“Apa kau ingin memiliki adik, Oliver?” Selena menyemburkan teh yang baru saja dia minum kala mendengar pertanyaan gila dan tak masuk akal dari Samuel untuk Oliver. Tampak sepasang iris mata biru Selena menatap Samuel tajam dan dingin. Aura kemarahan bercampur rasa kesal terselimuti dalam dirinya. “Adik? Papa ingin memberikan adik untukku?” Oliver mengerjapkan matanya beberapa kali. Lantas bocah laki-laki itu menatap Samuel dengan tatapan polos dan tersirat bingung. Pasalnya tak pernah ayahnya itu menanyakan dirinya ingin memiliki adik atau tidak. Senyuman samar di wajah Samuel terlukis. Pria itu menyesap kopi yang baru saja diantar pelayan. Sejak tadi Selena melayangkan tatapan tajam padanya namun Samuel sama sekali tidak menggubris tatapan tajam Selena. “Kau ingin memiliki adik atau tidak, Boy?” tanya Samuel lagi pada Oliver. “Hm…” Oliver mengetuk-ngetuk jemarinya di dagunya. Bocah laki-laki itu tampak berpikir. “Adik perempuan atau adik laki-laki, Pa?” Oliver balik bertanya pa
“Mama dari mana? Apa Mama dan Papa sudah membuatkan adik untukku?” Pertanyaan Oliver sontak membuat Selena yang hendak melangkah masuk ke dalam kamar langsung menghentikan langkahnya. Tampak wajah Selena memucat mendengar pertanyaan Oliver. Dalam hati Selena tak henti-hentinya mengumpati Samuel. Sungguh, jika saja bisa dia pasti akan menembak kepala pria itu agar otak pria itu tak lagi berpikir sembarangan. Sejenak, Selena mengatur napasnya. Meredakan emosi yang terbendung dalam dirinya. Baru saja Selena tadi dirinya berdebat dengan Samuel tapi setelah dia ingin kembali masuk ke dalam kamar; dia malah bertemu dengan putranya yang menanyakan hal yang membuat emosinya kembali tersulut. Shit! Ini semua karena pertanyaan sialan Samuel. Andai saja Samuel tak menanyakan pada Oliver ingin memiliki adik atau tidak; maka tak mungkin Oliver menanyakan itu padanya.“Mama? Kenapa Mama diam saja? Aku bertanya pada Mama.” Oliver melipat tangan di depan dada. Bibir bocah laki-laki itu mengerut seb
“Tuan Samuel.” Sang pelayan menyapa Samuel dengan sopan kala Samuel baru saja melangkahkan kakinya keluar dari kamar. Pria itu hendak menuju ruang kerjanya. Namun langkahnya harus terhenti kala melihat sang pelayan di hadapannya. “Ada apa?” tanya Samuel dingin dengan raut wajah tanpa ekspresi. Tatapannya menatap lekat pelayan yang berdiri di hadapannya. “Tuan Vian mencari Anda, Tuan,” ucap sang pelayan melaporkan. Sebelah alis Samuel terangkat. Lantas pria itu melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya—waktu menunjukan pukul sepuluh malam. “Vian datang?” ulangnya memastikan. “Benar, Tuan. Tuan Vian datang mencari Anda,” jawab sang pelayan lagi. Samuel mengangguk singkat. “Minta dia menunggu di ruang kerjaku.” “Baik, Tuan.” Sang pelayan menundukan kepalanya, pamit undur diri dari hadapan Samuel. Kini Samuel melangkah menuju ruang kerjanya. Namun tiba-tiba langkah Samuel terhenti sebentar kala berada di dekat Kamar Oliver. Lantas pria itu mengintip kamar putranya itu.
