"Gimana Ferdy betah di rumah kalau kamu nggak punya anak! Nara, coba kamu pikir, ya. Semua orang menikah itu tujuannya punya anak, biar suami makin sayang dan giat cari uang. Wajar Ferdy nggak pulang karna kamu terlalu banyak nuntut!"
Itu yang dikatakan mama mertua begitu aku menanyakan keberadaan Ferdy padanya. Kedatanganku ke sini terasa sia-sia, hanya mendapat omelan sementara aku tetap tak tahu di mana Ferdy. Mama mertua juga langsung masuk ke dalam rumahnya tanpa mempersilakanku.
Dua hari bukan waktu yang wajar bagi seorang suami tak pulang pada istrinya. Apa aku salah jika menanyakan pada mertua? Ferdy berkata akan pergi ke rumah mamanya, wajar jika aku datang ke sini mencarinya, kan?
Tapi, niat baikku ternyata berbuah duri yang menusuk hingga ke inti hati.
Kupikir, pulang ke rumah hanya akan membuatku sedih memikirkan ucapan mama. Jadi kuputuskan pergi ke super market untuk membeli beberapa kebutuhan.
Tapi apa yang kudapat di sini? Suamiku, lelaki yang kucari selama dua hari ini, lelaki yang tak mengangkat telepon saat aku lelah menghubunginya sejak kemarin, lelaki itu tengah menggandeng tangan perempuan lain. Mereka bercanda, tertawa memilih beberapa barang di depan sana.
Inikah jawaban dari segalanya?
"Fer," panggilku. Sungguh sekarang mulut ini bergetar menahan isakan yang hampir saja keluar.
Ferdy mengalihkan wajahnya ke arahku dan dia tampak terkejut.
Nara, kamu ngapain di sini?"
Ngapain? Pertanyaan macam apa itu? Bukankah seharusnya aku yang bertanya demikian?
"Mas, suruh istri kamu pulang. Aku nggak mau ya, dia bikin ribut di sini!" cibir wanita yang menggandeng tangan suamiku.
"Nara, kamu pulang sekarang. Kita bahas ini setelah aku pulang ke rumah."
"Nggak bisa. Kamu suamiku. Kamu harus pulang sama aku," sahutku cepat. Kuraih tangan Ferdy dari gandengan perempuan itu untuk mengajaknya pulang. Tapi sejurus kemudian, Ferdy menepisku kasar.
"Jangan bikin malu, Ra! Kamu mau semua orang tau masalah rumah tangga kita? Ingat, kamu itu nggak bisa ngasih aku anak!" sentaknya, pelan tapi cukup membuatku sangat sakit.
Apa lagi yang kupunya sekarang? Nggak ada.
Saat kupikir hanya mama mertua lah orang yang mengusik rumah tanggaku, sekarang akhirnya aku tahu bahwa suami yang kuanggap baik selama ini juga ternyata menjadi lawanku. Dia memilih memikirkan perasaan wanita lain daripada aku yang notabe adalah istrinya.
Salahkah aku hanya karena belum bisa memberinya anak, lantas dia bebas selingkuh?
Ya, itu salahku. Seperti kata mama mertua, aku tak punya anak yang bikin Ferdy bisa betah di rumah. Itu salahku. Hanya aku yang salah meski Ferdy sendiri pun sudah sangat jarang memberiku nafkah batin. Itu juga salahku di saat Ferdy menolak ajakanku untuk bercinta. Semua salahku. Aku lah yang salah atas segalanya, sehingga Ferdy mencari kesenangan dengan perempuan itu.
Sepanjang kakiku melangkah meninggalkan super market, air mata tak hentinya jatuh dari sudut mata. Mulut sudah tak mampu kugerakkan membuat suara. Hanya hati yang semakin remuk inilah yang bisa kurasakan, pertanda aku masih hidup. Guyuran hujan yang turun dari langit sama sekali tak membuatku ingin berteduh.
Langkahku tak tentu arah, aku tak tahu entah sudah berapa jauh aku berjalan. Tapi satu yang baru kusadari, seseorang tengah berdiri di depanku. Dia menatapku lama sebelum mendekatiku yang menggigil menahan dingin.
"Kamu cari mati?" katanya. Kulihat gigi-giginya saling mengatup saat mengatakan itu. "Cepat masuk ke mobil!"
