“Elise, jangan melamun! Piringnya masih banyak!” suara tajam Greta terdengar dari balik meja makan.Pagi itu, dapur dipenuhi suara gaduh: denting piring, gemericik air dari keran, dan suara langkah kaki para pelayan yang sibuk dengan tugas masing-masing. Elise berdiri di sudut dapur, tangannya sibuk mencuci piring, tetapi pikirannya melayang ke kejadian semalam. Kata-kata Greta dan sikap Reiner terus mengganggunya.Elise segera menggelengkan kepala dan mempercepat gerakannya. Tapi rasa canggung tetap tak hilang. Dia bisa merasakan tatapan pelayan lain yang seakan menilainya dari jauh, penuh kecurigaan. Mereka semua tampak memihak Greta, seperti biasa.Suasana sedikit berubah ketika Will masuk ke dapur. Dia membawa aura santai, seperti biasa. “Pagi, Elise,” sapanya ramah, sambil mengambil apel dari keranjang buah di meja. “Kau tidur nyenyak?”Elise melirik Will sekilas, berusaha tersenyum meski hatinya penuh keraguan. “Cukup, Will. Apa kau sudah sarapan?”Will menggeleng sambil duduk d
Reiner berjalan masuk ke ruangannya dengan langkah tegas, dasinya sedikit longgar setelah rapat pagi yang panjang. Hanna, sekretarisnya yang selalu rapi dan efisien, mengetuk pintu sebelum masuk dengan map di tangannya."Tuan Reiner, ini laporan dari tim pemasaran untuk kuartal terakhir."Reiner mengambil map tanpa melihatnya "Letakkan di meja. Apa jadwal selanjutnya?"Hanna membuka tabletnya, memeriksa jadwal dengan cepat. "Ada pertemuan dengan tim keuangan pukul tiga sore, diikuti dengan diskusi bersama klien dari perusahaan mitra pukul lima."Reiner mengangguk, duduk di kursinya, dan mulai membuka map laporan. "Pastikan semua orang hadir tepat waktu. Aku tidak ingin ada keterlambatan."Hanna: ragu sejenak, lalu berbicara pelan "Selain itu, ada undangan dari Tuan Alex Robinson untuk acara di galeri seni malam ini. Undangan ini dikirimkan secara langsung pagi tadi."Reiner berhenti membaca, menatap Hanna dengan alis terangkat. "Alex Robinson? Sudah berapa lama sejak dia terakhir meng
Langit senja yang memudar menjadi gelap disambut dengan cahaya lampu-lampu kristal yang menggantung megah di langit-langit galeri seni. Elise melangkah perlahan mengikuti Reiner, mencoba menyesuaikan diri dengan suasana elegan di sekitarnya. Aroma mawar lembut bercampur dengan parfum mahal memenuhi udara. Orang-orang berdiri dalam lingkaran kecil, berbicara dengan aksen yang halus dan sopan, beberapa di antaranya menatap Elise seolah-olah dia adalah benda asing yang tak seharusnya ada di sana.Pandangannya turun ke dress polos yang ia kenakan, merasa semakin kecil di antara wanita-wanita dengan gaun malam mewah dan perhiasan berkilauan. Elise tanpa sadar mundur selangkah, mencoba menyembunyikan diri.Reiner yang menyadari jarak di antara mereka, menghentikan langkahnya dan menoleh dengan tatapan tajam. "Sedang apa kau, Elise?"Elise terkesiap. Jemarinya meremas ujung dressnya, merasa semua mata kini mengarah padanya. "Maaf, Tuan… saya takut membuat Tuan tidak nyaman. Ini bukan tempat
