalu menikmati sarapan di ruang pribadinya, jauh dari hiruk-pikuk rumah besar itu.Elise mengetuk pintu dengan sopan.“Masuk,” terdengar suara berat Abraham dari dalam.Ketika Elise masuk, ia disambut oleh keheningan ruang kerja Abraham, yang dikelilingi oleh rak buku tinggi. Beliau duduk di kursi malasnya, tatapannya beralih dari buku yang sedang dibaca ke Elise.“Selamat pagi, Tuan,” ujar Elise lembut sambil menaruh nampan di atas meja kecil di samping kursi.“Pagi,” balas Abraham sambil melipat buku dan meletakkannya di pangkuan. “Kau sudah terbiasa bekerja di sini, Elise?”“Sudah cukup terbiasa, Tuan. Meski... masih banyak yang perlu saya pelajari,” Elise menjawab jujur, menundukkan kepala sedikit.“Bag
Eva Myles, dengan keanggunannya yang tak terbantahkan, melangkah masuk. Tubuhnya tegak, wajah ovalnya dihiasi senyuman tipis yang tampak ramah namun penuh dominasi. Rambut panjangnya yang bergelombang tergerai sempurna di atas blazer putih dan rok pensil hitam. Setiap langkahnya terdengar seperti irama sepatu hak tinggi di atas lantai, membuat semua mata karyawan yang semula sibuk mendadak menoleh.“Dia datang lagi,” bisik seorang resepsionis kepada rekannya.“Berani sekali, ya. Padahal semua tahu Tuan Reiner tidak menyukainya,” jawab yang lain dengan nada rendah."Kalian ingat tentang kabar di pesta waktu itu? Ugh! Harusnya dia malu."Eva tak memedulikan bisik-bisik itu. Baginya, mereka hanyalah bagian dari pemandangan sehari-hari. Dengan tenang, ia berjalan menuju lift, menekan tombol menuju lantai eksekutif tanpa meminta izin siapa pun.Setibanya di lantai atas, sekretaris pribadi Reiner, Hanna, mencoba menghadangnya dengan senyum profesional. “Nona Eva, Tuan Reiner sedang sibuk de
Para pelayan sibuk dengan tugas masing-masing, sementara di ruang tamu, Barbra sedang menikmati teh sore di meja kecil berukir elegan. Suara langkah sepatu hak tinggi yang mendekat segera menarik perhatian semua orang.Eva muncul dengan anggun, mengenakan dress pastel berpotongan sederhana namun tetap memancarkan aura kemewahan. Rambut panjangnya yang bergelombang tergerai rapi, dan senyum manis menghiasi wajah ovalnya. Namun, di balik senyum itu, ada rasa percaya diri yang nyaris menyerupai kesombongan.“Tante Barbra, sayang,” sapanya sambil mendekati ibu Reiner. “Kukira sore ini akan membosankan, tapi ternyata aku punya alasan untuk berkunjung.”Barbra tersenyum kecil, menyesap tehnya sebelum menjawab, “Eva, sayangku. Selalu menyenangkan melihatmu. Apa yang membawamu ke sini?”Eva meletakkan kantong belanja di meja samping, penuh dengan berbagai oleh-oleh mahal. “Aku hanya ingin berbagi sedikit hadiah untukmu, Om Gale, dan bahkan para pelayan. Sudah lama aku tidak mampir.”Barbra te
Elise membawa gelas kosong keluar dari kamar Reiner. Langkahnya pelan, berusaha tidak menarik perhatian siapa pun, namun suara langkahnya di lantai kayu tetap terdengar samar. Setibanya di dapur, ia langsung meletakkan gelas di wastafel dan mulai mencuci beberapa piring serta gelas kotor yang tertumpuk.Ruang makan di sebelah dapur tampak sepi. Namun, keheningan itu tidak berlangsung lama. Elise menyadari seseorang masuk ke dapur dengan langkah santai. Ia tidak perlu menoleh untuk tahu siapa itu—aroma parfum yang lembut namun mewah sudah memberinya jawaban. Eva."Elise, ya?" suara Eva terdengar ramah, hampir terlalu ramah. Elise menoleh sejenak, hanya untuk mengangguk sopan.Eva duduk di kursi ruang makan, mengambil selembar roti tawar dari keranjang di atas meja, lalu mulai mengoleskan selai stroberi dengan gerakan lambat."Sudah lama bekerja di sini?" tanyanya tanpa melihat Elise, seolah-olah pertanyaan itu hanya basa-basi.Elise, yang terus mencuci piring, menjawab singkat, "Belum
Langit pagi memancarkan cahaya lembut melalui tirai jendela yang sedikit terbuka, memberikan kesan hangat pada kamar Reiner. Elise bergerak dengan hati-hati, membersihkan kamar yang luas itu. Dengan tangan terampil, ia mengganti pengharum ruangan, mengelap meja kecil, dan menyiapkan pakaian untuk Reiner di atas sofa. Earphone yang terselip di telinganya membuatnya sesekali menggoyangkan kepala mengikuti irama lagu yang ia dengarkan, tanpa sadar tubuhnya meliuk dengan santai.Di atas ranjang, Reiner membuka matanya perlahan. Ia telah bangun beberapa saat sebelumnya, tetapi memilih tetap diam, memperhatikan gerakan Elise. Sebuah seringai muncul di wajahnya saat melihat pelayan itu bekerja dengan ekspresi serius yang, entah bagaimana, tampak menggemaskan. Elise, tanpa menyadari bahwa dirinya tengah diawasi, bergumam kecil."Kenapa harus bekerja di kamar orang yang masih tidur? Aneh sekali aturannya..." suaranya lirih, tetapi cukup jelas untuk didengar oleh Reiner."Aku tidak keberatan,"
