Demamku belum juga turun setelah satu malaman menumpang tidur di apartemen milik Pak Arsen. Aku sudah merasa enggan, tak enak hati padanya. Belum lagi tentang ciuman kami di ruang kerjanya tempo hari, membuatku sangat malu melihatnya.
Kulirik jam dinding di kamar itu sudah menunjukkan angka sembilan. Mungkin Pak Arsen sudah berangkat ke kantor? Jika begitu, aku harus segera pergi dari apartemen ini sebelum dia kembali.
Namun, baru saja aku mengangkat tubuh berdiri dari ranjang, pandanganku kembali berputar dan kembali terjatuh ke posisi tidur. Aku tidak bisa bangun.
Tidak. Aku tak mau berlama-lama di sini. Jika Ferdy kembali ke rumah dan melihatku tidak pulang semalaman, dia akan sangat marah dan mungkin benar-benar akan menceraikanku. Jadi tetap kupaksa tubuh ini kuat untuk berdiri.
Meski berat dan beberapa kali hampir terjatuh, di sini lah aku sekarang. Di dalam taksi dengan pakaian yang basah kuyup kupaksa mengenakannya. Dan benar apa yang kuduga, Ferdy sudah duduk di sofa ruang tamu.
"Kamu dari mana aja? Semalaman nggak pulang ke rumah." Dia berbicara pelan, tapi sorot matanya seperti menuduhku baru saja melakukan kesalahan.
"Aku ... aku dari rumah Yuni," jawabku berbohong. Tak mungkin kukatakan bermalam di rumah lelaki lain.
"Yuni?" Ferdy tergelak. "Tadi malam setelah nganter Nindy aku nggak lihat kamu di rumah. Aku ke rumah Yuni, tapi kamu nggak ada di sana. Nara, bilang jujur dari mana kamu satu malaman nggak pulang?!" sentaknya. Pundakku sampai terangkat oleh suara yang cukup besar itu.
"Aku ... aku ke sana setelah jam sepuluh malam. Sebelumnya aku kehujanan, itu makanya bajuku masih basah sampe sekarang."
"Masih berusaha berbohong? Jam satu malam aku nelpon Yuni dia bilang kamu nggak datang ke rumahnya, Nara!" bentaknya lagi.
Sebenarnya siapa yang harus marah sekarang? Bukannya dia yang berselingkuh? Aku hanya menumpang di rumah Pak Arsen sebab demam setelah kehujanan. Dan jangan lupa, dia lah yang membuatku seperti itu.
"Siapa perempuan itu?" Kini aku yang balik bertanya pada Ferdy. Kuabaikan tatapan jijiknya dan berani menantang mata suami yang selam ini kuhormati. "Dia calon madu aku?" lanjutku.
Calon madu aku. Kau tahu betapa teririsnya hatiku mengakui perempuan itu calon istri kedua Ferdy? Rasanya ... seperti aku perempuan bodoh, penyakitan yang sudah tak mampu melayaninya di atas ranjang. Rasanya seperti aku hanya istri idiot, yang menawarkan suamiku menikahi perempuan lain. Sangat menyakitkan, sampai tak mampu kukatakan seperti apa hancurku di dalam dada. Namun, hal yang lebih mengirisku adalah ekspresi wajah Ferdy sama sekali tak merasa bersalah.
"Kenapa? Bukannya kamu nggak bisa ngasih aku anak? Nindy itu sehat, kami udah periksa ke dokter kandungan empat bulan yang lalu. Katanya dia akan cepat hamil. Dan benar, sekarang Nindy sedang mengandung tiga minggu. Seharusnya kamu senang, Ra. Mama nggak harus ngomel lagi tentang cucu, dan kamu nggak musti kerja jadi tukang sapu!"
Bisa kau ulangi kalimat Ferdy barusan? Aku harus senang mendengarnya menghamili perempuan lain? Itu lelucon atau hinaan?
"Hamil? Tiga minggu? Kalian saling kenal udah lebih dari empat bulan?" kuulangi semua kalimatnya. "Fer, coba jelasin, apa kamu udah nikah diam-diam sama dia?" tuntutku.
