Setelah menyelesaikan makan malam sederhana dengan adiknya, Lily, Elise duduk di kursi tua di teras rumah mereka. Hujan masih turun dengan lembut, menciptakan simfoni alam yang menenangkan, meski pikirannya penuh dengan hal-hal yang tidak terjawab.Elise memandang jalanan yang basah, mencoba meredakan ketegangan yang masih terasa sejak kejadian di kamar Reiner. Namun, rasa penasaran kembali menghantui pikirannya."Kenapa semua pelayan selalu berhenti bekerja di rumah itu?" Elise bergumam pelan, hampir seperti bicara pada dirinya sendiri.Selama bekerja, dia sering mendengar cerita dari pelayan lain. Rumah besar itu, meski megah, seperti memiliki atmosfer yang membuat orang-orang merasa tertekan. Beberapa menyebut nama Reiner dengan nada takut, yang lainnya hanya menggelengkan kepala ketika ditanya soal keluarga tersebut. Bahkan Will, yang biasanya ramah, tampak sangat berhati-hati jika bicara tentang majikannya.Elise mengingat kembali salah satu pembicaraan para pelayan di dapur. Sal
Pagi itu, Elise berusaha menenangkan pikirannya, berusaha meredakan rasa lelah yang masih mengendap di tubuhnya setelah malam yang panjang. Ruang kerja Tuan Abraham terasa lebih sunyi dari biasanya, hanya suara sikatnya yang terdengar saat ia membersihkan rak-rak buku yang tak terjamah debu. Namun, saat memasuki bagian ruangan yang lebih jauh, ia mendengar suara percakapan yang datang dari kantor Tuan Abraham—suara pria yang dikenal, namun ada ketegangan yang terasa di udara.Tuan Abraham dan Reiner, keduanya terlibat dalam percakapan yang cukup serius. Elise berhenti sejenak, hati-hati mendekati pintu untuk mendengarkan lebih jelas."…mengapa kau masih terus berulang kali mengungkit masalah itu? Apa kau pikir kakek tidak tahu?" suara Abraham terdengar tegas, disertai suara kursi yang bergerak."Aku cuma ingin agar ini beres." Reiner, dengan nada yang jauh lebih dingin, menjawab. "Kita sudah tahu apa yang terjadi pada pengiriman itu. Aku sudah memeriksa semuanya. Tapi ada yang aneh—ad
Reiner duduk di depan meja besar di kamarnya, matanya kosong menatap dokumen-dokumen yang berserakan di atasnya. Pikiran-pikirannya melayang, kembali pada percakapan yang baru saja terjadi dengan kakek dan ayahnya. Nama Padma Lawrent kembali terngiang di kepalanya—wanita itu, wajah cantiknya yang pernah mengisi ruang hatinya, muncul begitu saja, seperti bayangan yang sulit dihapus. Lima tahun telah berlalu, namun kenangan itu seakan tak pernah benar-benar pergi.Dia menghela napas panjang, berusaha menyingkirkan perasaan yang kian mengganggu. Suasana hening di kamarnya hanya terdengar oleh bunyi detakan jam di dinding. Namun, ada sesuatu yang tidak bisa dia hindari. Sesuatu yang lebih besar dari sekadar kenangan. Pengiriman minyak yang menghilang, informasi yang terus datang, dan keraguan yang mulai mengganggu benaknya. Apakah ini ada hubungannya dengan Padma? Dengan keluarganya? Dengan apa yang sudah terjadi?“Tuan, kenapa masih melamun?” suara Danny menginterupsi lamunan itu, menega