"Apa pedulimu? Kamu pikir siapa mau ngatur aku?" sahutku pelan, tapi nada itu cukup dingin.
Aku benci semua orang sekarang. Aku berharap tak satu manusia pun yang melihatku dengan tatapan iba. Aku tak mau seseorang datang menolongku, memberi kalimat simpatik untuk menghibur. Apalagi yang kasar seperti ini? Aku membencinya, sampai darahku terasa mendidih di tengah dinginnya guyuran hujan.
"Kamu pikir aku peduli? Aku hanya ingin membuatmu menyesal karena berani menolakku!" balasnya. Seketika aku teringat ketika melarikan diri dari ruang kerjanya berapa hari yang lalu. "Cepat masuk, sebelum aku menjatuhkanmu dari jembatan itu."
Perkataannya sangat tegas tak terbantahkan. Aura yang dimilikinya sangat berbeda dengan bos yang kukenal saat di kantor. Wajah tegang dan rahang yang mengetat itu samar-samar kulihat di balik air hujan yang terus mengaburkan pemandangan. Dia marah, itu yang kutangkap dari sorot mata yang menyala.
"Masuk, Nara!" perintahnya. Dan sikapnya yang mendominasiku langsung melumpuhkan pertahanan. Aku mengikuti perintahnya memasuki mobil yang pintunya sudah dibuka.
Di sepanjang jalan kami tak mengatakan sepatah kata pun. Sesekali kulirik wajah Pak Arsen masih sama menegangkan seperti saat kami di terpaan hujan tadi. Bibirnya yang biasa penuh pun terlihat menipis oleh mimik bengis yang dia pamerkan. Itu tidak seperti Pak Arsen yang menciumku di kantor tempo hari. Aura menakutkan ini bahkan bisa mengalihkan pikiranku dari pengkhianatan yang dilakukan Ferdy.
"Bersihkan tubuhmu dan ganti pakaian itu."
Selembar handuk dan kemeja kering dia lemparkan padaku, begitu kami memasuki apartemennya. Tangan Pak Arsen menunjuk pintu yang tak jauh dari kamarnya, seperti sebuah perintah yang mengatakan aku harus ke sana. Raut wajahnya sama sekali tak berubah kala aku menatapnya dari ambang pintu kamar mandi.
"Apa yang kamu tunggu? Kamu nunggu aku yang memandikanmu?" ancamnya. Dan langsung kusegerakan menghilang dari mata Pak Arsen sebelum ancamannya itu menjadi kenyataan.
***
Halo, Kak. Makasih untuk yang udah baca, ya. Kalau berkenan, tinggalkan kesan kalian saat baca novel ini, ya.
Beberapa menit setelah membersihkan tubuh, aku masih diam di dalam kamar mandi. Sungguh ... aku bingung bagaimana akan menunjukkan muka di depan Pak Arsen sekarang. Maksudku ... kemeja ini. Ya, kemeja kelonggaran yang kukenakan setelah berganti pakaian. Ini sepertinya milik Pak Arsen, terlihat dari ukurannya yang pas dengan lelaki itu. Dan di bagian bawah, aku sama sekali tak mengenakan apa-apa."Nara."Kudengar Pak Arsen memanggil namaku bersamaan dengan ketukan pintu. Dia mengulanginya, menyebut namaku seperti tadi. Aku semakin bingung, apakah harus berpura-pura mati sejenak?"Kamu baik-baik aja? Jawab atau aku mendobrak pintunya sekarang.""Iya, Pak! Aku nggak apa-apa!" seruku mengalahkan kecepatan tangan membuka pintu. Dan kemudian, Pak Arsen tertegun melihat aku sangat dekat di depannya. Dia berdiri tak sampai satu langkah dari pintu.Melihat matanya tertuju langsung ke pahaku, refleks lutut sedikit kutekuk untuk merendahkan posisiku berdiri.