"Belum. Kamu pikir aku sebobrok itu apa? Gimana pun aku masih nunggu ijin kamu, itu buktinya aku menghargai kamu sebagai istriku."
Dia jauh lebih bobrok dari suami yang nikah diam-diam di belakang istrinya. Dia pejinah! Lelaki menjijikkan yang menghamili wanita lain.
"Kalau kamu bisa menghamilinya, maka hamili juga aku sekarang! Aku nggak akan pernah ijinin kamu nikahin perempuan sialan itu!" sentakku marah.
Sungguh, aku sangat marah sampai tak tahu dari mana kudapat keberanian ini. Kuterjang Ferdy sampai terjatuh ke atas lantai dan kulucuti seluruh pakaiannya. Ferdy hanya diam, mulutnya menganga bersama mata yang tebuka lebar menatapku saat aku memasukkan miliknya ke dalam lubang milikku.
Bodoh? Ya! Aku bodoh! Aku tahu dia sudah menghamili perempuan lain, dan aku masih memaksa bergoyang seperti orang gila di atas tubuhnya.
Aku ingin hamil! Aku akan mengalahkan perempuan bernama Nindy itu, dengan anak sah dari pernikahanku dan Ferdy.
Siap-siaplah Nindy, akan kubuat kau menangis darah tak mendapat tempat di sisi suamiku yang bajingan ini. Siap-siaplah! Bawa kehamilan harammu itu pergi menjauh dari rumah tanggaku yang dengan beraninya kau masuki!
Kupikir Ferdy mungkin tidak akan pulang lagi malam ini. Setelah aku memaksanya bercinta pagi tadi, Ferdy lalu pergi tanpa mengatakan sepatah kata pun. Lalu, sekarang dia berdiri di depanku dengan menggandeng perempuan yang dia sebut bernama Nindy."Aku udah nikah sama Nindy. Aku harap kamu bisa bersikap baik padanya. Kalian berdua istriku, sama-sama punya hak di rumah ini.""Nikah?" tanyaku. Tak tahu lagi bagaimana harus kugambarkan emosi di diriku sekarang. "Fer, kamu nikah tanpa bilang aku?""Bilang gimana lagi sih, Ra? Aku udah bilang kan? Nindy hamil anakku dan aku senang akhirnya punya keturunan. Sekarang, kamu harus bisa terima." Ferdy menatap Nindy. Sorotnya yang lembut mengingatkanku dengan hari pertama kami menikah. "Nindy, yang akur sama Nara, ya. Kamu juga nggak boleh capek-capek, ayo istirahat," ajaknya, menuntun Nindy ke kamar kami.Tunggu, kamar kami? Aku tak bisa membiarkan ini lagi. Mereka menikah sebelum mendapat ijinku dan
Cumbuan bibir Pak Arsen semakin menuntut memaksa mulutku terbuka. Gugup. Sungguh aku tak tahu apa yang akan kulakukan di bawahnya. Tanganku diam di dadanya yang bidang. Itu terasa berotot dan nyaman disentuh. Apa aku sudah gila? Ya, sepertinya begitu. Aku gila membiarkan dia memasukkan lidahnya ke dalam mulut untuk mencari milikku.Pilinan dan isapan Pak Arsen membuatku ingin gila. Apalagi ketika tangannya mulai menyentuh bagian-bagian tubuh sensitif dari balik pakaianku, membuat aku melonjak seketika. Buaiannya sungguh memabukkan, menghilangkan beban atas pernikahan diam-diam yang dilakukan oleh Ferdy.Entah sejak kapan, Pak Arsen sudah berhasil melepas baju atasan yang kukenakan sehingga menunjukkan dua bukit milikku. Bukit tersembunyi yang selama ini tertutup rapi dan hanya boleh disentuh Ferdy.Persetan dengan Ferdy. Aku mulai menggeliat merasakan tangan Pak Arsen mempermainkan ujung dadaku yang mengacung. Sementara sebelahnya dia manjakan dengan
