Sore itu, dapur rumah keluarga Barack dipenuhi aroma herbal yang baru saja diseduh. Elise sibuk membawa nampan berisi secangkir teh herbal untuk Tuan Abraham. Penampilannya sederhana, tapi menarik perhatian. Dengan tinggi badan 160 cm, tubuh mungilnya tampak anggun. Rambut hitam sebahunya selalu tertata rapi, meski wajahnya jarang dihiasi riasan. Sorot matanya lembut, menyiratkan kepribadian yang sabar, walau dalam hatinya sering tersimpan rasa gelisah.
Elise, meskipun hanya pelayan, membawa aura yang berbeda. Ia terlihat tenang, tapi ada jejak kekuatan dari masa lalunya yang sulit—masa kecil di rumah yang penuh dengan pertengkaran, membuatnya belajar untuk menahan diri dan menghadapi segala situasi dengan kepala dingin. Salah seorang pelayan senior, Greta, berbisik pada rekannya sambil melirik Elise yang baru melewati mereka. “Lihat dia, baru beberapa hari di sini sudah begitu percaya diri melayani Tuan Abraham. Biasanya, pelayan lain lari dalam seminggu,” katanya sinis. “Entahlah,” jawab pelayan lain, “Mungkin hanya akting. Kita lihat saja berapa lama dia bertahan.” Namun, Elise tidak menggubris komentar itu. Dia tahu, menjadi pelayan di rumah keluarga Barack adalah kesempatan yang tidak semua orang dapatkan, gaji yang diatas rata-rata, semua orang tentu berlomba-lomba untuk bisa masuk ke rumah ini. Ketika tiba di ruang keluarga, Tuan Abraham sudah duduk di kursi rodanya, ditemani setumpuk koran pagi. Pria itu menegakkan punggungnya, meski kulit keriputnya menunjukkan usianya yang sudah mendekati sembilan puluh tahun. “Teh Anda, Tuan,” Elise berkata lembut, meletakkan cangkir di meja kecil di sebelah pria itu. Tuan Abraham mendongak, menatap Elise dengan tajam selama beberapa detik, sebelum senyumnya tiba-tiba muncul, mengejutkan siapa pun yang melihatnya. “Ah, Elise,” katanya, suaranya lebih hangat dari biasanya. “Kau tahu bagaimana caranya membuat teh ini tepat seperti yang aku mau. Tidak terlalu pahit, tidak terlalu manis.” Elise tersenyum kecil, mencoba menutupi rasa gugupnya. “Terima kasih, Tuan. Saya hanya mengikuti petunjuk Anda.” Pria tua itu tertawa kecil. “Kau terlalu rendah hati. Kau tahu, selama bertahun-tahun, tidak ada pelayan yang berhasil membuat teh seperti ini.” Ia mengangkat cangkirnya, mencicipi teh itu dengan penuh penghargaan. Elise tidak tahu harus menjawab apa. Sementara itu, Greta, yang kebetulan melewati pintu ruang makan, berhenti di tempat. Matanya membulat. Tuan Abraham, pria yang terkenal galak bahkan pada keluarganya sendiri, justru bersikap ramah pada Elise. “Dia pasti sedang tidak enak badan,” gumam Greta dengan nada iri. Kembali ke ruang keluarga, Elise memberanikan diri bertanya, “Apakah ada yang bisa saya bantu lagi, Tuan Abraham?” Pria tua itu menggeleng, masih tersenyum. “Hanya ini. Tapi duduklah sebentar, temani aku membaca. Kau punya suara yang tenang, bagus untuk membaca berita politik hari ini.” Elise terkejut mendengar permintaan itu, tapi ia segera menurut. Dengan hati-hati, ia mengambil salah satu koran dan mulai membacakannya. Suaranya lembut, dan Tuan Abraham mendengarkan dengan tenang, sesekali mengangguk atau mengajukan komentar singkat. Dari kejauhan, Reiner berdiri di balik pintu, mengamati interaksi itu. Ia hampir tidak percaya melihat kakeknya bersikap selembut ini pada seseorang. Biasanya, kakeknya mengusir pelayan baru dalam waktu seminggu, tapi Elise tampaknya adalah pengecualian. “Apa yang spesial dari dia?” gumam Reiner pelan, matanya terus mengawasi Elise. Ada sesuatu