"Maaf, Tuan, saya mengacaukan acara Tuan."Reiner hanya menoleh sekilas, sedikit melirik ke arah pakaian Elise yang kotor karena noda merah. Tampilan Elise terlihat berantakan. Namun, dia tetap tenang, seolah tidak terlalu terpengaruh dengan kejadian itu.Mobil berhenti di tempat yang cukup terang. Beberapa toko berjejer di sepanjang jalan, suasananya terasa lebih tenang, jauh dari keramaian acara tadi. "Tunggu di sini."Tanpa menunggu jawaban Elise, Reiner segera membuka pintu dan keluar dari mobil dengan langkah cepat, memasuki salah satu toko di sana. Elise duduk diam, meratapi keadaan. Hatinya dipenuhi rasa bersalah. "Memang ceroboh..."Dia menggeram pelan, memukuli kedua pahanya bergantian, sambil mengutuk dirinya sendiri. Rasa cemas menguasainya, merasa sangat tidak enak atas kekacauan yang terjadi.Hingga pintu mobil kembali terbuka, membuat Elise terkejut. Reiner masuk kembali ke mobil, kali ini membawa sebuah paper bag yang masih belum diketahui isinya. Dia melemparkan pape
Elise terbangun dengan perasaan aneh. Tangannya, yang masih setengah sadar, menyentuh sesuatu yang terasa hangat, berotot, dan berbulu tipis. Dia menelan ludah, pikirannya langsung melayang ke berbagai skenario yang terlalu menakutkan untuk dipikirkan.“Apa ini… bantal?” gumamnya pelan, mencoba mencari penjelasan masuk akal.Namun, ketika matanya perlahan terbuka, Elise nyaris melompat. Bukan bantal yang ia sentuh, melainkan lengan Reiner yang terlihat kokoh dan tidak kalah gagah dari yang sering dia lihat di drama televisi. Pria itu masih terlelap, wajahnya terlihat tenang dengan rambut sedikit berantakan yang justru membuatnya tampak lebih… menarik.Panik mulai merayap di tubuh Elise. Dia buru-buru menarik tangannya dari lengan Reiner seperti disentrum listrik. Apa ini terjadi baru saja? Atau semalam? Pikiran Elise berputar-putar tanpa jawaban pasti.Dia menatap ke arah Reiner lagi, memastikan pria itu masih tertidur. Dengan gerakan hati-hati, Elise turun dari ranjang. Tangannya sib
Sore itu, panggilan mendadak dari Nyonya Barbra membuat Elise sedikit terkejut. Dia tengah membereskan vas bunga di ruang tamu ketika salah satu pelayan menyampaikan pesan. "Nyonya Barbra ingin kau ke kamarnya sekarang," kata Sofia singkat.Elise mengangguk patuh, namun hatinya mulai gelisah. Ia melangkah menuju lorong panjang di sisi lain rumah utama, tempat kamar Nyonya Barbra berada. Saat melewati Greta yang sedang mengelap rak di salah satu sudut, Elise merasakan tatapan tajam di punggungnya."Semangat, Elise," suara Greta terdengar, penuh sarkasme. Elise hanya menunduk, enggan meladeni.Setibanya di depan pintu kamar Nyonya Barbra, Elise berhenti sejenak. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Tidak ada yang perlu ditakuti. Aku tidak melakukan kesalahan, pikirnya.Ketukan pelan di pintu kayu disambut dengan suara tegas dari dalam. "Masuk."Elise membuka pintu perlahan dan melangkah masuk. Di dalam, Nyonya Barbra duduk di sebuah kursi besar dengan tangan terlipat di d
Sore itu, hujan rintik-rintik membasahi kaca besar di ruang tamu keluarga Tuan Gale. Barbra sibuk memeriksa dekorasi meja tamu, memastikan bunga di vas tertata sempurna. Greta berdiri di dekat pintu, memegang nampan berisi teh yang baru saja disiapkan.Barbra melirik jam dinding, wajahnya terlihat tegang."Eva seharusnya sudah sampai. Greta, pastikan dia tidak kehujanan saat turun dari mobil." Kata Barbra."Baik, Nyonya."Barbra berjalan ke arah Gale yang duduk membaca koran di kursi berlapis kulit. Dia menutup korannya perlahan, mendongak dengan ekspresi lelah saat Barbra mulai bicara."Suamiku, kau harus bicara dengan Reiner nanti. Aku ingin dia benar-benar serius dengan Eva."Gale menghela napas, "Barbra, Reiner bukan anak kecil lagi. Kau tahu dia tidak suka dipaksa.""Itu karena dia keras kepala, seperti ayahnya. Tapi aku tahu apa yang terbaik untuk keluarga ini. Eva adalah pilihan yang tepat, aku tidak mau pengganggu datang--'Barbra menghentikan kalimatnya saat mendengar langkah