Percintaan panas anatara aku dan Pak Arsen berlangsung beberapa kali, sampai aku sudah tak mampu mengangkat bibirku berbicara. Hanya desahan ringan yang bisa aku keluarkan sekarang. Dia benar-benar gila, jago, tak bisa kujelaskan dengan kata-kata. Pak Arsen membawaku menikmati surga dunia yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Sungguh? Ya, aku tidak pernah mendapatkan pelepasan seperti ini selama dengan Ferdy.Tapi setelah semalaman yang kami lalui, aku sangat malu di pagi hari. Terbangun di sebelah Pak Arsen dengan tubuh telanjang tanpa pakaian. Kulihat, dia masih setia dengan tidur lelapnya. Lantas kugeser kaki turun ke atas lantai dan memungut pakaianku ke ruang tengah. Seperti maling yang takut ketahuan aku buru-buru mengenakan pakaian itu dan melarikan diri dari apartemennya. Sangat memalukan.Begitu tiba di rumah, kulihat Ferdy sudah duduk di ruang tengah ditemani secangkir minuman hangat. Tentu saja Nindy juga di sana. Perempuan itu duduk sangat dekat pada suamik
"Pa-Pak, lepasin. Semua orang melihat kita, Pak," mohonku, berharap Pak Arsen melepaskan cengkaramannya. Dia melirikku tajam, tak peduli dengan perkataanku."Pak-""Diam lah, Nara!" sentaknya. Tangannya membuka pintu ruang pribadinya dan mendorongku masuk. "Masuk! Jelaskan kenapa kamu lari dari rumahku."Apa yang harus dijelaskan? Ini tubuhku, aku berhak membawa ke mana saja diriku. Memangnya dia pikir siapanya aku?"Tadi pagi Bapak masih tidur. Aku enggan membangunkan Bapak." Namun itu lah yang mampu keluar dari mulutku. Sifat arogannya sukses membuat nyaliku menciut."Lalu, kamu pikir berhak pergi begitu saja?" Dia mencengkram daguku keras, mengangkat wajahku untuk bersitatap dengannya. Matanya yang menggelap meluruhkan seluruh energi di tubuh ini.Kenapa denganku? Kaki di bawah sana mulai gemetar kurasakan. Ada rasa aneh yang tiba-tiba menjalariku kala sebelah tangan Pak Arsen mulai menjalar di sebelah pipi.
Pak Arsen melepaskan pelukannya dari tubuhku, setelah permainan itu usai. Dia duduk di kursi kerjanya masih dengan mata yang tertuju padaku. Lagi, aku sangat malu setelah kami menyelesaikan permainan gila itu. Tubuh telanjangku dia tatapi sangat lama, seakan matanya tak ingin meninggalkan keindahan tubuh itu sedetik pun.Dengan gerakan lamban aku bangun dari atas meja kerjanya dan Pak Arsen menahanku segera."Jangan. Tetaplah berbaring di sana," ucapnya, yang langsung membuat tubuhku membeku.Aku menurutinya dan terus berbaring di sana. Udara dingin yang diembuskan pendingin ruangan itu menyapa seluruh kulit dan membuatku sedikit merinding. Diam. Cukup lama aku terdiam di pandangannya yang terus menyusuri sekujur tubuh."Indah ..." pujinya, suaranya sangat rendah dan berat, seakan hasrat di dalam dirinya kembali naik. "Tubuhmu sangat indah, Nara."Ini bukan kali pertama dia berkata seperti itu, tapi masih sukses membuat pipiku memanas.