Tentu, ini adalah versi adegan yang telah diperluas dan disempurnakan:---Reiner menarik Elise menjauh dari Padma, langkahnya cepat dan tegas hingga mereka tiba di sudut ruangan yang lebih sepi. Setelah memastikan mereka cukup jauh dari kerumunan, Reiner melepaskan cengkeramannya. Tatapannya tajam, nyaris mengintimidasi.Reiner: “Jangan ngobrol dengan siapapun tanpa izinku. Dan ingat… jangan sekali-kali kau mengatakan kalau kau pelayanku. Paham?”Elise menggigit bibir, menahan keinginannya untuk menjawab lebih dari sekadar anggukan. Namun, sorot mata Reiner membuatnya cukup tahu untuk tidak membantah.Suasana di galeri seni masih riuh dengan pembicaraan tamu-tamu yang berkelas. Elise kembali melangkah mengikuti langkah Reiner, meski pandangannya terusik oleh tatapan sinis Padma yang belum juga pergi.Dalam hati, Elise membatin: "Aku ingat, itu perempuan yang ada di dalam foto di kamar Tuan Reiner."Berusaha mengalihkan pikirannya, Elise mulai memperhatikan beberapa lukisan yang terga
"Maaf, Tuan, saya mengacaukan acara Tuan."Reiner hanya menoleh sekilas, sedikit melirik ke arah pakaian Elise yang kotor karena noda merah. Tampilan Elise terlihat berantakan. Namun, dia tetap tenang, seolah tidak terlalu terpengaruh dengan kejadian itu.Mobil berhenti di tempat yang cukup terang. Beberapa toko berjejer di sepanjang jalan, suasananya terasa lebih tenang, jauh dari keramaian acara tadi. "Tunggu di sini."Tanpa menunggu jawaban Elise, Reiner segera membuka pintu dan keluar dari mobil dengan langkah cepat, memasuki salah satu toko di sana. Elise duduk diam, meratapi keadaan. Hatinya dipenuhi rasa bersalah. "Memang ceroboh..."Dia menggeram pelan, memukuli kedua pahanya bergantian, sambil mengutuk dirinya sendiri. Rasa cemas menguasainya, merasa sangat tidak enak atas kekacauan yang terjadi.Hingga pintu mobil kembali terbuka, membuat Elise terkejut. Reiner masuk kembali ke mobil, kali ini membawa sebuah paper bag yang masih belum diketahui isinya. Dia melemparkan pape
"Maaf, Tuan, saya mengacaukan acara Tuan."Reiner hanya menoleh sekilas, sedikit melirik ke arah pakaian Elise yang kotor karena noda merah. Tampilan Elise terlihat berantakan. Namun, dia tetap tenang, seolah tidak terlalu terpengaruh dengan kejadian itu.Mobil berhenti di tempat yang cukup terang. Beberapa toko berjejer di sepanjang jalan, suasananya terasa lebih tenang, jauh dari keramaian acara tadi. "Tunggu di sini."Tanpa menunggu jawaban Elise, Reiner segera membuka pintu dan keluar dari mobil dengan langkah cepat, memasuki salah satu toko di sana. Elise duduk diam, meratapi keadaan. Hatinya dipenuhi rasa bersalah. "Memang ceroboh..."Dia menggeram pelan, memukuli kedua pahanya bergantian, sambil mengutuk dirinya sendiri. Rasa cemas menguasainya, merasa sangat tidak enak atas kekacauan yang terjadi.Hingga pintu mobil kembali terbuka, membuat Elise terkejut. Reiner masuk kembali ke mobil, kali ini membawa sebuah paper bag yang masih belum diketahui isinya. Dia melemparkan pape
