“Bagaimana keadaan Oliver? Dia sudah membaik kan?” Suara Dean lebih dulu mengajak Selena memulai percakapan. Kini Dean dan Selena tengah menikmati makan bersama di salah satu restoran di Brooklyn. Harusnya Dean bertemu dengan Selena malam hari nanti. Tetapi Dean mempercepat pertemuannya dengan Selena di sore hari. Pria itu tak ingin menunda-nunda bertemu dengan Selena. Dan beruntung Selena bisa datang meski pertemuan lebih cepat dari yang mereka telah jadwalkan. “Baik, Dean. Oliver sekarang sudah sehat. Putraku itu kuat.” Selena menjawab ucapan Dean seraya mengambil orange juice yang ada di hadapannya dan meminumnya perlahan. Tampak Dean tersenyum samar mendengar apa yang diucapkan oleh Selena. “Oliver anak yang kuat dan cerdas,” jawab Dean hangat. “Ngomong-ngomong, Selena. Kapan kau akan pulang ke London? Apa kau masih lama di sini?” tanyanya ingin tahu. Selena terdiam beberapa saat. Dia sendiri tidak tahu bagaimana harus menjawab. Pasalnya Samuel mana mungkin membiarkannya pula
Samuel membanting pintu mobilnya dengan keras. Lantas pria itu menarik kasar tangan Selena, menyeret wanita itu masuk ke dalam rumah. Tampak Selena meringis kala Samuel menarik-narik tangannya. Beberapa kali Selena berusaha berontak tapi malah Samuel semakin mencengkram kuat tangan wanita itu. “Samuel! Lepaskan tanganku! Lepaskan tanganku, Sialan,” seru Selena dengan nada satu oktaf lebih tinggi. Sayangnya, ucapan Selena tak digubris oleh Samuel. Pria itu sama sekali tidak peduli. Emosi dalam diri Samuel menyulut. Amarahnya nyaris meledak kala tadi melihat Selena bersama dengan Dean. Dan yang paling membuat Samuel emosi adalah Selena menyembunyikan pertemuannya dengan Dean. Bahkan mengajari Oliver untuk merahasiakan sesuatu darinya. Kini Samuel semakin menarik kasar tangan Selena. Membawa wanita itu masuk ke dalam kamarnya. Aura kemarahan di wajah Samuel terlihat begitu jelas.Brakkk“Akh—” Selena meringis kesakitan kala Samuel mendorong tubuhnya di ranjang. Tampak kilat mata Samue
Selena duduk di balkon kamar dengan tatapan lurus ke depan dan pikiran yang menerawang. Benak Selena saat ini masih memikirkan tentang perkataan Samuel. Sungguh, perkataan Samuel telah berhasil menyentuh hati Selena sampai relung hati terdalamnya. Tak menampik kalau hati Selena hampir luluh. Namun, dikala hati Selena mulai luluh; dia segera mengingat kejadian lima tahun lalu. Dulu Samuel membuangnya layaknya sampah. Tapi kenapa sekarang Samuel menginginkannya? Selena nyaris tertawa tiap kali mengingat Samuel menginginkannya. Omong kosong yang dilontarkan Samuel Maxton membuatnya muak. Selena menarik napas dalam-dalam, dan mengembuskan perlahan. Selena ingin segera kembali ke London bersama dengan Oliver. Meninggalkan semua kepalsuan di sini. Selena tidak mau jatuh di lubang yang sama untuk kedua kalinya. Karena dia tidak ingin mengalami penderitaan seperti yang dulu dia alami. Berjuang di tengah badai bukanlah hal yang mudah. Banyak air mata yang dia cucurkan. Sekarang ketika dirinya