Di rumah hanya ada Nindy. Katanya, Ferdy sedang keluar mengurus usaha barunya bersama mertua. Aku tersenyum ironi mengingat lagi perktaan Ferdy tempo hari. 'Mama akan memberi modal usaha kalau aku mengijinkannya menikah lagi.' Dan sekarang aku sadar bahwa ijinku sebenarnya tidak lah mereka butuhkan."Kamu dari mana sejak kemarin?" tanya Nindy, dia berdiri di ambang pintu kamarku dengan tangan yang dilipat di depan dada, seakan tengah memarahi anak gadisnya yang pulang tidak tepat waktu."Bukan urusanmu," sahutku malas. Aku tak punya urusan sama dia. Bahkan menganggapnya ada di rumah ini pun, bagiku masih terlalu sulit."Kenapa bukan urusanku? Kita ini istrinya Mas Ferdy, wajar aku nanya kamu. Gimana kalau nanti Mas Ferdy marah-marah sama kamu? Setidaknya aku bisa bantu menenangkan dia, kan?" lanjutnya lagi.Serius? Dia mau bantu tenangkan Ferdy kalau tahu aku berselingkuh sejak tadi malam? Bahkan jika aku mati di tangan Ferdy pun, tak sudi menerima bant
"Apa?!" Suara Ferdy meninggi. "Nindy, jangan sembarangan kalo ngomong.""Aku nggak bohong, Mas. Aku nggak mungkin salah nyium baunya. Kenapa jadi marah sama aku?" sela Nindy. Dia tak terima disalahkan oleh Ferdy.Kini Ferdy menatapku dengan tatapan jijik yang menghakimi, seakan hanya aku lah manusia yang sangat buruk di sini. Benar aku salah. Aku tidak mengelak apalagi membenarkan diriku. Ketakutan di dalam diri tentunya tak bisa terelakkan."Siapa laki-laki itu, Nara!" sentak Ferdy di depan wajahku. Pundakku sampai terangkat oleh sentakan yang sangat tiba-tiba di saat aku belum mempersiapkan mental.Plak!Kurasakan pipi memanas oleh pertemuan dengan telapak tangan Ferdy. Sakit ... tamparannya perih, panas, dan sangat sakit di pipiku. Di bagian dalam mulut juga kurasakan sangat perih sesaat sebelum rasa aneh mulai tertangkap lidah. Rasa seperti besi berkarat dari cairan yang kuyakini pasti lah darah."Jawab, Nara! Dengan siapa ka
Kemarahan Ferdy semakin terpancing oleh perkataanku. Dia menampar wajahku keras dibarengi Nindy juga menjambak rambutku. Sangat sakit tapi aku hanya diam tak bereaksi. Kurasa bibirku sudah pecah oleh tamparan yang ditambah Nindy, dia memberi tamparan empat kali dan tertegun melihatku mematung."Kamu nggak mau minta maaf?" sentak Ferdy, bisa kulihat kemarahannya bercampur rasa iba. Tapi, tak juga dia cegah istrinya menamparku sekali lagi."Istri kamu memang gila, Mas. Aku nggak ngerti kenapa ada orang kayak dia. Pantas aja mandul, udah selingkuh juga nggak malu pulang ke rumah ini. Minta maaf pun nggak mau." Dia mundur setelah mengatakan itu, tapi matanya tampak takut membalas tatapanku yang tertuju padanya."Kamu pikir dirimu suci? Perebut suami orang!" sentakku. Amarah di dalam diri menggila sampai tak sadar aku melesat ke depan Nindy dan membalas satu tamparan di wajahnya.Itu belum cukup. Aku akan membalas sebanyak pukulan yang dia dan Ferdy be
Setelah membersihkan diri lebih dulu, kududukkan diri di depan meja rias yang besar itu. Hari ini Arsen akan kembali dari luar kota, dan kupikir ingin menyambut suamiku dengan dandanan yang sedikit menarik. Dia pasti merindukanku, dan akan semakin senang dia melihatku nanti dengan riasan ini. Setelahnya, tak lupa kuganti pakaian dengan gaun yang baru kubeli siang tadi, memang sengaja aku membelinya demi menyambut Arsen kembali.Tepat setelah kupikir siap, pintu kamar diketuk dari luar sana. Hatiku melambung seketika itu juga, menduga suamiku akhirnya kembali. Dengan sedikit berjingkrak, kubuka handel pintu sembari menyambut suamiku dengan kedua tangan melintang.“Selamat datang suamiku ...!” seruku sangat girang.Tapi apa ini? Bukannya wajah Arsen, tapi Bi Ratna lah yang berdiri di depanku. Sedikit malu aku dengan tatapan lurusnya yang tertuju pada penampilanku.“Eh, Bi Ratna. Ada apa, Bi?” tanyaku menghilangkan rasa gugup.
