Share

Bagian 17

Penulis: Irma W
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-26 11:20:19

Pagi itu, Elise berusaha menenangkan pikirannya, berusaha meredakan rasa lelah yang masih mengendap di tubuhnya setelah malam yang panjang. Ruang kerja Tuan Abraham terasa lebih sunyi dari biasanya, hanya suara sikatnya yang terdengar saat ia membersihkan rak-rak buku yang tak terjamah debu. Namun, saat memasuki bagian ruangan yang lebih jauh, ia mendengar suara percakapan yang datang dari kantor Tuan Abraham—suara pria yang dikenal, namun ada ketegangan yang terasa di udara.

Tuan Abraham dan Reiner, keduanya terlibat dalam percakapan yang cukup serius. Elise berhenti sejenak, hati-hati mendekati pintu untuk mendengarkan lebih jelas.

"…mengapa kau masih terus berulang kali mengungkit masalah itu? Apa kau pikir kakek tidak tahu?" suara Abraham terdengar tegas, disertai suara kursi yang bergerak.

"Aku cuma ingin agar ini beres." Reiner, dengan nada yang jauh lebih dingin, menjawab. "Kita sudah tahu apa yang terjadi pada pengiriman itu. Aku sudah memeriksa semuanya. Tapi ada yang aneh—ad
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Jeratan Tuan Reiner   Bagian 18

    Reiner duduk di depan meja besar di kamarnya, matanya kosong menatap dokumen-dokumen yang berserakan di atasnya. Pikiran-pikirannya melayang, kembali pada percakapan yang baru saja terjadi dengan kakek dan ayahnya. Nama Padma Lawrent kembali terngiang di kepalanya—wanita itu, wajah cantiknya yang pernah mengisi ruang hatinya, muncul begitu saja, seperti bayangan yang sulit dihapus. Lima tahun telah berlalu, namun kenangan itu seakan tak pernah benar-benar pergi.Dia menghela napas panjang, berusaha menyingkirkan perasaan yang kian mengganggu. Suasana hening di kamarnya hanya terdengar oleh bunyi detakan jam di dinding. Namun, ada sesuatu yang tidak bisa dia hindari. Sesuatu yang lebih besar dari sekadar kenangan. Pengiriman minyak yang menghilang, informasi yang terus datang, dan keraguan yang mulai mengganggu benaknya. Apakah ini ada hubungannya dengan Padma? Dengan keluarganya? Dengan apa yang sudah terjadi?“Tuan, kenapa masih melamun?” suara Danny menginterupsi lamunan itu, menega

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-26
  • Jeratan Tuan Reiner   Bagian 19

    Malam telah larut, namun jalanan masih ramai dengan kendaraan yang berlalu-lalang. Reiner berjalan di trotoar, tangan dimasukkan ke dalam saku jasnya, langkahnya berat setelah beberapa gelas alkohol yang diminumnya. Meski wajahnya tetap dingin, pikirannya dipenuhi oleh nama yang baru saja disebutkan Eva.Eva, mengenakan gaun merah mencolok yang pas dengan tubuhnya, berusaha mengimbangi langkah Reiner yang lebih panjang darinya. Sepatu hak tinggi yang ia kenakan berbunyi di atas trotoar, menambah nuansa canggung pada keheningan di antara mereka.“Reiner,” panggil Eva, dengan nada manja, mencoba menarik perhatiannya.Reiner hanya mendengus, tidak memperlambat langkahnya.“Apa benar yang aku dengar tadi?” Eva melanjutkan, “Padma. Siapa dia? Wanita yang pernah kau cintai?”Langkah Reiner terhenti. Dia berbalik, menatap Eva dengan sorot mata tajam yang cukup untuk membuat siapa pun merasa kecil. Tapi Eva tetap berdiri, tidak mundur.“Jangan sebut namanya lagi,” kata Reiner dengan nada rend

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-26
  • Jeratan Tuan Reiner   Bagian 20

    Baru saja memasuki jalan sempit yang gelap menuju kediaman Elise, ponsel Reiner bergetar. Nama Danny muncul di layar, dan tanpa ragu, Reiner menekan tombol hijau.“Aku punya kabar soal mobil pengangkut minyak itu,” suara Danny terdengar terburu-buru.Reiner langsung menggenggam setir lebih erat. “Apa? Sudah ketemu?”“Tidak bisa dijelaskan sekarang. Kita harus bicara langsung. Tapi... ini besar, Rin. Sangat besar.”Reiner terdiam sejenak, lalu menutup panggilan tanpa menanggapi lebih lanjut. Matanya menatap jalanan sempit di depan, tetapi pikirannya sudah dipenuhi kemungkinan-kemungkinan buruk.“Elise, keluar sebentar,” katanya begitu mereka tiba di depan rumah Elise.DialogElise mengernyit, ragu-ragu mengikuti perintahnya. “Apa yang terjadi? Kenapa wajahmu tegang seperti itu?”Reiner mendesah, tidak sabar. “Ini bukan urusanmu. Turun sekarang.”Elise membuka pintu dengan ragu, tetapi sebelum dia bisa melangkah jauh, Reiner memanggilnya lagi.“Elise, ke sini sebentar.”Dia mendekat, da