“Don’t touch my son,” desis Samuel tajam dan penuh peringatan pada Iris. Kilat mata Samuel menunjukan jelas kemarahan terselimuti dalam dirinya. Rahang Samuel mengetat. Sorot matanya menusuk seperti ingin membunuh. Tubuh Iris membeku kala Samuel mengatakan ‘Don’t touch my son’ kalimat itu sukses membuat aliran darah dalam tubuhnya seakan berhenti. Dunia Iris seperti telah hancur lebur mendengar ucapan Samuel itu. Wanita itu bungkam. Beberapa kali Iris menggelengkan kepalanya meyakinkan bahwa apa yang telah dia dengar tadi salah. Tapi tidak. Semua begitu jelas. Kalimat singkat yang terselimuti penuh ancaman itu telah membuat Iris sadar bahwa apa yang diucapkan Samuel bukan hanya sekedar sebuah ancaman namun memiliki makna di mana telah sukses menghancurkan hati Iris berkeping-keping hingga tak lagi tersisa. “A-apa tadi kau b-bilang? P-Putramu? K-Kau salah bicara kan?” Iris nyaris kehilangan kata. Wanita itu menunjukan jelas keterkejutannya. Otaknya blank. Dadanya panas. Kecemburuan,
Darah tak henti-henti bercucuran dari lengan Samuel. Tubuh Iris menegang hebat. Wajah memucat. Ketakutan melanda dirinya. Mata Iris memancarkan rasa bersalahnya. Luka di lengan Samuel cukup dalam. Tentu Iris tak mungkin memiliki niat melukai Samuel. Shit! Iris mengumpat dalam hati karena Samuel menyelamatkan Selena. Harusnya Selena yang terluka. Bukan Samuel. Jantung Iris berdetak tak karuan. Rasa takut itu terselimuti kecemasan. “S-Samuel, aku—”“Penjaga! Bawa dia!” teriak Samuel keras memanggil penjaga untuk segera datang. Dan tak lama memudian, dua penjaga dengan tubuh besar berhamburan datang. Mereka langsung menarik tangan Iris. Membawa Iris keluar dari rumah itu. Refleks, Iris berontak kala dua penjaga membawanya. Namun tenaga Iris tak sebanding. Beberapa kali Iris berontak tapi tetap tak mampu mengalahkan dua penjaga dengan tubuh tinggi besar itu. “Samuel! Ini bukan salahku! Aku tidak sengaja! Kau kenapa harus melindungi wanita sialan itu, hah?!” seru Iris kencang. Sayangnya
“Samuel, kau belum minum obat hanya satu? Kau memiliki tiga jenis obat, Samuel. Kau ini minum obat saja seperti anak kecil. Susah sekali.” Suara Selena mengomel sebal pada Samuel. Jelas saja Selena sabal. Pasalnya Samuel hanya minum satu jenis obat. Padahal dokter memberikan tiga jenis obat. Dalam hal ini Selena sangat jeli. Wanita itu menghitung jumlah obat Samuel. Jadi kalau Samuel belum meminum obat pasti Selena akan tahu. “Aku tidak akan mati meski hanya minum satu obat, Selena.” Samuel berucap dengan nada datar. Pria itu tengah duduk di ranjang dengan punggung yang bersandar di kepala ranjang. Meski lengan kanan terluka, tetap saja pria itu masih bisa memeriksa pekerjaannya di ponsel menggunakan tangan kiri. Lagi pula ini hanyalah luka kecil tak mungkin ada rasanya bagi Samuel. Ah, Samuel lupa kalau dia sempat berakting sakit di depan Salena hanya demi mendapatkan simpatik wanita itu. Selena memgembuskan napas kasar seraya mendecakan lidahnya. Lantas Selena mendekat pada Samu
Sinar matahari pagi menelusup masuk ke sela-sela jendela kamar Samuel. Pagi sudah menyapa. Samuel pun lebih dulu terbangun. Selama ini Samuel terbiasa bangun pagi karena dia selalu mendapatkan panggilan telepon dipagi hari dari sang asisten yang melaporkan apa saja jadwal pekerjannya. Namun, kali ini Samuel meminta asistennya untuk mengurus pekerjaannya. Alasan Samuel tak mau mengurus pekerjaan bukan karena lengannya sakit. Tapi karena Samuel ingin meluangkan waktu bersama dengan Selena dan Oliver. Kini Samuel masih terbaring di ranjang empuk kamarnya seraya menatap Selena yang tertidur pulas dalam dekapannya. Tampak senyuman di wajah Samuel terlukis melihat Selena yang tertidur pulas dalam dekapannya. Sepasang iris mata cokelat Samuel menatap Selena dengan tatapan memuja. Wajah wanita itu memiliki paras cantik. Bahkan sangat catik. Wajah Selena putih bersih tanpa noda sedikit pun. Bibir ranum sedikit tebal sangat memesona. Hidung mancung menjulang memperindah kecantikan Selena. Sam
