Samuel membanting pintu mobilnya dengan keras. Lantas pria itu menarik kasar tangan Selena, menyeret wanita itu masuk ke dalam rumah. Tampak Selena meringis kala Samuel menarik-narik tangannya. Beberapa kali Selena berusaha berontak tapi malah Samuel semakin mencengkram kuat tangan wanita itu. “Samuel! Lepaskan tanganku! Lepaskan tanganku, Sialan,” seru Selena dengan nada satu oktaf lebih tinggi. Sayangnya, ucapan Selena tak digubris oleh Samuel. Pria itu sama sekali tidak peduli. Emosi dalam diri Samuel menyulut. Amarahnya nyaris meledak kala tadi melihat Selena bersama dengan Dean. Dan yang paling membuat Samuel emosi adalah Selena menyembunyikan pertemuannya dengan Dean. Bahkan mengajari Oliver untuk merahasiakan sesuatu darinya. Kini Samuel semakin menarik kasar tangan Selena. Membawa wanita itu masuk ke dalam kamarnya. Aura kemarahan di wajah Samuel terlihat begitu jelas.Brakkk“Akh—” Selena meringis kesakitan kala Samuel mendorong tubuhnya di ranjang. Tampak kilat mata Samue
Selena duduk di balkon kamar dengan tatapan lurus ke depan dan pikiran yang menerawang. Benak Selena saat ini masih memikirkan tentang perkataan Samuel. Sungguh, perkataan Samuel telah berhasil menyentuh hati Selena sampai relung hati terdalamnya. Tak menampik kalau hati Selena hampir luluh. Namun, dikala hati Selena mulai luluh; dia segera mengingat kejadian lima tahun lalu. Dulu Samuel membuangnya layaknya sampah. Tapi kenapa sekarang Samuel menginginkannya? Selena nyaris tertawa tiap kali mengingat Samuel menginginkannya. Omong kosong yang dilontarkan Samuel Maxton membuatnya muak. Selena menarik napas dalam-dalam, dan mengembuskan perlahan. Selena ingin segera kembali ke London bersama dengan Oliver. Meninggalkan semua kepalsuan di sini. Selena tidak mau jatuh di lubang yang sama untuk kedua kalinya. Karena dia tidak ingin mengalami penderitaan seperti yang dulu dia alami. Berjuang di tengah badai bukanlah hal yang mudah. Banyak air mata yang dia cucurkan. Sekarang ketika dirinya
“Don’t touch my son,” desis Samuel tajam dan penuh peringatan pada Iris. Kilat mata Samuel menunjukan jelas kemarahan terselimuti dalam dirinya. Rahang Samuel mengetat. Sorot matanya menusuk seperti ingin membunuh. Tubuh Iris membeku kala Samuel mengatakan ‘Don’t touch my son’ kalimat itu sukses membuat aliran darah dalam tubuhnya seakan berhenti. Dunia Iris seperti telah hancur lebur mendengar ucapan Samuel itu. Wanita itu bungkam. Beberapa kali Iris menggelengkan kepalanya meyakinkan bahwa apa yang telah dia dengar tadi salah. Tapi tidak. Semua begitu jelas. Kalimat singkat yang terselimuti penuh ancaman itu telah membuat Iris sadar bahwa apa yang diucapkan Samuel bukan hanya sekedar sebuah ancaman namun memiliki makna di mana telah sukses menghancurkan hati Iris berkeping-keping hingga tak lagi tersisa. “A-apa tadi kau b-bilang? P-Putramu? K-Kau salah bicara kan?” Iris nyaris kehilangan kata. Wanita itu menunjukan jelas keterkejutannya. Otaknya blank. Dadanya panas. Kecemburuan,
