“Jadi kau meninggalkan Iris karena perselingkuhanmu dengan Selena?” Suara Jillian—ibu Samuel bertanya dengan nada dingin. Tatapannya menatap tajam Samuel yang ada di hadapannya itu. Amarah begitu terlihat di wajahnya. “Jaga bicaramu, Mom. Selena bukan selingkuhanku. Aku berpisah dengan Iris karena aku tidak menyukai sifatnya. Bukan karena Selena yang menyebabkan kami berpisah.” Samuel menjawab dengan begitu tegas dan penuh peringatan. Tatapan Samuel menatap ibunya dingin seolah meminta ibunya untuk menjaga ucapannya. “Kalau bukan selingkuhanmu kenapa dia bisa ada di sini? Jangan membohongi Mommy, Samuel! Mommy bukan orang bodoh! Kenapa kau menyakiti hati Iris? Dia sudah lama menjalin hubungan denganmu, Samuel! Lebih dari lima tahun kalian bersama. Harusnya kau memikirkan perasaan Iris! Cantik dan hebatnya orang itu tidak ada habisnya. Kau jangan suka memperbandingkan Iris dengan wanita lain!” seru Jillian dengan nada tinggi dan keras pada putranya. Ini yang sejak dulu Jillian inga
Samuel menatap Selena dan Oliver yang tengah tertidur pulas. Ingin sekali Samuel memindahkan Selena tapi Samuel mengurungkan niatnya. Mengingat tadi pagi mereka ribut besar. Satu harian ini Samuel dan Selena tak bertegur sapa. Lebih tepatnya Selena mengabaikan dirinya. Selena hanya sibuk mengajak Oliver bermain. Bahkan saat makan malam tadi pun, Selena tetap tidak mau bicara padanya.Samuel melangkah mendekat ke ranjang. Dia menarik selimut—merapatkan tubuh Selena dan Oliver dengan selimut tebal itu. Tampak senyuman di wajah Samuel terlukis. Selena dan Oliver tertidur begitu pulas. Hati Samuel begitu menghangat. Dalam hati dan pikiran Samuel, dia hanya ingin melindungi Selena dan Oliver. Samuel tak akan pernah membiarkan jika sampai Selena dan Oliver terluka. Kini Samuel menundukan kepalanya, memberikan kecupan di kening Selena dan Oliver. Samuel menyadari kalau dirinya begitu banyak kesalahan pada Selena dan Oliver. Dan sekarang Samuel ingin menebus semua kesalahannya. Memperbaiki
“Mama? Why are you sad?” Oliver melangkahkan kakinya mendekat pada Selena yang berada di taman belakang. Bocah laki-laki itu mengerjapkan mata beberapa kali. Menatap wajah Selena yang tampak muram dan sedih.“Sayang? Kau di sini? Mama tidak sedih, Sayang. Mama hanya memikirkan pekerjaan Mama.” Selena segera membuyarkan lamunannya kala menyadari suara Oliver. Lantas dia menatap hangat dan penuh kasih sayang putranya itu. Pun Selena merubah raut wajahnya. Wanita itu tak mau kalau Oliver tahu banyak beban yang dia pikirkan. “Mama tidak bohong kan? Aku melihat Mama seperti sedang sedih. Siapa yang membuat Mama sedih? Aku akan memukul orang itu, Mama.” Oliver mendekat. Bocah laki-laki itu memeluk erat Selena. Senyuman di wajah Selena terlukis mendengar ucapan Oliver. Wanita itu menangkup kedua pipi Oliver, memberikan kecupan bertubi-tubi di wajah putranya itu. “Mama tidak sedih, Nak. Mama hanya memikirkan pekerjaan di London. Apa Oliver tidak memikirkan sekolah? Memangnya kau tidak mer