“Maxton sialan!” Selena mengumpat kasar seraya menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang. Beberapa kali Selena tak henti-henti mengumpati Samuel. Sejak kejadian di kamar mandi, wajah Selena memerah. Marah, kesal, dan malu telah melebur menjadi satu. Demi Tuhan Selena tak menyangka kalau Samuel bisa melakukan hal seperti tadi. “Ah! Bodoh sekali! Kenapa aku bisa sebodoh itu?” Selena meremas kuat rambutnya dan mengusap kasar wajahnya. Kacau. Hati dan pikiran Selena begitu kacau. Emosinya memuncak mengingat kejadian di kamar mandi. Shit! Harusnya Selena membunuh Samuel yang telah berani menyentuhnya. Tapi kenapa malah tadi dirinya seperti menikmati? Demi Tuhan, Selena merasa dirinya telah menjadi wanita paling bodoh di dunia ini. Sejenak, Selena mengatur napasnya. Walau tak dipungkiri rasanya napas Selena benar-benar sesak mengingat kejadian tadi. Kini Selena memejamkan mata sebentar. Berusaha melupakan. Namun, sialnya bukannya dia melupakan malah semakin mengingat. Selena kembali membuka
“Aku ingin menikahi putrimu, Tuan Maxton.” Suara lantang dan tegas Dean sukses membuat semua orang yang ada di sana terkejut. Suasana di tempat itu menjadi hening terselimuti ketegangan. Bahkan Brianna yang berdiri tak jauh dari Dean sampai menganga terkejut mendengar perkataan Dean. Tubuh Brianna membatu tak menyangka akan apa yang dikatakan oleh Dean. ‘Astaga! Apa Dean sudah gila?’ batin Brianna dengan wajah yang resah ketakutan. “Berengsek! Otakmu sudah tidak waras ingin menikahi adikku?” sembur Samuel dengan nada tinggi dan menggelegar. “Aku bukan orang yang suka berbasa-basi. Aku memang ingin menikahi adikmu,” tukas Dean menegaskan. “Fuck!” Samuel langsung menarik kerah baju Dean, dan melayangkan pukulan keras di rahang Dean. BUGHPukulan pertama berhasil Samuel layangkan. Namun, pukulan kedua berhasil ditangkis oleh Dean. Tampak Selena, Brianna, dan Jillian berteriak histeris kala melihat Samuel memukuli wajah Dean. “Samuel!” Kelton maju. Pria paruh baya itu menarik kera
Brianna menatap Joice yang tertidur begitu pulas. Wanita itu membelai lembut pipi Joice. Sungguh, Brianna tak tahu bagaimana dirinya harus bersikap. Brianna seperti terjebak di dalam labirin yang menyandra dirinya. Bahkan seolah labirin itu memberikan jalan buntu. Ya, benak Brianna saat ini bukan hanya memikirkan tentang Joice tapi Brianna juga memikirkan tentang Juliet. Sejak kejadian tadi pagi, membuat diri Brianna merasa bersalah pada Juliet. Bagaimana pun Brianna mengerti akan perasaan sakit yang dialami Juliet. Namun, sungguh tak pernah bermaksud melukai Juliet. Brianna mengembuskan napas pelan. Kejadian tadi pagi memang tak bisa dilupakan. Terlebih Juliet sampai menangis. Brianna tak tega. Ingin sekali Brianna menjelaskan pada Juliet kejadian yang sebenarnya tapi Brianna tidak bisa. Pasalnya Dean selalu menghalangi dirinya. “Apa yang harus Mommy lakukan, Sayang? Mommy tidak ingin membuat seseorang terluka.” Brianna membelai lembut pipi bulat Joice. Tak bisa memungkiri kalau B