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-26
  • Jeratan Tuan Reiner   Bagian 21

    Pagi itu, matahari baru saja muncul di balik horizon. Ruangan di lantai utama rumah megah itu masih terbayang kabut pagi, ketika langkah-langkah berat terdengar dari tangga. Reiner turun dengan langkah tegas, mengenakan pakaian yang rapi meskipun belum terlalu lama dari tidurnya. Ia hanya terbangun beberapa saat lalu, namun rasanya ada sesuatu yang mendorongnya untuk bergerak lebih cepat, menuju tujuan yang sudah ia tentukan.Barbra, yang sedang menyeduh kopi di dapur, menoleh begitu mendengar suara langkah anaknya. Ia melirik jam dinding, terkejut melihat waktu yang masih sangat pagi."Rei?" Barbra bertanya, sedikit kebingungan, sambil menatap anaknya yang sedang melangkah menuju pintu depan. "Mau ke mana? Ini masih pagi sekali."Reiner berhenti sejenak, menatap ibunya. Ekspresinya datar, tak memberi banyak petunjuk."Ke rumah Elise," jawabnya singkat.Barbra terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata Reiner. Namanya terngiang-ngiang di telinganya. Elise. Tidak pernah dalam sejarah

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-27
  • Jeratan Tuan Reiner   Bagian 22

    Elise berjalan menuju ruang tengah, wajahnya serius, sementara pikirannya berkecamuk. Eddie sedang duduk di sofa usang, menyalakan rokok dengan santai, seolah-olah tidak ada apa-apa. Di sudut ruangan, Lily bermain dengan boneka lusuhnya, sesekali melirik Elise dengan rasa penasaran.Elise menarik napas panjang sebelum akhirnya berkata, “Ayah, aku harus bicara. Majikanku memintaku tinggal di rumahnya. Dia bilang agar pekerjaanku bisa lebih terkoordinasi.”Eddie mengangkat alis, terkejut, tapi segera menyunggingkan senyum. "Hmm... tinggal di rumah keluarga Barack, ya? Itu kesempatan besar, Elise. Kalau kau pintar, mungkin kau bisa mendekati keluarga itu. Siapa tahu, hidupmu bisa berubah total."Elise menggeleng cepat. Wajahnya menunjukkan ketidaknyamanan mendalam. “Ayah, aku pergi hanya untuk bekerja. Tidak ada niatan lain. Dan aku tahu posisi kita. Pelayan tetap pelayan. Tidak mungkin ada hal lain.”Eddie menatapnya lekat-lekat, tersenyum kecil, tapi ada kilatan licik di matanya. “Elis

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-27
  • Jeratan Tuan Reiner   Bagian 23

    Kamar para pelayan terletak di sudut paling belakang rumah megah itu. Ruangannya tidak luas, tida juga sempit dan sederhana, berisi empat ranjang dengan kasur busa yang cukup empuk. Dindingnya polos tanpa hiasan, hanya cat krem yang mulai mengelupas di beberapa sudut. Sebuah lemari pakaian kecil di pojok ruangan tampak penuh sesak dengan pakaian kerja para pelayan. Sebuah jendela kecil di sisi atas ruangan memberikan sedikit cahaya alami, tapi tetap saja, ruangan ini terasa suram dan lembap.Di tengah kamar, terdapat sebuah meja kecil dengan cangkir-cangkir kosong yang masih berserakan. Aroma campuran detergen murah dan sedikit apek memenuhi udara, menambah kesan sederhana yang hampir tidak sebanding dengan kemewahan rumah utama.Saat Elise memasuki kamar, langkahnya terhenti di ambang pintu. Tatapan dingin dari Greta, Marla, dan Celia langsung menusuknya. Ketiganya duduk melingkar di atas ranjang bawah, seperti sedang rapat rahasia."Oh, jadi akhirnya kamu benar-benar pindah ke sini

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-27
  • Jeratan Tuan Reiner   Bagian 24