tentang gadis itu yang membuatnya penasaran, meski egonya menolak untuk mengakui perasaan itu. ---- Ruangan keluarga sudah mulai sepi ketika Abraham memberi isyarat kepada Elise untuk mendekat. Dengan langkah ragu, Elise berjalan menghampiri pria tua itu. Di sisi lain ruangan, Reiner sedang duduk di sofa, menyesap segelas anggur dengan santai, tapi tatapannya terus mengamati kejadian tersebut. “Elise,” suara Abraham terdengar lembut tapi tegas, “sudah malam. Tidak aman bagimu pulang sendiri. Reiner akan mengantarmu.” Reiner segera meletakkan gelasnya dengan suara keras yang disengaja, menatap kakeknya dengan sorot keberatan. “Kakek, aku yakin dia bisa pulang sendiri. Biarkan dia memanggil taksi atau penjaga rumah bisa mengantarnya. Aku tidak ada waktu untuk itu.” Abraham hanya melirik sekilas ke arah Reiner, senyum kecil di wajahnya yang seakan berkata kau tak punya pilihan, Nak. “Aku tidak peduli bagaimana caramu menghabiskan waktu, Reiner. Kau akan mengantarnya.” Elise, yang merasa menjadi beban, langsung angkat bicara. “Tuan Abraham, terima kasih atas perhatiannya, tapi saya bisa pulang sendiri. Tidak perlu merepotkan Tuan Reiner.” “Tidak ada debat, Elise,” potong Abraham, suaranya tak menyisakan ruang untuk penolakan. “Aku tidak ingin ada masalah terjadi padamu. Reiner akan memastikan kau pulang dengan selamat.” Sadar bahwa membantah hanya akan memperburuk situasi, baik Elise maupun Reiner akhirnya menyerah. Suasana di dalam mobil terasa mencekam, terutama dengan keheningan yang pekat. Reiner memegang kemudi dengan sikap santai tapi tegang, sesekali melirik Elise melalui kaca spion. Elise duduk dengan tangan di pangkuan, pandangannya tertuju pada pemandangan kota yang samar di luar jendela. Setelah beberapa menit berlalu, Reiner akhirnya membuka suara. “Jadi...,” ia mulai dengan nada datar, “Bagaimana kau bisa bekerja di pesta waktu itu? Tidak mudah, aku tahu. Para pelayan di sana tidak hanya harus melayani makanan. Beberapa bahkan diminta melakukan hal-hal... lain.” Nada sinis dalam suaranya tidak terlewatkan oleh Elise. Dia menoleh perlahan ke arah Reiner, matanya menatap pria itu dengan tenang. “Apa maksud Tuan Reiner?” tanyanya tanpa emosi. Reiner mengangkat bahu, tak menoleh dari jalan. “Kau tahu maksudku. Pekerjaan seperti itu bukan untuk wanita baik-baik. Aku paham betul orang-orang di sana.” Elise tersenyum kecil, bukan karena terhibur, tapi karena terbiasa dengan prasangka semacam itu. “Tuan Reiner, saya hanya bekerja untuk menghasilkan uang. Apa yang orang lain pikirkan atau lakukan, bukan urusan saya. Saya di sana untuk bekerja, bukan untuk menilai atau dinilai.” Jawaban itu membuat Reiner terdiam. Ia tak menyangka Elise akan menanggapinya dengan tenang tanpa sedikit pun terguncang oleh ucapannya. Alih-alih merasa puas, ia justru merasa sedikit... gelisah. “Elise,” katanya akhirnya, suaranya lebih pelan, “Kau tidak menjawab pertanyaanku. Bagaimana kau bisa bekerja di sana?” Elise menatap ke luar jendela lagi, seolah tidak mau melanjutkan pembicaraan. Tapi setelah beberapa detik, dia menjawab dengan nada datar. “Seseorang merekomendasikan saya. Saya butuh uang, dan pekerjaan itu membayar dengan baik.” Reiner mendengus pelan, setengah mengejek. “Jadi kau benar-benar hanya mengandalkan keberuntungan. Ah... atau memang uang bisa membelimu.” Elise tersenyum tipis, menahan rasa tak enak mendengar sindiran itu. Mobil akhirnya berhenti di depan sebuah rumah sederhana di pinggiran kota. Elise membuka pintu dan keluar dengan gerakan