"Tidur bareng, kan?" Alih-alih marah, Rinai justru terkekeh dan mengibaskan rambutnya di hadapan Rakha yang langsung menatapnya dengan heran.Rakha pun mengangguk samar."Yang kamu ajak tidur bareng itu mantan pelacur, bukan mantan ustadzah," celetuk Rinai masih menyunggingkan senyum, tapi entah kenapa senyum itu justru berhasil mencabik hati Rakha yang langsung sedih karenanya. Selagi Rakha masih diam, Rinai pun langsung melanjutkan, "Deal ya… kamu makan malam bareng Jennie… pulangnya aku tunggu di kamar. Kamu maunya aku pakai dalaman warna apa?""Nai…," lirih Rakha merasa bersalah."That's okay, aku terima tawaranmu. Aku ini pelacur, Kha!" Rinai tersengih. "Tidur dengan pria asing demi uang aja aku bisa—apalagi hanya tidur bareng temanku sendiri demi sahabat terbaikku."Sontak kedua tangan Rakha terangkat untuk menarik bahu Rinai dan memeluk perempuan itu dengan sangat erat. Sejujurnya, bukan jawaban seperti ini yang ingin dia dengar. Rakha berharap kalau Rinai menolak semua ini dan
"Antara percaya dan nggak percaya kalau malam ini duduk berdua sama kamu di tempat seromantis ini."Rakha hanya melongos seraya meraih gelas berisi minuman miliknya, meminumnya dengan tenang dan kembali menikmati sisa makanannya di atas meja. Tak peduli dengan apapun yang dikatakan oleh Jennie sejak setengah jam yang lalu kepadanya.Hening, itulah yang Rakha lakukan."Kamu nggak suka tempatnya, Kha?"Rakha mengedikkan bahu dengan tak acuh. Masih terlihat enggan untuk menanggapi sekedar menanggapinya. Toh juga alasan Rakha berada di sini hanya demi Rinai, bukan karena dia benar-benar menginginkannya.Melihat sikap dingin Rakha kepadanya, Jennie nyaris saja kehilangan kesabarannya—apapun yang ia katakan, Rakha hanya menanggapinya dengan sikap konyol yang membuat emosinya meledak.Perempuan itu menggerutu seraya memutar kedua bola matanya dengan kesal. Lantas Jennie mengatakan sesuatu yang ia yakini, Rakha akan tertarik jika dia mengungkapkannya.Dia pun berdehem singkat. "Hm… Kha, menur
"Makan malamnya lancar, kan?" todong Rinai setelah membukakan pintu untuk Rakha yang baru saja pulang dengan tampang lelahnya.Rakha hanya tersenyum dingin ke arah Rinai yang tampak penasaran menunggu jawaban darinya. Lantas malah bertanya, "Wara udah tidur, Nai?""Wara udah tidur," sahut Rinai mengerutkan keningnya. "Kamu nggak berantem sama Jennie lagi kan, Kha?"Rinai mengiringi langkah Rakha yang bergegas masuk ke kamarnya. Seakan pria itu enggan sekali untuk sekedar bertukar cerita dengannya, juga terkesan menghindari Rinai entah karena alasan apa.Tidak bisa memendam rasa penasarannya lebih lama lagi, Rinai pun akhirnya menodong Rakha dengan pertanyaan-pertanyaan yang makin enggan untuk dijawab."Kamu ribut sama Jennie? Terus Jennie-nya nggak apa-apa, kan? Jennie-nya pulang bareng siapa?"Bukannya menjawab, Rakha malah mendengus kesal karenanya. Pria itu benar-benar tidak tertarik tentang hal yang berhubungan dengan Jennie—terserah tentang apa pun itu."Jangan bahas dia lagi bis
