William memberikan tatapan dingin dan tajam pada Dominic yang berdiri di hadapannya. Tatapan bak laser yang siap menembak pada putra bungsunya yang terkenal hobby membantah. Kilat mata William penuh tuntutan seperti tengah mengadili. Untungnya Marsha berada di samping William. Itu yang membuat amarah William sedikit menyurut. “Kau dari man saja, Dominic!” seru William dengan nada menahan amarah. “Banyak pekerjaan yang harus aku kerjakan, Dad,” jawab Dominic datar dengan raut wajah tanpa ekspresi. “Pekerjaan macam apa yang kau kerjakan sampai-sampai sulit dicari!” William semakin menatap tajam putra bungsunya itu. Dominic mengembuskan napas kasar. Sejak dulu Dominic paling malas untuk berdebat. Terlebih memperdebatkan keberadaannya. Dominic tak suka diatur. Pun Dominic tidak suka dicari. Pria itu lebih suka kebebasan. Itu kenapa Dominic tak pernah menetap tinggal disatu kota saja. Dominic selalu berpindah-pindah kota jika merasa jenuh di kota tersebut. “Aku banyak mengerjaka
“Nyonya Selena, kenapa Anda di sini? Nanti Tuan Samuel marah kalau Anda banyak bergerak. Jika Anda membutuhkan sesuatu bilang saja pada saya, Nyonya.” Sang pelayan berujar pada Selena yang tengah berada di ruang dapur. Tampak pelayan itu begitu cemas. Pasalnya Samuel sudah berpesan pada sang pelayan, agar melayani Selena dengan baik. Pun Samuel berpesan pada pelayan untuk tidak membiarkan Selena melakukan banyak aktivitas. Hal itu yang membuat sang pelayan begitu cemas ketika Selena berada di dapur. Embusan napas panjang terdengar. Selena menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar ucapan sang pelayan. “Aku ini hamil, bukan sakit. Jangan berlebihan. Aku ke dapur karena ingin mengambil pudding buah. Dan aku memilih jalan sendiri bukan karena tidak mau meminta tolong padamu. Tapi aku bosan di kamar. Sudah berapa hari ini aku selalu di kamar. Aku bosan.” “Maaf, Nyonya. Saya hanya menjalankan perintah Tuan Samuel. Saya takut Tuan Samuel akan marah,” jawab sang pelayan sopan. Selena mendec
“Joice, Mommy sudah di jalan ingin menjemputmu. Kenapa kau tidak bilang dari tadi kalau kau ingin ke rumah Oliver?” “Mommy, maafkan aku. Tadi Grandma Marsha yang menjemput Oliver, Mommy. Grandma Marsha bilang sudah membuatkanku tiramisu cake untukku. Aku tidak mungkin menolak, Mommy. Cake buatan Grandma Marsha enak sekali, Mommy. Tidak ada yang bisa membuat tiramisu cake seperti buatan Grandma Marsha. Mommy jangan marah, ya? Aku nanti pulang tapi pulangnya besok ya, Mommy. Aku ingin menginap di rumah Oliver, Mommy.” Brianna mengembuskan napas panjang mendengar apa yang dikatakan oleh Joice dari seberang sana. Saat ini Brianna sedang di jalan ingin menjemput putri kecilnya itu. Tapi malah Brianna mendapatkan telepon dari putri kecilnya itu yang ingin menginap di rumah kediaman keluarga Geovan. Kondisi Selena yang belum sepenuhnya pulih membuat Selena masih tinggal di rumah orang tua kakak iparnya itu. Jadi tidak heran jika Joice ingin ke rumah Oliver. Ditambah Marsha—ibu Selena kerap