Demamku belum juga turun setelah satu malaman menumpang tidur di apartemen milik Pak Arsen. Aku sudah merasa enggan, tak enak hati padanya. Belum lagi tentang ciuman kami di ruang kerjanya tempo hari, membuatku sangat malu melihatnya.Kulirik jam dinding di kamar itu sudah menunjukkan angka sembilan. Mungkin Pak Arsen sudah berangkat ke kantor? Jika begitu, aku harus segera pergi dari apartemen ini sebelum dia kembali.Namun, baru saja aku mengangkat tubuh berdiri dari ranjang, pandanganku kembali berputar dan kembali terjatuh ke posisi tidur. Aku tidak bisa bangun.Tidak. Aku tak mau berlama-lama di sini. Jika Ferdy kembali ke rumah dan melihatku tidak pulang semalaman, dia akan sangat marah dan mungkin benar-benar akan menceraikanku. Jadi tetap kupaksa tubuh ini kuat untuk berdiri.Meski berat dan beberapa kali hampir terjatuh, di sini lah aku sekarang. Di dalam taksi dengan pakaian yang basah kuyup kupaksa mengenakannya. Dan benar apa yang kudu
Kupikir Ferdy mungkin tidak akan pulang lagi malam ini. Setelah aku memaksanya bercinta pagi tadi, Ferdy lalu pergi tanpa mengatakan sepatah kata pun. Lalu, sekarang dia berdiri di depanku dengan menggandeng perempuan yang dia sebut bernama Nindy."Aku udah nikah sama Nindy. Aku harap kamu bisa bersikap baik padanya. Kalian berdua istriku, sama-sama punya hak di rumah ini.""Nikah?" tanyaku. Tak tahu lagi bagaimana harus kugambarkan emosi di diriku sekarang. "Fer, kamu nikah tanpa bilang aku?""Bilang gimana lagi sih, Ra? Aku udah bilang kan? Nindy hamil anakku dan aku senang akhirnya punya keturunan. Sekarang, kamu harus bisa terima." Ferdy menatap Nindy. Sorotnya yang lembut mengingatkanku dengan hari pertama kami menikah. "Nindy, yang akur sama Nara, ya. Kamu juga nggak boleh capek-capek, ayo istirahat," ajaknya, menuntun Nindy ke kamar kami.Tunggu, kamar kami? Aku tak bisa membiarkan ini lagi. Mereka menikah sebelum mendapat ijinku dan
Cumbuan bibir Pak Arsen semakin menuntut memaksa mulutku terbuka. Gugup. Sungguh aku tak tahu apa yang akan kulakukan di bawahnya. Tanganku diam di dadanya yang bidang. Itu terasa berotot dan nyaman disentuh. Apa aku sudah gila? Ya, sepertinya begitu. Aku gila membiarkan dia memasukkan lidahnya ke dalam mulut untuk mencari milikku.Pilinan dan isapan Pak Arsen membuatku ingin gila. Apalagi ketika tangannya mulai menyentuh bagian-bagian tubuh sensitif dari balik pakaianku, membuat aku melonjak seketika. Buaiannya sungguh memabukkan, menghilangkan beban atas pernikahan diam-diam yang dilakukan oleh Ferdy.Entah sejak kapan, Pak Arsen sudah berhasil melepas baju atasan yang kukenakan sehingga menunjukkan dua bukit milikku. Bukit tersembunyi yang selama ini tertutup rapi dan hanya boleh disentuh Ferdy.Persetan dengan Ferdy. Aku mulai menggeliat merasakan tangan Pak Arsen mempermainkan ujung dadaku yang mengacung. Sementara sebelahnya dia manjakan dengan
Percintaan panas anatara aku dan Pak Arsen berlangsung beberapa kali, sampai aku sudah tak mampu mengangkat bibirku berbicara. Hanya desahan ringan yang bisa aku keluarkan sekarang. Dia benar-benar gila, jago, tak bisa kujelaskan dengan kata-kata. Pak Arsen membawaku menikmati surga dunia yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Sungguh? Ya, aku tidak pernah mendapatkan pelepasan seperti ini selama dengan Ferdy.Tapi setelah semalaman yang kami lalui, aku sangat malu di pagi hari. Terbangun di sebelah Pak Arsen dengan tubuh telanjang tanpa pakaian. Kulihat, dia masih setia dengan tidur lelapnya. Lantas kugeser kaki turun ke atas lantai dan memungut pakaianku ke ruang tengah. Seperti maling yang takut ketahuan aku buru-buru mengenakan pakaian itu dan melarikan diri dari apartemennya. Sangat memalukan.Begitu tiba di rumah, kulihat Ferdy sudah duduk di ruang tengah ditemani secangkir minuman hangat. Tentu saja Nindy juga di sana. Perempuan itu duduk sangat dekat pada suamik
"Pa-Pak, lepasin. Semua orang melihat kita, Pak," mohonku, berharap Pak Arsen melepaskan cengkaramannya. Dia melirikku tajam, tak peduli dengan perkataanku."Pak-""Diam lah, Nara!" sentaknya. Tangannya membuka pintu ruang pribadinya dan mendorongku masuk. "Masuk! Jelaskan kenapa kamu lari dari rumahku."Apa yang harus dijelaskan? Ini tubuhku, aku berhak membawa ke mana saja diriku. Memangnya dia pikir siapanya aku?"Tadi pagi Bapak masih tidur. Aku enggan membangunkan Bapak." Namun itu lah yang mampu keluar dari mulutku. Sifat arogannya sukses membuat nyaliku menciut."Lalu, kamu pikir berhak pergi begitu saja?" Dia mencengkram daguku keras, mengangkat wajahku untuk bersitatap dengannya. Matanya yang menggelap meluruhkan seluruh energi di tubuh ini.Kenapa denganku? Kaki di bawah sana mulai gemetar kurasakan. Ada rasa aneh yang tiba-tiba menjalariku kala sebelah tangan Pak Arsen mulai menjalar di sebelah pipi.