Sudah tiga hari ini Arsen harus pergi ke luar kota untuk mengurus beberapa pekerjaan yang diminta oleh papanya. Jujur, aku sudah sangat merindukan suami yang sangat manja dan bawel itu, sampai-sampai ketika menyusukan Joseph pun hanya wajahnya lah yang terbayang di mataku. Mungkinkah ini yang disebut dengan jatuh cinta sangat dalam? Seperti aku tidak bisa mengendalikan diriku dari rasa rindu yang menggetarkan jiwa.Ketika baru saja kuletakkan Joseph di atas boks tidurnya, ponselku sudah berbunyi di atas nakas. Beruntung suara nyaring itu tidak mengganggu tidur putraku. Hanya menepuk bokongnya beberapa kali, Joseph sudah kembali terlelap. Ah ... itu ulah Arsen. Ketika dia akan berangkat tempo hari, Arsen membuat nada ponselku sangat besar. Katanya agar aku tidak beralasan tidak mendengar suara ponsel ketika dia menghubungiku.Dan lihat siapa yang menelepon sekarang? Siapa lagi jika bukan dia. Lantas kugeser layar ponselku pada posisi menerima, dan wajahnya segera terlih
"Ini, makan lah yang banyak."Arsen meletakkan sangat banyak potongan daging dan sayuran di atas piringku.
“Sayang, aku tidak melihat gelas kopinya!”Arsen berseru dari dapur, menghentikanku yang baru saja akan membuka baju.“Itu ada di laci atas kepalamu, Sayang. Mendongak lah dan buka lacinya!” balasku tak kalah kencang.“Laci yang mana? Aku tidak melihatnya!”Ini tidak akan berhasil. Jika aku terus berteriak, Joseph akan terbangun dari tidurnya yang belum lima belas menit. Lantas kubenarkan lagi letak pakaianku sembari mendatanginya ke dapur.Dia memang selalu begitu. Apa pun tak pernah terlihat oleh matanya. Entah karena malas mencari atau memang dia tak bisa menemukan sebuah barang dengan benar, hanya dia dan Tuhan lah yang tahu.“Di mana itu? Di mana gelas kopinya?”Kulihat Arsen tengah membuka-buka laci di atas kepalanya tapi tidak juga melihat gelas yang dia cari. Astaga ....Mengambil posisi berdiri di sebelahnya, kuraih salah satu gelas dari dalam laci dan menyera
Sejak pagi masih terbilang samar, semua orang sudah sibuk mempersiapkan diri untuk menjemput Joseph ke rumah sakit. Ini terlalu membahagiakan sampai kami tidak sabar menunggu hari sedikit lebih siang.Lihat lah Papa Sudrajat yang sangat bersemangat menuruni anak tangga. Beliau lah yang lebih sibuk sejak tadi dan beliau pula yang lebih lama berbenah, seakan cucunya sudah bisa menilai penampilan seseorang.Aku tersenyum melihat papa mertua yang biasanya tak pernah absen berangkat ke kantor itu, kini seperti seorang anak kecil yang tidak menunggu diajak jalan-jalan.“Kalian belum siap? Sudah pukul sebelas, kita harus berangkat sekarang.”“Siapa yang sangat lama turun dari kamarnya? Kurasa kami sudah menunggu tiga puluh menit di sini,” sahut Mama Riana menimpali perkataan suaminya.“Kenapa tidak memanggilku jika begitu? Aku pikir kalian belum siap.”Aku dan Arsen hanya tertawa mendengar perbincangan dua orang