“Joice, apa kau tidak bisa makan pelan-pelan? Tidak ada yang meminta tiramisu cake-mu, Joice.” Oliver berucap menegur Joice yang makan tiramisu cake dengan begitu lahap. Padahal dia pun tak akan mungkin meminta tiramisu cake Joice. Sungguh, Oliver menggeleng-gelengkan kepalanya melihat Joice memakan tiramisu cake begitu lahap seperti orang yang tak diberikan makan. “Oliver, tiramisu cake buatan Grandma Marsha enak sekali. Aku akan sering datang ke sini agar Grandma Marsha membuatkan cake untukku,” ujar Joice riang dengan senyuman gembira di wajahnya. Oliver menghela napas dalam. “Kau datang hanya untuk menghabiskan tiramisu cake buatan Grandma Marsha. Lebih baik kau tidak usah datang. Menyusahkan saja.” “Ck! Oliver, kau itu menyebalkan sekali. Grandma Marsha saja sangat suka kalau aku datang,” cebik Joice kesal seraya mengunyah tiramisu cake itu. “Nanti kalau aku tidak datang-datang, kau pasti akan merindukanku.” Oliver mendengkus pelan. “Sudahlah lupakan. Sekarang aku ingin berta
Selena dan Stella tersenyum melihat menu hidangan makan malam yang dia buat sudah tertata rapi di atas meja makan. Mulai dari menu Indonesian food, western, dan Italian. Dalam kondisi tengah hamil muda seperti ini Selena tak mungkin sendiri memasak. Beruntung Stella sedang datang. Jadi Selena pun tidak merasakan kesulitan. Ditambah Stella pun pandai memasak. “Stella, apa nanti Kak Sean akan ke sini?” tanya Selena seraya menatap Stella. “Nanti Sean akan ke sini. Pulang dari kantor nanti Sean akan menjemput Shawn, Stanley, Steve, dan Savannah di rumah Jenniver,” jawab Stella memberitahu. “Ah, Jenniver masih ada di London? Aku pikir Jenniver sudah kembali ke Berlin.” “Tidak, Jenniver masih di London. Aku tidak tahu kapan dia kembali ke Berlin. Terakhir Jenniver bilang suaminya masih memiliki pekerjaan di London jadi dia belum bisa kembali ke Berlin.” Jenniver Eleazar adalah sepupu kandung Stella dari sisi ibu Stella. Stella memiliki darah Jerman-Indonesia. Dan beberapa bulan ini Jen
“Oliver, Joice, kalian nanti pulang sekolah dijemput sopir, ya?” Selena berujar dengan suara yang pelan dan lembut seraya menatap Oliver dan Joice dari kaca spion mobil. Ya, pagi ini Samuel mengantar Oliver dan Joice berangkat ke sekolah. Pun Selena ikut mengantar karena merasa jenuh di rumah. “Iya, Ma,” jawab Oliver patuh. “Iya, Bibi Cantik,” sambung Joice dengan senyuman di wajahnya. “Oh, ya, Joice. Nanti pulang sekolah apa kau ingin diantar pulang ke rumahmu?” tanya Selena lembut. “Tidak, Bibi cantik. Aku masih ingin dengan Oliver. Kasihan Oliver merindukanku, Bibi,” jawab Joice riang gembira. “Siapa yang merindukanmu, Joice?” Kening Oliver mengerut, menatap Joice dengan tatapan jengkel. Padahal Oliver tak pernah sekalipun bilang merindukan Joice tapi selalu saja Joice berbicara sembarangan. “Ck! Jangan berbohong, Oliver. Aku tahu kau merindukanku.” Joice memeluk lengan Oliver sambil menyandarkan kepalanya di lengan Oliver. Oliver mendengkus tak suka seraya memutar bola mata
“Samuel, apa hari ini jadwalmu sangat sibuk?” Selena bertanya seraya menatap Samuel yang tengah berkutat pada Macbook di tangannya. Ya, satu harian ini Selena menemani Samuel bekerja. Namun tentu Selena tak diperbolehkan melakukan banyak aktivitas. Selena hanya tiduran, menonton drama atau membaca majalah. “Tidak, sekitar satu jam lagi kita akan pulang. Aku tidak mungkin pulang malam saat membawamu, Selena,” jawab Samuel datar tanpa mengalihkan pandangannya. Tatapan Samuel sejak tadi fokus di layar Macbook-nya. Selena mendesah pelan. “Sayang, kalau memang kau sibuk, aku bisa pulang sendiri. Aku tidak akan mengganggumu. Nanti aku akan pulang bersama dengan sopir.” Mendengar ucapan Selena membuat Samuel menuntup Macbook-nya dan menatap sang istri. “Kau akan pulang bersama denganku. Aku tidak mungkin membiarkanmu pulang bersama dengan sopir.” Selena tersenyum mendengar ucapan Samuel. Sejak Selena hamil memang Samuel mudah sekali mencemaskannya. Walau Selena menyukai sifat berlebihan