Elise terbangun dengan perasaan aneh. Tangannya, yang masih setengah sadar, menyentuh sesuatu yang terasa hangat, berotot, dan berbulu tipis. Dia menelan ludah, pikirannya langsung melayang ke berbagai skenario yang terlalu menakutkan untuk dipikirkan.“Apa ini… bantal?” gumamnya pelan, mencoba mencari penjelasan masuk akal.Namun, ketika matanya perlahan terbuka, Elise nyaris melompat. Bukan bantal yang ia sentuh, melainkan lengan Reiner yang terlihat kokoh dan tidak kalah gagah dari yang sering dia lihat di drama televisi. Pria itu masih terlelap, wajahnya terlihat tenang dengan rambut sedikit berantakan yang justru membuatnya tampak lebih… menarik.Panik mulai merayap di tubuh Elise. Dia buru-buru menarik tangannya dari lengan Reiner seperti disentrum listrik. Apa ini terjadi baru saja? Atau semalam? Pikiran Elise berputar-putar tanpa jawaban pasti.Dia menatap ke arah Reiner lagi, memastikan pria itu masih tertidur. Dengan gerakan hati-hati, Elise turun dari ranjang. Tangannya sib
Sore itu, panggilan mendadak dari Nyonya Barbra membuat Elise sedikit terkejut. Dia tengah membereskan vas bunga di ruang tamu ketika salah satu pelayan menyampaikan pesan. "Nyonya Barbra ingin kau ke kamarnya sekarang," kata Sofia singkat.Elise mengangguk patuh, namun hatinya mulai gelisah. Ia melangkah menuju lorong panjang di sisi lain rumah utama, tempat kamar Nyonya Barbra berada. Saat melewati Greta yang sedang mengelap rak di salah satu sudut, Elise merasakan tatapan tajam di punggungnya."Semangat, Elise," suara Greta terdengar, penuh sarkasme. Elise hanya menunduk, enggan meladeni.Setibanya di depan pintu kamar Nyonya Barbra, Elise berhenti sejenak. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Tidak ada yang perlu ditakuti. Aku tidak melakukan kesalahan, pikirnya.Ketukan pelan di pintu kayu disambut dengan suara tegas dari dalam. "Masuk."Elise membuka pintu perlahan dan melangkah masuk. Di dalam, Nyonya Barbra duduk di sebuah kursi besar dengan tangan terlipat di d
Elise berdiri di halaman, berhadapan dengan Federic yang tampak semakin tidak sabar. Langit sore mulai memudar, dan suasana di sekitarnya terasa sunyi, hanya diiringi suara lembut angin yang berembus. Elise berusaha tetap tenang, meskipun di dalam hatinya bergemuruh.“Aku tahu Reiner, Elise. Dia memperlakukanmu dengan buruk, kan?” Federic memulai, suaranya terdengar seperti tuduhan.Elise menghela napas panjang, menatap Federic dengan ekspresi lelah. “Tidak, Federic. Kau tidak tahu apa-apa. Tuan Reiner tidak seperti itu. Aku bekerja di sini dan sudah siap dengan segala risikonya.”Federic mendekat, lalu meraih tangan Elise. “Kau harus tahu, Elise. Setelah bertemu lagi, aku sadar perasaanku padamu masih sama. Tidak ada yang berubah.”Elise buru-buru menarik tangannya, merasa canggung dengan jarak di antara mereka. Dia menoleh, sadar bahwa ada yang mengawasi dari balik dinding kaca ruang tamu. “Federic, jangan berlebihan. Tidak enak dilihat orang.”