Darah tak henti-henti bercucuran dari lengan Samuel. Tubuh Iris menegang hebat. Wajah memucat. Ketakutan melanda dirinya. Mata Iris memancarkan rasa bersalahnya. Luka di lengan Samuel cukup dalam. Tentu Iris tak mungkin memiliki niat melukai Samuel. Shit! Iris mengumpat dalam hati karena Samuel menyelamatkan Selena. Harusnya Selena yang terluka. Bukan Samuel. Jantung Iris berdetak tak karuan. Rasa takut itu terselimuti kecemasan. “S-Samuel, aku—”“Penjaga! Bawa dia!” teriak Samuel keras memanggil penjaga untuk segera datang. Dan tak lama memudian, dua penjaga dengan tubuh besar berhamburan datang. Mereka langsung menarik tangan Iris. Membawa Iris keluar dari rumah itu. Refleks, Iris berontak kala dua penjaga membawanya. Namun tenaga Iris tak sebanding. Beberapa kali Iris berontak tapi tetap tak mampu mengalahkan dua penjaga dengan tubuh tinggi besar itu. “Samuel! Ini bukan salahku! Aku tidak sengaja! Kau kenapa harus melindungi wanita sialan itu, hah?!” seru Iris kencang. Sayangnya
“Samuel, kau belum minum obat hanya satu? Kau memiliki tiga jenis obat, Samuel. Kau ini minum obat saja seperti anak kecil. Susah sekali.” Suara Selena mengomel sebal pada Samuel. Jelas saja Selena sabal. Pasalnya Samuel hanya minum satu jenis obat. Padahal dokter memberikan tiga jenis obat. Dalam hal ini Selena sangat jeli. Wanita itu menghitung jumlah obat Samuel. Jadi kalau Samuel belum meminum obat pasti Selena akan tahu. “Aku tidak akan mati meski hanya minum satu obat, Selena.” Samuel berucap dengan nada datar. Pria itu tengah duduk di ranjang dengan punggung yang bersandar di kepala ranjang. Meski lengan kanan terluka, tetap saja pria itu masih bisa memeriksa pekerjaannya di ponsel menggunakan tangan kiri. Lagi pula ini hanyalah luka kecil tak mungkin ada rasanya bagi Samuel. Ah, Samuel lupa kalau dia sempat berakting sakit di depan Salena hanya demi mendapatkan simpatik wanita itu. Selena memgembuskan napas kasar seraya mendecakan lidahnya. Lantas Selena mendekat pada Samu
Sinar matahari pagi menelusup masuk ke sela-sela jendela kamar Samuel. Pagi sudah menyapa. Samuel pun lebih dulu terbangun. Selama ini Samuel terbiasa bangun pagi karena dia selalu mendapatkan panggilan telepon dipagi hari dari sang asisten yang melaporkan apa saja jadwal pekerjannya. Namun, kali ini Samuel meminta asistennya untuk mengurus pekerjaannya. Alasan Samuel tak mau mengurus pekerjaan bukan karena lengannya sakit. Tapi karena Samuel ingin meluangkan waktu bersama dengan Selena dan Oliver. Kini Samuel masih terbaring di ranjang empuk kamarnya seraya menatap Selena yang tertidur pulas dalam dekapannya. Tampak senyuman di wajah Samuel terlukis melihat Selena yang tertidur pulas dalam dekapannya. Sepasang iris mata cokelat Samuel menatap Selena dengan tatapan memuja. Wajah wanita itu memiliki paras cantik. Bahkan sangat catik. Wajah Selena putih bersih tanpa noda sedikit pun. Bibir ranum sedikit tebal sangat memesona. Hidung mancung menjulang memperindah kecantikan Selena. Sam
“Maxton sialan!” Selena mengumpat kasar seraya menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang. Beberapa kali Selena tak henti-henti mengumpati Samuel. Sejak kejadian di kamar mandi, wajah Selena memerah. Marah, kesal, dan malu telah melebur menjadi satu. Demi Tuhan Selena tak menyangka kalau Samuel bisa melakukan hal seperti tadi. “Ah! Bodoh sekali! Kenapa aku bisa sebodoh itu?” Selena meremas kuat rambutnya dan mengusap kasar wajahnya. Kacau. Hati dan pikiran Selena begitu kacau. Emosinya memuncak mengingat kejadian di kamar mandi. Shit! Harusnya Selena membunuh Samuel yang telah berani menyentuhnya. Tapi kenapa malah tadi dirinya seperti menikmati? Demi Tuhan, Selena merasa dirinya telah menjadi wanita paling bodoh di dunia ini. Sejenak, Selena mengatur napasnya. Walau tak dipungkiri rasanya napas Selena benar-benar sesak mengingat kejadian tadi. Kini Selena memejamkan mata sebentar. Berusaha melupakan. Namun, sialnya bukannya dia melupakan malah semakin mengingat. Selena kembali membuka