Pak Arsen melepaskan pelukannya dari tubuhku, setelah permainan itu usai. Dia duduk di kursi kerjanya masih dengan mata yang tertuju padaku. Lagi, aku sangat malu setelah kami menyelesaikan permainan gila itu. Tubuh telanjangku dia tatapi sangat lama, seakan matanya tak ingin meninggalkan keindahan tubuh itu sedetik pun.Dengan gerakan lamban aku bangun dari atas meja kerjanya dan Pak Arsen menahanku segera."Jangan. Tetaplah berbaring di sana," ucapnya, yang langsung membuat tubuhku membeku.Aku menurutinya dan terus berbaring di sana. Udara dingin yang diembuskan pendingin ruangan itu menyapa seluruh kulit dan membuatku sedikit merinding. Diam. Cukup lama aku terdiam di pandangannya yang terus menyusuri sekujur tubuh."Indah ..." pujinya, suaranya sangat rendah dan berat, seakan hasrat di dalam dirinya kembali naik. "Tubuhmu sangat indah, Nara."Ini bukan kali pertama dia berkata seperti itu, tapi masih sukses membuat pipiku memanas.
Di rumah hanya ada Nindy. Katanya, Ferdy sedang keluar mengurus usaha barunya bersama mertua. Aku tersenyum ironi mengingat lagi perktaan Ferdy tempo hari. 'Mama akan memberi modal usaha kalau aku mengijinkannya menikah lagi.' Dan sekarang aku sadar bahwa ijinku sebenarnya tidak lah mereka butuhkan."Kamu dari mana sejak kemarin?" tanya Nindy, dia berdiri di ambang pintu kamarku dengan tangan yang dilipat di depan dada, seakan tengah memarahi anak gadisnya yang pulang tidak tepat waktu."Bukan urusanmu," sahutku malas. Aku tak punya urusan sama dia. Bahkan menganggapnya ada di rumah ini pun, bagiku masih terlalu sulit."Kenapa bukan urusanku? Kita ini istrinya Mas Ferdy, wajar aku nanya kamu. Gimana kalau nanti Mas Ferdy marah-marah sama kamu? Setidaknya aku bisa bantu menenangkan dia, kan?" lanjutnya lagi.Serius? Dia mau bantu tenangkan Ferdy kalau tahu aku berselingkuh sejak tadi malam? Bahkan jika aku mati di tangan Ferdy pun, tak sudi menerima bant
Setelah membersihkan diri lebih dulu, kududukkan diri di depan meja rias yang besar itu. Hari ini Arsen akan kembali dari luar kota, dan kupikir ingin menyambut suamiku dengan dandanan yang sedikit menarik. Dia pasti merindukanku, dan akan semakin senang dia melihatku nanti dengan riasan ini. Setelahnya, tak lupa kuganti pakaian dengan gaun yang baru kubeli siang tadi, memang sengaja aku membelinya demi menyambut Arsen kembali.Tepat setelah kupikir siap, pintu kamar diketuk dari luar sana. Hatiku melambung seketika itu juga, menduga suamiku akhirnya kembali. Dengan sedikit berjingkrak, kubuka handel pintu sembari menyambut suamiku dengan kedua tangan melintang.“Selamat datang suamiku ...!” seruku sangat girang.Tapi apa ini? Bukannya wajah Arsen, tapi Bi Ratna lah yang berdiri di depanku. Sedikit malu aku dengan tatapan lurusnya yang tertuju pada penampilanku.“Eh, Bi Ratna. Ada apa, Bi?” tanyaku menghilangkan rasa gugup.