    Elise mengikuti langkah Reiner dengan langkah yang teratur, seperti boneka mainan yang dipajang di belakang lemari kaca, begitu rapih namun tak mampu mengambil keputusan sendiri. Kakinya melangkah di lantai marmer yang dingin, sementara di sekelilingnya para pelayan lain sibuk menyiapkan sarapan. Beberapa dari mereka melirik Elise dengan tatapan sinis yang tajam, namun Elise mengabaikannya. Matanya tertuju pada tugasnya, dia hanya fokus pada apa yang harus dilakukannya.Di dapur, Greta melirik Elise, kemudian berbisik pada pelayan lain di sebelahnya. "Apa dia benar-benar berani masuk ke sini seperti itu?" bisiknya pelan, berharap Elise tidak mendengarnya.Elise tidak menggubris, pikirannya terfokus pada langkah Reiner yang semakin jauh, sampai akhirnya mereka sampai di ruang makan besar, di mana Tuan Abraham biasanya sarapan."Elise," suara Greta memecah kesunyian, "Kenapa kau tidak bantu Tuan Abraham. Beliau juga mau sarapan."Elise menoleh pada Greta yang baru saja meletakkan kain l

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-27
  • Jeratan Tuan Reiner   Bagian 25

    Lorong hotel itu lengang, hanya terdengar gema langkah sepatu yang beradu dengan lantai marmer. Reiner melangkah cepat, diikuti Hanna yang sibuk dengan agenda di tangannya. Saat Reiner membelok di sudut lorong, tubuhnya bertabrakan dengan seorang wanita.“Aduh!” seru wanita itu sambil berusaha menyeimbangkan dirinya.Reiner mengerutkan kening, menatapnya dengan tatapan tajam. “Kau tidak melihat jalan?” tanyanya dingin, suaranya rendah namun penuh tekanan.Wanita itu mendongak, tatapan mereka bertemu. Wajahnya seketika berubah ketika ia mengenali pria di hadapannya. “Reiner…” bisiknya, ada nada tak percaya dalam suaranya.Reiner menegang, namun hanya sekejap. Matanya menyipit tajam, seperti menyelidik. “Padma,” ucapnya datar. Tidak ada kehangatan, hanya nama itu yang keluar seperti angin dingin.Padma berusaha tersenyum, meski sikap dingin Reiner membuatnya sedikit kikuk. “Sudah lama sekali. Aku tidak menyangka kita akan bertemu di sini.”“Memang tidak seharusnya,” balas Reiner tanpa j

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-27

Bab terbaru

  • Jeratan Tuan Reiner   Ban 75

    Tobey duduk di kursi, wajahnya tegang dan penuh kemarahan. Tangan kanannya mencengkeram sandaran kursi dengan erat, sementara tangan kirinya meremas ponsel, matanya terpaku pada foto yang ada di layar—sebuah gambar pria yang tak lain adalah ayah Elise. Ketika matanya menyapu ruang itu, ia mendapati bawahannya masih sibuk mengutak-atik komputer, mencoba mencari solusi dari teka-teki yang membuatnya semakin jengkel. "Damn!" Tobey mengumpat kasar, suaranya serak penuh kekesalan. "Kau memang serakah, Harrys! Bahkan setelah mati, kau masih menyusahkan hidupku!" Ia melemparkan ponselnya ke meja dengan kasar, kemudian berdiri dan berjalan mondar-mandir, berpikir keras. Ruangan itu terasa semakin sempit, seolah-olah setiap sudutnya menekan perasaan Tobey yang semakin membara. Di ambang pintu, Karl muncul, memandangnya dengan wajah ragu-ragu. “Apakah mungkin kode sandinya ulang tahun Roseta?” Tobey menoleh, matanya menyipit dengan keraguan. "Itu terlalu mudah, Karl." Suaranya terdengar taj

  • Jeratan Tuan Reiner   Bab 74

    Di dalam ruangan yang cukup terang, suasana semakin tegang. Semua mata tertuju pada brankas besar yang terletak di tengah ruangan. Ahli IT yang duduk di depan komputer mulai mengoperasikan alatnya, dan layar di hadapannya menunjukkan data yang bergerak cepat. Semua orang menunggu dengan cemas, menyadari bahwa brankas itu hanya bisa dibuka dengan sidik jari yang cocok. Tentu saja, itu hanya masalah waktu. Tak lama lagi, brankas itu akan terbuka, dan rahasia yang tersembunyi di dalamnya akan terungkap. Semua mata kini beralih ke Elise yang terikat di sudut ruangan. Wajahnya tampak pucat dan penuh kecemasan. Tiba-tiba, salah satu suruhan lainnya yang tampaknya bertugas menjaga keamanan ruangan, berjalan mendekat dengan ekspresi cemas. Wajahnya menunjukkan ketegangan. "Tuan, kami mendeteksi gerakan di sekitar gedung. Sepertinya ada orang lain yang mendekat." Tobey mengerutkan keningnya, lalu mengalihkan pandangannya ke Elise yang duduk di sudut ruangan, tampak semakin ketakutan. Tata