Selena berdiri di balkon kamar seraya menatap langit malam. Cahaya bulan dan bintang tampak begitu indah membuat Selena melukiskan senyuman samar di wajahnya. Sesaat Selena menutup mata sebentar kala embusan angin menyentuh kulitnya. Berdiri di balkon kamar menikmati suasana hening malam adalah salah satu self healing bagi Selena. Emosi yang terbendung dalam dirinya membuat Selena memilih untuk berdiam diri. Tak ada yang bisa Selena lakukan saat ini selain dirinya berusaha menghilangkan emosinya.Sejak perdebatannya tadi dengan Samuel, Selena memilih untuk sendiri. Bahkan tadi disaat jam makan malam pun, Selena meminta pengasuh untuk menjaga Oliver. Yang Selena butuhkan saat ini adalah ketenangan diri. Walau sebenarnya menenangkan diri seratus persen tidak akan mungkin. Pikiran dan hatinya sangat kacau. Selena mengatur napasnya. Lantas dia menatap hamparan kota Manhattan yang sangat indah. Letak kamar Selena di mansion Samuel berada di lantai empat. Itu kenapa Selena bisa melihat den
Keesokan hari, Selena tengah sibuk di dapur membuatkan bubur untuk Oliver. Tadi pagi-pagi sekali, dokter sudah memeriksakan keadaan Oliver. Beruntung putranya itu baik-baik saja. Tak ada yang harus dikhawatirkan. Hanya saja dokter meminta Oliver untuk banyak beristirahat. “Nona, apa Anda butuh bantuan?” Suara pelayan bertanya dengan sopan pada Selena yang tengah sibuk berada di dapur. “Tidak usah, aku bisa sendiri,” jawab Selena hangat. “Baik, Nona. Kalau Anda membutuhkan sesuatu, Anda bisa memanggil saya,” balas sang pelayan dengan sopan. “Terima kasih.” Selena mengulas senyuman di wajahnya. Sang pelayan menundukan kepalanya, lalu pamit undur diri dari hadapan Selena. Tak lama kemudian, bubur yang Selena buat telah selesai. Lantas Selena segera menuangkan bubur itu ke mangkuk. Lalu dia memberikan toping irisan salmon panggang di atas bubur yang telah dia siapkan untuk putranya. Kini Selena melangkahkan kakinya meninggalkan dapur seraya membawa bubur yang telah dia buat. Wanit
“Oliver, kenapa pagi-pagi seperti ini kau sudah berenang? Kau baru sembuh, Nak.” Suara Selena berseru kala melihat Oliver berenang. Tentu putranya itu tidak berenang sendiri. Oliver berenang bersama dengan Samuel. Selena yakin pasti Oliver memaksa Samuel untuk berenang. Pasalnya sejak kemarin memang Oliver merengek ingin berenang. Bukan tidak boleh tapi kondisi Oliver kemarin masih belum sepenuhnya membaik. Itu kenapa Selena melarang putranya berenang. “Mama, aku sudah sehat.” Oliver menjawab ucapan Selena kala bocah laki-laki itu muncul di permukaan bersama dengan Samuel. Tampak wajah Oliver begitu sumiringah bahagia. Sedangkan Selena hanya bisa menghela napas panjang. Saat ini, kondisi Oliver memang sudah membaik. Tapi Selena tak menyangka baru saja Oliver membaik; Samuel sudah menuruti keinginan Oliver. Jika seperti ini Selena bisa apa? “Mama, ayo berenang bersamaku dan Papa,” ajak Oliver dengan nada paksa bercampur dengan rengekan. “Tidak, Sayang. Mama sudah mandi. Kau saja b
“Mama? Hari ini Mama ingin pergi? Pergi ke mana, Ma?”Oliver bertanya seraya menatap Selena yang sudah rapi dan cantik dengan gaun berwarna berwarna navy dengan model one off shoulder. Bocah laki-laki itu sedikit memiringkan kepalanya, menatap sang ibu dengan tatapan begitu polos. “Mama ingin bertemu dengan teman Mama.”Selena mengalihkan pandangannya pada Oliver. Lantas wanita itu membelai pipi bulat Oliver dengan lembut seraya memberikan kecupan di pipi putrnya itu. Oliver mengerjapkan matanya beberapa kali. “Mama ingin bertemu dengan teman Mama? Siapa, Ma?” Selena terdiam beberapa saat mendengar pertanyaan Oliver. Ingin sekali Selena mengatakan pada Oliver kalau dirinya pergi bertemu dengan Dean. Tapi Selena takut kalau Oliver mengadukan pada Samuel dirinya akan pergi bersama dengan Dean. Tunggu … kenapa dia takut? Samuel tak memiliki hubungan apa pun dengannya. Dia berhak pergi dengan siapa pun! Namun, yang menjadi masalah adalah Samuel sering kehilangan kewarasannya. Pria it