Elise mondar-mandir di dalam kamar Reiner, tangannya sesekali mencoba menggoyang-goyangkan gagang pintu. Namun, pintu itu tetap terkunci rapat. Helaan napas panjang keluar dari bibirnya yang pucat, sementara pikirannya dipenuhi pertanyaan yang tak terjawab.“Sebenarnya, kenapa aku harus dikurung di sini?” desah Elise lirih, lebih kepada dirinya sendiri.Ia melirik ke arah jendela yang memantulkan bayangan dirinya. Wajahnya tampak kusut, rambutnya sedikit berantakan akibat gerakan gelisahnya. Elise mengusap pelipisnya, mencoba menenangkan diri.Di lantai bawah, Federic duduk santai di ruang tamu, berhadapan dengan Abraham. Meskipun suasana terlihat tenang, ada ketegangan terselubung di antara mereka.“Kenapa kau datang-datang langsung bertanya tentang Elise?” Abraham memecah keheningan dengan nada rendah, tetapi penuh tekanan. “Kau kenal Elise?”Federic menyunggingkan senyum lebar. “Tentu saja kenal, Kakek. Dia teman lamaku, bahkan bisa di
Setelah keluar dari mobil, Reiner disambut oleh Hanna yang tampak gelisah. Perempuan itu berjalan cepat ke arahnya dengan wajah panik."Kenapa, Hanna? Wajahmu panik begitu?" tanya Reiner sambil merapikan jasnya."Ada tamu di ruangan Tuan," jawab Hanna dengan napas sedikit tersengal.Reiner mengerutkan kening. "Tamu? Siapa?""Sepupu Tuan," jawab Hanna dengan nada pelan tetapi penuh tekanan.Langkah Reiner terhenti sejenak, matanya menyipit tajam. "Untuk apa Federic ke sini?" gumamnya.Tanpa menunggu jawaban, Reiner melangkah cepat menuju tangga yang mengarah ke ruangannya. Hanna, yang terlihat enggan menaiki tangga, mendesah berat tetapi tetap membuntutinya.Sesampainya di ruangan, Reiner mendorong pintu dengan sedikit tenaga lebih. Di dalam, Federic sudah duduk santai di sofa dengan senyum lebar, seperti sedang menikmati pemandangan."Reiner, sepupuku sayang!" seru Federic sambil membuka kedua tangannya seolah i
Elise merasakan seluruh tubuhnya seperti dihantam ombak besar yang membuatnya terseret ke dasar laut. Setiap gerakan terasa pegal dan perih, terutama di bagian tubuh yang tak biasa disentuh sebelumnya. Begitu kedua matanya terbuka, ia baru menyadari sepenuhnya apa yang terjadi semalam—sebuah kenyataan yang membuatnya merasa tersudut."Astaga, Elise!" umpatnya pelan, sambil menarik diri dengan cepat dari tubuh yang ada di sampingnya. Jantungnya berdebar kencang, dan rasa malu mulai merayap di dalam diri. Tangannya mencengkeram ujung selimut, matanya celingukan, dan saat melihat pakaian tergeletak di lantai, kepalanya terasa berat."Apa yang sudah aku lakukan?" gumam Elise pada dirinya sendiri. Suaranya serak, suara yang penuh kebingungannya sendiri.Tiba-tiba, ada pergerakan dari samping, dan Elise terkejut saat melihat Reiner mulai melenguh pelan sebelum akhirnya tersenyum santai."Selamat pagi..." kata Reiner dengan nada lembut yang terdengar beg
Sesampainya di rumah, Will turun lebih dulu dari mobil. Dia membuka pintu untuk Reiner yang tampak terhuyung-huyung. Namun, bukannya mengikuti arahan Will, Reiner malah meracau dengan suara serak."Aku mau sama dia," gumam Reiner sambil merangkul Elise. "Kau pergi saja, Will."Will menatap Elise, yang terlihat canggung dengan situasi ini. Mereka saling pandang sejenak, seolah mencoba mencari solusi terbaik."Tidak apa-apa, Will," kata Elise akhirnya, meskipun suaranya terdengar ragu. "Tuan Reiner masih bisa berjalan. Aku akan bantu memapahnya ke kamar."Will mengerutkan dahi. "Kau yakin, Elise?"Elise mengangguk pelan, meski dalam hati dia merasa kewalahan. Reiner semakin berat bersandar padanya, sementara tangannya bermain-main dengan rambut Elise, membuat wajahnya memerah."Ayo, Tuan, saya antar ke kamar," ujar Elise, melingkarkan satu tangan di pinggang Reiner. Dengan susah payah, dia memapah Reiner menaiki tangga.Di