Langit sore tampak mendung ketika Elise tiba di rumah kecil yang sudah lama tidak ia kunjungi. Begitu Elise mengetuk pintu, terdengar suara langkah kecil yang berlari terburu-buru dari dalam. Pintu terbuka dengan cepat, dan Lily, adik perempuannya yang baru berumur sepuluh tahun, muncul dengan mata berbinar."Kak Elise!"Lily langsung memeluk Elise erat, tangisnya pecah di bahu sang kakak. Elise balas memeluk adiknya, mengusap rambutnya lembut, berusaha menahan air mata yang mulai membasahi pelupuk mata."Lily, kakak datang. Jangan menangis, ya."Namun suara Elise bergetar, terbawa emosi. Ia melepaskan pelukan, menggandeng tangan Lily masuk ke rumah."Yuk masuk, kita ngobrol di dalam."Di ruang tamu yang sederhana, Elise membuka tasnya, mengeluarkan beberapa oleh-oleh. Mata Lily berbinar lagi ketika melihat cokelat dan buku cerita baru."Kak Elise selalu tahu apa yang aku suka!""Tentu saja, Kakak kan sering memikirkanmu. Maaf, kakak baru bisa berkunjung."Namun suasana hangat itu ter
Langkah hak tinggi Barbra terdengar menggema di lorong sempit yang dipenuhi aroma pembersih lantai. Elise, yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan jubah handuk, hampir menjatuhkan handuk kecil yang ia bawa ketika melihat sosok anggun namun penuh tekanan itu berdiri di depannya."Nyo-nyonya Barbra?" Elise berujar dengan nada gemetar. Pandangannya langsung menunduk, mencoba menghindari tatapan menusuk Barbra.Barbra menatap sekeliling dengan ekspresi jijik, seperti seorang ratu yang tersesat di perkampungan kumuh. Kalau bukan karena terpaksa, Barbra bersumpah tidak akan menginjakkan kaki di sini."Memang hebat kau, Elise. Tampangmu ini sangat meyakinkan."Elise mengangkat wajahnya sedikit, masih diliputi rasa takut dan bingung. "Maaf, Nyonya... apa maksud Nyonya? Saya tidak paham."Barbra mendengus, ekspresinya seperti harimau yang hendak menerkam mangsanya. "Apa yang kau rencanakan, Elise? Haruskah aku memperingatkanmu lebih tegas?"Elise menggeleng buru-buru, tangannya gemetar m
Elise berjongkok di tepi kolam, mengangkat daun-daun kering dengan jaring pembersih. Sesekali, dia mendesah pelan. Suara air yang beriak di bawah kakinya terdengar menenangkan, tetapi pikirannya terusik."Dasar Greta, selalu saja merasa lebih dari yang lain," gumam Elise, suaranya pelan tetapi cukup terdengar di antara gemerisik angin. "Dan Nyonya Barbra? Huh, bukannya memberikan arahan yang baik, malah mengirimku membersihkan kolam. Apa dia tidak tahu, ini pekerjaan siang hari, bukan pagi-pagi seperti ini."Bibir Elise mengerucut, ekspresinya penuh protes. Dia mengaduk air dengan jaring, membuat gelembung-gelembung kecil muncul di permukaan. "Memangnya aku ini apa? Robot? Pelayan memang pelayan, tapi tidak harus dihina juga. Kalau mereka pikir aku mau mencari perhatian, mereka salah besar!"Sementara Elise terus mengoceh sendiri, dia tidak sadar bahwa dari balik dinding kaca di lantai atas, sepasang mata memperhatikannya dengan seksama. Reiner berdiri tegak, satu tangannya menyelip d