“Bagaimana keadaan Oliver? Dia sudah membaik kan?” Suara Dean lebih dulu mengajak Selena memulai percakapan. Kini Dean dan Selena tengah menikmati makan bersama di salah satu restoran di Brooklyn. Harusnya Dean bertemu dengan Selena malam hari nanti. Tetapi Dean mempercepat pertemuannya dengan Selena di sore hari. Pria itu tak ingin menunda-nunda bertemu dengan Selena. Dan beruntung Selena bisa datang meski pertemuan lebih cepat dari yang mereka telah jadwalkan. “Baik, Dean. Oliver sekarang sudah sehat. Putraku itu kuat.” Selena menjawab ucapan Dean seraya mengambil orange juice yang ada di hadapannya dan meminumnya perlahan. Tampak Dean tersenyum samar mendengar apa yang diucapkan oleh Selena. “Oliver anak yang kuat dan cerdas,” jawab Dean hangat. “Ngomong-ngomong, Selena. Kapan kau akan pulang ke London? Apa kau masih lama di sini?” tanyanya ingin tahu. Selena terdiam beberapa saat. Dia sendiri tidak tahu bagaimana harus menjawab. Pasalnya Samuel mana mungkin membiarkannya pula
Paris, Perancis. Suara lenguhan memenuhi kamar hotel megah itu. Ranjang luas itu menjadi tempat di mana dua insan telah melakukan pergulatan panas. Erangan yang tak henti-henti begitu merdu di telinga keduanya. Lagi dan lagi tak pernah mereka bosan melakukan pergulatan panas di atas ranjang. Letupan gairah dan hasrat membara telah tergulung menjadi satu di sana meluapkan api candu yang tak pernah padam. Hingga ketika telah mencapai puncak, semburan lahar panas memasuki rahim sang wanita. Napas sang wanita terengah-engah. Tubuhnya terkulai lemah. Pagi hari mendapatkan serangan membuatnya tak memiliki energy untuk beranjak dari tempat tidur. Bulan madu singkat terisikan dengan indahnya percintaan dua insan itu. Tubuh mereka saling berdamba akan sentuhan satu sama lain. Tak ada satu malam pun yang terlewatkan untuk melakukan pergulatan panas. Mereka melebur menjadi satu, seolah tak bisa terpisahkan. “Rava, besok kita harus libur. Kau membuatku tidak bisa jalan. Kau ini bagaimana kena
“Wah, kalian sudah datang! Ayo masuk.” Stella—istri Sean menyambut kedatangan Selena, Samuel, Oliver, Brianna, Dean, dan juga Joice. Senyuman di wajah Stella begitu indah dan penuh kehangatan. “Maaf kami lama.” Selena memeluk Stella, bergantian dengan Brianna yang juga memeluk Selena. Pun Oliver dan Joice yang sudah turun dari gendongan ayah mereka, langsung memberikan pelukan pada Stella. Tentu Stella segera membalas pelukan Oliver dan Joice. “Tidak usah meminta maaf, Selena. Kalian datang tepat waktu,” jawab Stella lembut. Selena tersenyum samar. “Dad dan Mom ada di rumah, kan?” tanyanya. “Dad dan Mom lagi di jalan arah pulang. Dad dan Mom baru berbaikan. Jadi jangan heran kalau kau lihat Mom masih bersikap dingin pada Dad,” ujar Stella mengingatkan. “Ah, Mom masih cemburu pada wanita yang mendekati Dad?” tanya Selena menahan geli di senyumannya. Stella mendesah panjang. “Iya, padahal Dad tidak pernah merespon wanita itu. Ini semua ulah Dominic. Aku dengar Mom dibujuk Dad samp
