Kala aku tiba di rumah sore itu, kulihat pintu rumahku terbuka lebar dengan sepasang sepatu wanita terletak di luarnya. Dua suara pria dan wanita terdengar telingaku ketika akan memasuki teras itu.
"Sampe kapan, Fer? Kamu pikir kami nggak bosan nunggu begini? Lihat papa kamu, Nak. Papa udah tua. Kamu nggak pengen kami menimang cucu sebelum ajal kami, apa?"
Itu suara mama mertuaku. Bisa kupastikan mama bagaimana reaksi mukanya saat membahas cucu.
"Aku pulang," ujarku. Kulihat mama membuang wajahnya ke samping tak senang melihat kedatanganku. Tak perlu kupasang muka jutek sepertinya, sebab ini sudah hal biasa bagiku.
"Eh, ada mama," lanjutku lagi.
Setelah melepas sepatu sport di depan pintu, kuambil tempat duduk di sebelah Ferdy yang berhadapan dengan mama mertua. Berniat menyapa dulu pikirku, tapi mama mertua segera menegurku.
"Mertua datang bukannya dibikinin minum, malah duduk," sindirnya.
Sejak tadi mereka mengobrol kenapa tidak meminta diambilkan oleh anaknya? Apa tangan Ferdy akan patah jika dia suruh?
"Oh iya. Maaf, Ma, aku ke dapur dulu." Kutinggalkan mereka di sana.
Lagi, kudengar mereka melanjutkan pembicaraan lagi. Tidak terlalu jelas, mama mertua menurunkan nadanya dari sebelum aku masuk tadi.
Ini lah salah satu masalah besar yang sangat mengganggu pikiranku. Lima tahun kami menikah hingga sekarang belum juga bisa memberi cucu untuk mertua. Aku sendiri sangat malu setiap kali mama membahas anak padaku.
Bukan aku tak mau. Tapi ... mungkin memang belum saatnya kami dikasih keturunan.
Mertuaku tidak bisa meminum kopi. Penyakit lambungnya sudah terbilang buruk. Jadi, aku meletakkan cangkir teh di depannya dan kopi untuk suamiku.
"Silakan tehnya, Ma," ucapku mempersilakan.
"Nara, gimana dengan jamu yang mama belikan? Kamu nggak buang, kan?"
Bukannya mengucap terima kasih atau sekedar basa-basi atas teh yang baru kuletakkan, mama langsung menembakku pada inti.
"Minum kok, Ma," sahutku pelan.
Sudah tiga bulan ini mama mertu memberikan jamu untuk kukonsumsi. Di kemasannya menjelaskan bahwa itu jamu penyubur kandungan, katanya biar aku cepat hamil. Aku selalu meminumnya meski aku sendiri merasa mual setiap kali selesai menenggaknya. Tak apa. Memiliki anak juga salah satu keinginanku.
Bukankah untuk mendapatkan sesuatu kita harus berkorban lebih dulu? Anggaplah meminum jamu itu sebagian dari pengorbananku.
"Tapi kenapa kamu belum hamil juga? Anaknya teman mama cuma minum itu satu bulan, loh. Dia langsung hamil di bulan berikutnya!" serunya, yang di telingaku terasa seperti sindiran halus.
"Mungkin memang belum saatnya, Ma. Udah lah, jangan bahas cucu terus."
Ferdy membelaku, seperti yang biasa dia lakukan. Melihat wajah mama tak senang akan pembelaan yang kudapat, kucubit kecil pinggang suami agar tidak menjawab lagi ucapan mamanya.
"Jadi maksudnya kami harus diam aja, gitu? Ferdy, kamu ini anak mama satu-satunya dan hanya sama kamu mama berharap."
Ferdy sudah membuka mulutnya untuk menjawab, tapi segera dia urungkan ketika melihatku meliriknya. Kugeleng pelan kepala, menyuruhnya berhenti berdebat dengan mama. Aku tak mau mereka terus bertengkar dan berakhir aku lagi yang disalahkan.
"Kami akan berusaha terus, Ma. Doakan aja secepatnya," ucapku, menggantikan Ferdy.