“Nona Joice tertabrak mobil. Saat ini Nona Joice berada di rumah sakit. Kondisi Nona Joice terakhir dalam keadaan kritis.” Mata Samuel, Selena, dan Brianna melebar mendengar apa yang diucapkan oleh Vian. Seisi ruangan itu hening akibat keterkejutan semua orang hingga tak mampu berkata. Selena yang tadi duduk di pangkuan Samuel langsung bangkit berdiri dalam keadaan kaki layaknya jelly. Terlebih Brianna yang sudah menatap nanar Vian. “Apa maksudmu, Vian?!” Samuel menatap dingin dan tajam Vian. Pria itu seakan meyakinkan kalau apa yang dia dengar dari Vian adalah sebuah kesalahan laporan. “Vian, tolong jelaskan,” ucap Selena dengan raut wajah yang jelas menunjukan cemas dan khawatir. “Vian, katakan padaku kalau semua itu tidak benar.” Bulir air mata Brianna sudah jatuh membasahi pipinya. Jantung Brianna berdegup kencang bergemuruh ketakutan. “Tuan Samuel, Nyonya Selena, Nyonya Brianna, apa yang saya katakan memang benar. Nona Joice berada di rumah sakit. Nona Joice tertabrak mobi
Berita pernikahan Rava dan Juliet telah menyebar ke publik. Tak hanya berita pernikahan Rava dan Juliet saja tapi juga berita pernikahan Dean dan Brianna. Yang sempat menghebohkan publik adalah sebelumnya Juliet diberitakan akan menikah dengan Dean Osbert, tapi malah akhirnya Dean akan menikah dengan Brianna Maxton. Itu yang membuat banyak wartawan mengajukan pertanyaan. Namun, baik pihak Dean atau Rava mengatakan bahwa mereka telah menemukan pasangan yang terbaik masing-masing. Persiapan pernikahan Rava dan Juliet sudah lebih dulu rampung. Pasalnya memang pernikahan Rava dan Juliet lebih dulu dari pernikahan Dean dan Brianna. Tentu Rava tak bisa menunda-nunda pernikahannya dengan Juliet karena kondisi Juliet yang sudah hamil muda. Beberapa hari lalu, Neva Telisa—ibu Juliet sudah meminta maaf pada keluarga besar Maxton, karena telah mengamuk bahkan sampai melukai banyak penjaga di kediaman keluarga Maxton. Setelah Rava mendatangi langsung keluarga Juliet, menjelaskan apa yang sebena
Juliet menatap langit malam yang dihiasi bulan dan bintang. Wanita itu berdiri di taman dekat apartemennya. Cuaca malam itu begitu cerah. Langit malam pun terang tak mendung. Itu yang membuat Juliet ingin menikmati suasana malam. Sesekali Juliet menarik napas dalam dan mengembuskan perlahan. Memejamkan mata kala embusan angin pun menerpa kulitnya. Keheningan menyelimuti tempat di mana Juliet berada. Tentu Juliet tak hanya sendiri. Di samping Juliet ada Rava yang sedari tadi setia menemaninya. Tak banyak percakapan yang berlangsung, Juliet masih diam seribu bahasa. Sejak di mana Rava datang ke keluarga Maxton, Juliet masih belum berkomentar apa pun. Ya, semua yang terjadi memang begitu mengejutkan. Lebih tepatnya Juliet tak menyangka akan berada di titik sekarang ini. Hubungan yang benar-benar sangatlah rumit. “Kau tidak mau bicara apa pun padaku, Juliet?” tanya Rava seraya menatap Juliet yang sedari tadi menatap langit luas. “Aku bingung, Rava,” ucap Juliet pelan. Rava meraih kedu