Selena menatap deretan koleksi-koleksi dress indah miliknya, namun entah kenapa Selena merasa dress-dress yang ada di hadapannya sudah tak lagi indah jika dipakainya. Padahal tubuhnya pun belum terlalu gemuk tapi Selena merasa bandannya seperti badut. Sesaat, Selena manatap cermin, wajahnya telah dirias make-up tipis. Memakai lipstick pun Selena sangat malas. Hanya lip balm yang dia pakai demi menjaga kesehatan bibir. Kehamilan kedua ini lebih membuat Selena malas berias. Dulu pun ketika hamil Oliver, dirinya malas berias tapi kehamilan kedua jauh membuat Selena malas. “Sayang, apa kau sudah siap?” Samuel melangkah mendekat pada Selena yang berada di walk-in closet. Tampak kening Samuel mengerut kala melihat sang istri belum mengganti pakaian. Selena masih memakai gaun sederhana khusus yang biasa dipakai di rumah. “Sayang, aku bingung harus pakai baju apa.” Selena langsung membenamkan wajahnya di dada bidang Samuel. “Sepertinya dress-dress milikku sudah tidak cocok lagi dipakai a
Berita pernikahan Rava dan Juliet telah menyebar ke publik. Tak hanya berita pernikahan Rava dan Juliet saja tapi juga berita pernikahan Dean dan Brianna. Yang sempat menghebohkan publik adalah sebelumnya Juliet diberitakan akan menikah dengan Dean Osbert, tapi malah akhirnya Dean akan menikah dengan Brianna Maxton. Itu yang membuat banyak wartawan mengajukan pertanyaan. Namun, baik pihak Dean atau Rava mengatakan bahwa mereka telah menemukan pasangan yang terbaik masing-masing. Persiapan pernikahan Rava dan Juliet sudah lebih dulu rampung. Pasalnya memang pernikahan Rava dan Juliet lebih dulu dari pernikahan Dean dan Brianna. Tentu Rava tak bisa menunda-nunda pernikahannya dengan Juliet karena kondisi Juliet yang sudah hamil muda. Beberapa hari lalu, Neva Telisa—ibu Juliet sudah meminta maaf pada keluarga besar Maxton, karena telah mengamuk bahkan sampai melukai banyak penjaga di kediaman keluarga Maxton. Setelah Rava mendatangi langsung keluarga Juliet, menjelaskan apa yang sebena
Juliet menatap langit malam yang dihiasi bulan dan bintang. Wanita itu berdiri di taman dekat apartemennya. Cuaca malam itu begitu cerah. Langit malam pun terang tak mendung. Itu yang membuat Juliet ingin menikmati suasana malam. Sesekali Juliet menarik napas dalam dan mengembuskan perlahan. Memejamkan mata kala embusan angin pun menerpa kulitnya. Keheningan menyelimuti tempat di mana Juliet berada. Tentu Juliet tak hanya sendiri. Di samping Juliet ada Rava yang sedari tadi setia menemaninya. Tak banyak percakapan yang berlangsung, Juliet masih diam seribu bahasa. Sejak di mana Rava datang ke keluarga Maxton, Juliet masih belum berkomentar apa pun. Ya, semua yang terjadi memang begitu mengejutkan. Lebih tepatnya Juliet tak menyangka akan berada di titik sekarang ini. Hubungan yang benar-benar sangatlah rumit. “Kau tidak mau bicara apa pun padaku, Juliet?” tanya Rava seraya menatap Juliet yang sedari tadi menatap langit luas. “Aku bingung, Rava,” ucap Juliet pelan. Rava meraih kedu
“Jangan salahkan Juliet. Aku yang bersalah. Anak yang di kandung Juliet adalah anakku.” Suara berat seorang pria memasuki ruangan di mana keluarga Maxton berkumpul bersama dengan Dean dan Juliet. Ya, suara berat itu sukses membuat semua orang yang ada di sana mengalihkan pandangan mereka pada sumber suara itu. Seketika semua orang di sana terkejut melihat sosok pria yang tak asing di mata mereka. Pria tampan berpakaian santai. Kaus hitam membalut tubuh kekarnya. Wajah yang nampak sebagai pria penggoda para wanita. Aura ketegasan namun terselimuti akan sifat yang santai dan tenang. Bibir semua orang di sana menganga lebar akibat keterkejutan. Hening. Ruang keluarga megah itu hening belum ada suara sedikit pun. Mereka semua masih diam membeku di tempat. Semua orang itu mengenal sosok pria yang datang, tapi tidak dengan Juliet. Hanya Juliet yang sama sekali tak mengenal wajah pria itu. Namun, suara pria itu nampak tak asing di telinga Juliet. “Rava? Kau—” Samuel nyaris kehilangan kat
