Mahendra tersenyum tipis dan berkata, “Zola, kamu sudah mengikuti sampai di sini, bagaimana mungkin kamu nggak mengerti maksud perkataanku?” Ucapannya penuh dengan makna tersembunyi, dan bagaimana mungkin Zola tidak memahaminya?Dia mengatupkan bibir tipisnya dan menatap mata Mahendra sambil bertanya, “Jadi, ada yang ingin kamu katakan padaku?”Lelaki itu tidak segera menjawab, dia hanya menatap Zola dan berkata, “Aku sudah menyiapkan semua ini, mau duduk dan makan sesuatu bersamaku?”Zola tidak menjawab.Mahendra kembali berkata, “Zola, kita sudah saling kenal selama bertahun-tahun. Apa pun yang ingin kamu tahu, selama kamu bertanya, aku pasti akan memberitahumu. Jadi, kita duduk dan bicara, oke?”Pada akhirnya dia menyetujui permintaan lelaki itu. Keduanya berjalan dan duduk di sebuah meja. Di atas meja terdapat kue ulang tahun yang kecil dan indah, serta buah-buahan dan beberapa hidangan favorit Zola.Mahendra berkata, “Semuanya aku yang buat sendiri, coba cicipi?”“Mahendra, kamu b
"Aku tahu, aku mengerti semuanya, tapi aku nggak menyesal. Zola, benaran, aku sama sekali nggak menyesal. Jadi jangan sedih untukku, oke?”Sikap Mahendra tetap sama. Sepanjang percakapan, dia selalu terlihat tenang, terutama saat dia mengakui segalanya kepada Zola. Dia tidak menunjukkan penyesalan atau rasa bersalah, sebaliknya, dia justru tampak merasa lega. Zola bisa melihat itu dan menyadari bahwa dia sudah lama menyadari bahwa dia mencurigainya dan mengikutinya, sehingga menciptakan momen seperti ini.Zola tidak menjawab pertanyaan lelaki itu, melainkan bertanya, "Sejak kapan kamu tahu kalau aku mulai mencurigaimu?""Beberapa hari yang lalu, mungkin sejak kamu mulai mencoba mengujiku," jawabnya dengan jujur.Zola mengerutkan kening tidak percaya dan berkata, "Kalau begitu, kenapa kamu sengaja membawaku ke lokasi proyek untuk melihatmu bertemu dengan Faiz meski kamu sudah tahu aku mencurigaimu?""Zola, aku sudah bilang, selama kamu ingin tahu sesuatu, aku nggak akan menyembunyikanny
Orang yang dimaksud sangat jelas, keduanya tahu siapa yang dimaksudkan. Zola tidak langsung menjawab, melainkan balik bertanya, "Apakah kamu peduli kalau aku memberitahunya?"Mahendra tertegun sejenak.Kemudian dia tersenyum dan berkata, “Aku sudah memberitahumu semuanya, jadi aku nggak peduli. Aku bersedia menanggung risikonya.”“Benar, kamu nggak peduli dan kamu bersedia menanggung semua konsekuensinya,” ujar Zola mengulang kembali ucapan Mahendra dengan suara pelan.Dia tersenyum dingin dan berkata, "Mahendra, apa yang kamu lakukan ini sebenarnya bukan demi kebaikanku, juga bukan untuk membelaku. Kamu hanya bertindak berdasarkan pemikiran dan keinginan pribadimu. Kamu nggak pernah bertanya padaku apakah aku mau atau nggak.”“Kita sudah berteman selama bertahun-tahun, dan kamu menggunakan alasan membelaku untuk melakukan hal-hal yang membuatku berada dalam posisi sulit. Coba katakan, bagaimana seharusnya aku memilih?”Zola merasa sangat kecewa. Dia merasa sangat tidak berdaya.Dia ti