"Kamu pikir kami nggak berdoa selama ini? Sebenarnya kamu paham nggak sih perasaan kami, Nara? Kami ini orang tua, loh. Satu-satunya keluarga yang dimiliki Ferdy selain kamu. Apa bahagia kami bukan tanggung jawabnya? Hanya kamu yang berhak mendapat bahagia dari anak kami? Lebih baik kalian berhenti berusaha kalau hasilnya selalu nihil!" sentak mama.
Tuhan ....
Ingin kuangkat tangan meremas dada yang terasa sangat sakit di dalam sana, tapi kutahan demi tidak terlihat menyinggung. Lagi-lagi aku menahannya agar mama tidak semakin kesal melihat wajahku.
"Maaf, Ma," sahutku lemah.
Kau tahu seberapa sakitnya aku selalu meminta maaf seperti ini? Semuanya seakan hanya jadi salahku. Padahal, aku sendiri sudah mengikuti semua perkataan mama mertu.
"Mama nggak bisa dengar permintaan maaf kamu terus, Nara. Mama bosan dengarnya."
Lantas apa yang harus aku lakukan? Semua inginnya sudah kuturuti, termasuk bekerja jadi Cleaning Servic di perusahaan itu. Kau tahu kenapa aku terdampar ke sana? Mari kujelaskan.
Mama mertuku yang terhormat ini pernah berkata Ferdy terlalu lelah bekerja sehingga tak memiliki tenaga lagi di malam hari. Beliau menyuruh Ferdy resign sejak dua tahun lalu, dan hingga sekarang dia kesulitan mencari pekerjaan. Asal kau tau, Ferdy sudah menganggur selama dua tahun penuh, dan aku harus menggantikannya untuk mencukupi biaya kami.
Aku hanya anak dari panti asuhan. Aku tak punya tingkat sekolah tinggi apalagi yang disebut sebagai gelar. Untuk lulus dari SMA saja aku harus bekerja paruh waktu sebab panti tempatku dibesarkan mengalami kesulitan saat itu.
Sedangkan Ferdy yang tadinya sudah mendapat posisi bagus di kantor dipaksa mengundurkan diri oleh mamanya. Tak ada pilihan lagi saat itu, Ferdy menuruti perkataan mamanya agar tidak terus menyalahkanku yang tak kunjung hamil.
Semua uang yang kami miliki kubayarkan pada angsuran rumah. Seharusnya memang masih tiga tahun lagi, tapi kupikir, jika Ferdy tidak bekerja dari mana kami akan mendapat uang bulanan membayarnya? Jadi, kuputuskan melunasi rumah ini agar tidak menjadi beban bagi kami. Lalu aku melamar kerja menjadi tukang bersih-bersih, sebab hanya sampai di situ lah ijazahku berlaku.
"Maaf, Ma," jawabku lagi. Kutelan ke dalam air mataku untuk tetap terlihat tegar. Aku tak suka dipandang rendah olehnya.
"Maaf terus. Udah kamu ke dalam aja sana. Nyuci piring kek, baju, masak, atau bersih-bersih. Mama mau ngomong berdua sama Ferdy."
'Baik, Mama Ratu.'
"Kalau gitu aku ke dalam dulu, Ma."
Ini lebih bagus. Aku sendiri sudah tak tahan duduk lebih lama lagi di sana. Aku lelah, hanya aku yang selalu disalahkan olehnya. Biarlah kali ini Ferdy yang menangani mamanya. Mau mereka ribut, berantem sekalian juga aku akan menutup telingaku.
Spons di tangan kugosok kuat pada piring yang sedang kucuci. Begini lah selalu. Bahkan jika aku pulang malam dari tempat bekerja, aku masih harus mengurus segala pekerjaan rumah yang kadang sampai larut malam selesai. Ferdy yang sejatinya hanya diam di rumah ini pun tak pernah berniat meringankan sedikit saja bebanku. Bukan. Bukan aku meminta suamiku menjadi Inem, hanya sesekali aku ingin dia ikut membantu. Bukankah hal wajar suami istri melakukannya bersama? Nyatanya, Ferdy tak pernah menyentuh apa pun di rumah ini.