Tak dapat kuhindarkan pacuan jantung yang memicu sangat cepat kala mendengar perkataan dari papa mertua. Telapak tangan segera berkeringat dan dudukku tak bisa tenang sekarang. Bayangan buruk segera menghampiri kepala ini, membuat dugaan-dugaan buruk di dalam sana. Apakah Joseph mengalami penurunan? Tak sabar aku ingin mendengar penjelasan dari Papa Sudrajat. Dengan sedikit memajukan tubuh, aku lantas bertanya pada beliau. “Jo-Joseph? Apa yang terjadi pada Joseph?” Arsen segera memeluk dan memberikan kata-kata penenang untukku. Tapi suaranya seakan menghilang oleh pikiran buruk yang sudah lebih dulu merasuki pikiran ini. Tak sabar kutunggu papa mertua melanjutkan perkataannya yang tertunda. “Papa Mertua, katakan ada apa dengan Joseph-ku?” “Sayang, tenangkan dirimu. Kau tidak boleh seperti ini,” peringat Arsen, meremas pundakku tempat tangannya bertengger. Kemudian dia berbicara pada papanya. “Biar aku antar Nara ke atas, nanti papa bisa berbic
“Nara ....” Dia memanggil namaku pelan. Tangannya semakin dekat ke wajah, sehingga bisa aku rasakan udara yang dibawanya. Berusaha untuk tidak terpengaruh, aku kembali mengingatkannya meski suaraku terdengar bergetar. “Aku adik iparmu, Arlan. Kau tidak boleh melakukannya,” kataku, tapi Arlan tidak mengindahkan kalimat itu. Punggung jarinya menyentuh permukaan kulitku sehingga kaki di bawah sana semakin gemetar. Tidak. Jika seseorang berpikir aku menikmati perlakuannya, jelas itu salah. Aku hanya ingin menunjukkan pada lelaki ini bahwa aku tidak setakut yang dia bayangkan. Aku tidak ingin Arlan merasa diriku melihat dirinya seperti monster yang menakutkan dan harus dijauhi. Aku tidak ingin dia merasa dirinya tidak diinginkan oleh kami. Maksudku ... keluarga. Ya, karena sekarang aku adalah menantu di keluarganya, jadi aku juga menempatkan diri sebagai keluarga baginya. Harus kulihat, sejauh apa dia sebenarnya ingin dimengerti. Beberapa detik dia s
Arsen tahu Arlan memiliki perasaan padaku, sebab itu dia tak pernah merasa rela membiarkan aku pergi untuk menemui saudaranya. Dia tentunya takut jika masalah ini akan merembet lebih jauh lagi, sehingga membuat kegaduhan ke depannya. Tapi setelah kuyakinkan Arsen bahwa aku pasti bisa menjaga diri, dia hanya mengangguk ketika melepaskan aku pergi menemui saudaranya.“Hati-hati, Sayang. Ingat, kau harus segera menghubungiku jika sesuatu terjadi. Dan berusaha lah membuat Arlan tidak marah,” pesannya. Dia mengecup puncak kepalaku berkali-kali dan mengatakan dia sangat mencintai diriku.Ah ... aku sendiri juga merasa gemetar ketika memasuki apartemen milik Arlan, membayangkan mungkin dia akan semakin marah melihat kedatanganku.Ketika kutekan bell di sebelah pintu, seseorang lantas membukanya dan mengatakan Arlan berpesan tidak ingin diganggu.“Tapi ini sangat penting, Bi. Tolong biarkan aku masuk,” ucapku pada asisten rumah yang sudah
“Aku akan gila dengan semua ini.” Mama Riana tertunduk lemas. Sedangkan aku hanya bisa diam mengusap pundak mama mertua yang pastinya sedang sangat tertekan. Beliau memegangi wajah di atas kedua telapak tangannya dengan mulut yang terus saja mengoceh tentang kelakuan dua putranya yang ... memang sangat keterlaluan. “Bagaimana jika Naomi benar melakukan aborsi? Aku akan membunuh Arsen yang dengan bodohnya menyarankan hal gila itu padanya!” Beliau mengangkat wajah dan menatapku. “Lihat lah, Nara, aku adalah ibu yang gagal mendidik putra-putranya, sampai kalian harus menderita karena itu. Aku sangat menyesal yang selalu menuruti keinginan dua anak itu,” ucapnya lagi. Setiap kata yang beliau ucapkan adalah penyesalan dan menyalahkan diri sendiri. Rasanya sangat tak adil, padahal bukan beliau yang bersalah. Semua ini adalah kesalahan Arlan dan juga Arsen yang sangat tidak tahu diri. “Jangan membeb