Berita kehamilan Selena telah tersebar di seluruh keluarga Geovan dan keluarga Maxton. Awalnya ada beberapa perdebatan di keluarga Geovan tentang kehamilan Selena yang hamil di luar pernikahan. Terutama para tetua seperti kakek dan nenek Selena yang berada di Kanada. Semua mengomentari Selena yang hamil di luar pernikahan. Bahkan tak sedikit yang marah. Namun tentu William yang maju dikala semua keluarga besar ingin menyudutkan Selena. Baik William ataupun Samuel selalu membela Selena dikala semua orang ingin menyudutkan Selena. Dan beruntung, para tetua di keluarga Geovan pun akhirnya bisa luluh tak mempermasalahkan tentang kehamilan Selena. Semua sudah terjadi. Terpenting saat ini Samuel dan Selena sudah resmi menikah. Itu yang akhirnya amarah keluarga besar Geovan surut, dan tak lagi mempermasalahkan tentang Selena yang hamil di luar nikah. Aturan kuno memang begitu melekat di keluarga Geovan. Akan tetapi bukan berarti tak bisa dilanggar. Asalkan bisa bertanggung jawab atas kesalaha
William memberikan tatapan dingin dan tajam pada Dominic yang berdiri di hadapannya. Tatapan bak laser yang siap menembak pada putra bungsunya yang terkenal hobby membantah. Kilat mata William penuh tuntutan seperti tengah mengadili. Untungnya Marsha berada di samping William. Itu yang membuat amarah William sedikit menyurut. “Kau dari man saja, Dominic!” seru William dengan nada menahan amarah. “Banyak pekerjaan yang harus aku kerjakan, Dad,” jawab Dominic datar dengan raut wajah tanpa ekspresi. “Pekerjaan macam apa yang kau kerjakan sampai-sampai sulit dicari!” William semakin menatap tajam putra bungsunya itu. Dominic mengembuskan napas kasar. Sejak dulu Dominic paling malas untuk berdebat. Terlebih memperdebatkan keberadaannya. Dominic tak suka diatur. Pun Dominic tidak suka dicari. Pria itu lebih suka kebebasan. Itu kenapa Dominic tak pernah menetap tinggal disatu kota saja. Dominic selalu berpindah-pindah kota jika merasa jenuh di kota tersebut. “Aku banyak mengerjaka
“Nyonya Selena, kenapa Anda di sini? Nanti Tuan Samuel marah kalau Anda banyak bergerak. Jika Anda membutuhkan sesuatu bilang saja pada saya, Nyonya.” Sang pelayan berujar pada Selena yang tengah berada di ruang dapur. Tampak pelayan itu begitu cemas. Pasalnya Samuel sudah berpesan pada sang pelayan, agar melayani Selena dengan baik. Pun Samuel berpesan pada pelayan untuk tidak membiarkan Selena melakukan banyak aktivitas. Hal itu yang membuat sang pelayan begitu cemas ketika Selena berada di dapur. Embusan napas panjang terdengar. Selena menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar ucapan sang pelayan. “Aku ini hamil, bukan sakit. Jangan berlebihan. Aku ke dapur karena ingin mengambil pudding buah. Dan aku memilih jalan sendiri bukan karena tidak mau meminta tolong padamu. Tapi aku bosan di kamar. Sudah berapa hari ini aku selalu di kamar. Aku bosan.” “Maaf, Nyonya. Saya hanya menjalankan perintah Tuan Samuel. Saya takut Tuan Samuel akan marah,” jawab sang pelayan sopan. Selena mendec