Malam telah larut, namun jalanan masih ramai dengan kendaraan yang berlalu-lalang. Reiner berjalan di trotoar, tangan dimasukkan ke dalam saku jasnya, langkahnya berat setelah beberapa gelas alkohol yang diminumnya. Meski wajahnya tetap dingin, pikirannya dipenuhi oleh nama yang baru saja disebutkan Eva.Eva, mengenakan gaun merah mencolok yang pas dengan tubuhnya, berusaha mengimbangi langkah Reiner yang lebih panjang darinya. Sepatu hak tinggi yang ia kenakan berbunyi di atas trotoar, menambah nuansa canggung pada keheningan di antara mereka.“Reiner,” panggil Eva, dengan nada manja, mencoba menarik perhatiannya.Reiner hanya mendengus, tidak memperlambat langkahnya.“Apa benar yang aku dengar tadi?” Eva melanjutkan, “Padma. Siapa dia? Wanita yang pernah kau cintai?”Langkah Reiner terhenti. Dia berbalik, menatap Eva dengan sorot mata tajam yang cukup untuk membuat siapa pun merasa kecil. Tapi Eva tetap berdiri, tidak mundur.“Jangan sebut namanya lagi,” kata Reiner dengan nada rend
Baru saja memasuki jalan sempit yang gelap menuju kediaman Elise, ponsel Reiner bergetar. Nama Danny muncul di layar, dan tanpa ragu, Reiner menekan tombol hijau.“Aku punya kabar soal mobil pengangkut minyak itu,” suara Danny terdengar terburu-buru.Reiner langsung menggenggam setir lebih erat. “Apa? Sudah ketemu?”“Tidak bisa dijelaskan sekarang. Kita harus bicara langsung. Tapi... ini besar, Rin. Sangat besar.”Reiner terdiam sejenak, lalu menutup panggilan tanpa menanggapi lebih lanjut. Matanya menatap jalanan sempit di depan, tetapi pikirannya sudah dipenuhi kemungkinan-kemungkinan buruk.“Elise, keluar sebentar,” katanya begitu mereka tiba di depan rumah Elise.DialogElise mengernyit, ragu-ragu mengikuti perintahnya. “Apa yang terjadi? Kenapa wajahmu tegang seperti itu?”Reiner mendesah, tidak sabar. “Ini bukan urusanmu. Turun sekarang.”Elise membuka pintu dengan ragu, tetapi sebelum dia bisa melangkah jauh, Reiner memanggilnya lagi.“Elise, ke sini sebentar.”Dia mendekat, da
Pagi itu, matahari baru saja muncul di balik horizon. Ruangan di lantai utama rumah megah itu masih terbayang kabut pagi, ketika langkah-langkah berat terdengar dari tangga. Reiner turun dengan langkah tegas, mengenakan pakaian yang rapi meskipun belum terlalu lama dari tidurnya. Ia hanya terbangun beberapa saat lalu, namun rasanya ada sesuatu yang mendorongnya untuk bergerak lebih cepat, menuju tujuan yang sudah ia tentukan.Barbra, yang sedang menyeduh kopi di dapur, menoleh begitu mendengar suara langkah anaknya. Ia melirik jam dinding, terkejut melihat waktu yang masih sangat pagi."Rei?" Barbra bertanya, sedikit kebingungan, sambil menatap anaknya yang sedang melangkah menuju pintu depan. "Mau ke mana? Ini masih pagi sekali."Reiner berhenti sejenak, menatap ibunya. Ekspresinya datar, tak memberi banyak petunjuk."Ke rumah Elise," jawabnya singkat.Barbra terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata Reiner. Namanya terngiang-ngiang di telinganya. Elise. Tidak pernah dalam sejarah