Duduk di depan TV, pergi bertemu temannya, atau alasan melihat pekerjaan yang tak kunjung dia dapatkan. Aku sabar. Aku tak pernah melarangnya bahkan ketika aku sangat membutuhkan belaiannya.
"Jadi gimana? Mama atau kamu yang ngomong sama Nara?" tanya mama kudengar di depan sana.
"Jangan, Ma. Biar aku aja yang ngomong."
"Kamu bilang gitu juga minggu lalu, kan? Tapi nyatanya, kamu malah diem terus. Kamu ini sebenarnya laki-laki bukan, sih? Masa ngomong ke istri saja nggak bisa. Seperti suami takut istri!" sindir mama.
"Apa jangan-jangan Nara yang ngatur kamu? Bilang sama mama, dia nggak rendahin kamu karena nggak kerja, kan? Gantian dong, dulu kamu yang kerja sampe nggak punya waktu ngasih mama cucu. Sekarang giliran dia harusnya nggak jadi besar kepala. Lagian gaji tukang sapu mah berapa? Nggak akan bisa nyaingi gaji kamu dulu."
Tuhan ... jika aku memperlakukan Ferdy seperti itu, seharusnya mama melihat rumah ini rapi ketika datang tadi. Bukannya seperti ini. Piring bertumpuk di tempat cuciannya, pakaian di luar belum diangkat, dan lihat saja ruang tengah yang bahkan tidak disapu sejak pagi. Ya, aku tak menyapunya sebab buru-buru berangkat ke kantor.
"Udah lah, Ma. Jangan menduga-duga terus. Biar aku yang ngomong ke Nara. Tapi kalo dia nggak setuju mama jangan langsung marah. Nggak ada perempuan yang mau dimadu."
Serrr ....
Darahku mendidih mendengar kata terakhir yang keluar dari mulut suamiku.
Madu? Madu seperti apa yang Ferdy bicarakan? Madu manis yang diiklankan Agnes Monica itu 'kah? Aku tak mau mengakui isi pikiranku sekarang.
*****
"Nggak, Fer, nggak!"Mungkin suaraku sudah terdengar ke luar sana. Para tetangga mungkin sedang menguping bembicaraanku dengan Ferdy, yang ribut oleh perkataan mama mertu sore tadi. Kupikir Ferdy tidak akan melakukan ucapan mamanya meminta ijin menikah lagi padaku."Aku nggak bisa. Kalau kamu mau nikah lagi, ceraikan aku itu lebih baik!" ucapku, mataku menatap tajam pada lelaki yang sudah lima tahun menjadi suamiku."Nara, aku mohon mengerti, dong. Orang tuaku sangat ingin punya cucu sementara kamu nggak bisa hamil. Apa nggak bisa kamu turunin ego itu sedikit saja? Ini demi kita, Ra. Kamu nggak harus kerja seperti biasa kalo kita nurutin kata mama," tuturnya.Ya, itu yang dijanjikan mama mertuaku pada Ferdy. Jika dia menikah lagi, mertua akan memberi modal usaha agar Ferdy tidak perlu capek mencari pekerjaan lagi. Dan ya, kuakui mertuaku terbilang berada. Mereka pasti tak bohong ingin memberi modal pada kami. Tapi untuk membiarkan suami memb
Kalimat vulgar yang terucap dari Pak Arsen, menyadarkanku seketika. Bau napasnya yang wangi sudah tak lagi ingin kuhirup lebih lama."Jaga ucapan Anda, Pak. Di mana sopan santun Anda terhadap istri orang," ucapku, memaksa kalimat itu keluar dari tenggorokan yang tercekat. Tubuhku mundur menghindari Pak Arsen yang juga melangkah maju.Dia berjalan pelan, menggiring kakiku ke belakang. Pinggulku beradu dengan sudut meja kerjanya yang membuatku terjebak dalam kungkungannya. Kedua tangannya diletakkan di atas meja untuk mengunciku."Nara, aku bisa memuaskanmu di ranjang," bisiknya sangat dekat. Hangat napasnya menyapu wajahku yang seketika membeku, kala Pak Arsen mempertemukan bibir kami.Desiran-desiran aneh mulai kurasa mempermainkan bulu-bulu halus di sekujur tubuh. Jantung memompa kencang, mengalirkan darah dengar hebatnya ke seluruh penjuru. Kakiku melemas dan aku terhanyut oleh buaian bibir Pak Arsen, hingga tak sadar kapan dia melepaskan itu.