“Kenapa kau mengajakku ke sini?” Suara Selena bertanya dengan nada dingin dan ketus kala mobil yang dilajukan oleh Samuel telah terparkir di salah satu restoran mewah yang ada di Brooklyn. Sejak tadi Selena memang tak bertanya ke mana Samuel mengajaknya. Lebih tepatnya setelah perdebatan memang Selena lebih memilih diam. Terlebih perkataan Samuel tadi telah sukses membuat Selena membisu. “Aku memiliki undangan makan siang bersama dengan rekan bisnisku.” Samuel memarkirkan mobilnya ke halaman parkir yang ada di restoran itu. Lantas dia mematikan mesin dan mencabut kunci mobilnya. Terdengar nada bicara datar kala menjawab pertanyaan Selena itu. “Kau mengajakku ke sini karena undangan makan siang bersama rekan bisnismu?” ulang Selena yang tampak begitu terkejut.Samuel mengangguk singkat merespon ucapan Selena. Selena mendecakan lidahnya. “Untuk apa kau membawaku, Samuel? Kau bisa datang sendiri. Atau kalau memang kau ingin mengajak wanita kau bisa mengajak yang lain. Jangan aku.”
“Samuel sialan! Berengsek! Kenapa dia tidak mati saja?!” Selena mengusap wajahnya dengan kasar seraya menghempaskan tubuhnya ke sofa kamarnya. Sungguh, Selena membenci kejadian tadi. Kejadian di mana dirinya merespon bibir Samuel. Shit! Selena mengumpat dalam hati. Harusnya yang Selena lakukan adalah mendorongnya Samuel tapi malah kenyataan dia membalas pagutan pria itu. Selena yakin otaknya ini sudah tidak waras dan tak lagi berfungsi dengan baik. Sejenak, Selena menarik napas dalam-dalam dan mengembuskan napasnya perlahan. Benak Selena memikirkan bagaimana cara dia segera kembali ke London. Tidak mungkin dia akan tetap terjebak di mansion Samuel ini. Cepat atau lambat pasti keluarganya akan mulai mencium tentang dirinya dan Samuel. Tidak. Itu tidak boleh terjadi. Selena tak akan membiarkan sampai keluarganya mengetahui tentang dirinya dan Samuel. Suara dering ponsel terdengar, Selena segera mengambil ponselnya yang ada di atas meja. Lantas Selena menatap ke layar ponselnya itu. N
Selena menghela napas dalam. Wanita itu duduk di ranjang seraya menyandarkan punggung di kepala ranjang. Terlihat wajah Selena begitu muram. Benak Selena memikirkan tentang cara kepulangannya ke London. Tadi saat makan malam sebenarnya Selena ingin berbicara dengan Samuel. Namun karena Samuel membuatnya kesal, terpaksa Selena mengurungkan niatnya. Emosi Selena tadi terpancing karena Samuel mengajari Oliver yang tidak-tidak. Sungguh, Selena merutuki kebodohannya dulu jatuh cinta pada pria seperti Samuel. Selena memijat pelipisnya pelan. Waktu sudah menunjukan pukul satu pagi tapi Selena tak kunjung mengantuk. Kepalanya terlalu banyak memikirkan sesuatu. Terutama tentang dirinya dan Samuel. Sejak di mana asistennya mengatakan ayahnya mencari dirinya, itu membuat Selena kian cemas. Ditambah Jenia—asistennya itu mengatakan kalai ayahnya mulai mencurigai sesuatu. Selena mengalihkan pandangannya hendak mengambil air putih yang ada di atas nakas. Namun gerak Selena terhenti kala melihat
Selena mondar-mandir tidak jelas di dalam kamar. Wanita itu tampak semakin gelisah mengingat perkataan Samuel akan ikut dengannya ke London. Sungguh, wanita itu tidak mengerti dengan cara jalan pikiran Samuel. Beberapa kali Selena menolak tapi tetap saja Samuel memaksa. Ingin sekali Selena membawa lari Oliver tapi apa mungkin bisa? Selena menyadari dirinya tak mampu melawan Samuel seorang diri. Selena menghela napas dalam. Benaknya tak henti mencari cara. Pesan Jenia yang memintanya untuk segera kembali ke London tak bisa disepelekan. Itu artinya Jenia sudah memberikan peringatan adanya tanda bahaya. Dan tentu Selena harus gerak cepat sebelum ayahnya tahu semuanya. Jujur, pernah terbesit dalam benak Selena untuk meminta bantuan Miracle—saudara kembarnya. Dengan kekuasaan yang dimilik Mateo De Luca—suami Miracle pasti bisa membantu dirinya terbebas dari sini. Namun, permasalahannya adalah Mateo dan Samuel memiliki hubungan baik dalam hal pertemanan atau pun dalam hal pekerjaan. Jik