anggun, lalu menoleh ke arah Reiner. “Terima kasih sudah mengantar, Tuan Reiner. Selamat malam.” Reiner hanya mengangguk kecil, tapi matanya masih mengikuti Elise yang berjalan masuk ke rumahnya. Untuk pertama kalinya, ia merasa penasaran. Wanita itu berbeda dari apa yang ia bayangkan. Dan untuk alasan yang tak ia pahami, hal itu mengganggunya. Sebelum mobil melaju, suara benda keras seperti terjatuh dari ketinggian. Reiner melihat Elise masuk ke dalam rumah dengan cepat seperti terjadi sesuatu. ----Reiner menuntun mobilnya melewati jalanan yang tak terlalu terang, mengikuti arah yang ditunjukkan oleh Elise. Saat mobil berhenti di depan rumah yang sederhana namun sedikit kumuh, Reiner menatap bangunan itu sekilas dari dalam mobil. Tidak ada yang terlalu mencolok, hanya sebuah rumah dengan pagar kayu yang sudah mulai lapuk. Sangat kontras dengan rumah megah yang ia tinggali.Elise membuka pintu mobil, hendak turun. Reiner menundukkan wajahnya sejenak, berusaha menyembunyikan rasa keingintahuan yang tumbuh. Dengan sedikit ragu, dia mengikuti Elise keluar dari mobil dan berjalan mengikutinya ke pintu rumah. Dalam pikiran Reiner, rumah ini adalah tempat yang sangat berbeda dari kehidupannya yang mewah dan penuh privilese.Begitu masuk ke dalam, bau lembap dan udara pengap langsung terasa. Rumah itu tampak kacau, dengan barang-barang yang berserakan di lantai. Ruangan yang seharusnya menjadi ruang tamu tampak kosong, hanya berisi kursi-kursi kayu usang dan meja yang sudah tidak terawa
Malam itu, ketenangan yang rapuh melingkupi rumah kecil keluarga Elise. Bau darah samar masih terasa di udara, bercampur dengan aroma kayu yang lapuk. Elise menuntun ayahnya, Eddie, ke kamar untuk mengobati luka di tangannya. Luka itu tidak terlalu dalam, tapi cukup membuat Eddie meringis setiap kali Elise membersihkannya.Sebuah lampu redup di meja kecil di sudut kamar menjadi satu-satunya penerangan, memunculkan bayangan wajah Eddie yang penuh garis usia dan kelelahan. Elise bekerja dalam diam, tangannya cekatan, sementara pikirannya penuh pertanyaan yang tidak berani ia lontarkan."Ahh… pelan-pelan, Elise. Kau ini seperti mau mengulitiku saja!" kata Eddie setengah kesal.Elise tersenyum tipis. Sikap ayahnya memang cukup keras. "Ayah lebih baik diam kalau tidak tahan sakit. Luka ini karena ulah Ayah sendiri.""Huh, seperti aku punya pilihan lain. Kau tahu, mereka datang karena kita berutang! Kalau aku tidak menghadap mereka, mereka mungkin sudah menghancurkan rumah ini."Elise berhe
Pagi itu, Elise terbangun sebelum fajar.Bayang-bayang kejadian semalam masih membekas di pikirannya, tetapi tidak ada waktu untuk berlama-lama dalam keresahan. Dengan cekatan, dia mulai membereskan rumah yang berantakan, mengangkat kursi yang terbalik, dan menyapu pecahan kaca yang masih berserakan di lantai. Sesekali, dia menoleh ke kamar ayahnya, memastikan tidak ada suara yang mencurigakan.Elise memasak sarapan sederhana, dua porsi nasi dan telur dadar. Porsinya harus cukup untuk Lily dan ayahnya. Sambil bekerja, pikirannya terusik oleh perintah Eddie semalam. Mendekati Reiner? Sungguh ide yang tidak masuk akal. Elise menggelengkan kepala, mencoba menyingkirkan pikiran itu.Saat Lily muncul dari kamar dengan rambut yang belum tersisir rapi, Elise tersenyum kecil.“Ayo cepat cuci muka. Setelah itu, makan dulu sebelum kita berangkat.” Elise menyerahkan sepiring nasi kepada adiknya.“Kakak sudah makan?” Lily bertanya dengan nada polos, suaranya masih serak karena baru bangun tidur.