"Oh, jadi kamu tinggal bareng sama Rakha?"Langkah Rinai terhenti saat mendengar suara yang sangat tidak asing di telinganya. Menghindar pun rasanya sudah tidak bisa lagi, sebab ia yakin jarak antara dirinya dan lelaki itu cukup dekat."Aku capek-capek mikirin kamu di mana, ternyata malah enak-enakan tinggal bareng Rakha."Mau tidak mau, Rinai membalikkan badan hingga tatapan matanya bertemu dengan manik tajam milik mantan suaminya—Kalantara. Ia pun memutar kedua bola matanya, mencoba untuk terlihat biasa saja, di balik debaran jantung yang berusaha ia sembunyikan.Kala mengangkat tangannya untuk menangkup kedua pipi Rinai, namun buru-buru ditepis oleh perempuan itu."Sementara waktu ini, aku akan tinggal di sana," sahut Rinai untuk pertanyaan yang telah terabaikan beberapa menit lamanya. "Lagian bukan urusanmu, aku mau tinggal di mana dan bareng siapa. Aku harap… kamu nggak lupa kalau antara kita udah nggak ada hubungan apa-apa lagi setelah hari itu.""Ada," sahut Kala cepat. "Aku ka
"Ya nggaklah!" bantah Rinai tak habis pikir, kenapa Kala menanyakan hal seperti itu kepadanya. "Dari sekian banyak pertanyaan yang bisa kamu tanyakan, kenapa justru memilih hal konyol ini. Aku sama Rakha memang pernah dekat dan bahkan…" Ia menghembuskan napasnya perlahan sebelum melanjutkan, "Kami pernah FWB-an, tapi bukan berarti aku pernah hamil anak Rakha dan menyerahkan anak itu kepadanya."Kala mendengarkan penjelasan Rinai dengan saksama, akan tetapi hati kecilnya menolak untuk percaya dengan apa yang dikatakan oleh mantan istrinya tersebut. Sudah dua hari Kala menyelidiki hal tersebut, namun hasilnya masih nihil.Itulah alasannya dia memilih untuk bertanya kepada yang bersangkutan, tapi Rinai menyangkal semuanya. Membuat rasa penasaran di hatinya kembali tergelitik dan justru ingin mencari tahu lebih dalam lagi. Sebab, beberapa hari lalu Kala sempat berpapasan dengan ibunya Rakha dan juga ada Waradana di sana—mata Waradana mengingatkan Kala pada Rinai, membuatnya semakin merind
"Tadi aku ketemu Kala.""Oh iya?" Rakha bersikap seolah tidak melihat adegan manis antara Kala dan Rinai siang tadi. Dia tidak ingin Rinai merasa diikuti, juga tidak ingin terkesan begitu posesif padanya.Rinai mengangguk pelan, juga menimbang-nimbang apakah dia akan menceritakan apa yang Kala tanyakan dan curigai, atau memilih untuk diam serta menyimpannya serapat mungkin. Toh juga kenyataannya—Rinai tidak pernah hamil dan melahirkan anak Rakha seperti yang Kala tuduhkan itu.Akhirnya, Rinai pun memutuskan untuk memendam semuanya. Tidak ingin memperkeruh suasana dengan menceritakan pada Rakha."Lepas rindu, ya?" tebak Rakha yang langsung menuai tatapan kesal Rinai kepadanya. "Bercanda, Nai…"Perempuan itu mengerlingkan kedua bola matanya. Lalu menggelengkan kepalanya berulang kali seraya berdecak pelan. "Bercandanya mancing emosi banget ya, Boss…"Rakha terkekeh. Setidaknya, hubungannya dan Rinai sedikit membaik dan perempuan itu tak lagi membahas tentang Jennie—Rakha benar-benar tid
"Rinai nggak turun buat makan, Mbak?"ART yang tengah menyiapkan sarapan untuk Rakha dan Waradana pun sempat menghentikan kegiatannya sejenak, sebelum ia menaruh pelan gelas berisi susu untuk Waradana di atas meja."Hm? Tumben banget Rinai kesiangan," ucap Rakha berniat untuk menyusul Rinai ke kamarnya di lantai dua.Namun, jawaban dari sang ART berhasil menghentikan langkah Rakha, bahkan membuat Rakha mematung untuk beberapa detik lamanya. "Ibu Rinai udah keluar dari jam lima subuh, Pak."Kening Rakha mengkerut. "Rinai pergi jogging?" tanya Rakha membalikkan badan, menatap penasaran ke arah ART-nya yang langsung menggeleng.Tanpa pikir panjang lagi, langkah lelaki itu langsung memburu menuju kamar Rinai. Tak peduli anak tangga itu hampir saja membuatnya tersungkur. Begitu sampai di lantai atas, tangannya mendorong kuat pintu kamar yang tertutup rapat—kosong—bahkan tidak ada sehelai pakaian pun yang tersisa di sana.Rakha memeriksa semua lemari dan juga kamar mandi, namun hasilnya tet