Samuel melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Pria itu melirik Selena sebentar. Tampak senyuman di wajah Samuel terlukis kala melihat Selana tertidur begitu pulas. Ya, sejak pembicaraan tadi, mereka tak lagi berbicara sepatah kata pun. Bahkan dikala tadi Samuel meminta Selena memberikan kesempatan kedua untuknya, tetap saja wanita itu tak menggubris permintaannya. Samuel menyadari apa yang dia lakukan dulu memang tak akan mungkin dengan mudah termaafkan. Samuel membawa tangannya membelai pipi Selena. Dulu, Selena memiliki pipi yang tirus. Tubuh begitu langsing. Sekarang setelah Selena pernah melahirkan, wanita itu memiliki tubuh sedikit padat berisi dan membuat Samuel semakin menyukainya. Tak lama kemudian, mobil yang dilajukan Samuel mulai memasuki halaman parkir mansionnya. Lantas Samuel menoleh pada Selena dan hendak membangunkan. Namun, Samuel mengurungkan niatnya kala melihat Selena yang tertidur begitu pulas. Jarak dari hutan ke mansion memang tak dekat. Tidak heran jika
Samuel menatap Selena yang tertidur begitu pulas. Sekitar sepuluh menit lalu, Samuel meminta dokter untuk menyuntikan obat penenang pada Selena agar wanita itu tidur nyaman. Beruntung, Selena pun sejak tadi menuruti semua perkataannya. Lebih tepatnya tubuh Selena begitu lemah sampai membuat wanita itu tak banyak bicara.Saat ini Samuel membawa Selena ke apartemen pribadinya. Dia tak mungkin membawa Selena ke mansion keluarga Geovan. Pasalnya Samuel tak ingin membuat kedua orang tua Selena cemas. Pun di sana ada Oliver. Itu kenapa Samuel lebih memilih membawa Selena ke apartemen pribadinya. Sejenak, Samuel mengembuskan napas panjang. Dalam benaknya terus saja memikirkan bagaimana kalau dirinya sampai datang terlambat. Shit! Samuel mengumpat dalam hati, ingatannya tergali saat Almero hendak menyentuh Selena. Jika mengingat itu semua membuat emosi Samuel terasa begitu terbakar. Harusnya dia membunuh Almero dengan cara yang lebih kejam! Sungguh, membayangkan itu semua membuat Samuel bena
Brakkkk Suara dobrakan pintu yang begitu keras suskes membuat pintu itu terpental. Refleks, Almero mengalihkan pandangannya kala pintu berhasil terdobrak. Seketika mata Almero terkejut melihat dia sosok pria yang datang menatapnya dengan tatapan penuh amarah. “Berengsek!” Samuel menerjang Almero dengan emosi yang nyaris meledak. Tanpa belas kasihan, Samuel menarik kerah baju Almero, menghajarnya tanpa ampun. BUGH BUGH BUGH BUGH “Mati kau, Sialan!” Samuel menendang perut Almero hingga membuat Almero tersungkur di lantai. Namun, kala Samuel ingin kembali menyerang Almero tiba-tiba anak buah Almero berhamburan datang. Tampak Samuel dan Mateo melangkah mundur. Mateo sejak tadi ingin menolong Miracle tapi dia tak bisa melakukanya sekarang. Kondisinya dikepung seperti ini membuat Mateo harus melumpuhkan anak buah Almero lebih dulu. Napas Mateo memburu. Sorot matanya menajam dan memendung amarah. Darah Miracle memenuhi lantai membuat emosi Mateo tersulit. Fuck! Mateo mengumpat dalam