Zola tertawa dingin, merasa sangat tidak berdaya. “Aku juga nggak tahu. Tapi selain alasan-alasan yang dia bilang, aku nggak bisa memikirkan alasan lain mengapa dia melakukan ini.”“Zola, jangan menyalahkan dirimu sendiri dan jangan berpikir yang aneh-aneh. Ini bukan salahmu. Bahkan kalau itu dilakukan demi kamu, bukan kamu juga yang memaksanya melakukan itu. Apalagi menyuruhnya. Semua ini adalah tindakan Mahendra sendiri dan nggak ada hubungannya denganmu.”Jeni mengatakannya dengan wajah cemas. Dia mencoba menenangkan Zola agar perempuan itu tidak merasa bersalah.Namun, Zola tidak mendengarkan. Dia tertawa pahit dan berkata dengan datar, “Kalau semua ini benar karena aku, maka aku adalah penyebabnya. Aku nggak ada bedanya dengan penjahat yang bisa mencelakakan orang lain meski nggak melakukan apa pun.”“Zola!” seru Jeni dengan suara tegas. “Aku nggak mengizinkanmu untuk mengatakan itu. Sudah kubilang, ini bukan salahmu, ini nggak ada hubungannya denganmu. Ini semua masalah Mahendra
Jian Chu tiba-tiba kaku, dan tanpa sadar dia terdiam sejenak. Perempuan itu menatap Boris dan bertanya, “Kamu juga pergi ke rumah sakit? Kenapa aku nggak melihatmu?" “Bukankah seharusnya aku yang tanya sama kamu?”Tatapan matanya dalam, kedua tangannya masih memeluknya tetapi kata-katanya terasa dingin dan tanpa emosi. Hal itu membuat Zola merasa aneh dan sulit untuk dia jelaskan. Mereka saling berpandangan dan hati Zola merasa seperti ada sesuatu yang menggenggamnya, perasaan yang sulit untuk diungkapkan. Dia menggigit bibirnya sedikit, lalu menjawab sambil mengalihkan pandangannya ke tempat lain, "Aku tadi di rumah sakit sebentar, lalu Jeni menelepon dan menyuruhku menemaninya keluar, jadi aku nggak tahu kamu pergi ke rumah sakit. Mungkin kamu baru saja datang setelah aku pergi?" “Ya.”Suara Boris terdengar datar, emosinya tidak jelas dan wajahnya tetap tenang. Zola bertanya, "Kamu menjenguk Nenek?" “Iya, aku menemaninya mengobrol sebentar. Kamu dan Jeni ke mana? Kenapa telepon
Boris menatap Zola yang bibirnya terlihat merah dan sedikit membengkak. Matanya menyipit dan tiba-tiba tenggorokannya terasa kering. Tubuhnya merespons terlalu kuat meski akhirnya dia berhasil menahan diri.Zola berkata dengan datar, “Aku sudah bilang, aku pergi dengan Jeni. Apa aku harus melaporkan ke mana pun aku pergi? Aku nggak melamun, hanya nggak ingin mengganggu teleponmu. Bukankah Jesse sedang membicarakan Tyara? Dia sangat ingin bertemu denganmu, kenapa kamu nggak mau?"Nada frustasi Zola tampak jelas, dia mencoba mengalihkan pembicaraan agar Boris tidak terlalu memerhatikannya. Namun, kata-katanya membuat ekspresi pria itu menjadi gelap dan dingin. Dengan suara rendah, dia bertanya, "Kamu ingin aku menyetujuinya?""Aku nggak bermaksud begitu. Aku hanya ingin tahu kenapa kamu nggak mau?""Kamu nggak tahu kenapa?"Dia bertanya dengan datar. Zola menggeleng bingung dan menjawab, "Tentu saja aku nggak tahu.""Cih! Tentu saja. Kamu jelas nggak peduli, jadi tentu saja kamu nggak ta
Boris selalu melindungi Zola secara diam-diam tanpa ikut campur atas tanpa mencampuri tindakannya, mengernyit, "Dia nggak pergi ke kantor sepanjang hari kemarin?""Benar," jawab Jesse sambil mengangguk.Zola tidak memberitahunya sama sekali, bahkan tidak menyebutkan bahwa dia tidak akan pergi ke kantor. Matanya menyipit, menunjukkan pemikiran yang dalam dan sedikit gelap. "Cari tahu apa yang dia lakukan sehari sebelumnya."Menurut pengawal, Zola tidak meninggalkan apartemen sepanjang hari, hanya tinggal di rumah. Ini mengejutkan Boris karena, berdasarkan pemahamannya tentang perempuan itu, dia pasti tidak akan berdiam diri di rumah tanpa alasan.Ekspresi di matanya menjadi semakin dingin, senyum tipis dan sinis muncul di bibirnya. "Cari tahu apa yang dia lakukan sehari sebelumnya."Jika semuanya baik-baik saja, dia tidak akan menyelidiki terlalu dalam. Namun, sikap perempuan itu terlalu aneh. Pasti ada sesuatu yang terjadi, kalau tidak, dia tidak akan absen dari kantor atau tetap di ru