Suara langkah kaki terdengar di sepanjang lorong marmer rumah keluarga Barack yang megah. Elise berjalan pelan mengikuti Will, pria berkacamata dengan setelan rapi yang selalu tampak seperti bayangan Tuan Abraham. Pagi ini, tugas Elise bertambah berat setelah arahan baru yang diberikan langsung oleh sang majikan.“Jadi, seperti yang Tuan Abraham katakan, mulai hari ini, kamu akan mengurus keperluan Tuan Reiner setiap pagi,” jelas Will sambil menyerahkan selembar kertas.Elise menerima kertas itu dengan ragu. Pandangannya menyapu barisan huruf yang tertera:Pakaian kerja harus tersedia di kamar jam 6 pagi.1. Segelas air putih harus tersedia di nakas.2. AC harus disetel pada suhu 24 derajat, tidak boleh lebih dingin.3. Dilarang mengeluarkan suara yang berpotensi membangunkan Tuan Reiner.4. Setelah Tuan Reiner bangun, sarapan harus siap di meja makan.5. Dilarang memasuki kamar tanpa izin setelah Tuan Reiner bangun.6. Aroma ruangan harus berganti setiap hari, sesuai dengan yang sud
Pagi itu, suasana ruang makan terasa tenang dan hangat oleh aroma roti panggang dan kopi. Elise baru saja selesai mengurus keperluan Reiner dan langsung bergegas membawa nampan sarapan untuk Tuan Abraham. Kebiasaan sang majikan memang berbeda dari anggota keluarga lainnya—Abraham selalu menikmati sarapan di ruang pribadinya, jauh dari hiruk-pikuk rumah besar itu.Elise mengetuk pintu dengan sopan.“Masuk,” terdengar suara berat Abraham dari dalam.Ketika Elise masuk, ia disambut oleh keheningan ruang kerja Abraham, yang dikelilingi oleh rak buku tinggi. Beliau duduk di kursi malasnya, tatapannya beralih dari buku yang sedang dibaca ke Elise.“Selamat pagi, Tuan,” ujar Elise lembut sambil menaruh nampan di atas meja kecil di samping kursi.“Pagi,” balas Abraham sambil melipat buku dan meletakkannya di pangkuan. “Kau sudah terbiasa bekerja di sini, Elise?”“Sudah cukup terbiasa, Tuan. Meski... masih banyak yang perlu saya pelajari,” Elise menjawab jujur, menundukkan kepala sedikit.“Bag
Eva Myles, dengan keanggunannya yang tak terbantahkan, melangkah masuk. Tubuhnya tegak, wajah ovalnya dihiasi senyuman tipis yang tampak ramah namun penuh dominasi. Rambut panjangnya yang bergelombang tergerai sempurna di atas blazer putih dan rok pensil hitam. Setiap langkahnya terdengar seperti irama sepatu hak tinggi di atas lantai, membuat semua mata karyawan yang semula sibuk mendadak menoleh.“Dia datang lagi,” bisik seorang resepsionis kepada rekannya.“Berani sekali, ya. Padahal semua tahu Tuan Reiner tidak menyukainya,” jawab yang lain dengan nada rendah."Kalian ingat tentang kabar di pesta waktu itu? Ugh! Harusnya dia malu."Eva tak memedulikan bisik-bisik itu. Baginya, mereka hanyalah bagian dari pemandangan sehari-hari. Dengan tenang, ia berjalan menuju lift, menekan tombol menuju lantai eksekutif tanpa meminta izin siapa pun.Setibanya di lantai atas, sekretaris pribadi Reiner, Hanna, mencoba menghadangnya dengan senyum profesional. “Nona Eva, Tuan Reiner sedang sibuk de
Para pelayan sibuk dengan tugas masing-masing, sementara di ruang tamu, Barbra sedang menikmati teh sore di meja kecil berukir elegan. Suara langkah sepatu hak tinggi yang mendekat segera menarik perhatian semua orang.Eva muncul dengan anggun, mengenakan dress pastel berpotongan sederhana namun tetap memancarkan aura kemewahan. Rambut panjangnya yang bergelombang tergerai rapi, dan senyum manis menghiasi wajah ovalnya. Namun, di balik senyum itu, ada rasa percaya diri yang nyaris menyerupai kesombongan.“Tante Barbra, sayang,” sapanya sambil mendekati ibu Reiner. “Kukira sore ini akan membosankan, tapi ternyata aku punya alasan untuk berkunjung.”Barbra tersenyum kecil, menyesap tehnya sebelum menjawab, “Eva, sayangku. Selalu menyenangkan melihatmu. Apa yang membawamu ke sini?”Eva meletakkan kantong belanja di meja samping, penuh dengan berbagai oleh-oleh mahal. “Aku hanya ingin berbagi sedikit hadiah untukmu, Om Gale, dan bahkan para pelayan. Sudah lama aku tidak mampir.”Barbra te