“Ya, aku sudah melakukan test DNA. Hasil membuktikan Joice adalah putriku, Brianna. Kau tidak bisa mengelak lagi. She’s also my daughter.” Jantung Brianna nyaris berhenti berdetak mendengar perkataan Dean. Tenggorokan Brianna tercekat. Berkali-kali Brianna menggelengkan kepala meyakinkan semua ini adalah mimpi. Namun, kenyataannya ini bukanlah mimpi. Apa yang Brianna dengar benar-benar nyata. Sejak di mana Brianna mengetahui kalung miliknya berada di tangan Dean; semua hal yang tak pernah Brianna pikirkan pasti akan menjadi sebuah boomerang yang siap menyerangnya sendiri. Tak pernah Brianna sangka akan jadi seperti ini. Namun, bisakah Brianna berlari? “Dean, kau pasti salah. Joice bukan—” “Brianna Maxton! Kau masih mengelak setelah bukti hasil test DNA ada di tanganmu, hah?! Apa kau sudah tidak waras?!” sembur Dean dengan nada tinggi. Brianna memejamkan mata. Sungguh, Brianna tak menyangka akan berada di titik terpojok seperti ini. Lidah Brianna kelu tidak mampu merangkai kata. M
“Shit!” Brianna mengumpat dalam hati seraya memukul setir mobilnya. Raut wajah Brianna berubah dingin dan memendung kekesalan mendalam. Yang membuat Brianna emosi adalah Dean membawa Joice tanpa bilang apa pun padanya. Andai saja Dean bukanlah pria yang menjadi teman kencan satu malamnya dulu, maka Brianna tak akan sekesal ini. Tidak bisa dipungkiri, Brianna takut kalau Dean merampas Joice dalam hidupnya. Selama ini Brianna nyaman akan orang-orang beranggapan Joice adalah anak kandung Ivan. Dan sekarang, Brianna harus menghadapi kenyataan serumit ini. Suara dering ponsel terdengar. Refleks, Brianna mengambil ponselnya—dan menatap ke layar terpampang nama Dwyne—asistennya. Ya, sekitar sepuluh menit lalu, Brianna meminta asistennya untuk mencari nama Dean. Tak mungkin Brianna bertanya pada Samuel ataupun Selena. Masalah akan semakin rumit jika sampai Samuel dan Selena tahu. “Kau sudah mendapatkan alamat Dean?” jawab Brianna kala panggilan terhubung. “Sudah, Nyonya. Saya sudah mendap
Suara bell sekolah berbunyi menandakan siswa dan siswi diperbolehkan untuk pulang. Pelajaran pun telah berakhir. Terlihat Joice dan Oliver begitu bersemangat untuk pulang. Terlebih Joice yang sejak tadi mengusap-usap perut buncitnya menandakan bahwa Joice sudah sangat lapar. Memang Joice terkenal dengan tak bisa menahan lapar sedikit. Ditambah di kelas siswa dan siswi dilarang untuk makan. Hanya diperbolehkan minum saja. Tapi minum mana bisa membuat Joice kenyang? “Oliver, ayo cepat sedikit. Aku sudah lapar, Oliver. Sopir pasti sudah menjemput kita di depan kan?” ujar Joice meminta Oliver untuk cepat. Pasalnya, Oliver sangat lama sekali memasukan kotak pensil ke dalam tas. Oliver mendengkus. “Sabar, Joice. Kalau aku diburu-buru nanti ada barangku yang tertinggal.” Bibir Joice mencebik. Gadis kecil itu langsung memiliki inisiatif membantu Oliver—memasukan barang-barang milik Oliver ke dalam tas Oliver. Pun Oliver tak mengomel kala Joice membantunya. “Sudah selesai.” Joice berucap
Brianna menatap hangat Joice yang tengah memakan ice cream. Tatapan mata Brianna tak lepas menatap Joice begitu dalam. Tatapan menatap Joice penuh kasih sayang seorang ibu. Mata Brianna hendak mengeluarkan air mata, namun dengan cepat Brianna menahan diri agar tak meneteskan air mata. Brianna tidak mau sampai Joice melihatnya bersedih. Ivan—mantan suami Brianna sekarang telah masuk penjara. Keluarga Maxton dan keluarga Geovan sudah tahu kalau tentang penculikan Brianna dan Selena. Tentu saja William—ayah Selena mengamuk dan sampai datang ke penjara karena ingin memukul Ivan. Pun Kelton juga sampai datang ke penjara karena ingin menghajar Ivan. Namun, Samuel segera mencegah karena Samuel tak ingin masalah semakin rumit. Semua telah berlalu. Masalah tentang Ivan pun telah selesai. Pada akhirnya yang jahat akan mendapatkan balasan dari apa yang telah mereka perbuat. Akan tetapi ada suatu hal yang mengganggu pikiran dan Brianna saat ini. Sesuatu yang selalu membuat Brianna merasakan kek