“Joice, Mommy sudah di jalan ingin menjemputmu. Kenapa kau tidak bilang dari tadi kalau kau ingin ke rumah Oliver?” “Mommy, maafkan aku. Tadi Grandma Marsha yang menjemput Oliver, Mommy. Grandma Marsha bilang sudah membuatkanku tiramisu cake untukku. Aku tidak mungkin menolak, Mommy. Cake buatan Grandma Marsha enak sekali, Mommy. Tidak ada yang bisa membuat tiramisu cake seperti buatan Grandma Marsha. Mommy jangan marah, ya? Aku nanti pulang tapi pulangnya besok ya, Mommy. Aku ingin menginap di rumah Oliver, Mommy.” Brianna mengembuskan napas panjang mendengar apa yang dikatakan oleh Joice dari seberang sana. Saat ini Brianna sedang di jalan ingin menjemput putri kecilnya itu. Tapi malah Brianna mendapatkan telepon dari putri kecilnya itu yang ingin menginap di rumah kediaman keluarga Geovan. Kondisi Selena yang belum sepenuhnya pulih membuat Selena masih tinggal di rumah orang tua kakak iparnya itu. Jadi tidak heran jika Joice ingin ke rumah Oliver. Ditambah Marsha—ibu Selena kerap
“Joice, apa kau tidak bisa makan pelan-pelan? Tidak ada yang meminta tiramisu cake-mu, Joice.” Oliver berucap menegur Joice yang makan tiramisu cake dengan begitu lahap. Padahal dia pun tak akan mungkin meminta tiramisu cake Joice. Sungguh, Oliver menggeleng-gelengkan kepalanya melihat Joice memakan tiramisu cake begitu lahap seperti orang yang tak diberikan makan. “Oliver, tiramisu cake buatan Grandma Marsha enak sekali. Aku akan sering datang ke sini agar Grandma Marsha membuatkan cake untukku,” ujar Joice riang dengan senyuman gembira di wajahnya. Oliver menghela napas dalam. “Kau datang hanya untuk menghabiskan tiramisu cake buatan Grandma Marsha. Lebih baik kau tidak usah datang. Menyusahkan saja.” “Ck! Oliver, kau itu menyebalkan sekali. Grandma Marsha saja sangat suka kalau aku datang,” cebik Joice kesal seraya mengunyah tiramisu cake itu. “Nanti kalau aku tidak datang-datang, kau pasti akan merindukanku.” Oliver mendengkus pelan. “Sudahlah lupakan. Sekarang aku ingin berta
Selena dan Stella tersenyum melihat menu hidangan makan malam yang dia buat sudah tertata rapi di atas meja makan. Mulai dari menu Indonesian food, western, dan Italian. Dalam kondisi tengah hamil muda seperti ini Selena tak mungkin sendiri memasak. Beruntung Stella sedang datang. Jadi Selena pun tidak merasakan kesulitan. Ditambah Stella pun pandai memasak. “Stella, apa nanti Kak Sean akan ke sini?” tanya Selena seraya menatap Stella. “Nanti Sean akan ke sini. Pulang dari kantor nanti Sean akan menjemput Shawn, Stanley, Steve, dan Savannah di rumah Jenniver,” jawab Stella memberitahu. “Ah, Jenniver masih ada di London? Aku pikir Jenniver sudah kembali ke Berlin.” “Tidak, Jenniver masih di London. Aku tidak tahu kapan dia kembali ke Berlin. Terakhir Jenniver bilang suaminya masih memiliki pekerjaan di London jadi dia belum bisa kembali ke Berlin.” Jenniver Eleazar adalah sepupu kandung Stella dari sisi ibu Stella. Stella memiliki darah Jerman-Indonesia. Dan beberapa bulan ini Jen
“Oliver, Joice, kalian nanti pulang sekolah dijemput sopir, ya?” Selena berujar dengan suara yang pelan dan lembut seraya menatap Oliver dan Joice dari kaca spion mobil. Ya, pagi ini Samuel mengantar Oliver dan Joice berangkat ke sekolah. Pun Selena ikut mengantar karena merasa jenuh di rumah. “Iya, Ma,” jawab Oliver patuh. “Iya, Bibi Cantik,” sambung Joice dengan senyuman di wajahnya. “Oh, ya, Joice. Nanti pulang sekolah apa kau ingin diantar pulang ke rumahmu?” tanya Selena lembut. “Tidak, Bibi cantik. Aku masih ingin dengan Oliver. Kasihan Oliver merindukanku, Bibi,” jawab Joice riang gembira. “Siapa yang merindukanmu, Joice?” Kening Oliver mengerut, menatap Joice dengan tatapan jengkel. Padahal Oliver tak pernah sekalipun bilang merindukan Joice tapi selalu saja Joice berbicara sembarangan. “Ck! Jangan berbohong, Oliver. Aku tahu kau merindukanku.” Joice memeluk lengan Oliver sambil menyandarkan kepalanya di lengan Oliver. Oliver mendengkus tak suka seraya memutar bola mata