Elise berjalan cepat menuju halaman depan setelah berhasil membersihkan diri dengan tergesa-gesa. Wajahnya masih terlihat basah, rambutnya yang belum benar-benar kering diikat seadanya ke belakang, dan seragamnya kini tampak lebih rapi meski kerutan samar masih terlihat di bagian lengan.Saat mendekati mobil hitam yang terparkir, Elise melihat Reiner sedang berdiri di sisi kendaraan dengan tangan bersilang di dada. Ekspresinya datar, tapi dagunya sedikit terangkat, menambah kesan arogan yang begitu khas.“Lama sekali,” gumam Reiner sambil melirik arlojinya.Elise menelan ludah, menghentikan langkahnya dengan kaki gemetar. “Saya minta maaf, Tuan. Saya segera ke sini setelah--”“Buka pintu.”Suaranya datar, perintah itu keluar tanpa nada amarah, tapi cukup untuk memotong penjelasan Elise. Gadis itu terdiam sejenak, merasa ucapan itu terlalu sederhana untuk usaha keras yang baru saja dilakukannya. Namun, dia tahu tidak ada gunanya berdebat.Elise mengangguk, lalu melangkah ke sisi mobil
Tobey duduk di kursi, wajahnya tegang dan penuh kemarahan. Tangan kanannya mencengkeram sandaran kursi dengan erat, sementara tangan kirinya meremas ponsel, matanya terpaku pada foto yang ada di layar—sebuah gambar pria yang tak lain adalah ayah Elise. Ketika matanya menyapu ruang itu, ia mendapati bawahannya masih sibuk mengutak-atik komputer, mencoba mencari solusi dari teka-teki yang membuatnya semakin jengkel. "Damn!" Tobey mengumpat kasar, suaranya serak penuh kekesalan. "Kau memang serakah, Harrys! Bahkan setelah mati, kau masih menyusahkan hidupku!" Ia melemparkan ponselnya ke meja dengan kasar, kemudian berdiri dan berjalan mondar-mandir, berpikir keras. Ruangan itu terasa semakin sempit, seolah-olah setiap sudutnya menekan perasaan Tobey yang semakin membara. Di ambang pintu, Karl muncul, memandangnya dengan wajah ragu-ragu. “Apakah mungkin kode sandinya ulang tahun Roseta?” Tobey menoleh, matanya menyipit dengan keraguan. "Itu terlalu mudah, Karl." Suaranya terdengar taj
Di dalam ruangan yang cukup terang, suasana semakin tegang. Semua mata tertuju pada brankas besar yang terletak di tengah ruangan. Ahli IT yang duduk di depan komputer mulai mengoperasikan alatnya, dan layar di hadapannya menunjukkan data yang bergerak cepat. Semua orang menunggu dengan cemas, menyadari bahwa brankas itu hanya bisa dibuka dengan sidik jari yang cocok. Tentu saja, itu hanya masalah waktu. Tak lama lagi, brankas itu akan terbuka, dan rahasia yang tersembunyi di dalamnya akan terungkap. Semua mata kini beralih ke Elise yang terikat di sudut ruangan. Wajahnya tampak pucat dan penuh kecemasan. Tiba-tiba, salah satu suruhan lainnya yang tampaknya bertugas menjaga keamanan ruangan, berjalan mendekat dengan ekspresi cemas. Wajahnya menunjukkan ketegangan. "Tuan, kami mendeteksi gerakan di sekitar gedung. Sepertinya ada orang lain yang mendekat." Tobey mengerutkan keningnya, lalu mengalihkan pandangannya ke Elise yang duduk di sudut ruangan, tampak semakin ketakutan. Tata
Pagi itu, tubuh Elise tersentak hebat, seakan terbangun dari mimpi buruk yang terlalu nyata. Matanya langsung terbuka lebar, menatap langit-langit gelap di atasnya. Napasnya memburu, dadanya naik-turun seiring ketakutan yang belum sepenuhnya hilang dari pikirannya. Dia bergumam pelan, hampir tidak terdengar, "Sudah pagi ternyata..." Namun, pagi itu tidak membawa ketenangan. Elise masih terikat di kursi kayu keras, dengan tali yang menggerus pergelangan tangannya. Dia mencoba lagi untuk membebaskan diri, menarik-narik tali bergantian dengan penuh harap, tetapi usahanya hanya membuat kulitnya semakin memerah dan perih. Rasa sakit itu seperti memperingatkan bahwa kebebasan masih jauh dari jangkauan. Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat. Elise segera berhenti bergerak, memejamkan mata, dan menyandarkan kepalanya ke dinding. Dia berpura-pura tidur, mencoba mendengarkan percakapan yang terjadi di luar ruangannya. "Tuan akan langsung membawa dia pergi?" suara berat Karl terde