“Jangan salahkan Juliet. Aku yang bersalah. Anak yang di kandung Juliet adalah anakku.” Suara berat seorang pria memasuki ruangan di mana keluarga Maxton berkumpul bersama dengan Dean dan Juliet. Ya, suara berat itu sukses membuat semua orang yang ada di sana mengalihkan pandangan mereka pada sumber suara itu. Seketika semua orang di sana terkejut melihat sosok pria yang tak asing di mata mereka. Pria tampan berpakaian santai. Kaus hitam membalut tubuh kekarnya. Wajah yang nampak sebagai pria penggoda para wanita. Aura ketegasan namun terselimuti akan sifat yang santai dan tenang. Bibir semua orang di sana menganga lebar akibat keterkejutan. Hening. Ruang keluarga megah itu hening belum ada suara sedikit pun. Mereka semua masih diam membeku di tempat. Semua orang itu mengenal sosok pria yang datang, tapi tidak dengan Juliet. Hanya Juliet yang sama sekali tak mengenal wajah pria itu. Namun, suara pria itu nampak tak asing di telinga Juliet. “Rava? Kau—” Samuel nyaris kehilangan kat
Keesokan hari, Brianna dan Dean langsung bersiap-siap untuk meninggalkan apartemen. Setelah tadi malam mereka menghabiskan malam bersama, sekarang sudah waktunya mereka untuk menyelesaikan kembali masalah yang menghampiri mereka. Baik Dean ataupun Brianna memang tak ingin menunda-nunda. Terlebih masalah hadir sampai melibatkan pihak keluarga. “Brianna, aku akan mengantarmu pulang. Setelah mengantarmu, aku akan ke apartemen Juliet,” ucap Dean yang ingin mengantarkan Brianna pulang ke rumah. “Tidak usah, Dean. Aku pulang sendiri saja. Aku kan bawa mobil.” Brianna membelai rahang Dean lembut seraya memberikan kecupan di sana. “Aku mengantarmu saja. Aku tidak tenang kau pulang sendiri,” balas Dean yang tak suka jika Brianna pulang sendiri. Brianna menghela napas dalam. Wanita itu melingkarkan tangannya ke leher Dean, merapatkan tubuhnya ke tubuh pria itu. “Dean, kalau kau mengantarku pulang masalah akan semakin rumit. Kakakku akan mencercamu dengan banyaknya pertanyaan. Aku tidak mau
Malam semakin larut. Udara dingin menyelinap masuk ke dalam sela-sela jendela. Dua insan terbaring di ranjang dengan posisi saling berpelukan seakan tak ingin terlepas. Tampak Dean yang sudah lebih dulu bangun, tak lepas menatap Brianna yang terlelap dalam pelukannya. Wajah cantik Brianna seakan memanjakan mata Dean, hingga membuatnya tak bisa berpaling sedikit pun dari wanita itu. Tak bisa memungkiri, Brianna memiliki pesona yang istimewa. Sejak awal Dean melihat Brianna, hatinya meraskan sesuatu yang mengusik hati dan pikirannya. Tak pernah Dean kira bahwa Brianna adalah pemilik kalung yang selama ini dia cari. Dunia benar-benar sempit. Andai Dean tahu lebih awal, maka Dean tak akan pernah membiarkan Brianna menikahi seorang pria berengsek. Dean membelai pipi Brianna. Lantas, pria itu menarik dagu Brianna, mencium dan melumat lembut bibir Brianna. Manis, sangat manis. Bibir Brianna layaknya nikotin yang membuat Dean kecanduan. Dean seakan tak bisa berhenti mencium Brianna. Segala
“Shit!” Dean mengumpat kasar kala melihat truck menghadang mobilnya, hingga membuatnya tak bisa mencari sela. Sialnya, mobil Brianna sudah melaju lebih dulu dari truck yang menghadang Dean, dan membuat Dean kehilangan jejak keberadaan Selena. Andai saja tak ada truck yang menghalangi sudah pasti Dean bisa mengejar mobil Brianna. Dean menekan klakson mobilnya agar truck di depan memberikan jalan. Dan ketika truck di depannya memberikan sedikit sela, Dean menginjak pedal gas kuat-kuat—melajukan kecepatan penuh menyalip mobil-mobil yang menghalanginya. Dean tak peduli melanggar aturan lalu lintas sekalipun. Yang Dean pikirkan saat ini hanyalah Brianna. Dean tak mau menunda-nunda. Dia harus menjelaskan sekarang pada Brianna agar Brianna tidak salah paham. Dean mengendarkan pandangannya ke sekitar, mobil Brianna benar-benar sudah tidak ada. Tanpa menunggu lama, Dean langsung mengambil ponselnya dan berusaha menghubungi nomor Brianna. Namun, sayangnya nomor ponsel Brianna tidaklah aktif.
