Dia berkata dengan tenang, “Boris, aku mengerti apa yang kamu katakan, tapi menurutku, kalau ada yang mendukung Morrison Grup apalagi di saat genting seperti ini, itu lebih baik daripada nggak ada yang mendukung sama sekali, bukan?”“Tentu saja. Tapi sampai sekarang aku belum menemukan siapa sebenarnya dalang yang mengatur dukungan dari orang-orang dan perusahaan-perusahaan itu untuk Morrison Group,” suara lelaki itu terdengar jelas tetapi membuat Zola menggigit bibirnya secara refleks.Dengan suara pelan, dia bertanya, “Lalu menurutmu siapa yang paling mungkin?”Boris berpikir sejenak. “Sebenarnya siapa pun bisa saja, tapi nggak ada yang benar-benar terlihat jelas. Mengumpulkan begitu banyak orang dan perusahaan itu nggak mudah, tapi hanya ada sedikit orang yang mungkin mampu melakukannya.”“Di antara orang-orang yang kita kenal, nggak ada seorang pun yang bisa bertindak secara anonim seperti ini. Jadi, untuk sementara, aku belum tahu siapa pelakunya.”Zola mengangguk pelan, pandangan
Sikap Zola sangat tegas. Dia sedang memberi tahu Mahendra dengan cara ini untuk tidak mencampuri urusannya dengan dalih peduli dan berpura-pura demi kebaikannya. Lelaki itu sudah melampaui batas.Terutama akhir-akhir ini, kata-katanya membuat Zola merasa dia sudah tidak mengenali orang ini lagi. Terasa sangat asing hingga membatnya tidak nyaman.Keduanya saling menatap terdiam. Setelah hampir setengah menit, Zola akhirnya berkata, “Kalau nggak ada hal lain, aku mau pergi kerja dulu.” “Zola.” Mahendra langsung menahannya dengan berkata “Apakah kamu mencintainya sebegitu dalam?” Zola tidak menjawab dan hanya menatapnya dengan datar. Dia selalu berpikir Mahendra cukup mengenalnya sehingga tidak perlu bertanya banyak hal. Namun, sekarang terlihat jelas bahwa Mahendra sama sekali tidak mengerti dirinya. Lelaki itu tidak tahu apa yang sebenarnya diinginkannya. Zola tetap diam, dan kebetulan ponsel Mahendra berdering. Dia mengambil ponselnya dan meliriknya sekilas. Matanya sedikit membes
Jawabannya tentu saja tidak. Dia tahu bahwa Boris sudah curiga, dan beberapa hal pasti akan lelaki itu selidiki hingga tuntas. Oleh karena itu, Mahendra telah bersiap sejak awal agar tidak meninggalkan informasi apa punbagi Boris. Namun, apakah kenyataannya memang demikian?Morrison Group.Jesse Kembali ke Morrison Group setelah mengantarkan kakak sepupunya korban ke Morrison Group. Lelaki itu langsung ke kantor Boris dan berkata, “Pak Boris, Anda sudah melihat videonya?”“Iya, lelaki ini sama dengan yang bawa istrinya Budi.”"Saya juga berpikir begitu. Jadi, saya berencana untuk memeriksa tempat di mana video tersebut diambil dan area taman di sekitarnya untuk melihat apakah ada CCTV yang dapat memberikan informasi lebih lanjut tentang lelaki ini." Boris mengangguk menyetujuinya, dan dia menambahkan, "Jangan sampai ada orang ketiga yang tahu tentang hal ini. Untuk sementara, cukup kita berdua yang tahu." Di masa krisis seperti ini, ada yang harus ditangani dengan sangat hati-hati.