“Tubuhmu. Kesepakatanku dengan Iris adalah aku bisa mencicipi tubuh indahmu, Nona Geovan.” Raut wajah Selena berubah menjadi pucat mendengar apa yang diucapkan oleh Almero. Sepasang iris mata biru Selena melebar tersirat rasa takut yang telah menelusup ke dalam dirinya. Wanita itu menegang dengan rasa cemas yang melanda hebat dirinya. Seketika itu juga jantung Selena berpacu begitu keras akibat ketakutannya. Peluh mulai muncul di pelipisnya. Dalam hati, Selena berharap Samuel atau keluarganya bisa datang tepat waktu menyelamatkan dirinya dan Miracle. “Berengsek! Jaga bicaramu!” maki Miracle emosi. Wanita itu tak bisa lagi menahan amarah kala mendengar ucapan kurang ajar yang diucapkan oleh pria yang bernama Almero Abner. Ini sudah waktunya untuk bertindak. Meski Miracle tahu dirinya akan sulit melawan dalam posisi tangan di borgol tapi tetap saja Miracle akan berjuang sekuat tenaga. Dia tak akan membiarkan terjadi sesuatu hal yang buruk pada saudara kembarnya itu. Almero melirik Mi
“Kau—” Mata Selena menatap dua wanita di hadapannya dengan tatapan yang begitu tajam dan tersirat memendung amarahnya. Rahang Selena mengetat. Tangannya terkepal begitu kuat. Mati-matian Selena berusaha menahan amarah dalam dirinya. Sudah sejak tadi Selena menduga dalang dibalik ini semua. Tapi Selena tak menyangka ternyata apa yang ada di dalam benaknya adalah sungguhan. “Hi, Selena. Long time no see. Senang sekali aku bertemu denganmu di tempat ini.” Wanita di hadapan Selena itu menyapa sekaligus melukiskan senyuman anggun seraya mengibaskan rambutnya. “Fuck! Jalang sialan! Beraninya kau menjebak saudara kembarku! Apa kau bosan hidup!” Miracle hendak menyerang sosok wanita di hadapannya. Meski tangannya terborgol bisa saja Miracle melompat agar tetap bisa bangun. Bodohnya orang-orang yang menculiknya itu tak mengikat kakinya. Itu yang mempermudah Miracle. “No, Miracle. Please.” Selena langsung mencegah Miracle. Meminta saudara kembarnya itu untuk tenang dan tak terpancing oleh em
Pelupuk mata Selena bergerak-gerak. Perlahan Selena mulai membuka matanya. Wanita itu sedikit meringis merasakan tubuhnya terasa sakit. Sayup-sayup, Selena mengendarkan pandangannya di sekitar—melihat dirinya berada di sebuah gudang gelap dan berukuran besar. Selena memijat pelipisnya kala rasa sakit di kepalanya muncul menyerang. Tubuhnya pun nyeridan pegal.“Akh—” Selena meringis merasakan sakit di tengkuk lehernya. Beberapa detik, Selena tampak terdiam berusaha mengingat kenapa dirinya bisa berada di gudang beruangan gelap seperti ini. Lalu … tiba-tiba ketika ingatan di kepala Selena muncul, wanita itu terkejut sekaligus ketakutan mengingat semua yang terjadi. Napas Selena cemas. Namun mati-matian Selena menyingkirkan rasa takut yang telah menelusup ke dalam dirinya. Ya, setakut apa pun dirinya, Selena yakin Samuel ataupun keluarganya pasti akan datang mencarinya. Dalam keadaan seperti ini takut hanyalah sia-sia. Yang Selena bisa lakukan hanya tetap tenang dan mencoba untuk berpiki
Tubuh Selena bergetar ketakutan melihat Miracle jatuh pingsan. Raut wajahnya pucat pasi begitu terlihat jelas. Mata Selena menatap nanar Miracle yang tergeletak tak berdaya di lantai. Jantung wanita itu berdetak tak karuan. Sejenak, Selena berusaha berpikir siapa dalang dibalik semua itu. Pasalnya Selena tak pernah memiliki musuh. Hingga kemudian, tiba-tiba sesuatu muncul dalam benaknya. Sesuatu hal di mana dia mulai tahu siapa dalang dibalik semua ini. Hanya saja Selena masih memiliki keraguan. Beberapa detik, Selena masih diam melihat pria yang bernama ‘Almero Abner’ tertawa melihat Miracle berhasil dilumpuhkan. Napas Selena memburu. Ingin sekali dia melawan tapi Selena tahu kemampuannya. Selena tetap berusaha tenang dan anggun di tempatnya. Dia yakin keluarganya ataupun Samuel pasti akan menemukannya. “Oh, astaga … ini benar-benar lucu. Ternyata istri Mateo De Luca tidak sekuat yang aku bayangkan.” Almero tertawa mengudara. Tawanya begitu puas meledek Miracle yang berhasil dilum