Elise membawa gelas kosong keluar dari kamar Reiner. Langkahnya pelan, berusaha tidak menarik perhatian siapa pun, namun suara langkahnya di lantai kayu tetap terdengar samar. Setibanya di dapur, ia langsung meletakkan gelas di wastafel dan mulai mencuci beberapa piring serta gelas kotor yang tertumpuk.Ruang makan di sebelah dapur tampak sepi. Namun, keheningan itu tidak berlangsung lama. Elise menyadari seseorang masuk ke dapur dengan langkah santai. Ia tidak perlu menoleh untuk tahu siapa itu—aroma parfum yang lembut namun mewah sudah memberinya jawaban. Eva."Elise, ya?" suara Eva terdengar ramah, hampir terlalu ramah. Elise menoleh sejenak, hanya untuk mengangguk sopan.Eva duduk di kursi ruang makan, mengambil selembar roti tawar dari keranjang di atas meja, lalu mulai mengoleskan selai stroberi dengan gerakan lambat."Sudah lama bekerja di sini?" tanyanya tanpa melihat Elise, seolah-olah pertanyaan itu hanya basa-basi.Elise, yang terus mencuci piring, menjawab singkat, "Belum
Elise membawa gelas kosong keluar dari kamar Reiner. Langkahnya pelan, berusaha tidak menarik perhatian siapa pun, namun suara langkahnya di lantai kayu tetap terdengar samar. Setibanya di dapur, ia langsung meletakkan gelas di wastafel dan mulai mencuci beberapa piring serta gelas kotor yang tertumpuk.Ruang makan di sebelah dapur tampak sepi. Namun, keheningan itu tidak berlangsung lama. Elise menyadari seseorang masuk ke dapur dengan langkah santai. Ia tidak perlu menoleh untuk tahu siapa itu—aroma parfum yang lembut namun mewah sudah memberinya jawaban. Eva."Elise, ya?" suara Eva terdengar ramah, hampir terlalu ramah. Elise menoleh sejenak, hanya untuk mengangguk sopan.Eva duduk di kursi ruang makan, mengambil selembar roti tawar dari keranjang di atas meja, lalu mulai mengoleskan selai stroberi dengan gerakan lambat."Sudah lama bekerja di sini?" tanyanya tanpa melihat Elise, seolah-olah pertanyaan itu hanya basa-basi.Elise, yang terus mencuci piring, menjawab singkat, "Belum
Para pelayan sibuk dengan tugas masing-masing, sementara di ruang tamu, Barbra sedang menikmati teh sore di meja kecil berukir elegan. Suara langkah sepatu hak tinggi yang mendekat segera menarik perhatian semua orang.Eva muncul dengan anggun, mengenakan dress pastel berpotongan sederhana namun tetap memancarkan aura kemewahan. Rambut panjangnya yang bergelombang tergerai rapi, dan senyum manis menghiasi wajah ovalnya. Namun, di balik senyum itu, ada rasa percaya diri yang nyaris menyerupai kesombongan.“Tante Barbra, sayang,” sapanya sambil mendekati ibu Reiner. “Kukira sore ini akan membosankan, tapi ternyata aku punya alasan untuk berkunjung.”Barbra tersenyum kecil, menyesap tehnya sebelum menjawab, “Eva, sayangku. Selalu menyenangkan melihatmu. Apa yang membawamu ke sini?”Eva meletakkan kantong belanja di meja samping, penuh dengan berbagai oleh-oleh mahal. “Aku hanya ingin berbagi sedikit hadiah untukmu, Om Gale, dan bahkan para pelayan. Sudah lama aku tidak mampir.”Barbra te