Elise berjalan menuju ruang tengah, wajahnya serius, sementara pikirannya berkecamuk. Eddie sedang duduk di sofa usang, menyalakan rokok dengan santai, seolah-olah tidak ada apa-apa. Di sudut ruangan, Lily bermain dengan boneka lusuhnya, sesekali melirik Elise dengan rasa penasaran.Elise menarik napas panjang sebelum akhirnya berkata, “Ayah, aku harus bicara. Majikanku memintaku tinggal di rumahnya. Dia bilang agar pekerjaanku bisa lebih terkoordinasi.”Eddie mengangkat alis, terkejut, tapi segera menyunggingkan senyum. "Hmm... tinggal di rumah keluarga Barack, ya? Itu kesempatan besar, Elise. Kalau kau pintar, mungkin kau bisa mendekati keluarga itu. Siapa tahu, hidupmu bisa berubah total."Elise menggeleng cepat. Wajahnya menunjukkan ketidaknyamanan mendalam. “Ayah, aku pergi hanya untuk bekerja. Tidak ada niatan lain. Dan aku tahu posisi kita. Pelayan tetap pelayan. Tidak mungkin ada hal lain.”Eddie menatapnya lekat-lekat, tersenyum kecil, tapi ada kilatan licik di matanya. “Elis
Kamar para pelayan terletak di sudut paling belakang rumah megah itu. Ruangannya tidak luas, tida juga sempit dan sederhana, berisi empat ranjang dengan kasur busa yang cukup empuk. Dindingnya polos tanpa hiasan, hanya cat krem yang mulai mengelupas di beberapa sudut. Sebuah lemari pakaian kecil di pojok ruangan tampak penuh sesak dengan pakaian kerja para pelayan. Sebuah jendela kecil di sisi atas ruangan memberikan sedikit cahaya alami, tapi tetap saja, ruangan ini terasa suram dan lembap.Di tengah kamar, terdapat sebuah meja kecil dengan cangkir-cangkir kosong yang masih berserakan. Aroma campuran detergen murah dan sedikit apek memenuhi udara, menambah kesan sederhana yang hampir tidak sebanding dengan kemewahan rumah utama.Saat Elise memasuki kamar, langkahnya terhenti di ambang pintu. Tatapan dingin dari Greta, Marla, dan Celia langsung menusuknya. Ketiganya duduk melingkar di atas ranjang bawah, seperti sedang rapat rahasia."Oh, jadi akhirnya kamu benar-benar pindah ke sini
Elise berdiri di halaman, berhadapan dengan Federic yang tampak semakin tidak sabar. Langit sore mulai memudar, dan suasana di sekitarnya terasa sunyi, hanya diiringi suara lembut angin yang berembus. Elise berusaha tetap tenang, meskipun di dalam hatinya bergemuruh.“Aku tahu Reiner, Elise. Dia memperlakukanmu dengan buruk, kan?” Federic memulai, suaranya terdengar seperti tuduhan.Elise menghela napas panjang, menatap Federic dengan ekspresi lelah. “Tidak, Federic. Kau tidak tahu apa-apa. Tuan Reiner tidak seperti itu. Aku bekerja di sini dan sudah siap dengan segala risikonya.”Federic mendekat, lalu meraih tangan Elise. “Kau harus tahu, Elise. Setelah bertemu lagi, aku sadar perasaanku padamu masih sama. Tidak ada yang berubah.”Elise buru-buru menarik tangannya, merasa canggung dengan jarak di antara mereka. Dia menoleh, sadar bahwa ada yang mengawasi dari balik dinding kaca ruang tamu. “Federic, jangan berlebihan. Tidak enak dilihat orang.”