“Apa kau ingin memiliki adik, Oliver?” Selena menyemburkan teh yang baru saja dia minum kala mendengar pertanyaan gila dan tak masuk akal dari Samuel untuk Oliver. Tampak sepasang iris mata biru Selena menatap Samuel tajam dan dingin. Aura kemarahan bercampur rasa kesal terselimuti dalam dirinya. “Adik? Papa ingin memberikan adik untukku?” Oliver mengerjapkan matanya beberapa kali. Lantas bocah laki-laki itu menatap Samuel dengan tatapan polos dan tersirat bingung. Pasalnya tak pernah ayahnya itu menanyakan dirinya ingin memiliki adik atau tidak. Senyuman samar di wajah Samuel terlukis. Pria itu menyesap kopi yang baru saja diantar pelayan. Sejak tadi Selena melayangkan tatapan tajam padanya namun Samuel sama sekali tidak menggubris tatapan tajam Selena. “Kau ingin memiliki adik atau tidak, Boy?” tanya Samuel lagi pada Oliver. “Hm…” Oliver mengetuk-ngetuk jemarinya di dagunya. Bocah laki-laki itu tampak berpikir. “Adik perempuan atau adik laki-laki, Pa?” Oliver balik bertanya pa
Beberapa bulan kemudian … Zurich, Swiss. Langit begitu biru dan indah membaur dengan perkebunan buah anggur yang ada di Swiss. Cuaca pagi di musim semi sangatlah indah. Angin yang berembus ke kulit begitu menyejukan. Tampak tatapan Selena sedari tadi menatap Oliver yang tengah bersama dengan Javier memetik buah anggur di perkebunan. Meski ada empat pengawal yang menemani Oliver dan Javier tetap saja Selena tak bisa melepaskan tatapannya dari kedua anak laki-lakinya itu. “Sayang, Oliver bisa menjaga Javier dengan baik. Kau tenang saja.” Samuel membelai pipi Selena dengan lembut. Selena menghela napas dalam. Tatapan Selena mulai teralih ke dua bayi perempuan kembarnya yang tertidur lelap di stroller. Senyuman di wajah Selena pun terlukis hangat melihat Stacy dan Sierra tertidur pulas. Sekarang usia Stacy dan Sierra sudah 7 bulan. Tubuh kedua bayi perempuannya sangat gemuk dan sehat. Stacy yang lahir lebih dulu memiliki rambut berwarna cokelat tebal dan mata biru. Sedangkan Sierra—s
Miller International School, London. “Aw.” Seorang gadis kecil cantik terjatuh akibat bermain lari-larian dengan teman-temannya. Tampak lutut gadis kecil itu terluka dan mengeluarkan darah. Dengan pelan, gadis kecil itu berusaha untuk bangun tapi tubuhnya malah tak seimbang dan nyaris jatuh. Tepat dikala tubuh gadis kecil itu nyaris terjatuh, sosok bocah laki-laki yang memiliki postur tubuh tinggi menangkap gadis kecil itu. “Terima kasih,” ucap gadis kecil itu melangkah menjauh dari laki-laki yang membantunya. Namun, tiba-tiba manik mata gadis kecil itu melebar terkejut kala menatap sosok laki-laki yang telah membantunya itu. “Oliver? Kau di sini?” Mata Nicole mengerjap beberapa kali menatap Oliver. Oliver menarik tangan Nicole, mendudukan tubuh Nicole di kursi, lalu bocah laki-laki itu mengambil kotak obat yang letaknya berada di ruang kesehatan. Beruntung ruang kesehatan tidak terlalu jauh dari posisi di mana Oliver dan Nicole berada. Saat kotak obat sudah ada di tangan Oliver,