Reiner tidak memberi Elise kesempatan untuk menjauh. Bahkan ketika dia diminta memberikan pidato singkat, Reiner tetap meminta Elise berdiri di dekat panggung kecil, cukup terlihat oleh semua tamu.Tatapan tajam dari beberapa orang dan bisik-bisik yang mulai terdengar membuat Elise merasa sangat tidak nyaman. Dia menggenggam ujung gaunnya dengan gugup, ingin segera keluar dari ruangan ini."Dia itu siapa?" bisik salah satu tamu wanita sambil mencuri pandang ke arah Elise."Aku kurang tahu, tapi dia bersama Tuan Reiner terus sedari tadi," sahut yang lain. "Bahkan Nona Eva dan Olivia tidak dihiraukan olehnya."Pidato singkat Reiner berakhir, disambut tepuk tangan riuh. Saat dia turun dari panggung, alunan musik mulai menggema, mengundang para tamu untuk berdansa di ballroom.Langkah Reiner baru saja menjejak lantai ketika Olivia mendekat dengan senyum memikat. "Reiner, mau dansa denganku?" tanyanya, suaranya lembut namun cukup keras untuk d
Lampu kristal besar bergantung di tengah aula, memancarkan kilauan yang memantul di lantai marmer yang licin seperti cermin. Musik klasik lembut mengalun dari orkestra kecil di sudut ruangan, menciptakan suasana elegan yang memikat. Meja-meja prasmanan penuh dengan hidangan mewah—seafood segar, aneka keju, dan dessert berlapis cokelat berkilau.Reiner melangkah masuk dengan penuh percaya diri, mengenakan setelan hitam yang membuatnya terlihat semakin gagah. Aura karismanya langsung menarik perhatian seluruh tamu, terutama para wanita yang tak henti-hentinya berbisik."Siapa perempuan itu?" bisik salah satu tamu wanita sambil menatap Elise yang berjalan di samping Reiner."Kenapa dia datang bersama Tuan Reiner?" sambung yang lain, suaranya nyaris terdengar iri."Mereka terlihat tidak cocok."Tatapan tajam dan senyum sinis mulai bermunculan, membuat Elise merasa seperti pusat perhatian yang tak diinginkan. Tangannya semakin gemetar, tetapi
Satu hari berlalu…Elise duduk di atas ranjang kecilnya, kedua kaki terlipat, sementara tangannya memegang erat sebuah paperbag. Wajahnya tampak termenung, seolah memikirkan sesuatu yang berat."Sepertinya di sana bukan tempatku," gumam Elise pelan, tatapannya kosong. "Tapi Tuan Reiner memintaku ikut."Tangannya perlahan merogoh ke dalam paperbag, merasakan kain halus yang tersimpan di dalamnya. Sebuah gaun elegan berwarna hitam yang dibelikan Reiner kemarin. Elise menarik gaun itu perlahan, jemarinya menyentuh setiap detail kainnya.Namun, suasana hening itu tiba-tiba pecah. Dari balik pintu, suara berbisik terdengar samar. Sebelum Elise sempat bereaksi, Greta muncul bersama Sofia dan Clara, dengan cepat menyambar paperbag dari tangannya."Apa ini isinya?" tanya Greta dengan nada penuh penasaran. Senyumnya menyeringai, penuh ejekan."Kembalikan padaku!" Elise langsung bangkit dari ranjang, wajahnya memerah karena marah dan malu.
Elise dan Reiner masih berada di kamar. Niatnya Elise ingin keluar untuk menemui ayahnya, tapi Reiner melarangnya dengan alasan tidak mau sendirian di kamar sempit ini.Sementara itu, di ruang tengah yang terhubung dengan ruang makan, Lily baru saja meletakkan minuman untuk dua tamunya di atas meja."Kakak Elise kemana, Ayah?" tanya Lily.Eddie sedang mencuci tangan menjawab. "Kakakmu sedang mengantar Tuan Reiner untuk istirahat.""Aku panggil saja ya, biar ikut makan siang."Dengan cepat Eddie mencegah langkah putrinya itu, "Tidak usah, Lily. Nanti kakakmu pasti ke sini."Akhirnya Lily mengangguk, lalu berlanjut menata makan siang di atas meja. Meski umurnya baru menjelas sebelah tahun, Lily cukup pandai untuk membuat makanan. Ya, meskipun aja beberapa lembar omelet dan salad.Di dalam kamar, Elise mondar-mandir dengan gelisah. Dia sesekali melirik ke arah Reiner yang masih bersandar di ujung ranjang dengan tiga tumpuka