Elise mondar-mandir di dalam kamar Reiner, tangannya sesekali mencoba menggoyang-goyangkan gagang pintu. Namun, pintu itu tetap terkunci rapat. Helaan napas panjang keluar dari bibirnya yang pucat, sementara pikirannya dipenuhi pertanyaan yang tak terjawab.“Sebenarnya, kenapa aku harus dikurung di sini?” desah Elise lirih, lebih kepada dirinya sendiri.Ia melirik ke arah jendela yang memantulkan bayangan dirinya. Wajahnya tampak kusut, rambutnya sedikit berantakan akibat gerakan gelisahnya. Elise mengusap pelipisnya, mencoba menenangkan diri.Di lantai bawah, Federic duduk santai di ruang tamu, berhadapan dengan Abraham. Meskipun suasana terlihat tenang, ada ketegangan terselubung di antara mereka.“Kenapa kau datang-datang langsung bertanya tentang Elise?” Abraham memecah keheningan dengan nada rendah, tetapi penuh tekanan. “Kau kenal Elise?”Federic menyunggingkan senyum lebar. “Tentu saja kenal, Kakek. Dia teman lamaku, bahkan bisa di
Setelah keluar dari mobil, Reiner disambut oleh Hanna yang tampak gelisah. Perempuan itu berjalan cepat ke arahnya dengan wajah panik."Kenapa, Hanna? Wajahmu panik begitu?" tanya Reiner sambil merapikan jasnya."Ada tamu di ruangan Tuan," jawab Hanna dengan napas sedikit tersengal.Reiner mengerutkan kening. "Tamu? Siapa?""Sepupu Tuan," jawab Hanna dengan nada pelan tetapi penuh tekanan.Langkah Reiner terhenti sejenak, matanya menyipit tajam. "Untuk apa Federic ke sini?" gumamnya.Tanpa menunggu jawaban, Reiner melangkah cepat menuju tangga yang mengarah ke ruangannya. Hanna, yang terlihat enggan menaiki tangga, mendesah berat tetapi tetap membuntutinya.Sesampainya di ruangan, Reiner mendorong pintu dengan sedikit tenaga lebih. Di dalam, Federic sudah duduk santai di sofa dengan senyum lebar, seperti sedang menikmati pemandangan."Reiner, sepupuku sayang!" seru Federic sambil membuka kedua tangannya seolah i
Elise merasakan seluruh tubuhnya seperti dihantam ombak besar yang membuatnya terseret ke dasar laut. Setiap gerakan terasa pegal dan perih, terutama di bagian tubuh yang tak biasa disentuh sebelumnya. Begitu kedua matanya terbuka, ia baru menyadari sepenuhnya apa yang terjadi semalam—sebuah kenyataan yang membuatnya merasa tersudut."Astaga, Elise!" umpatnya pelan, sambil menarik diri dengan cepat dari tubuh yang ada di sampingnya. Jantungnya berdebar kencang, dan rasa malu mulai merayap di dalam diri. Tangannya mencengkeram ujung selimut, matanya celingukan, dan saat melihat pakaian tergeletak di lantai, kepalanya terasa berat."Apa yang sudah aku lakukan?" gumam Elise pada dirinya sendiri. Suaranya serak, suara yang penuh kebingungannya sendiri.Tiba-tiba, ada pergerakan dari samping, dan Elise terkejut saat melihat Reiner mulai melenguh pelan sebelum akhirnya tersenyum santai."Selamat pagi..." kata Reiner dengan nada lembut yang terdengar beg
Sesampainya di rumah, Will turun lebih dulu dari mobil. Dia membuka pintu untuk Reiner yang tampak terhuyung-huyung. Namun, bukannya mengikuti arahan Will, Reiner malah meracau dengan suara serak."Aku mau sama dia," gumam Reiner sambil merangkul Elise. "Kau pergi saja, Will."Will menatap Elise, yang terlihat canggung dengan situasi ini. Mereka saling pandang sejenak, seolah mencoba mencari solusi terbaik."Tidak apa-apa, Will," kata Elise akhirnya, meskipun suaranya terdengar ragu. "Tuan Reiner masih bisa berjalan. Aku akan bantu memapahnya ke kamar."Will mengerutkan dahi. "Kau yakin, Elise?"Elise mengangguk pelan, meski dalam hati dia merasa kewalahan. Reiner semakin berat bersandar padanya, sementara tangannya bermain-main dengan rambut Elise, membuat wajahnya memerah."Ayo, Tuan, saya antar ke kamar," ujar Elise, melingkarkan satu tangan di pinggang Reiner. Dengan susah payah, dia memapah Reiner menaiki tangga.Di