“Bye, Sayang. Jaga diri kalian. Jangan membuat Grandpa William dan Grandma Marsha kerepotan. Ingat kalian harus patuh pada Grandpa dan Grandma.” Selena berseru pada Oliver dan Javier yang masuk ke dalam mobil. Terlihat Oliver dan Javier kompak mengangguk patuh merespon ucapan ibu mereka. Ya, hari ini Oliver dan Javier harus pergi ke rumah William dan Marsha. Menjelang Selena melahirkan, William dan Marsha memang berada di London. Sedangkan kakak dan adik Selena lain akan tiba di London dalam waktu beberapa hari lagi. Mengingat kakak dan adik Selena tak tinggal di negara yang sama, membuat Selena tak terlalu sering bertemu dengan kakak dan adiknya. Meski demikian, komunikasi selalu terjalin dengan sangat erat. “Bye, Papa, Mama.” Oliver dan Javier melambaikan tangan mereka kompak pada Selena dan Samuel. Pun Selena dan Samuel membalas lambaian tangan anak-anak mereka. Dan ketika mobil yang membawa Oliver dan Javier sudah pergi, Selena segera masuk ke dalam rumah tanpa mengatakan pada S
“Oh, My God! Raven, Rosalie, kenapa kalian merusak make up Mommy? Astaga! Ini make up kesayangan Mommy, Sayang.” Juliet rasanya ingin menjerit melihat semua perlengkapan make up miliknya hancur berantakan. Mulai dari koleksi lipstick, eyeshadow, foundation, dan masih banyak lainnya. Semua sudah berantakan di lantai kamar. Baru beberapa detik Juliet ke kamar mandi karena mengambil ponselnya yang tertinggal di wastafel, tapi dalam hitungan detik juga kamar sudah seperti kapal pecah. Memang kedua anaknya itu sudah sangat aktif. Sore ini, Juliet sengaja tak meminta pengasuh untuk masuk ke dalam kamarnya, pasalnya Juliet ingin mengajak kedua anaknya itu bermain sambil menunggu sang suami pulang dari kantor. Tapi alih-alih niatnya terealisasi malah kekacauan sudah lebih dulu tiba menghampiri dirinya. Sungguh, Juliet bisa-bisanya lupa kalau kedua anaknya sangatlah aktif. Alhasil koleksi make up miliknya hancur lebur. Bedak saja sudah berceceran di lantai. Terutama lipstick yang tak lagi ber
“Mommy, aku pulang.” Joice melangkah masuk ke dalam rumah dengan raut wajah yang muram. Gadis kecil cantik itu nampak lesu seperti tengah memikirkan hal yang mengusik pikirannya. Joice meletakan tas sekolah ke sofa, dan duduk di sofa itu. Jika biasanya Joice selalu riang gembira, kali ini gadis kecil itu tak seceria biasanya. “Sayang? Kau kenapa?” Brianna yang baru saja selesai menyiram tanaman, dikejutkan dengan putri kecilnya yang pulang dari sekolah dalam keadaan wajah yang muram. Padahal setiap hari, Joice selalu pulang sekolah dalam keadaan wajah yang riang gembira. “Tidak apa-apa, Mom. Aku hanya lelah saja,” jawab Joice pelan. Brianna menghela napas dalam. Brianna yakin pasti ada yang tidak beres dengan putri kecinya itu. “Katakan pada Mommy ada apa, Nak?” tanyanya seraya duduk di samping Joice. “Mommy aku ingin bertanya padamu.” “Kau ingin tanya apa, Sayang?” “Hm, apa aku ini tidak cantik, Mom?” Joice menyandarkan kepalanya di lengan Brianna. Bibir Joice mengerut, menunj
Tiga tahun berlalu … Miller International School, London. “Oliver Maxton! Pulang sekarang! Tidak ada main basket!” Selena berkacak pinggang mengomel pada putra sulungnya yang berusia 8 tahun. Tampak mata Selena menatap dingin dan tegas putranya itu. Aura kemarahan begitu terlihat jelas di paras cantik wanita itu. Dengan keadaan perut yang membuncit, Selena mengomeli putranya di tengah jalan. Ya, saat ini Selena tengah mengandung untuk ketiga kalinya. Ulah Samuel membuat Selena hamil lagi. Hanya saja kali ini berbeda. Kehamilan ketiga ini, Selena hamil bayi kembar. Sungguh, Selena berjanji setelah ini dia akan steril tak ingin lagi memiliki anak. Tubuhnya baru saja langsing tapi sudah harus bengkak lagi. Padahal niat Selena adalah memiliki dua anak. Tapi ternyata malah kecolongan. “Ck! Ma, guru sudah menghukumku time out. Mama kenapa menghukumku juga? Nanti aku akan menghubungi Grandpa William. Aku akan meminta Grandpa William memecat guru yang sudah berani menghukumku,” tukas Oli