Elise sedang mengelap meja dapur masih sambil berbicara dengan Will, yang baru saja selesai membawa bahan makanan ke pantry. Mereka berbicara ringan, membahas rutinitas di rumah besar itu. Elise tersenyum kecil mendengar lelucon Will, meskipun dia tetap menjaga agar fokus pada pekerjaannya.“Jadi, kau sudah mulai terbiasa di sini?” tanya Will sambil bersandar di dinding, melihat Elise dengan penuh rasa ingin tahu.Elise mengangguk kecil. “Ya, walaupun ada beberapa hal yang masih harus kupelajari.”Will menyeringai. “Bagus. Tapi hati-hati, rumah ini penuh dengan aturan tak tertulis. Jangan sampai salah langkah, terutama dengan…”Sebelum Will menyelesaikan kalimatnya, terdengar suara lantang dari arah tangga. “Elise!”Suara berat Reiner menggema, membuat Elise spontan berhenti bergerak. Para pelayan yang berada di dapur langsung menoleh, saling berbisik dengan tatapan penuh arti.“Lagi-lagi dia memanggil Elise,” bisik seorang pelayan muda pada rekannya. “Apa sebenarnya yang terjadi?”“K
Malam semakin larut, dan Elise menahan napas saat berdiri di depan pintu kamar Reiner yang setengah terbuka. Cahaya lampu redup dari dalam membuat ruangan itu terlihat semakin megah sekaligus menyeramkan. Namun, dia tidak punya pilihan lain. Alat pemutar musik milik adiknya, Lily, mungkin terjatuh di kamar ini saat dia merapikan ruangan tadi pagi. Itu barang yang penting, dan dia tidak bisa pulang tanpa menemukannya.Elise melangkah masuk dengan hati-hati, hampir tanpa suara. Jantungnya berdegup kencang, seolah memberontak dari dadanya. Matanya menyapu ruangan yang sunyi, sementara kakinya bergerak pelan menuju area dekat keranjang pakaian kotor. Tidak ada apa-apa di sana. Dengan frustrasi, Elise mulai mencari di sudut lain, memeriksa meja kecil di dekat tempat tidur, dan rak buku tinggi di sisi ruangan.Langkahnya terhenti saat sebuah benda jatuh dari salah satu rak. Selembar foto usang melayang perlahan ke lantai, tepat di kakinya. Elise meraih foto itu dengan ragu, lalu membalikkan
Tobey duduk di kursi, wajahnya tegang dan penuh kemarahan. Tangan kanannya mencengkeram sandaran kursi dengan erat, sementara tangan kirinya meremas ponsel, matanya terpaku pada foto yang ada di layar—sebuah gambar pria yang tak lain adalah ayah Elise. Ketika matanya menyapu ruang itu, ia mendapati bawahannya masih sibuk mengutak-atik komputer, mencoba mencari solusi dari teka-teki yang membuatnya semakin jengkel. "Damn!" Tobey mengumpat kasar, suaranya serak penuh kekesalan. "Kau memang serakah, Harrys! Bahkan setelah mati, kau masih menyusahkan hidupku!" Ia melemparkan ponselnya ke meja dengan kasar, kemudian berdiri dan berjalan mondar-mandir, berpikir keras. Ruangan itu terasa semakin sempit, seolah-olah setiap sudutnya menekan perasaan Tobey yang semakin membara. Di ambang pintu, Karl muncul, memandangnya dengan wajah ragu-ragu. “Apakah mungkin kode sandinya ulang tahun Roseta?” Tobey menoleh, matanya menyipit dengan keraguan. "Itu terlalu mudah, Karl." Suaranya terdengar taj
Di dalam ruangan yang cukup terang, suasana semakin tegang. Semua mata tertuju pada brankas besar yang terletak di tengah ruangan. Ahli IT yang duduk di depan komputer mulai mengoperasikan alatnya, dan layar di hadapannya menunjukkan data yang bergerak cepat. Semua orang menunggu dengan cemas, menyadari bahwa brankas itu hanya bisa dibuka dengan sidik jari yang cocok. Tentu saja, itu hanya masalah waktu. Tak lama lagi, brankas itu akan terbuka, dan rahasia yang tersembunyi di dalamnya akan terungkap. Semua mata kini beralih ke Elise yang terikat di sudut ruangan. Wajahnya tampak pucat dan penuh kecemasan. Tiba-tiba, salah satu suruhan lainnya yang tampaknya bertugas menjaga keamanan ruangan, berjalan mendekat dengan ekspresi cemas. Wajahnya menunjukkan ketegangan. "Tuan, kami mendeteksi gerakan di sekitar gedung. Sepertinya ada orang lain yang mendekat." Tobey mengerutkan keningnya, lalu mengalihkan pandangannya ke Elise yang duduk di sudut ruangan, tampak semakin ketakutan. Tata
