Elise mengikuti langkah Reiner dengan langkah yang teratur, seperti boneka mainan yang dipajang di belakang lemari kaca, begitu rapih namun tak mampu mengambil keputusan sendiri. Kakinya melangkah di lantai marmer yang dingin, sementara di sekelilingnya para pelayan lain sibuk menyiapkan sarapan. Beberapa dari mereka melirik Elise dengan tatapan sinis yang tajam, namun Elise mengabaikannya. Matanya tertuju pada tugasnya, dia hanya fokus pada apa yang harus dilakukannya.Di dapur, Greta melirik Elise, kemudian berbisik pada pelayan lain di sebelahnya. "Apa dia benar-benar berani masuk ke sini seperti itu?" bisiknya pelan, berharap Elise tidak mendengarnya.Elise tidak menggubris, pikirannya terfokus pada langkah Reiner yang semakin jauh, sampai akhirnya mereka sampai di ruang makan besar, di mana Tuan Abraham biasanya sarapan."Elise," suara Greta memecah kesunyian, "Kenapa kau tidak bantu Tuan Abraham. Beliau juga mau sarapan."Elise menoleh pada Greta yang baru saja meletakkan kain l
Lorong hotel itu lengang, hanya terdengar gema langkah sepatu yang beradu dengan lantai marmer. Reiner melangkah cepat, diikuti Hanna yang sibuk dengan agenda di tangannya. Saat Reiner membelok di sudut lorong, tubuhnya bertabrakan dengan seorang wanita.“Aduh!” seru wanita itu sambil berusaha menyeimbangkan dirinya.Reiner mengerutkan kening, menatapnya dengan tatapan tajam. “Kau tidak melihat jalan?” tanyanya dingin, suaranya rendah namun penuh tekanan.Wanita itu mendongak, tatapan mereka bertemu. Wajahnya seketika berubah ketika ia mengenali pria di hadapannya. “Reiner…” bisiknya, ada nada tak percaya dalam suaranya.Reiner menegang, namun hanya sekejap. Matanya menyipit tajam, seperti menyelidik. “Padma,” ucapnya datar. Tidak ada kehangatan, hanya nama itu yang keluar seperti angin dingin.Padma berusaha tersenyum, meski sikap dingin Reiner membuatnya sedikit kikuk. “Sudah lama sekali. Aku tidak menyangka kita akan bertemu di sini.”“Memang tidak seharusnya,” balas Reiner tanpa j
Saat berada di dalam kamar dengan para pelayan lain, Elise merasakan kegelisahan. Dia bahkan sulit sekali untuk memejamkan mata."Mau ke mana dia?" tanya Greta pada Sofia saat melihat Elise berlari dengan cepat meninggalkan kamar."Aku tidak tahu," jawab Sofia.Elise berdiri di depan pintu kamar Reiner, mengatur napas yang terengah setelah berlari menaiki tangga. Dalam hatinya, dia berusaha menenangkan diri, tetapi rasa khawatir terus menguasainya. Dengan ragu, dia mengetuk pintu.Ketukan pertama tidak berjawab. Elise mencoba lagi, kali ini suaranya lebih keras, namun tetap tidak ada sahutan. Sebaliknya, suara benda jatuh dari dalam kamar membuat jantung Elise mencelos.Tanpa berpikir panjang, Elise mendorong pintu dan masuk. Pemandangan di depannya membuat tubuhnya membeku sesaat. Botol wine tergeletak pecah di lantai, cairannya menyebar seperti genangan darah. Di sudut kamar, Reiner berdiri sempoyongan, matanya memerah, wajahnya kusut seperti pria yang kehilangan arah."Hati-hati, T
Elise berjalan menyusuri koridor panjang dengan langkah cepat, mencoba mengendalikan pikirannya yang terus-menerus mengembalikan ingatan akan perlakuan Reiner di kamar tadi. Jari telunjuknya yang sempat disentuh bibir pria itu masih terasa hangat, dan setiap kali memikirkannya, tubuhnya merinding.“Fokus, Elise,” gumamnya pada diri sendiri sambil menggenggam erat kantong kresek berisi pecahan botol.Ketika dia sampai di dekat pintu keluar menuju tempat pembuangan, suara seseorang menyapanya dari belakang. “Elise!”Elise terlonjak. Ia menoleh dan melihat Will berdiri dengan tangan terlipat. Wajah pria itu penuh senyum hangat, namun Elise tak mampu langsung merespon karena pikirannya masih setengah melayang.“Oh, maaf, Will,” kata Elise buru-buru, suaranya sedikit tergagap. “Aku melamun sampai tidak memperhatikanmu.”Will mendekat, melirik kantong kresek yang Elise tenteng. “Apa itu yang kau bawa?”Elise sedikit mengangkat kantong keresek tersebut. “Ini pecahan botol. Tuan Reiner menjat