Pukul delapan malam, suasana di luar rumah Eddie masih tampak tenang. Reiner memarkir mobilnya di depan pagar yang sudah mulai berkarat. Langkahnya terdengar berat dan cepat di atas jalan setapak menuju pintu utama. Ketika pintu terbuka, Eddie—dengan rambutnya yang mulai memutih dan postur tubuh sedikit membungkuk—terlihat terkejut mendapati Reiner berdiri di ambang pintu dengan ekspresi tegang. “Silakan masuk, Tuan... sepertinya ada yang genting,” kata Eddie sambil mempersilakan Reiner masuk ke ruang tamu. Tanpa menunggu basa-basi, Reiner langsung membuka pembicaraan. “Apa kau masih sering menemui Karl?” Kening Eddie berkerut. Nama itu seperti pisau tua yang kembali mengiris luka lama. “Ada apa dengan Karl?” tanyanya penuh kebingungan. Reiner mendesah berat, mencoba menahan ledakan emosinya. “Elise hilang.” Mata Eddie membelalak. “E-Elise hilang? Bagaimana bisa, Tuan?” Reiner meraup wajahnya dengan kasar, frustrasi. “Kau tahu kira-kira Karl tinggal di mana? Kau itu kakak kandun
Tubuh Elise gemetar, kedua tangannya terikat erat di belakang punggung, sementara kakinya dililit tali yang sama kuatnya. Lakban menutup rapat mulutnya, membuatnya hanya bisa mengeluarkan suara samar dari tenggorokannya. Dia duduk bersimpuh di lantai, punggungnya bersandar pada sebuah lemari kayu yang besar. Perlahan, Elise membuka matanya. Pandangannya buram pada awalnya, tapi sedikit demi sedikit, ruangan itu mulai terlihat jelas. Cahaya remang dari sebuah lampu gantung tua memantulkan bayangan menyeramkan di dinding. Jantungnya berdegup kencang saat ia menyadari bahwa dirinya berada di tempat asing, dalam kondisi tidak berdaya. Suara langkah kaki terdengar mendekat. Karl muncul dari kegelapan, mengenakan jaket kulit yang terlihat usang. Wajahnya dihiasi seringaian dingin yang mengirimkan hawa menakutkan ke seluruh ruangan. "Bangun juga kau, Elise," ucap Karl dengan nada mengejek, matanya menyipit tajam saat dia mendekati tubuh Elise yang terikat. Elise berusaha menggerakkan tub
Polisi mulai sibuk bergerak, menyebar ke seluruh area bangunan tua yang telah lama terbengkalai di tengah hutan. Mereka menggedor setiap sudut, membuka pintu-pintu berkarat dan menyisir ruang-ruang yang diselimuti debu tebal. Meskipun bangunan ini sudah lama ditinggalkan, tidak ada yang tahu bahwa di dalamnya masih tersimpan sesuatu yang sangat penting, sesuatu yang bisa mengubah banyak hal."Dua langkah ke kiri!" perintah seorang polisi dengan suara tegas saat ia menyisir ruang yang dipenuhi komputer-komputer tua dan alat-alat aneh. Dalam salah satu sudut ruangan, sebuah brangkas besar berdiri tegak, menunggu untuk dibuka oleh Tobey. Tapi kini, brangkas itu hanya menjadi objek misteri bagi para penyelidik."Jangan bergerak! Kalian sudah terkepung!" teriak polisi lain yang sudah mengarahkan senjata mereka ke empat orang yang berada di dalam ruangan tersebut. Para pengikut Tobey terkejut, namun mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Tangan mereka terangkat ke udara sebagai tanda menyerah.