"Gimana Ferdy betah di rumah kalau kamu nggak punya anak! Nara, coba kamu pikir, ya. Semua orang menikah itu tujuannya punya anak, biar suami makin sayang dan giat cari uang. Wajar Ferdy nggak pulang karna kamu terlalu banyak nuntut!"Itu yang dikatakan mama mertua begitu aku menanyakan keberadaan Ferdy padanya. Kedatanganku ke sini terasa sia-sia, hanya mendapat omelan sementara aku tetap tak tahu di mana Ferdy. Mama mertua juga langsung masuk ke dalam rumahnya tanpa mempersilakanku.Dua hari bukan waktu yang wajar bagi seorang suami tak pulang pada istrinya. Apa aku salah jika menanyakan pada mertua? Ferdy berkata akan pergi ke rumah mamanya, wajar jika aku datang ke sini mencarinya, kan?Tapi, niat baikku ternyata berbuah duri yang menusuk hingga ke inti hati.Kupikir, pulang ke rumah hanya akan membuatku sedih memikirkan ucapan mama. Jadi kuputuskan pergi ke super market untuk membeli beberapa kebutuhan.Tapi apa yang ku
Beberapa menit setelah membersihkan tubuh, aku masih diam di dalam kamar mandi. Sungguh ... aku bingung bagaimana akan menunjukkan muka di depan Pak Arsen sekarang. Maksudku ... kemeja ini. Ya, kemeja kelonggaran yang kukenakan setelah berganti pakaian. Ini sepertinya milik Pak Arsen, terlihat dari ukurannya yang pas dengan lelaki itu. Dan di bagian bawah, aku sama sekali tak mengenakan apa-apa."Nara."Kudengar Pak Arsen memanggil namaku bersamaan dengan ketukan pintu. Dia mengulanginya, menyebut namaku seperti tadi. Aku semakin bingung, apakah harus berpura-pura mati sejenak?"Kamu baik-baik aja? Jawab atau aku mendobrak pintunya sekarang.""Iya, Pak! Aku nggak apa-apa!" seruku mengalahkan kecepatan tangan membuka pintu. Dan kemudian, Pak Arsen tertegun melihat aku sangat dekat di depannya. Dia berdiri tak sampai satu langkah dari pintu.Melihat matanya tertuju langsung ke pahaku, refleks lutut sedikit kutekuk untuk merendahkan posisiku berdiri.
Demamku belum juga turun setelah satu malaman menumpang tidur di apartemen milik Pak Arsen. Aku sudah merasa enggan, tak enak hati padanya. Belum lagi tentang ciuman kami di ruang kerjanya tempo hari, membuatku sangat malu melihatnya.Kulirik jam dinding di kamar itu sudah menunjukkan angka sembilan. Mungkin Pak Arsen sudah berangkat ke kantor? Jika begitu, aku harus segera pergi dari apartemen ini sebelum dia kembali.Namun, baru saja aku mengangkat tubuh berdiri dari ranjang, pandanganku kembali berputar dan kembali terjatuh ke posisi tidur. Aku tidak bisa bangun.Tidak. Aku tak mau berlama-lama di sini. Jika Ferdy kembali ke rumah dan melihatku tidak pulang semalaman, dia akan sangat marah dan mungkin benar-benar akan menceraikanku. Jadi tetap kupaksa tubuh ini kuat untuk berdiri.Meski berat dan beberapa kali hampir terjatuh, di sini lah aku sekarang. Di dalam taksi dengan pakaian yang basah kuyup kupaksa mengenakannya. Dan benar apa yang kudu
Kupikir Ferdy mungkin tidak akan pulang lagi malam ini. Setelah aku memaksanya bercinta pagi tadi, Ferdy lalu pergi tanpa mengatakan sepatah kata pun. Lalu, sekarang dia berdiri di depanku dengan menggandeng perempuan yang dia sebut bernama Nindy."Aku udah nikah sama Nindy. Aku harap kamu bisa bersikap baik padanya. Kalian berdua istriku, sama-sama punya hak di rumah ini.""Nikah?" tanyaku. Tak tahu lagi bagaimana harus kugambarkan emosi di diriku sekarang. "Fer, kamu nikah tanpa bilang aku?""Bilang gimana lagi sih, Ra? Aku udah bilang kan? Nindy hamil anakku dan aku senang akhirnya punya keturunan. Sekarang, kamu harus bisa terima." Ferdy menatap Nindy. Sorotnya yang lembut mengingatkanku dengan hari pertama kami menikah. "Nindy, yang akur sama Nara, ya. Kamu juga nggak boleh capek-capek, ayo istirahat," ajaknya, menuntun Nindy ke kamar kami.Tunggu, kamar kami? Aku tak bisa membiarkan ini lagi. Mereka menikah sebelum mendapat ijinku dan