“Elise, jangan melamun! Piringnya masih banyak!” suara tajam Greta terdengar dari balik meja makan.Pagi itu, dapur dipenuhi suara gaduh: denting piring, gemericik air dari keran, dan suara langkah kaki para pelayan yang sibuk dengan tugas masing-masing. Elise berdiri di sudut dapur, tangannya sibuk mencuci piring, tetapi pikirannya melayang ke kejadian semalam. Kata-kata Greta dan sikap Reiner terus mengganggunya.Elise segera menggelengkan kepala dan mempercepat gerakannya. Tapi rasa canggung tetap tak hilang. Dia bisa merasakan tatapan pelayan lain yang seakan menilainya dari jauh, penuh kecurigaan. Mereka semua tampak memihak Greta, seperti biasa.Suasana sedikit berubah ketika Will masuk ke dapur. Dia membawa aura santai, seperti biasa. “Pagi, Elise,” sapanya ramah, sambil mengambil apel dari keranjang buah di meja. “Kau tidur nyenyak?”Elise melirik Will sekilas, berusaha tersenyum meski hatinya penuh keraguan. “Cukup, Will. Apa kau sudah sarapan?”Will menggeleng sambil duduk d
Reiner berjalan masuk ke ruangannya dengan langkah tegas, dasinya sedikit longgar setelah rapat pagi yang panjang. Hanna, sekretarisnya yang selalu rapi dan efisien, mengetuk pintu sebelum masuk dengan map di tangannya."Tuan Reiner, ini laporan dari tim pemasaran untuk kuartal terakhir."Reiner mengambil map tanpa melihatnya "Letakkan di meja. Apa jadwal selanjutnya?"Hanna membuka tabletnya, memeriksa jadwal dengan cepat. "Ada pertemuan dengan tim keuangan pukul tiga sore, diikuti dengan diskusi bersama klien dari perusahaan mitra pukul lima."Reiner mengangguk, duduk di kursinya, dan mulai membuka map laporan. "Pastikan semua orang hadir tepat waktu. Aku tidak ingin ada keterlambatan."Hanna: ragu sejenak, lalu berbicara pelan "Selain itu, ada undangan dari Tuan Alex Robinson untuk acara di galeri seni malam ini. Undangan ini dikirimkan secara langsung pagi tadi."Reiner berhenti membaca, menatap Hanna dengan alis terangkat. "Alex Robinson? Sudah berapa lama sejak dia terakhir meng
Langit senja yang memudar menjadi gelap disambut dengan cahaya lampu-lampu kristal yang menggantung megah di langit-langit galeri seni. Elise melangkah perlahan mengikuti Reiner, mencoba menyesuaikan diri dengan suasana elegan di sekitarnya. Aroma mawar lembut bercampur dengan parfum mahal memenuhi udara. Orang-orang berdiri dalam lingkaran kecil, berbicara dengan aksen yang halus dan sopan, beberapa di antaranya menatap Elise seolah-olah dia adalah benda asing yang tak seharusnya ada di sana.Pandangannya turun ke dress polos yang ia kenakan, merasa semakin kecil di antara wanita-wanita dengan gaun malam mewah dan perhiasan berkilauan. Elise tanpa sadar mundur selangkah, mencoba menyembunyikan diri.Reiner yang menyadari jarak di antara mereka, menghentikan langkahnya dan menoleh dengan tatapan tajam. "Sedang apa kau, Elise?"Elise terkesiap. Jemarinya meremas ujung dressnya, merasa semua mata kini mengarah padanya. "Maaf, Tuan… saya takut membuat Tuan tidak nyaman. Ini bukan tempat