+628137232—Nai, kamu ke mana? Kamu kok nggak ngomong kalau kamu akan pergi?+628137232—Nggak begini caranya Nai… Aku nggak akan cegah kamu untuk meninggalkanku, tapi aku terlalu khawatir tentang keadaanmu. Kabari aku begitu kamu baca pesan ini. Kamu tahu kan, kamu adalah duniaku. Kamu adalah impianku, dan aku menunggumu tak peduli harus menghabiskan jutaan menit untuk bisa memilikimu.Rakha menghela napas panjang setelah mengirimi pesan yang tidak pernah mendapat respons, bahkan setelah sebulan berlalu dan Rakha masih terus melayangkan pesan itu pada Rinai.Lelaki itu mendekatkan gawai ke telinganya, dan tetap sama… Nomor Rinai di luar jangkauan dan bahkan whatsapp-nya pun tidak pernah aktif lagi. Membuat Rakha frustasi berulang kali, setiap hari."Kamu ke mana sih, Nai?" lirih Rakha melirik ke arah jendela ruang kerjanya. Menatap gedung menjulang tinggi yang sejajar dengan tempat duduknya saat ini, namun pikirannya tidak berada di tempat tersebut.Makin frustasi, Rakha mencengkram ke
"Kita kan nggak bisa memilih, pada siapa hati ini akan jatuh."Rakha menatap mata Rinai dengan lekat. "Ya, kita nggak pernah bisa memilih tentang jatuh cinta. Tapi kita bisa memutuskan, siapa yang akan menetap dan bertahan di hati kita. Dan aku tahu, aku nggak cukup berarti untukmu kan, Nai?""Hm?""Karena pada akhirnya kamu memilih untuk pergi dan meninggalkanku tanpa penjelasan," jawab Rakha dengan tenang."Untuk kebahagiaan kamu, Kha.""Untuk kebahagiaanmu, bukan aku."Rinai mengulas senyum tipis seraya mengangguk pelan. Seakan tengah mengiyakan pernyataan Rakha barusan. "Kamu harus melepaskan sesuatu agar kamu bisa memulai hal yang baru.""Seperti kamu yang memulai semua dengan Sambara?" tembak Rakha."Mungkin," dusta Rinai yang sebenarnya belum memulai hubungan dengan siapa pun.Mendengar jawaban Rinai, tentu saja itu membuat pikiran Rakha langsung menggila. Ia condongkan wajahnya pada perempuan itu, lebih dekat dan lebih rapat lagi. Rakha tancapkan tatapan matanya, tepat di mani
"Nai…" Langkah Sambara terhenti di ambang pintu masuk hotel mewah, tempatnya akan bertemu klien penting hari ini. Tangannya bergerak cepat menahan pergelangan Rinai, lalu tersenyum bimbang ke arah perempuan yang justru mengerutkan keningnya dengan heran. "A—aku boleh minta tolong, nggak?""Hm? Kenapa? Tolong apa?" balas Rinai dengan balik bertanya. "Kamu sakit? Pusingnya kumat? Atau gimana? Diare lagi? Panic attack-nya kumat-kah?" todong Rinai dengan cemas, mengusap-usap lengan dan bahu Sambara dengan khawatir.Di tempatnya, Sambara mengangguk samar. Meminta Rinai menggenggam jemarinya—seperti biasa setiap kali dia panik—hanya saja, kali ini Sambara tidak benar-benar sedang mengalami gejala panic attack seperti biasa.Dengan cemas, Rinai menautkan jemari mereka tanpa ragu sedikitpun. "Tenang, Sam… Ada aku di sini, kamu nggak sendiri kok. Tenang ya, tarik napas dalam dan lepaskan perlahan," ucap Rinai berusaha menenangkan Sambara yang mengikuti ucapan wanita itu tanpa pikir panjang.Beb