Pagi itu, tubuh Elise tersentak hebat, seakan terbangun dari mimpi buruk yang terlalu nyata. Matanya langsung terbuka lebar, menatap langit-langit gelap di atasnya. Napasnya memburu, dadanya naik-turun seiring ketakutan yang belum sepenuhnya hilang dari pikirannya. Dia bergumam pelan, hampir tidak terdengar, "Sudah pagi ternyata..." Namun, pagi itu tidak membawa ketenangan. Elise masih terikat di kursi kayu keras, dengan tali yang menggerus pergelangan tangannya. Dia mencoba lagi untuk membebaskan diri, menarik-narik tali bergantian dengan penuh harap, tetapi usahanya hanya membuat kulitnya semakin memerah dan perih. Rasa sakit itu seperti memperingatkan bahwa kebebasan masih jauh dari jangkauan. Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat. Elise segera berhenti bergerak, memejamkan mata, dan menyandarkan kepalanya ke dinding. Dia berpura-pura tidur, mencoba mendengarkan percakapan yang terjadi di luar ruangannya. "Tuan akan langsung membawa dia pergi?" suara berat Karl terde
Pukul delapan malam, suasana di luar rumah Eddie masih tampak tenang. Reiner memarkir mobilnya di depan pagar yang sudah mulai berkarat. Langkahnya terdengar berat dan cepat di atas jalan setapak menuju pintu utama. Ketika pintu terbuka, Eddie—dengan rambutnya yang mulai memutih dan postur tubuh sedikit membungkuk—terlihat terkejut mendapati Reiner berdiri di ambang pintu dengan ekspresi tegang. “Silakan masuk, Tuan... sepertinya ada yang genting,” kata Eddie sambil mempersilakan Reiner masuk ke ruang tamu. Tanpa menunggu basa-basi, Reiner langsung membuka pembicaraan. “Apa kau masih sering menemui Karl?” Kening Eddie berkerut. Nama itu seperti pisau tua yang kembali mengiris luka lama. “Ada apa dengan Karl?” tanyanya penuh kebingungan. Reiner mendesah berat, mencoba menahan ledakan emosinya. “Elise hilang.” Mata Eddie membelalak. “E-Elise hilang? Bagaimana bisa, Tuan?” Reiner meraup wajahnya dengan kasar, frustrasi. “Kau tahu kira-kira Karl tinggal di mana? Kau itu kakak kandun
Tubuh Elise gemetar, kedua tangannya terikat erat di belakang punggung, sementara kakinya dililit tali yang sama kuatnya. Lakban menutup rapat mulutnya, membuatnya hanya bisa mengeluarkan suara samar dari tenggorokannya. Dia duduk bersimpuh di lantai, punggungnya bersandar pada sebuah lemari kayu yang besar. Perlahan, Elise membuka matanya. Pandangannya buram pada awalnya, tapi sedikit demi sedikit, ruangan itu mulai terlihat jelas. Cahaya remang dari sebuah lampu gantung tua memantulkan bayangan menyeramkan di dinding. Jantungnya berdegup kencang saat ia menyadari bahwa dirinya berada di tempat asing, dalam kondisi tidak berdaya. Suara langkah kaki terdengar mendekat. Karl muncul dari kegelapan, mengenakan jaket kulit yang terlihat usang. Wajahnya dihiasi seringaian dingin yang mengirimkan hawa menakutkan ke seluruh ruangan. "Bangun juga kau, Elise," ucap Karl dengan nada mengejek, matanya menyipit tajam saat dia mendekati tubuh Elise yang terikat. Elise berusaha menggerakkan tub
Polisi mulai sibuk bergerak, menyebar ke seluruh area bangunan tua yang telah lama terbengkalai di tengah hutan. Mereka menggedor setiap sudut, membuka pintu-pintu berkarat dan menyisir ruang-ruang yang diselimuti debu tebal. Meskipun bangunan ini sudah lama ditinggalkan, tidak ada yang tahu bahwa di dalamnya masih tersimpan sesuatu yang sangat penting, sesuatu yang bisa mengubah banyak hal."Dua langkah ke kiri!" perintah seorang polisi dengan suara tegas saat ia menyisir ruang yang dipenuhi komputer-komputer tua dan alat-alat aneh. Dalam salah satu sudut ruangan, sebuah brangkas besar berdiri tegak, menunggu untuk dibuka oleh Tobey. Tapi kini, brangkas itu hanya menjadi objek misteri bagi para penyelidik."Jangan bergerak! Kalian sudah terkepung!" teriak polisi lain yang sudah mengarahkan senjata mereka ke empat orang yang berada di dalam ruangan tersebut. Para pengikut Tobey terkejut, namun mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Tangan mereka terangkat ke udara sebagai tanda menyerah.