Zola menghabiskan sepanjang hari dalam kegelisahan. Hatinya tidak bisa tenang. Dia seperti seorang siswa yang akan mengikuti ujian masuk perguruan tinggi, begitu gugup dan khawatir.Namun, apa yang harus dihadapi pada akhirnya tetap harus dihadapi. Apa pun yang terjadi, Zola tidak bisa menghindarinya selamanya.Zola tidak pergi ke perusahaan selama dua hari. Mahendra juga tidak pernah menghubunginya. Akan tetapi, Mahendra masih pergi dan pulang kerja tepat waktu seperti biasa. Jeni tahu soal itu dari Caca.Jeni pun mengomel di depan Zola, “Aku harus akui kalau Mahendra benar-benar orang yang licik. Kamu lihat saja. Dia sudah lakukan banyak hal, tapi sama sekali nggak merasa bersalah bahkan nggak panik. Dia juga nggak takut ditangkap. Sampai sekarang, nggak ada niat mau melarikan diri. Niatnya apa, sih?”Zola tidak memberikan tanggapan apa pun. Zola masih dalam pergulatan batin. Di satu sisi, Mahendra melakukan semua itu demi dirinya. Meskipun Zola tidak akan pernah terima kebaikan sepe
Boris menatap Sandra dengan wajah tanpa ekspresi. “Kompetisinya belum di mulai, kan? Kamu sangat peduli padanya?”Sandra mengerutkan kening. “Boris, aku perempuan, nggak suka sama perempuan.”Boris hanya mendengus sinis, seolah sedang berkata pada Sandra kalau di matanya pria atau perempuan sama saja.Sandra benar-benar tak berdaya. Tiba-tiba dia merasa tidak ingin mengatakan apa pun lagi. Sepertinya Boris sudah terlalu terobsesi.Untung saja, Boris juga tidak mengatakan apa-apa lagi. keduanya hanya mengobrol tentang peraturan babak kedua. Kali ini banyak peraturan baru yang ditambahkan, salah satunya sangat mengejutkan Sandra.Siapa pun yang diduga melakukan plagiarisme, konsekuensinya bukan hanya harus mengundurkan diri dari kompetisi, tapi juga harus memberikan kompensasi kepada penyelenggara serta desainer yang karyanya diplagiat, bahkan harus keluar dari dunia desain.Itu sama saja dengan memberitahu semua desainer yang ikut kompetisi. Jika mereka ingin melakukan plagiarisme, lebi
Boris memasang raut wajah dingin, sekali lagi mempertegas pendiriannya. Zola hanya tertawa tak berdaya.“Kenapa nggak bisa dibandingkan? Bukannya ini hal yang sama? Atau ada sesuatu di antara kamu dan Tyara yang bisa kamu beritahukan padaku?”“Zola!” Boris berkata dengan tegas, “Semakin kamu bersikap seperti ini, artinya kamu memang masih mencintai mantan pacarmu itu, kan?”“Bagaimana denganmu? Apakah kamu juga masih mencintai Tyara?”Zola meniru nada bicara dan sikap Boris, lalu terus mendesak pria itu. Boris tertawa sinis. “Aku sudah beritahu kamu. Aku nggak punya perasaan seperti itu pada Tyara.”“Kalau nggak ada, kenapa kalian bermalam bareng di hotel?” tanya Zola dengan suara pelan.Sejauh ini, Zola hanya tahu kalau “Tyara” keluar dari hotel bersama Boris. Dia tidak tahu kalau perempuan itu bukanlah Tyara. Dia juga tidak tahu kalau Tyara sudah mengklarifikasi dia tidak bermalam dengan Boris di hotel. Oleh karena itu, dia hanya tahu Tyara dan Boris menghabiskan satu malam bersama d