Reiner tidak memberi Elise kesempatan untuk menjauh. Bahkan ketika dia diminta memberikan pidato singkat, Reiner tetap meminta Elise berdiri di dekat panggung kecil, cukup terlihat oleh semua tamu.Tatapan tajam dari beberapa orang dan bisik-bisik yang mulai terdengar membuat Elise merasa sangat tidak nyaman. Dia menggenggam ujung gaunnya dengan gugup, ingin segera keluar dari ruangan ini."Dia itu siapa?" bisik salah satu tamu wanita sambil mencuri pandang ke arah Elise."Aku kurang tahu, tapi dia bersama Tuan Reiner terus sedari tadi," sahut yang lain. "Bahkan Nona Eva dan Olivia tidak dihiraukan olehnya."Pidato singkat Reiner berakhir, disambut tepuk tangan riuh. Saat dia turun dari panggung, alunan musik mulai menggema, mengundang para tamu untuk berdansa di ballroom.Langkah Reiner baru saja menjejak lantai ketika Olivia mendekat dengan senyum memikat. "Reiner, mau dansa denganku?" tanyanya, suaranya lembut namun cukup keras untuk d
Lampu kristal besar bergantung di tengah aula, memancarkan kilauan yang memantul di lantai marmer yang licin seperti cermin. Musik klasik lembut mengalun dari orkestra kecil di sudut ruangan, menciptakan suasana elegan yang memikat. Meja-meja prasmanan penuh dengan hidangan mewah—seafood segar, aneka keju, dan dessert berlapis cokelat berkilau.Reiner melangkah masuk dengan penuh percaya diri, mengenakan setelan hitam yang membuatnya terlihat semakin gagah. Aura karismanya langsung menarik perhatian seluruh tamu, terutama para wanita yang tak henti-hentinya berbisik."Siapa perempuan itu?" bisik salah satu tamu wanita sambil menatap Elise yang berjalan di samping Reiner."Kenapa dia datang bersama Tuan Reiner?" sambung yang lain, suaranya nyaris terdengar iri."Mereka terlihat tidak cocok."Tatapan tajam dan senyum sinis mulai bermunculan, membuat Elise merasa seperti pusat perhatian yang tak diinginkan. Tangannya semakin gemetar, tetapi
Satu hari berlalu…Elise duduk di atas ranjang kecilnya, kedua kaki terlipat, sementara tangannya memegang erat sebuah paperbag. Wajahnya tampak termenung, seolah memikirkan sesuatu yang berat."Sepertinya di sana bukan tempatku," gumam Elise pelan, tatapannya kosong. "Tapi Tuan Reiner memintaku ikut."Tangannya perlahan merogoh ke dalam paperbag, merasakan kain halus yang tersimpan di dalamnya. Sebuah gaun elegan berwarna hitam yang dibelikan Reiner kemarin. Elise menarik gaun itu perlahan, jemarinya menyentuh setiap detail kainnya.Namun, suasana hening itu tiba-tiba pecah. Dari balik pintu, suara berbisik terdengar samar. Sebelum Elise sempat bereaksi, Greta muncul bersama Sofia dan Clara, dengan cepat menyambar paperbag dari tangannya."Apa ini isinya?" tanya Greta dengan nada penuh penasaran. Senyumnya menyeringai, penuh ejekan."Kembalikan padaku!" Elise langsung bangkit dari ranjang, wajahnya memerah karena marah dan malu.
Elise dan Reiner masih berada di kamar. Niatnya Elise ingin keluar untuk menemui ayahnya, tapi Reiner melarangnya dengan alasan tidak mau sendirian di kamar sempit ini.Sementara itu, di ruang tengah yang terhubung dengan ruang makan, Lily baru saja meletakkan minuman untuk dua tamunya di atas meja."Kakak Elise kemana, Ayah?" tanya Lily.Eddie sedang mencuci tangan menjawab. "Kakakmu sedang mengantar Tuan Reiner untuk istirahat.""Aku panggil saja ya, biar ikut makan siang."Dengan cepat Eddie mencegah langkah putrinya itu, "Tidak usah, Lily. Nanti kakakmu pasti ke sini."Akhirnya Lily mengangguk, lalu berlanjut menata makan siang di atas meja. Meski umurnya baru menjelas sebelah tahun, Lily cukup pandai untuk membuat makanan. Ya, meskipun aja beberapa lembar omelet dan salad.Di dalam kamar, Elise mondar-mandir dengan gelisah. Dia sesekali melirik ke arah Reiner yang masih bersandar di ujung ranjang dengan tiga tumpuka