“Samuel, apa hari ini jadwalmu sangat sibuk?” Selena bertanya seraya menatap Samuel yang tengah berkutat pada Macbook di tangannya. Ya, satu harian ini Selena menemani Samuel bekerja. Namun tentu Selena tak diperbolehkan melakukan banyak aktivitas. Selena hanya tiduran, menonton drama atau membaca majalah. “Tidak, sekitar satu jam lagi kita akan pulang. Aku tidak mungkin pulang malam saat membawamu, Selena,” jawab Samuel datar tanpa mengalihkan pandangannya. Tatapan Samuel sejak tadi fokus di layar Macbook-nya. Selena mendesah pelan. “Sayang, kalau memang kau sibuk, aku bisa pulang sendiri. Aku tidak akan mengganggumu. Nanti aku akan pulang bersama dengan sopir.” Mendengar ucapan Selena membuat Samuel menuntup Macbook-nya dan menatap sang istri. “Kau akan pulang bersama denganku. Aku tidak mungkin membiarkanmu pulang bersama dengan sopir.” Selena tersenyum mendengar ucapan Samuel. Sejak Selena hamil memang Samuel mudah sekali mencemaskannya. Walau Selena menyukai sifat berlebihan
Beberapa bulan kemudian … Zurich, Swiss. Langit begitu biru dan indah membaur dengan perkebunan buah anggur yang ada di Swiss. Cuaca pagi di musim semi sangatlah indah. Angin yang berembus ke kulit begitu menyejukan. Tampak tatapan Selena sedari tadi menatap Oliver yang tengah bersama dengan Javier memetik buah anggur di perkebunan. Meski ada empat pengawal yang menemani Oliver dan Javier tetap saja Selena tak bisa melepaskan tatapannya dari kedua anak laki-lakinya itu. “Sayang, Oliver bisa menjaga Javier dengan baik. Kau tenang saja.” Samuel membelai pipi Selena dengan lembut. Selena menghela napas dalam. Tatapan Selena mulai teralih ke dua bayi perempuan kembarnya yang tertidur lelap di stroller. Senyuman di wajah Selena pun terlukis hangat melihat Stacy dan Sierra tertidur pulas. Sekarang usia Stacy dan Sierra sudah 7 bulan. Tubuh kedua bayi perempuannya sangat gemuk dan sehat. Stacy yang lahir lebih dulu memiliki rambut berwarna cokelat tebal dan mata biru. Sedangkan Sierra—s
Miller International School, London. “Aw.” Seorang gadis kecil cantik terjatuh akibat bermain lari-larian dengan teman-temannya. Tampak lutut gadis kecil itu terluka dan mengeluarkan darah. Dengan pelan, gadis kecil itu berusaha untuk bangun tapi tubuhnya malah tak seimbang dan nyaris jatuh. Tepat dikala tubuh gadis kecil itu nyaris terjatuh, sosok bocah laki-laki yang memiliki postur tubuh tinggi menangkap gadis kecil itu. “Terima kasih,” ucap gadis kecil itu melangkah menjauh dari laki-laki yang membantunya. Namun, tiba-tiba manik mata gadis kecil itu melebar terkejut kala menatap sosok laki-laki yang telah membantunya itu. “Oliver? Kau di sini?” Mata Nicole mengerjap beberapa kali menatap Oliver. Oliver menarik tangan Nicole, mendudukan tubuh Nicole di kursi, lalu bocah laki-laki itu mengambil kotak obat yang letaknya berada di ruang kesehatan. Beruntung ruang kesehatan tidak terlalu jauh dari posisi di mana Oliver dan Nicole berada. Saat kotak obat sudah ada di tangan Oliver,