  • Jeratan Tuan Reiner   Bab 73

    Pagi itu, tubuh Elise tersentak hebat, seakan terbangun dari mimpi buruk yang terlalu nyata. Matanya langsung terbuka lebar, menatap langit-langit gelap di atasnya. Napasnya memburu, dadanya naik-turun seiring ketakutan yang belum sepenuhnya hilang dari pikirannya. Dia bergumam pelan, hampir tidak terdengar, "Sudah pagi ternyata..." Namun, pagi itu tidak membawa ketenangan. Elise masih terikat di kursi kayu keras, dengan tali yang menggerus pergelangan tangannya. Dia mencoba lagi untuk membebaskan diri, menarik-narik tali bergantian dengan penuh harap, tetapi usahanya hanya membuat kulitnya semakin memerah dan perih. Rasa sakit itu seperti memperingatkan bahwa kebebasan masih jauh dari jangkauan. Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat. Elise segera berhenti bergerak, memejamkan mata, dan menyandarkan kepalanya ke dinding. Dia berpura-pura tidur, mencoba mendengarkan percakapan yang terjadi di luar ruangannya. "Tuan akan langsung membawa dia pergi?" suara berat Karl terde

  • Jeratan Tuan Reiner   Bab 72

    Pukul delapan malam, suasana di luar rumah Eddie masih tampak tenang. Reiner memarkir mobilnya di depan pagar yang sudah mulai berkarat. Langkahnya terdengar berat dan cepat di atas jalan setapak menuju pintu utama. Ketika pintu terbuka, Eddie—dengan rambutnya yang mulai memutih dan postur tubuh sedikit membungkuk—terlihat terkejut mendapati Reiner berdiri di ambang pintu dengan ekspresi tegang. “Silakan masuk, Tuan... sepertinya ada yang genting,” kata Eddie sambil mempersilakan Reiner masuk ke ruang tamu. Tanpa menunggu basa-basi, Reiner langsung membuka pembicaraan. “Apa kau masih sering menemui Karl?” Kening Eddie berkerut. Nama itu seperti pisau tua yang kembali mengiris luka lama. “Ada apa dengan Karl?” tanyanya penuh kebingungan. Reiner mendesah berat, mencoba menahan ledakan emosinya. “Elise hilang.” Mata Eddie membelalak. “E-Elise hilang? Bagaimana bisa, Tuan?” Reiner meraup wajahnya dengan kasar, frustrasi. “Kau tahu kira-kira Karl tinggal di mana? Kau itu kakak kandun

  • Jeratan Tuan Reiner   Bab 71

    Tubuh Elise gemetar, kedua tangannya terikat erat di belakang punggung, sementara kakinya dililit tali yang sama kuatnya. Lakban menutup rapat mulutnya, membuatnya hanya bisa mengeluarkan suara samar dari tenggorokannya. Dia duduk bersimpuh di lantai, punggungnya bersandar pada sebuah lemari kayu yang besar. Perlahan, Elise membuka matanya. Pandangannya buram pada awalnya, tapi sedikit demi sedikit, ruangan itu mulai terlihat jelas. Cahaya remang dari sebuah lampu gantung tua memantulkan bayangan menyeramkan di dinding. Jantungnya berdegup kencang saat ia menyadari bahwa dirinya berada di tempat asing, dalam kondisi tidak berdaya. Suara langkah kaki terdengar mendekat. Karl muncul dari kegelapan, mengenakan jaket kulit yang terlihat usang. Wajahnya dihiasi seringaian dingin yang mengirimkan hawa menakutkan ke seluruh ruangan. "Bangun juga kau, Elise," ucap Karl dengan nada mengejek, matanya menyipit tajam saat dia mendekati tubuh Elise yang terikat. Elise berusaha menggerakkan tub