Kediaman Keluarga BarackReiner memarkir mobil di area halaman, suara mesin yang berhenti menarik perhatian Will yang sedang duduk di pos bersama para penjaga. "Baru pulang, Tuan?"Reiner hanya mengangguk singkat, kemudian berjalan masuk ke dalam rumah. Udara di dalam terasa hangat, namun pikirannya tidak. Ada sesuatu yang mengganjal sejak dia melihat barang berserakan di jalan pinus tadi.Saat tiba di ruang tengah, suaranya bergema, memanggil, "Elise!"Yang muncul bukan Elise, melainkan Clara, dengan wajah sedikit ragu."Maaf, Tuan... Elise sedang tidak di rumah."Kening Reiner langsung berkerut, nada suaranya berubah. "Kemana dia?" "Saya kurang tahu, Tuan. Dari siang saya tidak melihat Elise."Reiner terdiam, pikirannya langsung berputar. Dia berjalan menuju tangga, melangkah ke lantai dua sambil mencoba menenangkan diri.Reiner membatin, "Apa dia pergi menemui ayah dan adiknya lagi? Atau ke galeri seni seperti biasa?"Tapi kenapa tidak ada pesan? Dia merogoh ponsel dari saku cela
Siang itu, matahari bersinar terang di halaman rumah keluarga Barbra. Elise sedang sibuk menyapu dedaunan kering yang berguguran. Dengan gerakan cepat, ia mencoba menyelesaikan pekerjaannya, namun perhatiannya terusik oleh percakapan yang terjadi di teras depan. "Reiner sering sekali mencuri pandang padaku waktu itu," suara Olivia terdengar jelas, diiringi tawa kecil. "Ah, aku ingat itu. Anak itu selalu mencari alasan untuk bertemu denganmu," sahut Barbra dengan nada bercanda, tetapi ada kehangatan di dalamnya. Mendengar obrolan itu, Elise menghentikan gerakan sapunya. Ia berdiri di balik pohon besar, mencuri dengar pembicaraan mereka. Dadanya terasa sedikit sesak, meskipun ia sendiri tidak mengerti mengapa. Olivia melanjutkan, "Dia benar-benar berbeda saat itu, Bibi. Lebih hangat, lebih perhatian. Tapi, yah, waktu memang mengubah segalanya." Elise mendengus pelan, mencoba mengalihkan rasa tak nyaman dengan menyapu daun-daun kering lebih keras. Tak lama kemudian, Reiner muncul da
Pagi itu, Elise sudah berdiri di depan kamar Reiner, memeluk keranjang pakaian yang semalam harus ia setrika ulang. Matanya menatap pintu kayu itu dengan ragu. Dia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri sebelum mengetuk. Namun, sebelum tangannya sempat menyentuh pintu, gagang pintu itu berputar, dan sosok Olivia muncul dari dalam. Olivia menguap kecil, tampak santai dengan piyama satin yang terkesan mahal. Rambutnya tergerai rapi, meskipun baru saja bangun tidur. Elise membeku. Pandangan mereka bertemu, dan Olivia tampak terkejut. “Eh, Elise? Kau di sini pagi-pagi sekali?” tanya Olivia sambil merapikan rambutnya. Elise menelan ludah. “Sa-saya… saya mau mengantar pakaian, Nona. Semua harus rapi sebelum Tuan Reiner bangun.” “Oh, begitu ya?” Olivia tersenyum tipis sambil menyingkir memberi jalan. “Silakan masuk saja.” Elise mengangguk canggung, melangkah masuk ke kamar sambil memeluk keranjang pakaian erat-erat. Dia tidak berani menoleh, tetapi langkah Olivia yang gemulai ta