Zola mengerutkan kening dan menatap pria di depannya. Boris jelas begitu dekat, tapi Zola merasa pria itu sangat jauh darinya. Zola memasang wajah tenang, karena dia tidak tahu apa yang terjadi di luar.Oleh karena itu, dia sedikit meragukan kata-kata Boris. Akan tetapi, sikap dan ekspresi yang Boris tunjukkan seolah sedang memberitahu Zola, kalau masalah benar-benar seperti itu.Sikap diam Zola membuat Boris tertawa pelan. “Kamu khawatir sesuatu akan terjadi padanya?”Zola tidak bicara. Boris berkata dengan nada mengejek, “Orang seperti Mahendra nggak akan mati begitu saja. Bagaimanapun juga, dia orang yang bisa lakukan apa saja untuk melarikan diri. Dia pasti berusaha keras untuk memastikan keselamatannya sendiri.”Bibir tipis Boris mengatup rapat. Sorot matanya menjadi begitu dalam, bagai sebuah lubang tak berdasar. Senyum mengejek merekah di bibirnya. Tidak ada kehangatan di ekspresi wajahnya.Wajah Zola penuh dengan kebingungan. Karena sikap ketus Boris membuatnya tidak bisa menah
Zola menatapnya dengan bingung. “Kenapa diam saja? Ayo ngomong. Kalau kamu memang ingin bersama Tyara, ngomong langsung saja sama aku. Aku nggak akan paksa orang lain, juga nggak akan menyulitkan siapa pun. Jadi bisa nggak kamu nggak usah perlakukan aku dengan cara seperti ini?”Boris tetap diam saja. Ini membuat Zola sangat gusar. Dia mengerutkan bibirnya dan menundukkan kepala. Kemudian, dia bertanya, “Apakah kamu marah karena aku sembunyikan soal Mahendra?”Lagi-lagi Boris tetap bungkam. Kali ini, Zola menganggapnya sebagai jawaban positif dari pertanyaannya barusan. Zola menghela napas dalam hati dan berusaha menenangkan diri.“Kalau memang karena itu, aku bisa jelaskan. Aku akui, aku memang tahu lebih dulu. Aku juga akui aku pernah ragu, aku pernah bimbang. Tapi hati nurani buat aku sadar kalau ini bukan perkara sepele. Bukan hanya dengan sebuah kebohongan bisa membuat segalanya seolah-olah nggak pernah terjadi.”“Jadi aku nggak pernah berpikir untuk nggak beritahu kamu. Aku juga
Boris membuka matanya dan memandang ke luar jendela. Di luar sudah gelap gulita. Dia menyipitkan mata, lalu berkata, “Bukan aku yang tentukan dia bisa hidup atau nggak, tapi apa yang dia rencanakan.”Jesse memacu mobil menuju tempat kejadian. Tim penyelamat sudah berkumpul dan melakukan pencarian.Begitu melihat Boris datang, Jodi segera menghampirinya dan menjelaskan situasi secara singkat.“Sekarang sudah malam, jadi pencarian agak sulit untuk dilakukan. Tapi bagaimanapun juga, ini sudah menyangkut nyawa orang. Pencarian tetap harus dilakukan. Kalau soal masih hidup atau nggak, masih belum tahu,” jelas Jodi.Boris menatap Jodi dengan wajah tanpa ekspresi. Kemudian, dia tertawa pelan. “Seharusnya kamu bilang belum tahu apakah orangnya bisa ditemukan atau nggak.”Jodi tidak mengerti maksud perkataan Boris. Namun, Boris sudah berbalik dan masuk ke dalam mobilnya tanpa memberi Jodi kesempatan untuk bertanya. Setelah duduk di dalam mobil, Boris menyuruh Jesse untuk menjalankan mobil. Urus
Kata-kata Boris membuat emosi Mahendra seketika meledak. Meskipun dia sedang terbaring di tanah, dia tetap berteriak keras, “Boris, kamu dan seluruh keluarga Morrison akan dapat ganjarannya. Kamu kira kamu sudah menang? Persetan, kamu belum menang, Boris. Ini baru permulaan. Kalian pasti akan bayar harga mahal!”Kutukan Mahendra membuat Boris tiba-tiba mengerutkan alis. Samar-samar dia merasakan sedikit perasaan gelisah ketika mendengar kata-kata itu. Boris sendiri tidak tahu dari mana datangnya rasa gelisah itu.Ekspresi di wajah Boris semakin dingin. Dia menyipitkan matanya dan bertanya, “Apa maksudmu?”Mahendra tidak bicara, hanya tertawa. Suara tawanya membuat emosi Boris perlahan-lahan berubah. Namun, Boris segera kembali tenang. Mungkin saja Mahendra mengatakannya hanya untuk membuatnya bingung.Boris menatap Mahendra dengan wajah tanpa ekspresi. Sesaat kemudian, polisi datang. Begitu melihat mobil polisi datang, Jesse langsung berjalan mendekat ke Boris dan berkata, “Pak Boris,