“Nyonya Miracle De Luca, apa yang Anda cari?” Suara berat Almero sontak membuat Miracle terkejut. Refleks, Miracle mengalihkan pandangannya pada Almero. Mengulas senyuman paksaan di wajahnya. Walau hati dan benak Miracle sedang mencurigai sesuatu tapi Miracle tetap menunjukan wajah elegan, anggun, dan berkelas seperti biasanya. “Ah, tidak. Aku hanya sedikit bingung ada restoran baru di sini. Jadi aku mengendarkan pandaganku melihat design restoran kecil ini. Apa kau mengenal pemilik restoran ini, Tuan Almero?” tanya Miracle dengan senyuman penuh arti di wajahnya. Sepasang manik mata biru Miracle tak lepas menatap Almero yang duduk di hadapannya. “Well, saya mengenal pemilik restoran ini. Bahkan sangat mengenal. Dan, ya … restoran ini baru di buka, Nyonya. Itu kenapa restoran ini masih sepi. Tapi khusus hari ini, saya sudah memesan restoran ini. Saya kurang suka keramaian. Terlebih kali ini pembahasan saya dengan Nona Selena sangat penting. Saya ingin fokus dengan project yang saya
Matahari begitu terik. Selena yang tengah ada di dalam mobil sesekali melihat pemandangan di luar. Cuaca cerah seperti ini harusnya Selena mengajak Oliver berjalan-jalan namun rasanya itu tak mungkin karena siang ini Selena memiliki pertemuan penting dengan rekan bisnisnya. Hanya saja, yang membuat Selena bingung adalah kenapa bisa rekan bisnisnya memilih jalanan yang kecil untuk pertemuan mereka. Selena mengembuskan napas panjang dan menepis hal-hal yang muncul dalam benaknya. Mungkin saja memang rekan bisnisnya sedang berada di wilayah tersebut, itu yang sekarang ada di dalam pikiran Selena. Lagi pula, Selena pun tak akan lama. Sepulang dari bertemu dengan rekan bisnisnya, Selena akan segera mengajak Oliver jalan-jalan sore. Tentu yang Selena fokuskan saat ini adalah Oliver. Pekerjaan akan tetap dia pikirkan tapi tidak sepenting dulu. Oliver adalah segalanya. Selena menyadari kalau selama ini waktunya untuk Oliver sangat kurang. Hal itu yang membuat Selena sekarang ingin fokus memb
“Selena, malam ini Samuel datang kan?” Suara Marsha bertanya seraya menatap putrinya yang tengah membersihkan sayur. Ya, setelah tadi pagi ke supermarket, sekarang Marsha dan Selena berada di dapur menyiapkan makan malam. Khusus kali ini Marsha dan Selena memang ingin masak bersama. Bahkan mereka tak ingin pelayan membantu mereka. “Iya, Mom. Samuel pasti datang. Kalau dia tidak datang nanti Oliver akan merajuk. Belakangan ini Oliver sering manja dengan ayahnya, Mom. Jadi aku juga sedikit kerepotan. Oliver tidak suka jika permintaannya ditolak. Samuel terlalu memanjakan Oliver.” Selena menjawab seraya meniriskan sayuran yang telah dibersihkan itu. Lantas Selena mulai mengolah bahan-bahan yang dibutuhkan untuk masakannya. Senyuman di wajah Marsha terlukis mendengar apa yang dikatakan oleh Selena. “Wajar saja kalau Oliver manja. Selama ini dia begitu merindukan ayahnya, Selena. Kau harus mengerti. Hampir lima tahun Oliver tumbuh tanpa kasih sayang seorang ayah. Meski kau telah berjuang