Hari berlalu begitu cepat, hingga tiba di mana waktu keluarga Maxton akan bertemu dengan keluarga Osbert. Ya, pertemuan ini memang tak dihalangi oleh Samuel, namun sampai detik ini belum juga terucap jika Samuel menyetujui rencana pernikahan Dean dan Brianna. Bukan tanpa alasan, tapi Samuel memang sengaja memilih untuk diam. Pria itu ingin melihat kesungguhan apa yang dilakukan Dean demi menikahi adiknya. Sejak di mana Samuel telah mendapatkan informasi tentang Dean, memang Samuel tak lagi sampai melarang keras hubungan Dean dan Brianna. Tak memungkiri ada nilai plus dari sifat Dean yang membuat Samuel akhirnya tak terlalu melarang keras hubungan mereka. “Sayang.” Selena menghampiri Samuel yang tengah memakai arloji. “Hm?” Samuel mengalihkan pandangannya, menatap sang istri yang menghampirinya. Selena tersenyum hangat. Lantas, wanita itu merapikan sedikit kerah baju sang suami yang kurang rapi. Menepuk-nepuk dada bidang suaminya itu sambil berkata, “Hari ini kita akan bertemu deng
Samuel duduk di kursi kebesarannya dengan pandangan lurus ke depan, dan pikiran yang menerawang. Benak Samuel terus berputar mengingat perkataan Dean. Tak menampik, Samuel ingin melihat Brianna dan Joice bahagia, tetapi banyak keraguan dalam dirinya melepas Brianna dan Joice pada Dean. Sudah cukup penderitaan yang dialami oleh Brianna. Samuel tak akan pernah membiarkan adiknya kembali hidup menderita. Namun, haruskah dirinya membiarkan adiknya menikah dengan Dean? Apa mungkin benar, Dean bisa membahagiakan adiknya dan juga keponakannya? Sejak di mana Brianna bercerai dari Ivan, Samuel yang menggantikan peran Ivan. Meski dulu, Samuel tak tinggal di London tapi tetap Samuel mengawasi adik dan keponakannya dari kejauhan. Samuel memejamkan mata singkat. Menegak wine di tangannya hingga tandas. Kepalanya begitu berkecamuk tak menentu. Tiba-tiba suara ketukan pintu terdengar. Refleks, Samuel mengalihkan pandangannya ke arah pintu—pria itu berdecak kesal kala ada yang mengganggunya. Dengan
Tak ada satu pun percakapan yang terjalin setelah Brianna menemui kedua orang tua Dean. Keheningan menyelimuti dua insan yang tengah berada di dalam mobil. Ya, setelah tadi Dean membawa Brianna menemui kedua orang tuanya, kini Dean harus mengantar Brianna untuk pulang. Sebelumnya, Dean sudah meminta orang kepercayaannya untuk mengantarkan mobil Brianna yang ada di kantornya—ke rumah kediaman keluarga Maxton. Tak mungkin Dean membiarkan Brianna mengambil sendiri mobil wanita itu. “Dean.” Brianna memulai sebuah percakapan. Tampak sorot mata Brianna menatap lurus ke depan. Sejak tadi hati dan pikiran Brianna begitu terusik. Semua yang terjadi membuat dirinya seakan terbelenggu di dalam penjara besi. “Hm? Ada apa, Brianna?” Dean yang tengah melajukan mobil, melirik sekilas Brianna. Brianna terdiam beberapa saat. Keraguan, khawatir, semua telah melebur menjadi satu. “Lebih baik kau pikirkan lagi sebelum benar-benar ingin menikahiku, Dean. Aku tidak tega pada Juliet, Dean. Bagaimanapun,