Cumbuan bibir Pak Arsen semakin menuntut memaksa mulutku terbuka. Gugup. Sungguh aku tak tahu apa yang akan kulakukan di bawahnya. Tanganku diam di dadanya yang bidang. Itu terasa berotot dan nyaman disentuh. Apa aku sudah gila? Ya, sepertinya begitu. Aku gila membiarkan dia memasukkan lidahnya ke dalam mulut untuk mencari milikku.Pilinan dan isapan Pak Arsen membuatku ingin gila. Apalagi ketika tangannya mulai menyentuh bagian-bagian tubuh sensitif dari balik pakaianku, membuat aku melonjak seketika. Buaiannya sungguh memabukkan, menghilangkan beban atas pernikahan diam-diam yang dilakukan oleh Ferdy.Entah sejak kapan, Pak Arsen sudah berhasil melepas baju atasan yang kukenakan sehingga menunjukkan dua bukit milikku. Bukit tersembunyi yang selama ini tertutup rapi dan hanya boleh disentuh Ferdy.Persetan dengan Ferdy. Aku mulai menggeliat merasakan tangan Pak Arsen mempermainkan ujung dadaku yang mengacung. Sementara sebelahnya dia manjakan dengan
Percintaan panas anatara aku dan Pak Arsen berlangsung beberapa kali, sampai aku sudah tak mampu mengangkat bibirku berbicara. Hanya desahan ringan yang bisa aku keluarkan sekarang. Dia benar-benar gila, jago, tak bisa kujelaskan dengan kata-kata. Pak Arsen membawaku menikmati surga dunia yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Sungguh? Ya, aku tidak pernah mendapatkan pelepasan seperti ini selama dengan Ferdy.Tapi setelah semalaman yang kami lalui, aku sangat malu di pagi hari. Terbangun di sebelah Pak Arsen dengan tubuh telanjang tanpa pakaian. Kulihat, dia masih setia dengan tidur lelapnya. Lantas kugeser kaki turun ke atas lantai dan memungut pakaianku ke ruang tengah. Seperti maling yang takut ketahuan aku buru-buru mengenakan pakaian itu dan melarikan diri dari apartemennya. Sangat memalukan.Begitu tiba di rumah, kulihat Ferdy sudah duduk di ruang tengah ditemani secangkir minuman hangat. Tentu saja Nindy juga di sana. Perempuan itu duduk sangat dekat pada suamik
Setelah membersihkan diri lebih dulu, kududukkan diri di depan meja rias yang besar itu. Hari ini Arsen akan kembali dari luar kota, dan kupikir ingin menyambut suamiku dengan dandanan yang sedikit menarik. Dia pasti merindukanku, dan akan semakin senang dia melihatku nanti dengan riasan ini. Setelahnya, tak lupa kuganti pakaian dengan gaun yang baru kubeli siang tadi, memang sengaja aku membelinya demi menyambut Arsen kembali.Tepat setelah kupikir siap, pintu kamar diketuk dari luar sana. Hatiku melambung seketika itu juga, menduga suamiku akhirnya kembali. Dengan sedikit berjingkrak, kubuka handel pintu sembari menyambut suamiku dengan kedua tangan melintang.“Selamat datang suamiku ...!” seruku sangat girang.Tapi apa ini? Bukannya wajah Arsen, tapi Bi Ratna lah yang berdiri di depanku. Sedikit malu aku dengan tatapan lurusnya yang tertuju pada penampilanku.“Eh, Bi Ratna. Ada apa, Bi?” tanyaku menghilangkan rasa gugup.