“Bagaimana keadaannya? Tidak ada luka yang serius kan?” Dean bertanya cepat kala dokter baru saja selesai memeriksa keadaan Brianna. Di balik wajah tenang dan diam, raut wajah Dean menunjukan jelas rasa cemasnya akan kondisi Brianna. “Tuan, Anda tidak perlu khawatir. Keadaan Nyonya Brianna baik-baik saja,” jawab sang dokter sopan pada Dean. Dean mengangguk singkat. Sekarang dirinya bisa tenang karena kondisi Brianna baik-baik saja. “Thanks,” jawabnya datar. “Sama-sama, Tuan. Kalau begitu saya permisi.” Sang dokter segera pamit undur diri dari hadapan Dean. Saat dokter sudah pergi, Dean melangkah mendekat pada Brianna. Lantas, pria itu duduk tepat di tepi ranjang. Menatap Brianna hangat. “Dokter bilang kau baik-baik saja, Brianna. Aku senang kau tidak memiliki luka serius.” Perlahan, Brianna bangun dari ranjang dan segera mengambil posisi duduk agar berhadapan dengan Dean. Refleks, Dean pun membantu Brianna untuk duduk. Pria itu mengambil bantal dan meletakannya ke punggung Briann
“Kau—” Mata Ivan melebar terkejut melihat sosok pria memakai jaket kulit hitam berdiri di ambang pintu. Tampak sepasang iris mata Ivan menatap tajam sosok pria yang baru saja datang itu. “Siapa kau!” bentak Ivan keras seraya melepaskan Brianna dari cengkraman tangannya.Pria itu tersenyum samar kala Ivan tak mengenali dirinya. Lantas, pria itu melangkah masuk mendekat pada Ivan. “Kau benar-benar tidak mengenaliku?” tanyanya dingin dan menusuk seakan menimbulkan atmosfer menyeramkan. Sayup-sayup mata Selena mulai terbuka seraya memeluk perutnya erat. Suara berat begitu familiar di telinga Selena terdengar. Detik selanjutnya, Selena mengalihkan pandangannya menatap ke sumber suara itu. Seketika mata Selena menyipit terkejut melihat sosok yang dia kenal berdiri di ambang pintu. “D-Dominic?” Tenggorokan Selena nyaris tercekat melihat adik laki-laki bungsunya. Ivan terkejut akan respon Selena yang mengenal sosok pria di hadapannya. Raut wajah Ivan sedikit memucat. Nama ‘Dominic’ mulai
*Help me!* Tubuh Samuel menegang dengan sorot mata tajam menatap pesan singat dari Selena. Tampak raut wajah Samuel menunjukan jelas kepanikan dan kecemasan. Dengan gerak yang sangat cepat, Samuel segera menghubungi nomor Selena. Namun, sayangnya nomor Selena sudah tidak lagi aktif. Jantung Samuel berpacu dengan cepat. Pancaran mata Samuel menunjukan rasa khawatir. Terlebih pesan singkat Selena seakan memberikannya sebuah tanda. Samuel tetap berusaha tenang walau rasa cemas dan takut tak kunjung hilang. Tiba-tiba, ingatan Samuel mengingat hari ini Selena akan pergi dengan Brianna ke supermarket. Tanpa menunggu lama, Samuel segera menghubungi nomor Brianna. “Berengsek!” Samuel meremas kuat ponselnya kala yang dia dengar hanyalah suara operator yang memberikannya informasi nomor Brianna tak aktif. Kilat mata Samuel kian begitu tajam. Insting kuatnya sudah menduga terjadi sesuatu dengan Selena dan Brianna. “Samuel, ada apa?” Rava sejak tadi bingung akan wajah Samuel yang menunjukan