Zola mengangguk pelan dan berkata, “Aku mengerti. Hanya saja dia terlalu banyak membantuku, makanya aku nggak bisa begitu saja mendefinisikannya seperti itu.”Dia menghela napas dan berkata lagi, “Sudahlah, jangan dibahas. Mungkin dia berniat baik, tapi ucapannya saja terlalu terus terang.”Jeni sedikit cemberut dan berkata, “Kalau benaran berniat baik, seharusnya dia mendukung keputusanmu.”Zola tidak menanggapi lagi dan suasana pun hening untuk sejenak. Dalam urusan-urusannya, terutama yang berkaitan dengan Boris, kata-kata Mahendra memang terasa terlalu langsung dan kurang lembut. Namun, setelah insiden ini terjadi, Mahendra telah berulang kali menemuinya dan menawarkan untuk menggantikannya sebagai arsitek untuk menanggung segala konsekuensinya.Mengingat hal itu, hati Zola menjadi sedikit tersentuh dan juga menceritakannya pada Jeni.“Aku nggak tahu bagaimana sikapnya pada orang lain, tapi dia sangat baik denganku.”Kening Jeni berkerut dan berkata, “Zola, di antara kamu dan dia,
Makin Zola memikirkannya, haitnya mulai timbul berbagai pikiran yang tidak terduga. Namun, dia segera menepisnya Ketika pemikiran tersebut terbit.Tidak mungkin, tidak mungkin akan seperti itu. Mahendra tidak akan mengajukan diri menjadi arsitek untuk menggantikannya hanya demi membuat Morrison Group mengakui insiden ini. Pasti dia yang terlalu banyak berpikir.Zola menggelengkan kepalanya dengan wajah yang semakin keruh. Jeni mengulurkan tangannya dan mengayunkannya di depan wajah Zola sambal bertanya, “Apa yang kamu pikirkan?”Zola tersadan dan matanya langsung bertemu dengan mata Jeni. Dia menggeleng dan tidak berbicara. Hanya saja, dalam hatinya terlintas sebuah kalimat yang pernah dia dengar.“Kalau seseorang sudah mulai curiga dengan orang lain, maka rasa lagu itu akan terus berlanjut tanpa henti.”Perasaan Zola menjadi makin muram dan wajahnya menunjukkan sedikit kekhawatiran. Jeni melihat hal itu dan memutuskan untuk tidak mengatakan apa pun lagi agar tidak menambah beban pikir
Suara di ruang tengah masih belum menunjukkan tanda-tanda berhenti. Melihat Rosita yang tetap diam tanpa tanggapan, Linda mencoba bertanya dengan hati-hati, "Bu Rosita, kenapa Anda nggak berbicara? Apakah yang kami bicarakan ini sama dengan apa yang Anda pikirkan?"Rosita menatap Linda sekilas dengan raut datar dan berkata, “Bu Linda, pertunangan Wina dan Tedy sudah berlangsung cukup lama, ‘kan? Keluarganya Tedy nggak ada mengajukan permintaan menikah, ya?”“Aku rasa, sepertinya kamu harus urus urusan keluargamu dulu. Mengenai Boris dan Zola, aku rasa nggak perlu ikut campur orang lain. Morrison Group juga nggak perlu seorang perempuan yang menanggung apakah perkembangannya kelak akan baik atau buruk.”Rosita memang selalu bersikap lembut pada semua orang. Dia jarang sekali berbicara dengan nada setajam ini. Ini kedua kalinya Zola melihatnya bersikap begini. Yang pertama kali adalah pada ibunya dan kali ini pada ibunya Wina.Ucapan Rosita juga berhasil membuat Linda bungkam. Di sana ju
Kedua wanita itu segera menyadari situasinya. Meski merasa tidak terima, tetapi saat ini mereka hanya ingin pergi dari tempat ini. Jika tidak, jantung mereka sudah nyaris melompat keluar. Oleh karena itu, mereka bergegas berkata,“Maaf, Zola. Kami yang salah paham, benar-benar maaf. Semoga kamu nggak mempermasalahkannya dan bisa memaafkan kami.”“Maaf.”Namun, Zola hanya menatap keduanya dengan pandangan dingin tanpa memberikan respons apa pun. Menerima permintaan maaf? Tentu saja dia tidak akan menerimanya. Menilai sesuatu tanpa dasar hanya karena tanggapan orang lain sama saja dengan orang yang buta huruf. Karenanya, Zola tidak mengatakan apa-apa, seolah tidak mendengar permintaan mereka.Rosita pun tahu betul sifat Zola. Dia memahami apa yang menjadi Batasan Zola dan hal-hal yang penting bagi perempuan itu. Sehingga, Rosita juga tidak akan memaksa Zola. Meski demikian, Linda dan Dwi adalah teman lama keluarga mereka. Jika terlalu keras pun rasanya kurang baik.Maka, Rosita mencoba m
Zola menjawab dengan jujur, “Baik.”Kakek berkata, “Apakah pandanganmu pada dia sedikit berubah?”Sebenarnya Kakek ingin tahu apakah perempuan itu masih ada rencana untuk cerai. Zola juga bisa menangkap maksud lelaki paruh baya itu. Dia menundukkan kepala dan terdiam sejenak sambal berkata,“Kakek, sebenarnya aku juga nggak tahu. Aku sendiri nggak tahu apa yang aku pikrikan sekarang.”Begitu banyak hal terjadi akhir-akhir ini, dia bahkan tidak punya waktu untuk memikirkan apakah ingin bercerai dengan Boris atau tidak. Namun, jika tidak bercerai, apakah ini akan berlangsung seumur hidup? Zola tidak terima jika di hati Boris ada orang lain. Itu bagaikan duri yang tertancap dalam hatinya. Dia memilih diam dan tidak bersuara. Kakek juga ikut tercenung dan akhirnya tersenyum sambal berkata,“Kalau kamu masih ragu, sepertinya Boris belum berbuat cukup baik. Kalau dia sudah cukup baik dan cukup mencintaimu, kamu nggak akan berpikir untuk meninggalkannya.” Ekspresi di wajah Zola tetap tenan