“Bye, Sayang. Jaga diri kalian. Jangan membuat Grandpa William dan Grandma Marsha kerepotan. Ingat kalian harus patuh pada Grandpa dan Grandma.” Selena berseru pada Oliver dan Javier yang masuk ke dalam mobil. Terlihat Oliver dan Javier kompak mengangguk patuh merespon ucapan ibu mereka. Ya, hari ini Oliver dan Javier harus pergi ke rumah William dan Marsha. Menjelang Selena melahirkan, William dan Marsha memang berada di London. Sedangkan kakak dan adik Selena lain akan tiba di London dalam waktu beberapa hari lagi. Mengingat kakak dan adik Selena tak tinggal di negara yang sama, membuat Selena tak terlalu sering bertemu dengan kakak dan adiknya. Meski demikian, komunikasi selalu terjalin dengan sangat erat. “Bye, Papa, Mama.” Oliver dan Javier melambaikan tangan mereka kompak pada Selena dan Samuel. Pun Selena dan Samuel membalas lambaian tangan anak-anak mereka. Dan ketika mobil yang membawa Oliver dan Javier sudah pergi, Selena segera masuk ke dalam rumah tanpa mengatakan pada S
“Oh, My God! Raven, Rosalie, kenapa kalian merusak make up Mommy? Astaga! Ini make up kesayangan Mommy, Sayang.” Juliet rasanya ingin menjerit melihat semua perlengkapan make up miliknya hancur berantakan. Mulai dari koleksi lipstick, eyeshadow, foundation, dan masih banyak lainnya. Semua sudah berantakan di lantai kamar. Baru beberapa detik Juliet ke kamar mandi karena mengambil ponselnya yang tertinggal di wastafel, tapi dalam hitungan detik juga kamar sudah seperti kapal pecah. Memang kedua anaknya itu sudah sangat aktif. Sore ini, Juliet sengaja tak meminta pengasuh untuk masuk ke dalam kamarnya, pasalnya Juliet ingin mengajak kedua anaknya itu bermain sambil menunggu sang suami pulang dari kantor. Tapi alih-alih niatnya terealisasi malah kekacauan sudah lebih dulu tiba menghampiri dirinya. Sungguh, Juliet bisa-bisanya lupa kalau kedua anaknya sangatlah aktif. Alhasil koleksi make up miliknya hancur lebur. Bedak saja sudah berceceran di lantai. Terutama lipstick yang tak lagi ber
“Mommy, aku pulang.” Joice melangkah masuk ke dalam rumah dengan raut wajah yang muram. Gadis kecil cantik itu nampak lesu seperti tengah memikirkan hal yang mengusik pikirannya. Joice meletakan tas sekolah ke sofa, dan duduk di sofa itu. Jika biasanya Joice selalu riang gembira, kali ini gadis kecil itu tak seceria biasanya. “Sayang? Kau kenapa?” Brianna yang baru saja selesai menyiram tanaman, dikejutkan dengan putri kecilnya yang pulang dari sekolah dalam keadaan wajah yang muram. Padahal setiap hari, Joice selalu pulang sekolah dalam keadaan wajah yang riang gembira. “Tidak apa-apa, Mom. Aku hanya lelah saja,” jawab Joice pelan. Brianna menghela napas dalam. Brianna yakin pasti ada yang tidak beres dengan putri kecinya itu. “Katakan pada Mommy ada apa, Nak?” tanyanya seraya duduk di samping Joice. “Mommy aku ingin bertanya padamu.” “Kau ingin tanya apa, Sayang?” “Hm, apa aku ini tidak cantik, Mom?” Joice menyandarkan kepalanya di lengan Brianna. Bibir Joice mengerut, menunj
Tiga tahun berlalu … Miller International School, London. “Oliver Maxton! Pulang sekarang! Tidak ada main basket!” Selena berkacak pinggang mengomel pada putra sulungnya yang berusia 8 tahun. Tampak mata Selena menatap dingin dan tegas putranya itu. Aura kemarahan begitu terlihat jelas di paras cantik wanita itu. Dengan keadaan perut yang membuncit, Selena mengomeli putranya di tengah jalan. Ya, saat ini Selena tengah mengandung untuk ketiga kalinya. Ulah Samuel membuat Selena hamil lagi. Hanya saja kali ini berbeda. Kehamilan ketiga ini, Selena hamil bayi kembar. Sungguh, Selena berjanji setelah ini dia akan steril tak ingin lagi memiliki anak. Tubuhnya baru saja langsing tapi sudah harus bengkak lagi. Padahal niat Selena adalah memiliki dua anak. Tapi ternyata malah kecolongan. “Ck! Ma, guru sudah menghukumku time out. Mama kenapa menghukumku juga? Nanti aku akan menghubungi Grandpa William. Aku akan meminta Grandpa William memecat guru yang sudah berani menghukumku,” tukas Oli