Beberapa bulan kemudian … Fistral Beach, Newquay, UK. Deburan ombak menyapu kaki telanjang Juliet. Angin berembus menerpa kulit Juliet membuatnya Juliet memejamkan matanya sebentar, menikmati keindahan musim panas. Tampak Rava begitu setia mengikuti langkah kaki Juliet. Sesekali Juliet menatap banyak anak muda yang siap-siap untuk berselancar. Fistral Beach memang salah satu pantai di Inggris yang menjadi tempat favorite untuk berselancar. Kandungan Juliet kini telah memasuki minggu ke dua puluh tiga. Perut Juliet sudah membuncit. Tubuhnya pun mulai mengalami kenaikan berat badan, namun tak terlalu parah. Pasalnya selama hamil, Juliet tak terlalu nafsu makan. Meski sudah dipaksa oleh Rava, tapi tetap saja Juliet menolak. Trimester pertama, Juliet mengalami mual hebat sampai tak bisa makan apa pun. Rava sampai harus meminta dokter mengontrol Juliet setiap hari karena Juliet tak bisa makan. Dan beruntung sekarang kondisi Juliet sudah jauh lebih baik. Ngomong-ngomong, anak yang ad
Seoul, South Korea. Angin berembus di kota Seoul begitu menyejukan. Musim semi adalah salah satu musim terbaik di Seoul. Bunga Sakura banyak tumbuh dengan indah. Salah satu kota di Benua Asia yang menyajikan keindahan dan budaya setempat yang kental. Kota ini adalah kota yang dipilih oleh Dean dan Brianna menikmati bulan madu indah mereka. Selama di Seoul, Dean dan Brianna selalu mengabadikan moment-moment indah mereka. Moment di mana tak akan pernah mereka lupakan. Dua insan itu akhirnya telah menjadi satu setelah banyaknya rintangan. Meski tak mudah, tapi Dean dan Brianna membuktikan mereka mampu bersatu. “Sayang, ayo bangun. Kenapa jam segini kau belum bangun juga?” Brianna menggoyangkan bahu Dean, meminta suaminya itu untuk bangun. Waktu menunjukan pukul 10 pagi. Brianna ingin segera jalan-jalan menikmati indahnya kota Seoul. Meski lelah karena selalu olahraga malam, tapi Brianna tak mau menyia-nyiakan moment bulan madunya dengan sang suami tercinta. Dean menggeliat mendengar
Sebuah hotel mewah di London telah dipadati oleh wartawan yang lebih dulu hadir. Dekorasi ballroom hotel itu tampak memukau. Hiasan mawar dipadukan bunga lily dan batu Swarovski begitu indah menawan. Red carpet yang terpasang di lantai seakan memberikan sentuhan mewah. Ballroom hotel megah ini telah disulap layaknya tempat di mana pangeran dan putri akan menikah. Nuansa tema kental kerajaan melekat di ballroom hotel megah itu. Ya, hari ini adalah hari yang telah dinanti-nantikan oleh Dean dan Brianna. Hari di mana mereka akan segera melangsungkan pernikahan. Setelah banyaknya rintangan yang mereka hadapi akhirnya Dean dan Brianna dapat melewati badai masalah yang hadir. Takdir memang memiliki caranya sendiri menunjukan siapa belahan jiwa kita yang sebenarnya. Harusnya Dean menikah dengan Juliet, tapi ternyata takdir Dean adalah Brianna. Sedangkan Juliet menikah dengan Rava. Pun dulu Samuel tak menyetujui hubungan Dean dan Brianna. Samuel adalah satu-satunya orang yang menentang hubu