Kediaman Keluarga BarackReiner memarkir mobil di area halaman, suara mesin yang berhenti menarik perhatian Will yang sedang duduk di pos bersama para penjaga. "Baru pulang, Tuan?"Reiner hanya mengangguk singkat, kemudian berjalan masuk ke dalam rumah. Udara di dalam terasa hangat, namun pikirannya tidak. Ada sesuatu yang mengganjal sejak dia melihat barang berserakan di jalan pinus tadi.Saat tiba di ruang tengah, suaranya bergema, memanggil, "Elise!"Yang muncul bukan Elise, melainkan Clara, dengan wajah sedikit ragu."Maaf, Tuan... Elise sedang tidak di rumah."Kening Reiner langsung berkerut, nada suaranya berubah. "Kemana dia?" "Saya kurang tahu, Tuan. Dari siang saya tidak melihat Elise."Reiner terdiam, pikirannya langsung berputar. Dia berjalan menuju tangga, melangkah ke lantai dua sambil mencoba menenangkan diri.Reiner membatin, "Apa dia pergi menemui ayah dan adiknya lagi? Atau ke galeri seni seperti biasa?"Tapi kenapa tidak ada pesan? Dia merogoh ponsel dari saku cela
Siang itu, matahari bersinar terang di halaman rumah keluarga Barbra. Elise sedang sibuk menyapu dedaunan kering yang berguguran. Dengan gerakan cepat, ia mencoba menyelesaikan pekerjaannya, namun perhatiannya terusik oleh percakapan yang terjadi di teras depan. "Reiner sering sekali mencuri pandang padaku waktu itu," suara Olivia terdengar jelas, diiringi tawa kecil. "Ah, aku ingat itu. Anak itu selalu mencari alasan untuk bertemu denganmu," sahut Barbra dengan nada bercanda, tetapi ada kehangatan di dalamnya. Mendengar obrolan itu, Elise menghentikan gerakan sapunya. Ia berdiri di balik pohon besar, mencuri dengar pembicaraan mereka. Dadanya terasa sedikit sesak, meskipun ia sendiri tidak mengerti mengapa. Olivia melanjutkan, "Dia benar-benar berbeda saat itu, Bibi. Lebih hangat, lebih perhatian. Tapi, yah, waktu memang mengubah segalanya." Elise mendengus pelan, mencoba mengalihkan rasa tak nyaman dengan menyapu daun-daun kering lebih keras. Tak lama kemudian, Reiner muncul da
Pagi itu, Elise sudah berdiri di depan kamar Reiner, memeluk keranjang pakaian yang semalam harus ia setrika ulang. Matanya menatap pintu kayu itu dengan ragu. Dia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri sebelum mengetuk. Namun, sebelum tangannya sempat menyentuh pintu, gagang pintu itu berputar, dan sosok Olivia muncul dari dalam. Olivia menguap kecil, tampak santai dengan piyama satin yang terkesan mahal. Rambutnya tergerai rapi, meskipun baru saja bangun tidur. Elise membeku. Pandangan mereka bertemu, dan Olivia tampak terkejut. “Eh, Elise? Kau di sini pagi-pagi sekali?” tanya Olivia sambil merapikan rambutnya. Elise menelan ludah. “Sa-saya… saya mau mengantar pakaian, Nona. Semua harus rapi sebelum Tuan Reiner bangun.” “Oh, begitu ya?” Olivia tersenyum tipis sambil menyingkir memberi jalan. “Silakan masuk saja.” Elise mengangguk canggung, melangkah masuk ke kamar sambil memeluk keranjang pakaian erat-erat. Dia tidak berani menoleh, tetapi langkah Olivia yang gemulai ta