Tentu, ini adalah versi adegan yang telah diperluas dan disempurnakan:---Reiner menarik Elise menjauh dari Padma, langkahnya cepat dan tegas hingga mereka tiba di sudut ruangan yang lebih sepi. Setelah memastikan mereka cukup jauh dari kerumunan, Reiner melepaskan cengkeramannya. Tatapannya tajam, nyaris mengintimidasi.Reiner: “Jangan ngobrol dengan siapapun tanpa izinku. Dan ingat… jangan sekali-kali kau mengatakan kalau kau pelayanku. Paham?”Elise menggigit bibir, menahan keinginannya untuk menjawab lebih dari sekadar anggukan. Namun, sorot mata Reiner membuatnya cukup tahu untuk tidak membantah.Suasana di galeri seni masih riuh dengan pembicaraan tamu-tamu yang berkelas. Elise kembali melangkah mengikuti langkah Reiner, meski pandangannya terusik oleh tatapan sinis Padma yang belum juga pergi.Dalam hati, Elise membatin: "Aku ingat, itu perempuan yang ada di dalam foto di kamar Tuan Reiner."Berusaha mengalihkan pikirannya, Elise mulai memperhatikan beberapa lukisan yang terga
Tobey duduk di kursi, wajahnya tegang dan penuh kemarahan. Tangan kanannya mencengkeram sandaran kursi dengan erat, sementara tangan kirinya meremas ponsel, matanya terpaku pada foto yang ada di layar—sebuah gambar pria yang tak lain adalah ayah Elise. Ketika matanya menyapu ruang itu, ia mendapati bawahannya masih sibuk mengutak-atik komputer, mencoba mencari solusi dari teka-teki yang membuatnya semakin jengkel. "Damn!" Tobey mengumpat kasar, suaranya serak penuh kekesalan. "Kau memang serakah, Harrys! Bahkan setelah mati, kau masih menyusahkan hidupku!" Ia melemparkan ponselnya ke meja dengan kasar, kemudian berdiri dan berjalan mondar-mandir, berpikir keras. Ruangan itu terasa semakin sempit, seolah-olah setiap sudutnya menekan perasaan Tobey yang semakin membara. Di ambang pintu, Karl muncul, memandangnya dengan wajah ragu-ragu. “Apakah mungkin kode sandinya ulang tahun Roseta?” Tobey menoleh, matanya menyipit dengan keraguan. "Itu terlalu mudah, Karl." Suaranya terdengar taj
Di dalam ruangan yang cukup terang, suasana semakin tegang. Semua mata tertuju pada brankas besar yang terletak di tengah ruangan. Ahli IT yang duduk di depan komputer mulai mengoperasikan alatnya, dan layar di hadapannya menunjukkan data yang bergerak cepat. Semua orang menunggu dengan cemas, menyadari bahwa brankas itu hanya bisa dibuka dengan sidik jari yang cocok. Tentu saja, itu hanya masalah waktu. Tak lama lagi, brankas itu akan terbuka, dan rahasia yang tersembunyi di dalamnya akan terungkap. Semua mata kini beralih ke Elise yang terikat di sudut ruangan. Wajahnya tampak pucat dan penuh kecemasan. Tiba-tiba, salah satu suruhan lainnya yang tampaknya bertugas menjaga keamanan ruangan, berjalan mendekat dengan ekspresi cemas. Wajahnya menunjukkan ketegangan. "Tuan, kami mendeteksi gerakan di sekitar gedung. Sepertinya ada orang lain yang mendekat." Tobey mengerutkan keningnya, lalu mengalihkan pandangannya ke Elise yang duduk di sudut ruangan, tampak semakin ketakutan. Tata
Pagi itu, tubuh Elise tersentak hebat, seakan terbangun dari mimpi buruk yang terlalu nyata. Matanya langsung terbuka lebar, menatap langit-langit gelap di atasnya. Napasnya memburu, dadanya naik-turun seiring ketakutan yang belum sepenuhnya hilang dari pikirannya. Dia bergumam pelan, hampir tidak terdengar, "Sudah pagi ternyata..." Namun, pagi itu tidak membawa ketenangan. Elise masih terikat di kursi kayu keras, dengan tali yang menggerus pergelangan tangannya. Dia mencoba lagi untuk membebaskan diri, menarik-narik tali bergantian dengan penuh harap, tetapi usahanya hanya membuat kulitnya semakin memerah dan perih. Rasa sakit itu seperti memperingatkan bahwa kebebasan masih jauh dari jangkauan. Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat. Elise segera berhenti bergerak, memejamkan mata, dan menyandarkan kepalanya ke dinding. Dia berpura-pura tidur, mencoba mendengarkan percakapan yang terjadi di luar ruangannya. "Tuan akan langsung membawa dia pergi?" suara berat Karl terde