Sudah tiga hari ini Arsen harus pergi ke luar kota untuk mengurus beberapa pekerjaan yang diminta oleh papanya. Jujur, aku sudah sangat merindukan suami yang sangat manja dan bawel itu, sampai-sampai ketika menyusukan Joseph pun hanya wajahnya lah yang terbayang di mataku. Mungkinkah ini yang disebut dengan jatuh cinta sangat dalam? Seperti aku tidak bisa mengendalikan diriku dari rasa rindu yang menggetarkan jiwa.Ketika baru saja kuletakkan Joseph di atas boks tidurnya, ponselku sudah berbunyi di atas nakas. Beruntung suara nyaring itu tidak mengganggu tidur putraku. Hanya menepuk bokongnya beberapa kali, Joseph sudah kembali terlelap. Ah ... itu ulah Arsen. Ketika dia akan berangkat tempo hari, Arsen membuat nada ponselku sangat besar. Katanya agar aku tidak beralasan tidak mendengar suara ponsel ketika dia menghubungiku.Dan lihat siapa yang menelepon sekarang? Siapa lagi jika bukan dia. Lantas kugeser layar ponselku pada posisi menerima, dan wajahnya segera terlih
"Ini, makan lah yang banyak."Arsen meletakkan sangat banyak potongan daging dan sayuran di atas piringku.
“Sayang, aku tidak melihat gelas kopinya!”Arsen berseru dari dapur, menghentikanku yang baru saja akan membuka baju.“Itu ada di laci atas kepalamu, Sayang. Mendongak lah dan buka lacinya!” balasku tak kalah kencang.“Laci yang mana? Aku tidak melihatnya!”Ini tidak akan berhasil. Jika aku terus berteriak, Joseph akan terbangun dari tidurnya yang belum lima belas menit. Lantas kubenarkan lagi letak pakaianku sembari mendatanginya ke dapur.Dia memang selalu begitu. Apa pun tak pernah terlihat oleh matanya. Entah karena malas mencari atau memang dia tak bisa menemukan sebuah barang dengan benar, hanya dia dan Tuhan lah yang tahu.“Di mana itu? Di mana gelas kopinya?”Kulihat Arsen tengah membuka-buka laci di atas kepalanya tapi tidak juga melihat gelas yang dia cari. Astaga ....Mengambil posisi berdiri di sebelahnya, kuraih salah satu gelas dari dalam laci dan menyera
Sejak pagi masih terbilang samar, semua orang sudah sibuk mempersiapkan diri untuk menjemput Joseph ke rumah sakit. Ini terlalu membahagiakan sampai kami tidak sabar menunggu hari sedikit lebih siang.Lihat lah Papa Sudrajat yang sangat bersemangat menuruni anak tangga. Beliau lah yang lebih sibuk sejak tadi dan beliau pula yang lebih lama berbenah, seakan cucunya sudah bisa menilai penampilan seseorang.Aku tersenyum melihat papa mertua yang biasanya tak pernah absen berangkat ke kantor itu, kini seperti seorang anak kecil yang tidak menunggu diajak jalan-jalan.“Kalian belum siap? Sudah pukul sebelas, kita harus berangkat sekarang.”“Siapa yang sangat lama turun dari kamarnya? Kurasa kami sudah menunggu tiga puluh menit di sini,” sahut Mama Riana menimpali perkataan suaminya.“Kenapa tidak memanggilku jika begitu? Aku pikir kalian belum siap.”Aku dan Arsen hanya tertawa mendengar perbincangan dua orang