Sudah tiga hari ini Arsen harus pergi ke luar kota untuk mengurus beberapa pekerjaan yang diminta oleh papanya. Jujur, aku sudah sangat merindukan suami yang sangat manja dan bawel itu, sampai-sampai ketika menyusukan Joseph pun hanya wajahnya lah yang terbayang di mataku. Mungkinkah ini yang disebut dengan jatuh cinta sangat dalam? Seperti aku tidak bisa mengendalikan diriku dari rasa rindu yang menggetarkan jiwa.Ketika baru saja kuletakkan Joseph di atas boks tidurnya, ponselku sudah berbunyi di atas nakas. Beruntung suara nyaring itu tidak mengganggu tidur putraku. Hanya menepuk bokongnya beberapa kali, Joseph sudah kembali terlelap. Ah ... itu ulah Arsen. Ketika dia akan berangkat tempo hari, Arsen membuat nada ponselku sangat besar. Katanya agar aku tidak beralasan tidak mendengar suara ponsel ketika dia menghubungiku.Dan lihat siapa yang menelepon sekarang? Siapa lagi jika bukan dia. Lantas kugeser layar ponselku pada posisi menerima, dan wajahnya segera terlih
"Ini, makan lah yang banyak."Arsen meletakkan sangat banyak potongan daging dan sayuran di atas piringku.
“Sayang, aku tidak melihat gelas kopinya!”Arsen berseru dari dapur, menghentikanku yang baru saja akan membuka baju.“Itu ada di laci atas kepalamu, Sayang. Mendongak lah dan buka lacinya!” balasku tak kalah kencang.“Laci yang mana? Aku tidak melihatnya!”Ini tidak akan berhasil. Jika aku terus berteriak, Joseph akan terbangun dari tidurnya yang belum lima belas menit. Lantas kubenarkan lagi letak pakaianku sembari mendatanginya ke dapur.Dia memang selalu begitu. Apa pun tak pernah terlihat oleh matanya. Entah karena malas mencari atau memang dia tak bisa menemukan sebuah barang dengan benar, hanya dia dan Tuhan lah yang tahu.“Di mana itu? Di mana gelas kopinya?”Kulihat Arsen tengah membuka-buka laci di atas kepalanya tapi tidak juga melihat gelas yang dia cari. Astaga ....Mengambil posisi berdiri di sebelahnya, kuraih salah satu gelas dari dalam laci dan menyera
Sejak pagi masih terbilang samar, semua orang sudah sibuk mempersiapkan diri untuk menjemput Joseph ke rumah sakit. Ini terlalu membahagiakan sampai kami tidak sabar menunggu hari sedikit lebih siang.Lihat lah Papa Sudrajat yang sangat bersemangat menuruni anak tangga. Beliau lah yang lebih sibuk sejak tadi dan beliau pula yang lebih lama berbenah, seakan cucunya sudah bisa menilai penampilan seseorang.Aku tersenyum melihat papa mertua yang biasanya tak pernah absen berangkat ke kantor itu, kini seperti seorang anak kecil yang tidak menunggu diajak jalan-jalan.“Kalian belum siap? Sudah pukul sebelas, kita harus berangkat sekarang.”“Siapa yang sangat lama turun dari kamarnya? Kurasa kami sudah menunggu tiga puluh menit di sini,” sahut Mama Riana menimpali perkataan suaminya.“Kenapa tidak memanggilku jika begitu? Aku pikir kalian belum siap.”Aku dan Arsen hanya tertawa mendengar perbincangan dua orang