Beberapa bulan kemudian … Fistral Beach, Newquay, UK. Deburan ombak menyapu kaki telanjang Juliet. Angin berembus menerpa kulit Juliet membuatnya Juliet memejamkan matanya sebentar, menikmati keindahan musim panas. Tampak Rava begitu setia mengikuti langkah kaki Juliet. Sesekali Juliet menatap banyak anak muda yang siap-siap untuk berselancar. Fistral Beach memang salah satu pantai di Inggris yang menjadi tempat favorite untuk berselancar. Kandungan Juliet kini telah memasuki minggu ke dua puluh tiga. Perut Juliet sudah membuncit. Tubuhnya pun mulai mengalami kenaikan berat badan, namun tak terlalu parah. Pasalnya selama hamil, Juliet tak terlalu nafsu makan. Meski sudah dipaksa oleh Rava, tapi tetap saja Juliet menolak. Trimester pertama, Juliet mengalami mual hebat sampai tak bisa makan apa pun. Rava sampai harus meminta dokter mengontrol Juliet setiap hari karena Juliet tak bisa makan. Dan beruntung sekarang kondisi Juliet sudah jauh lebih baik. Ngomong-ngomong, anak yang ad
Seoul, South Korea. Angin berembus di kota Seoul begitu menyejukan. Musim semi adalah salah satu musim terbaik di Seoul. Bunga Sakura banyak tumbuh dengan indah. Salah satu kota di Benua Asia yang menyajikan keindahan dan budaya setempat yang kental. Kota ini adalah kota yang dipilih oleh Dean dan Brianna menikmati bulan madu indah mereka. Selama di Seoul, Dean dan Brianna selalu mengabadikan moment-moment indah mereka. Moment di mana tak akan pernah mereka lupakan. Dua insan itu akhirnya telah menjadi satu setelah banyaknya rintangan. Meski tak mudah, tapi Dean dan Brianna membuktikan mereka mampu bersatu. “Sayang, ayo bangun. Kenapa jam segini kau belum bangun juga?” Brianna menggoyangkan bahu Dean, meminta suaminya itu untuk bangun. Waktu menunjukan pukul 10 pagi. Brianna ingin segera jalan-jalan menikmati indahnya kota Seoul. Meski lelah karena selalu olahraga malam, tapi Brianna tak mau menyia-nyiakan moment bulan madunya dengan sang suami tercinta. Dean menggeliat mendengar
Sebuah hotel mewah di London telah dipadati oleh wartawan yang lebih dulu hadir. Dekorasi ballroom hotel itu tampak memukau. Hiasan mawar dipadukan bunga lily dan batu Swarovski begitu indah menawan. Red carpet yang terpasang di lantai seakan memberikan sentuhan mewah. Ballroom hotel megah ini telah disulap layaknya tempat di mana pangeran dan putri akan menikah. Nuansa tema kental kerajaan melekat di ballroom hotel megah itu. Ya, hari ini adalah hari yang telah dinanti-nantikan oleh Dean dan Brianna. Hari di mana mereka akan segera melangsungkan pernikahan. Setelah banyaknya rintangan yang mereka hadapi akhirnya Dean dan Brianna dapat melewati badai masalah yang hadir. Takdir memang memiliki caranya sendiri menunjukan siapa belahan jiwa kita yang sebenarnya. Harusnya Dean menikah dengan Juliet, tapi ternyata takdir Dean adalah Brianna. Sedangkan Juliet menikah dengan Rava. Pun dulu Samuel tak menyetujui hubungan Dean dan Brianna. Samuel adalah satu-satunya orang yang menentang hubu