Keesokan hari, Brianna dan Dean langsung bersiap-siap untuk meninggalkan apartemen. Setelah tadi malam mereka menghabiskan malam bersama, sekarang sudah waktunya mereka untuk menyelesaikan kembali masalah yang menghampiri mereka. Baik Dean ataupun Brianna memang tak ingin menunda-nunda. Terlebih masalah hadir sampai melibatkan pihak keluarga. “Brianna, aku akan mengantarmu pulang. Setelah mengantarmu, aku akan ke apartemen Juliet,” ucap Dean yang ingin mengantarkan Brianna pulang ke rumah. “Tidak usah, Dean. Aku pulang sendiri saja. Aku kan bawa mobil.” Brianna membelai rahang Dean lembut seraya memberikan kecupan di sana. “Aku mengantarmu saja. Aku tidak tenang kau pulang sendiri,” balas Dean yang tak suka jika Brianna pulang sendiri. Brianna menghela napas dalam. Wanita itu melingkarkan tangannya ke leher Dean, merapatkan tubuhnya ke tubuh pria itu. “Dean, kalau kau mengantarku pulang masalah akan semakin rumit. Kakakku akan mencercamu dengan banyaknya pertanyaan. Aku tidak mau
Malam semakin larut. Udara dingin menyelinap masuk ke dalam sela-sela jendela. Dua insan terbaring di ranjang dengan posisi saling berpelukan seakan tak ingin terlepas. Tampak Dean yang sudah lebih dulu bangun, tak lepas menatap Brianna yang terlelap dalam pelukannya. Wajah cantik Brianna seakan memanjakan mata Dean, hingga membuatnya tak bisa berpaling sedikit pun dari wanita itu. Tak bisa memungkiri, Brianna memiliki pesona yang istimewa. Sejak awal Dean melihat Brianna, hatinya meraskan sesuatu yang mengusik hati dan pikirannya. Tak pernah Dean kira bahwa Brianna adalah pemilik kalung yang selama ini dia cari. Dunia benar-benar sempit. Andai Dean tahu lebih awal, maka Dean tak akan pernah membiarkan Brianna menikahi seorang pria berengsek. Dean membelai pipi Brianna. Lantas, pria itu menarik dagu Brianna, mencium dan melumat lembut bibir Brianna. Manis, sangat manis. Bibir Brianna layaknya nikotin yang membuat Dean kecanduan. Dean seakan tak bisa berhenti mencium Brianna. Segala
“Shit!” Dean mengumpat kasar kala melihat truck menghadang mobilnya, hingga membuatnya tak bisa mencari sela. Sialnya, mobil Brianna sudah melaju lebih dulu dari truck yang menghadang Dean, dan membuat Dean kehilangan jejak keberadaan Selena. Andai saja tak ada truck yang menghalangi sudah pasti Dean bisa mengejar mobil Brianna. Dean menekan klakson mobilnya agar truck di depan memberikan jalan. Dan ketika truck di depannya memberikan sedikit sela, Dean menginjak pedal gas kuat-kuat—melajukan kecepatan penuh menyalip mobil-mobil yang menghalanginya. Dean tak peduli melanggar aturan lalu lintas sekalipun. Yang Dean pikirkan saat ini hanyalah Brianna. Dean tak mau menunda-nunda. Dia harus menjelaskan sekarang pada Brianna agar Brianna tidak salah paham. Dean mengendarkan pandangannya ke sekitar, mobil Brianna benar-benar sudah tidak ada. Tanpa menunggu lama, Dean langsung mengambil ponselnya dan berusaha menghubungi nomor Brianna. Namun, sayangnya nomor ponsel Brianna tidaklah aktif.