Tak dapat kuhindarkan pacuan jantung yang memicu sangat cepat kala mendengar perkataan dari papa mertua. Telapak tangan segera berkeringat dan dudukku tak bisa tenang sekarang. Bayangan buruk segera menghampiri kepala ini, membuat dugaan-dugaan buruk di dalam sana. Apakah Joseph mengalami penurunan? Tak sabar aku ingin mendengar penjelasan dari Papa Sudrajat. Dengan sedikit memajukan tubuh, aku lantas bertanya pada beliau. “Jo-Joseph? Apa yang terjadi pada Joseph?” Arsen segera memeluk dan memberikan kata-kata penenang untukku. Tapi suaranya seakan menghilang oleh pikiran buruk yang sudah lebih dulu merasuki pikiran ini. Tak sabar kutunggu papa mertua melanjutkan perkataannya yang tertunda. “Papa Mertua, katakan ada apa dengan Joseph-ku?” “Sayang, tenangkan dirimu. Kau tidak boleh seperti ini,” peringat Arsen, meremas pundakku tempat tangannya bertengger. Kemudian dia berbicara pada papanya. “Biar aku antar Nara ke atas, nanti papa bisa berbic
“Nara ....” Dia memanggil namaku pelan. Tangannya semakin dekat ke wajah, sehingga bisa aku rasakan udara yang dibawanya. Berusaha untuk tidak terpengaruh, aku kembali mengingatkannya meski suaraku terdengar bergetar. “Aku adik iparmu, Arlan. Kau tidak boleh melakukannya,” kataku, tapi Arlan tidak mengindahkan kalimat itu. Punggung jarinya menyentuh permukaan kulitku sehingga kaki di bawah sana semakin gemetar. Tidak. Jika seseorang berpikir aku menikmati perlakuannya, jelas itu salah. Aku hanya ingin menunjukkan pada lelaki ini bahwa aku tidak setakut yang dia bayangkan. Aku tidak ingin Arlan merasa diriku melihat dirinya seperti monster yang menakutkan dan harus dijauhi. Aku tidak ingin dia merasa dirinya tidak diinginkan oleh kami. Maksudku ... keluarga. Ya, karena sekarang aku adalah menantu di keluarganya, jadi aku juga menempatkan diri sebagai keluarga baginya. Harus kulihat, sejauh apa dia sebenarnya ingin dimengerti. Beberapa detik dia s
Arsen tahu Arlan memiliki perasaan padaku, sebab itu dia tak pernah merasa rela membiarkan aku pergi untuk menemui saudaranya. Dia tentunya takut jika masalah ini akan merembet lebih jauh lagi, sehingga membuat kegaduhan ke depannya. Tapi setelah kuyakinkan Arsen bahwa aku pasti bisa menjaga diri, dia hanya mengangguk ketika melepaskan aku pergi menemui saudaranya.“Hati-hati, Sayang. Ingat, kau harus segera menghubungiku jika sesuatu terjadi. Dan berusaha lah membuat Arlan tidak marah,” pesannya. Dia mengecup puncak kepalaku berkali-kali dan mengatakan dia sangat mencintai diriku.Ah ... aku sendiri juga merasa gemetar ketika memasuki apartemen milik Arlan, membayangkan mungkin dia akan semakin marah melihat kedatanganku.Ketika kutekan bell di sebelah pintu, seseorang lantas membukanya dan mengatakan Arlan berpesan tidak ingin diganggu.“Tapi ini sangat penting, Bi. Tolong biarkan aku masuk,” ucapku pada asisten rumah yang sudah
“Aku akan gila dengan semua ini.” Mama Riana tertunduk lemas. Sedangkan aku hanya bisa diam mengusap pundak mama mertua yang pastinya sedang sangat tertekan. Beliau memegangi wajah di atas kedua telapak tangannya dengan mulut yang terus saja mengoceh tentang kelakuan dua putranya yang ... memang sangat keterlaluan. “Bagaimana jika Naomi benar melakukan aborsi? Aku akan membunuh Arsen yang dengan bodohnya menyarankan hal gila itu padanya!” Beliau mengangkat wajah dan menatapku. “Lihat lah, Nara, aku adalah ibu yang gagal mendidik putra-putranya, sampai kalian harus menderita karena itu. Aku sangat menyesal yang selalu menuruti keinginan dua anak itu,” ucapnya lagi. Setiap kata yang beliau ucapkan adalah penyesalan dan menyalahkan diri sendiri. Rasanya sangat tak adil, padahal bukan beliau yang bersalah. Semua ini adalah kesalahan Arlan dan juga Arsen yang sangat tidak tahu diri. “Jangan membeb