  • Jeratan Tuan Reiner   Bab 76

    Polisi mulai sibuk bergerak, menyebar ke seluruh area bangunan tua yang telah lama terbengkalai di tengah hutan. Mereka menggedor setiap sudut, membuka pintu-pintu berkarat dan menyisir ruang-ruang yang diselimuti debu tebal. Meskipun bangunan ini sudah lama ditinggalkan, tidak ada yang tahu bahwa di dalamnya masih tersimpan sesuatu yang sangat penting, sesuatu yang bisa mengubah banyak hal."Dua langkah ke kiri!" perintah seorang polisi dengan suara tegas saat ia menyisir ruang yang dipenuhi komputer-komputer tua dan alat-alat aneh. Dalam salah satu sudut ruangan, sebuah brangkas besar berdiri tegak, menunggu untuk dibuka oleh Tobey. Tapi kini, brangkas itu hanya menjadi objek misteri bagi para penyelidik."Jangan bergerak! Kalian sudah terkepung!" teriak polisi lain yang sudah mengarahkan senjata mereka ke empat orang yang berada di dalam ruangan tersebut. Para pengikut Tobey terkejut, namun mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Tangan mereka terangkat ke udara sebagai tanda menyerah.

  • Jeratan Tuan Reiner   Bab 70

    Kediaman Keluarga BarackReiner memarkir mobil di area halaman, suara mesin yang berhenti menarik perhatian Will yang sedang duduk di pos bersama para penjaga. "Baru pulang, Tuan?"Reiner hanya mengangguk singkat, kemudian berjalan masuk ke dalam rumah. Udara di dalam terasa hangat, namun pikirannya tidak. Ada sesuatu yang mengganjal sejak dia melihat barang berserakan di jalan pinus tadi.Saat tiba di ruang tengah, suaranya bergema, memanggil, "Elise!"Yang muncul bukan Elise, melainkan Clara, dengan wajah sedikit ragu."Maaf, Tuan... Elise sedang tidak di rumah."Kening Reiner langsung berkerut, nada suaranya berubah. "Kemana dia?" "Saya kurang tahu, Tuan. Dari siang saya tidak melihat Elise."Reiner terdiam, pikirannya langsung berputar. Dia berjalan menuju tangga, melangkah ke lantai dua sambil mencoba menenangkan diri.Reiner membatin, "Apa dia pergi menemui ayah dan adiknya lagi? Atau ke galeri seni seperti biasa?"Tapi kenapa tidak ada pesan? Dia merogoh ponsel dari saku cela

  • Jeratan Tuan Reiner   Bab 69

    Siang itu, matahari bersinar terang di halaman rumah keluarga Barbra. Elise sedang sibuk menyapu dedaunan kering yang berguguran. Dengan gerakan cepat, ia mencoba menyelesaikan pekerjaannya, namun perhatiannya terusik oleh percakapan yang terjadi di teras depan. "Reiner sering sekali mencuri pandang padaku waktu itu," suara Olivia terdengar jelas, diiringi tawa kecil. "Ah, aku ingat itu. Anak itu selalu mencari alasan untuk bertemu denganmu," sahut Barbra dengan nada bercanda, tetapi ada kehangatan di dalamnya. Mendengar obrolan itu, Elise menghentikan gerakan sapunya. Ia berdiri di balik pohon besar, mencuri dengar pembicaraan mereka. Dadanya terasa sedikit sesak, meskipun ia sendiri tidak mengerti mengapa. Olivia melanjutkan, "Dia benar-benar berbeda saat itu, Bibi. Lebih hangat, lebih perhatian. Tapi, yah, waktu memang mengubah segalanya." Elise mendengus pelan, mencoba mengalihkan rasa tak nyaman dengan menyapu daun-daun kering lebih keras. Tak lama kemudian, Reiner muncul da

  • Jeratan Tuan Reiner   Bab 68

    Pagi itu, Elise sudah berdiri di depan kamar Reiner, memeluk keranjang pakaian yang semalam harus ia setrika ulang. Matanya menatap pintu kayu itu dengan ragu. Dia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri sebelum mengetuk. Namun, sebelum tangannya sempat menyentuh pintu, gagang pintu itu berputar, dan sosok Olivia muncul dari dalam. Olivia menguap kecil, tampak santai dengan piyama satin yang terkesan mahal. Rambutnya tergerai rapi, meskipun baru saja bangun tidur. Elise membeku. Pandangan mereka bertemu, dan Olivia tampak terkejut. “Eh, Elise? Kau di sini pagi-pagi sekali?” tanya Olivia sambil merapikan rambutnya. Elise menelan ludah. “Sa-saya… saya mau mengantar pakaian, Nona. Semua harus rapi sebelum Tuan Reiner bangun.” “Oh, begitu ya?” Olivia tersenyum tipis sambil menyingkir memberi jalan. “Silakan masuk saja.” Elise mengangguk canggung, melangkah masuk ke kamar sambil memeluk keranjang pakaian erat-erat. Dia tidak berani menoleh, tetapi langkah Olivia yang gemulai ta

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status