Pukul delapan malam, suasana di luar rumah Eddie masih tampak tenang. Reiner memarkir mobilnya di depan pagar yang sudah mulai berkarat. Langkahnya terdengar berat dan cepat di atas jalan setapak menuju pintu utama. Ketika pintu terbuka, Eddie—dengan rambutnya yang mulai memutih dan postur tubuh sedikit membungkuk—terlihat terkejut mendapati Reiner berdiri di ambang pintu dengan ekspresi tegang. “Silakan masuk, Tuan... sepertinya ada yang genting,” kata Eddie sambil mempersilakan Reiner masuk ke ruang tamu. Tanpa menunggu basa-basi, Reiner langsung membuka pembicaraan. “Apa kau masih sering menemui Karl?” Kening Eddie berkerut. Nama itu seperti pisau tua yang kembali mengiris luka lama. “Ada apa dengan Karl?” tanyanya penuh kebingungan. Reiner mendesah berat, mencoba menahan ledakan emosinya. “Elise hilang.” Mata Eddie membelalak. “E-Elise hilang? Bagaimana bisa, Tuan?” Reiner meraup wajahnya dengan kasar, frustrasi. “Kau tahu kira-kira Karl tinggal di mana? Kau itu kakak kandun
Tubuh Elise gemetar, kedua tangannya terikat erat di belakang punggung, sementara kakinya dililit tali yang sama kuatnya. Lakban menutup rapat mulutnya, membuatnya hanya bisa mengeluarkan suara samar dari tenggorokannya. Dia duduk bersimpuh di lantai, punggungnya bersandar pada sebuah lemari kayu yang besar. Perlahan, Elise membuka matanya. Pandangannya buram pada awalnya, tapi sedikit demi sedikit, ruangan itu mulai terlihat jelas. Cahaya remang dari sebuah lampu gantung tua memantulkan bayangan menyeramkan di dinding. Jantungnya berdegup kencang saat ia menyadari bahwa dirinya berada di tempat asing, dalam kondisi tidak berdaya. Suara langkah kaki terdengar mendekat. Karl muncul dari kegelapan, mengenakan jaket kulit yang terlihat usang. Wajahnya dihiasi seringaian dingin yang mengirimkan hawa menakutkan ke seluruh ruangan. "Bangun juga kau, Elise," ucap Karl dengan nada mengejek, matanya menyipit tajam saat dia mendekati tubuh Elise yang terikat. Elise berusaha menggerakkan tub
Polisi mulai sibuk bergerak, menyebar ke seluruh area bangunan tua yang telah lama terbengkalai di tengah hutan. Mereka menggedor setiap sudut, membuka pintu-pintu berkarat dan menyisir ruang-ruang yang diselimuti debu tebal. Meskipun bangunan ini sudah lama ditinggalkan, tidak ada yang tahu bahwa di dalamnya masih tersimpan sesuatu yang sangat penting, sesuatu yang bisa mengubah banyak hal."Dua langkah ke kiri!" perintah seorang polisi dengan suara tegas saat ia menyisir ruang yang dipenuhi komputer-komputer tua dan alat-alat aneh. Dalam salah satu sudut ruangan, sebuah brangkas besar berdiri tegak, menunggu untuk dibuka oleh Tobey. Tapi kini, brangkas itu hanya menjadi objek misteri bagi para penyelidik."Jangan bergerak! Kalian sudah terkepung!" teriak polisi lain yang sudah mengarahkan senjata mereka ke empat orang yang berada di dalam ruangan tersebut. Para pengikut Tobey terkejut, namun mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Tangan mereka terangkat ke udara sebagai tanda menyerah.