Tiga tahun telah berlalu…"Jangan takut membuka hati hanya karena masa lalumu. Trauma bisa dipulihkan, jadi jangan abaikan orang-orang yang ingin mendekatimu hanya karena ketakutanmu mengulang kisah pahit di masa lalu."Rinai tetap fokus pada layar laptopnya, mengabaikan pria yang sedari tadi berdiri di sampingnya—bahkan, berada di sisinya puluhan bulan terakhir."Rinai… semua orang ada masanya, setiap masa, pasti ada orangnya. Kamu pernah dengar itu, kan?" bisiknya lagi meksipun dia tahu, Rinai akan tetap mengabaikannya. "Nai, biarkan aku menjadi orang yang akan menghapus jejak-jejak luka di hatimu. Siapa tahu, akulah orang yang dijadikan Tuhan sebagai jawaban dari doa-doa yang selalu kamu minta."Suara tawa Rinai memecahkan keheningan yang sedari tadi berusaha diciptakan olehnya. Beberapa kali pukulan pelan melayang ke lengan lelaki yang ikut terkekeh melihat bagaimana kedua mata Rinai terpicing karena tawanya. Meskipun berulang kali menyatakan cinta, dan berulang kali juga diabaika
"Nai.""Hm?" Rinai bergumam pelan, tanpa menoleh ke arah Rafko yang berdiri tepat di belakangnya.Tampak ragu, tapi akhirnya Rafko menceritakan apa yang baru saja ia temukan di layar gawainya. Sembari mengarahkan portal berita yang sejak tadi ia baca. "Angkasa ditemukan tewas di kamarnya," jelas Rafko.Awalnya Rinai terlihat enggan untuk mengamati layar ponsel yang Rafko sodorkan ke arah matanya, tetapi kalimat sepupunya itu berhasil menyita perhatian Rinai hingga dia bergerak refleks untuk meraih benda pipih itu dan menggulir layarnya.Keningnya mengerut, lantas menggigit ujung bibirnya berulang kali. Jemarinya terus mencari-cari berita yang berkaitan dengan insiden tersebut."Pihak kepolisian sudah menyatakan kalau Angkasa bunuh diri, tapi beberapa rumor aneh juga lagi beredar di Indonesia."Rinai mengangkat wajahnya, menatap Rafko dengan wajah bingung dan penuh tanda tanya.Seolah tahu maksud dari tatapan itu, Rafko pun segera mengatakan, "Ada rumor yang mengatakan kalau Angkasa se
"Jawab pertanyaanku, Pa!" desak Kala setelah mendorong ayahnya ke arah balkon kamar pria tersebut. "Apa benar papa telah memerkosa Rinai dan membuatnya hamil?!"Sorot amarah dan kebencian tidak bisa dipungkiri dari tatapan mata Kala saat ini. Ia melotot, seolah akan memakan Angkasa hidup-hidup saat ini juga."Jawab!" hardiknya lagi."Omong kosong macam apa itu, Kal?" Angkasa berusaha untuk membantahnya. "Mana mungkin papa melecehkan istrimu sendiri. Kamu tahu sendiri kan kalau Rinai itu mantan pelacur, jadi—"Kala mencekik leher sang ayah, membuat pria paruh baya tersebut tidak bisa melanjutkan kalimatnya. "Papa melecehkan dia jauuuuh sebelum Rinai menjadi wanita panggilan," tuding Kala kembali berapi-api. "Dan papalah yang membuat Rinai terjerumus dalam dunia gelap itu. Papa yang menghancurkan hidup Rinai, sampai dia putus asa dan akhirnya memilih jalan untuk melacur. Karena papa, semua karena papa!"Mendengar bagaimana lantangnya suara putranya ketika menguak tentang dosa-dosanya, A
+628137232—Nai, kamu ke mana? Kamu kok nggak ngomong kalau kamu akan pergi?+628137232—Nggak begini caranya Nai… Aku nggak akan cegah kamu untuk meninggalkanku, tapi aku terlalu khawatir tentang keadaanmu. Kabari aku begitu kamu baca pesan ini. Kamu tahu kan, kamu adalah duniaku. Kamu adalah impianku, dan aku menunggumu tak peduli harus menghabiskan jutaan menit untuk bisa memilikimu.Rakha menghela napas panjang setelah mengirimi pesan yang tidak pernah mendapat respons, bahkan setelah sebulan berlalu dan Rakha masih terus melayangkan pesan itu pada Rinai.Lelaki itu mendekatkan gawai ke telinganya, dan tetap sama… Nomor Rinai di luar jangkauan dan bahkan whatsapp-nya pun tidak pernah aktif lagi. Membuat Rakha frustasi berulang kali, setiap hari."Kamu ke mana sih, Nai?" lirih Rakha melirik ke arah jendela ruang kerjanya. Menatap gedung menjulang tinggi yang sejajar dengan tempat duduknya saat ini, namun pikirannya tidak berada di tempat tersebut.Makin frustasi, Rakha mencengkram ke