Eva Myles, dengan keanggunannya yang tak terbantahkan, melangkah masuk. Tubuhnya tegak, wajah ovalnya dihiasi senyuman tipis yang tampak ramah namun penuh dominasi. Rambut panjangnya yang bergelombang tergerai sempurna di atas blazer putih dan rok pensil hitam. Setiap langkahnya terdengar seperti irama sepatu hak tinggi di atas lantai, membuat semua mata karyawan yang semula sibuk mendadak menoleh.“Dia datang lagi,” bisik seorang resepsionis kepada rekannya.“Berani sekali, ya. Padahal semua tahu Tuan Reiner tidak menyukainya,” jawab yang lain dengan nada rendah."Kalian ingat tentang kabar di pesta waktu itu? Ugh! Harusnya dia malu."Eva tak memedulikan bisik-bisik itu. Baginya, mereka hanyalah bagian dari pemandangan sehari-hari. Dengan tenang, ia berjalan menuju lift, menekan tombol menuju lantai eksekutif tanpa meminta izin siapa pun.Setibanya di lantai atas, sekretaris pribadi Reiner, Hanna, mencoba menghadangnya dengan senyum profesional. “Nona Eva, Tuan Reiner sedang sibuk de
Pagi itu, suasana ruang makan terasa tenang dan hangat oleh aroma roti panggang dan kopi. Elise baru saja selesai mengurus keperluan Reiner dan langsung bergegas membawa nampan sarapan untuk Tuan Abraham. Kebiasaan sang majikan memang berbeda dari anggota keluarga lainnya—Abraham selalu menikmati sarapan di ruang pribadinya, jauh dari hiruk-pikuk rumah besar itu.Elise mengetuk pintu dengan sopan.“Masuk,” terdengar suara berat Abraham dari dalam.Ketika Elise masuk, ia disambut oleh keheningan ruang kerja Abraham, yang dikelilingi oleh rak buku tinggi. Beliau duduk di kursi malasnya, tatapannya beralih dari buku yang sedang dibaca ke Elise.“Selamat pagi, Tuan,” ujar Elise lembut sambil menaruh nampan di atas meja kecil di samping kursi.“Pagi,” balas Abraham sambil melipat buku dan meletakkannya di pangkuan. “Kau sudah terbiasa bekerja di sini, Elise?”“Sudah cukup terbiasa, Tuan. Meski... masih banyak yang perlu saya pelajari,” Elise menjawab jujur, menundukkan kepala sedikit.“Bag
Suara langkah kaki terdengar di sepanjang lorong marmer rumah keluarga Barack yang megah. Elise berjalan pelan mengikuti Will, pria berkacamata dengan setelan rapi yang selalu tampak seperti bayangan Tuan Abraham. Pagi ini, tugas Elise bertambah berat setelah arahan baru yang diberikan langsung oleh sang majikan.“Jadi, seperti yang Tuan Abraham katakan, mulai hari ini, kamu akan mengurus keperluan Tuan Reiner setiap pagi,” jelas Will sambil menyerahkan selembar kertas.Elise menerima kertas itu dengan ragu. Pandangannya menyapu barisan huruf yang tertera:Pakaian kerja harus tersedia di kamar jam 6 pagi.1. Segelas air putih harus tersedia di nakas.2. AC harus disetel pada suhu 24 derajat, tidak boleh lebih dingin.3. Dilarang mengeluarkan suara yang berpotensi membangunkan Tuan Reiner.4. Setelah Tuan Reiner bangun, sarapan harus siap di meja makan.5. Dilarang memasuki kamar tanpa izin setelah Tuan Reiner bangun.6. Aroma ruangan harus berganti setiap hari, sesuai dengan yang sud
Pagi itu, Elise terbangun sebelum fajar.Bayang-bayang kejadian semalam masih membekas di pikirannya, tetapi tidak ada waktu untuk berlama-lama dalam keresahan. Dengan cekatan, dia mulai membereskan rumah yang berantakan, mengangkat kursi yang terbalik, dan menyapu pecahan kaca yang masih berserakan di lantai. Sesekali, dia menoleh ke kamar ayahnya, memastikan tidak ada suara yang mencurigakan.Elise memasak sarapan sederhana, dua porsi nasi dan telur dadar. Porsinya harus cukup untuk Lily dan ayahnya. Sambil bekerja, pikirannya terusik oleh perintah Eddie semalam. Mendekati Reiner? Sungguh ide yang tidak masuk akal. Elise menggelengkan kepala, mencoba menyingkirkan pikiran itu.Saat Lily muncul dari kamar dengan rambut yang belum tersisir rapi, Elise tersenyum kecil.“Ayo cepat cuci muka. Setelah itu, makan dulu sebelum kita berangkat.” Elise menyerahkan sepiring nasi kepada adiknya.“Kakak sudah makan?” Lily bertanya dengan nada polos, suaranya masih serak karena baru bangun tidur.