Tak dapat kuhindarkan pacuan jantung yang memicu sangat cepat kala mendengar perkataan dari papa mertua. Telapak tangan segera berkeringat dan dudukku tak bisa tenang sekarang. Bayangan buruk segera menghampiri kepala ini, membuat dugaan-dugaan buruk di dalam sana. Apakah Joseph mengalami penurunan? Tak sabar aku ingin mendengar penjelasan dari Papa Sudrajat. Dengan sedikit memajukan tubuh, aku lantas bertanya pada beliau. “Jo-Joseph? Apa yang terjadi pada Joseph?” Arsen segera memeluk dan memberikan kata-kata penenang untukku. Tapi suaranya seakan menghilang oleh pikiran buruk yang sudah lebih dulu merasuki pikiran ini. Tak sabar kutunggu papa mertua melanjutkan perkataannya yang tertunda. “Papa Mertua, katakan ada apa dengan Joseph-ku?” “Sayang, tenangkan dirimu. Kau tidak boleh seperti ini,” peringat Arsen, meremas pundakku tempat tangannya bertengger. Kemudian dia berbicara pada papanya. “Biar aku antar Nara ke atas, nanti papa bisa berbic
“Nara ....” Dia memanggil namaku pelan. Tangannya semakin dekat ke wajah, sehingga bisa aku rasakan udara yang dibawanya. Berusaha untuk tidak terpengaruh, aku kembali mengingatkannya meski suaraku terdengar bergetar. “Aku adik iparmu, Arlan. Kau tidak boleh melakukannya,” kataku, tapi Arlan tidak mengindahkan kalimat itu. Punggung jarinya menyentuh permukaan kulitku sehingga kaki di bawah sana semakin gemetar. Tidak. Jika seseorang berpikir aku menikmati perlakuannya, jelas itu salah. Aku hanya ingin menunjukkan pada lelaki ini bahwa aku tidak setakut yang dia bayangkan. Aku tidak ingin Arlan merasa diriku melihat dirinya seperti monster yang menakutkan dan harus dijauhi. Aku tidak ingin dia merasa dirinya tidak diinginkan oleh kami. Maksudku ... keluarga. Ya, karena sekarang aku adalah menantu di keluarganya, jadi aku juga menempatkan diri sebagai keluarga baginya. Harus kulihat, sejauh apa dia sebenarnya ingin dimengerti. Beberapa detik dia s
Arsen tahu Arlan memiliki perasaan padaku, sebab itu dia tak pernah merasa rela membiarkan aku pergi untuk menemui saudaranya. Dia tentunya takut jika masalah ini akan merembet lebih jauh lagi, sehingga membuat kegaduhan ke depannya. Tapi setelah kuyakinkan Arsen bahwa aku pasti bisa menjaga diri, dia hanya mengangguk ketika melepaskan aku pergi menemui saudaranya.“Hati-hati, Sayang. Ingat, kau harus segera menghubungiku jika sesuatu terjadi. Dan berusaha lah membuat Arlan tidak marah,” pesannya. Dia mengecup puncak kepalaku berkali-kali dan mengatakan dia sangat mencintai diriku.Ah ... aku sendiri juga merasa gemetar ketika memasuki apartemen milik Arlan, membayangkan mungkin dia akan semakin marah melihat kedatanganku.Ketika kutekan bell di sebelah pintu, seseorang lantas membukanya dan mengatakan Arlan berpesan tidak ingin diganggu.“Tapi ini sangat penting, Bi. Tolong biarkan aku masuk,” ucapku pada asisten rumah yang sudah
“Aku akan gila dengan semua ini.” Mama Riana tertunduk lemas. Sedangkan aku hanya bisa diam mengusap pundak mama mertua yang pastinya sedang sangat tertekan. Beliau memegangi wajah di atas kedua telapak tangannya dengan mulut yang terus saja mengoceh tentang kelakuan dua putranya yang ... memang sangat keterlaluan. “Bagaimana jika Naomi benar melakukan aborsi? Aku akan membunuh Arsen yang dengan bodohnya menyarankan hal gila itu padanya!” Beliau mengangkat wajah dan menatapku. “Lihat lah, Nara, aku adalah ibu yang gagal mendidik putra-putranya, sampai kalian harus menderita karena itu. Aku sangat menyesal yang selalu menuruti keinginan dua anak itu,” ucapnya lagi. Setiap kata yang beliau ucapkan adalah penyesalan dan menyalahkan diri sendiri. Rasanya sangat tak adil, padahal bukan beliau yang bersalah. Semua ini adalah kesalahan Arlan dan juga Arsen yang sangat tidak tahu diri. “Jangan membeb