"Rinai nggak turun buat makan, Mbak?"ART yang tengah menyiapkan sarapan untuk Rakha dan Waradana pun sempat menghentikan kegiatannya sejenak, sebelum ia menaruh pelan gelas berisi susu untuk Waradana di atas meja."Hm? Tumben banget Rinai kesiangan," ucap Rakha berniat untuk menyusul Rinai ke kamarnya di lantai dua.Namun, jawaban dari sang ART berhasil menghentikan langkah Rakha, bahkan membuat Rakha mematung untuk beberapa detik lamanya. "Ibu Rinai udah keluar dari jam lima subuh, Pak."Kening Rakha mengkerut. "Rinai pergi jogging?" tanya Rakha membalikkan badan, menatap penasaran ke arah ART-nya yang langsung menggeleng.Tanpa pikir panjang lagi, langkah lelaki itu langsung memburu menuju kamar Rinai. Tak peduli anak tangga itu hampir saja membuatnya tersungkur. Begitu sampai di lantai atas, tangannya mendorong kuat pintu kamar yang tertutup rapat—kosong—bahkan tidak ada sehelai pakaian pun yang tersisa di sana.Rakha memeriksa semua lemari dan juga kamar mandi, namun hasilnya tet
"Tadi aku ketemu Kala.""Oh iya?" Rakha bersikap seolah tidak melihat adegan manis antara Kala dan Rinai siang tadi. Dia tidak ingin Rinai merasa diikuti, juga tidak ingin terkesan begitu posesif padanya.Rinai mengangguk pelan, juga menimbang-nimbang apakah dia akan menceritakan apa yang Kala tanyakan dan curigai, atau memilih untuk diam serta menyimpannya serapat mungkin. Toh juga kenyataannya—Rinai tidak pernah hamil dan melahirkan anak Rakha seperti yang Kala tuduhkan itu.Akhirnya, Rinai pun memutuskan untuk memendam semuanya. Tidak ingin memperkeruh suasana dengan menceritakan pada Rakha."Lepas rindu, ya?" tebak Rakha yang langsung menuai tatapan kesal Rinai kepadanya. "Bercanda, Nai…"Perempuan itu mengerlingkan kedua bola matanya. Lalu menggelengkan kepalanya berulang kali seraya berdecak pelan. "Bercandanya mancing emosi banget ya, Boss…"Rakha terkekeh. Setidaknya, hubungannya dan Rinai sedikit membaik dan perempuan itu tak lagi membahas tentang Jennie—Rakha benar-benar tid
"Ya nggaklah!" bantah Rinai tak habis pikir, kenapa Kala menanyakan hal seperti itu kepadanya. "Dari sekian banyak pertanyaan yang bisa kamu tanyakan, kenapa justru memilih hal konyol ini. Aku sama Rakha memang pernah dekat dan bahkan…" Ia menghembuskan napasnya perlahan sebelum melanjutkan, "Kami pernah FWB-an, tapi bukan berarti aku pernah hamil anak Rakha dan menyerahkan anak itu kepadanya."Kala mendengarkan penjelasan Rinai dengan saksama, akan tetapi hati kecilnya menolak untuk percaya dengan apa yang dikatakan oleh mantan istrinya tersebut. Sudah dua hari Kala menyelidiki hal tersebut, namun hasilnya masih nihil.Itulah alasannya dia memilih untuk bertanya kepada yang bersangkutan, tapi Rinai menyangkal semuanya. Membuat rasa penasaran di hatinya kembali tergelitik dan justru ingin mencari tahu lebih dalam lagi. Sebab, beberapa hari lalu Kala sempat berpapasan dengan ibunya Rakha dan juga ada Waradana di sana—mata Waradana mengingatkan Kala pada Rinai, membuatnya semakin merind