Kediaman Keluarga BarackReiner memarkir mobil di area halaman, suara mesin yang berhenti menarik perhatian Will yang sedang duduk di pos bersama para penjaga. "Baru pulang, Tuan?"Reiner hanya mengangguk singkat, kemudian berjalan masuk ke dalam rumah. Udara di dalam terasa hangat, namun pikirannya tidak. Ada sesuatu yang mengganjal sejak dia melihat barang berserakan di jalan pinus tadi.Saat tiba di ruang tengah, suaranya bergema, memanggil, "Elise!"Yang muncul bukan Elise, melainkan Clara, dengan wajah sedikit ragu."Maaf, Tuan... Elise sedang tidak di rumah."Kening Reiner langsung berkerut, nada suaranya berubah. "Kemana dia?" "Saya kurang tahu, Tuan. Dari siang saya tidak melihat Elise."Reiner terdiam, pikirannya langsung berputar. Dia berjalan menuju tangga, melangkah ke lantai dua sambil mencoba menenangkan diri.Reiner membatin, "Apa dia pergi menemui ayah dan adiknya lagi? Atau ke galeri seni seperti biasa?"Tapi kenapa tidak ada pesan? Dia merogoh ponsel dari saku cela
Siang itu, matahari bersinar terang di halaman rumah keluarga Barbra. Elise sedang sibuk menyapu dedaunan kering yang berguguran. Dengan gerakan cepat, ia mencoba menyelesaikan pekerjaannya, namun perhatiannya terusik oleh percakapan yang terjadi di teras depan. "Reiner sering sekali mencuri pandang padaku waktu itu," suara Olivia terdengar jelas, diiringi tawa kecil. "Ah, aku ingat itu. Anak itu selalu mencari alasan untuk bertemu denganmu," sahut Barbra dengan nada bercanda, tetapi ada kehangatan di dalamnya. Mendengar obrolan itu, Elise menghentikan gerakan sapunya. Ia berdiri di balik pohon besar, mencuri dengar pembicaraan mereka. Dadanya terasa sedikit sesak, meskipun ia sendiri tidak mengerti mengapa. Olivia melanjutkan, "Dia benar-benar berbeda saat itu, Bibi. Lebih hangat, lebih perhatian. Tapi, yah, waktu memang mengubah segalanya." Elise mendengus pelan, mencoba mengalihkan rasa tak nyaman dengan menyapu daun-daun kering lebih keras. Tak lama kemudian, Reiner muncul da
Pagi itu, Elise sudah berdiri di depan kamar Reiner, memeluk keranjang pakaian yang semalam harus ia setrika ulang. Matanya menatap pintu kayu itu dengan ragu. Dia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri sebelum mengetuk. Namun, sebelum tangannya sempat menyentuh pintu, gagang pintu itu berputar, dan sosok Olivia muncul dari dalam. Olivia menguap kecil, tampak santai dengan piyama satin yang terkesan mahal. Rambutnya tergerai rapi, meskipun baru saja bangun tidur. Elise membeku. Pandangan mereka bertemu, dan Olivia tampak terkejut. “Eh, Elise? Kau di sini pagi-pagi sekali?” tanya Olivia sambil merapikan rambutnya. Elise menelan ludah. “Sa-saya… saya mau mengantar pakaian, Nona. Semua harus rapi sebelum Tuan Reiner bangun.” “Oh, begitu ya?” Olivia tersenyum tipis sambil menyingkir memberi jalan. “Silakan masuk saja.” Elise mengangguk canggung, melangkah masuk ke kamar sambil memeluk keranjang pakaian erat-erat. Dia tidak berani menoleh, tetapi langkah Olivia yang gemulai ta