Senyum licik merekah di wajah Mahendra. “Boris, kamu tahu kenapa dia nggak langsung beritahu kamu saat Zola tahu dia hamil? Kamu nggak pernah pikirkan kenapa dia nggak beritahu kamu? Kamu sangat yakin anak di perutnya adalah anakmu, bukan anak orang lain? Kami selalu habiskan waktu bersama setiap hari. Lama-kelamaan akan tumbuh perasaan juga. Kamu nggak mungkin nggak mengerti, kan?”“Lagi pula, kenapa dia nggak lakukan apa pun setelah tahu aku yang jebak kamu dan Morrison Group? Dia juga nggak pernah berpikir mau beritahu kamu. Kamu nggak pernah pikirkan apa alasannya? Kalau dia benar-benar nggak peduli padaku sama sekali, dia bisa saja langsung ceritakan semuanya padamu begitu dia tahu. Jadi kenapa harus tunggu sampai kamu tahu?”Boris tidak bergerak juga tidak memberikan reaksi apa pun. Wajahnya sangat muram. Sorot matanya gelap, seolah-olah tertutup lapisan tinta hitam yang tebal. Ekspresi itu membuat Mahendra sangat puas. Dia mengucapkan kata-kata yang semakin keterlaluan, semakin
Permusuhan di antara keduanya benar-benar telah pecah. Tentu saja, Mahendra tidak akan membiarkan Boris pergi begitu saja.Mahendra tertawa sinis dan berkata dengan nada mengejek, “Memangnya kenapa kalau aku andalkan perempuan? Mereka juga melakukannya dengan sukarela. Dibandingkan denganmu, kamu lebih kasihan, Boris. Bagaimanapun juga, Zola nggak mencintai kamu. Di hatinya hanya ada mantan pacarnya. Dia nggak ada perasaan sama sekali padamu. Kalau bukan karena kamu yang terus bersikeras nggak mau cerai, kamu kira kalian berdua masih bisa jadi pasangan suami istri sekarang?”Kata-kata Mahendra membuat wajah Boris menjadi dingin. Amarah yang terpancar di matanya terlihat sangat jelas. Meskipun dia tahu Mahendra sengaja membuatnya kesal, Boris tetap saja tidak bisa menahan diri untuk tidak berpikir ke arah situ. Apakah Zola sendiri yang memberitahu Mahendra?Karena Boris tahu Zola punya mantan pacar. Zola menikah dengannya karena Zola ingin menjauhkan diri sepenuhnya dari mantan pacarnya
Tyara mengedipkan matanya pelan, agak linglung dan bingung. Namun, dia tidak tahan karena dimarahi oleh Mahendra seperti itu.Tyara mendengus sinis dan berkata, “Kamu nggak berhak marah aku. Siapa suruh kamu jebak aku? Seharusnya kamu beritahu aku lebih awal apa yang ingin kamu lakukan. Bukan dengan lakukan hal-hal yang merugikan aku tanpa sepengetahuan aku seperti sekarang.”Mahendra tidak ingin bicara omong kosong dengan Tyara. Dia tiba-tiba teringat sesuatu. “Dari semalam kamu sudah di rumah sakit?” tanya Mahendra.“Iya, dia sudah tahu.”Wajah Mahendra menjadi muram. Jadi apa maksud Boris dengan sengaja membuat keributan seperti itu? Tiba-tiba, Mahendra mengerti sepenuhnya. Boris sedang memaksanya untuk muncul.Ekspresi wajah Mahendra semakin tidak bersahabat. Dia pun menunjuk Tyara dan berkata, “Kamu akan bayar harga atas keputusanmu hari ini. Kamu kira kalau Boris tangkap aku, dia akan lepaskan kamu? Kamu salah, Tyara. Karena dia tahu kamu ingin jebak dia pakai obat, dia pasti sud