Malam itu, ketenangan yang rapuh melingkupi rumah kecil keluarga Elise. Bau darah samar masih terasa di udara, bercampur dengan aroma kayu yang lapuk. Elise menuntun ayahnya, Eddie, ke kamar untuk mengobati luka di tangannya. Luka itu tidak terlalu dalam, tapi cukup membuat Eddie meringis setiap kali Elise membersihkannya.Sebuah lampu redup di meja kecil di sudut kamar menjadi satu-satunya penerangan, memunculkan bayangan wajah Eddie yang penuh garis usia dan kelelahan. Elise bekerja dalam diam, tangannya cekatan, sementara pikirannya penuh pertanyaan yang tidak berani ia lontarkan."Ahh… pelan-pelan, Elise. Kau ini seperti mau mengulitiku saja!" kata Eddie setengah kesal.Elise tersenyum tipis. Sikap ayahnya memang cukup keras. "Ayah lebih baik diam kalau tidak tahan sakit. Luka ini karena ulah Ayah sendiri.""Huh, seperti aku punya pilihan lain. Kau tahu, mereka datang karena kita berutang! Kalau aku tidak menghadap mereka, mereka mungkin sudah menghancurkan rumah ini."Elise berhe
Reiner menuntun mobilnya melewati jalanan yang tak terlalu terang, mengikuti arah yang ditunjukkan oleh Elise. Saat mobil berhenti di depan rumah yang sederhana namun sedikit kumuh, Reiner menatap bangunan itu sekilas dari dalam mobil. Tidak ada yang terlalu mencolok, hanya sebuah rumah dengan pagar kayu yang sudah mulai lapuk. Sangat kontras dengan rumah megah yang ia tinggali.Elise membuka pintu mobil, hendak turun. Reiner menundukkan wajahnya sejenak, berusaha menyembunyikan rasa keingintahuan yang tumbuh. Dengan sedikit ragu, dia mengikuti Elise keluar dari mobil dan berjalan mengikutinya ke pintu rumah. Dalam pikiran Reiner, rumah ini adalah tempat yang sangat berbeda dari kehidupannya yang mewah dan penuh privilese.Begitu masuk ke dalam, bau lembap dan udara pengap langsung terasa. Rumah itu tampak kacau, dengan barang-barang yang berserakan di lantai. Ruangan yang seharusnya menjadi ruang tamu tampak kosong, hanya berisi kursi-kursi kayu usang dan meja yang sudah tidak terawa
Sore itu, dapur rumah keluarga Barack dipenuhi aroma herbal yang baru saja diseduh. Elise sibuk membawa nampan berisi secangkir teh herbal untuk Tuan Abraham. Penampilannya sederhana, tapi menarik perhatian. Dengan tinggi badan 160 cm, tubuh mungilnya tampak anggun. Rambut hitam sebahunya selalu tertata rapi, meski wajahnya jarang dihiasi riasan. Sorot matanya lembut, menyiratkan kepribadian yang sabar, walau dalam hatinya sering tersimpan rasa gelisah.Elise, meskipun hanya pelayan, membawa aura yang berbeda. Ia terlihat tenang, tapi ada jejak kekuatan dari masa lalunya yang sulit—masa kecil di rumah yang penuh dengan pertengkaran, membuatnya belajar untuk menahan diri dan menghadapi segala situasi dengan kepala dingin.Salah seorang pelayan senior, Greta, berbisik pada rekannya sambil melirik Elise yang baru melewati mereka.“Lihat dia, baru beberapa hari di sini sudah begitu percaya diri melayani Tuan Abraham. Biasanya, pelayan lain lari dalam seminggu,” katanya sinis.“Entahlah,”