Suasana di persidangan begitu mencekam kala pengacara Iris dan Maida mulai melakukan pembelaan. Beberapa kali Samuel menyanggah ucapan pengacara Iris dan Maida, tapi sayangnya hakim meminta Samuel untuk tak bicara. Pun Samuel terpaksa harus mengikuti aturan yang berlaku karena dalam persidangan posisi tertinggi adalah hakim yang akan mengambil keputusan final. “Yang Mulia, apa yang telah dilakukan oleh Nona Iris Halburt adalah karena rasa cemburu dan marah. Nona Selena Geovan telah merebut Tuan Samuel Maxton bahkan sampai hamil. Nona Iris dan Tuan Samuel telah menjalin hubungan sangat lama. Mereka telah merencanakan pernikahan. Apa yang dilakukan oleh Nona Iris adalah bentuk dari seorang wanita yang patah hati. Bukankah di sini Nona Selena Geovan juga bersalah? Dia telah berselingkuh dengan pria yang sebentar lagi menikah. Kasus ini tidak bisa disebut sebagai kejahatan seksual. Saya mohon segera pertimbangkan lagi segala tuntutan yang dilayangkan untuk Nona Iris Halburt dan Nona Maid
“Apa kau sudah puas dengan vonis yang dijatuhkan untuk dua wanita sialan itu, Dad?” Sean bertanya pada ayahnya seraya menyesap wine di tangannya. Tatapannya menatap William—yang duduk di hadapannya dengan raut wajah serius. Kini Sean bersama dengan Dominic berada di ruang kerja ayahnya. Mereka sama-sama membahas tentang persidangan tadi.“Aku lebih menyukai mereka dihukum mati daripada dua puluh tahun penjara. Penjara terlalu bagus untuknya.”William mengambil whisky yang ada di hadapannya, disesapnya perlahan dengan sorot pandang lurus ke depan. Kebencian menyelimuti pria paruh baya itu. Bagi William vonis hukuman dua puluh tahun penjara untuk Iris dan Maida tidaklah cukup. Tindak kejahatan Iris dan Maida tak bisa termaafkan. Terlebih ketika tadi di persidangan; rekaman suara kembali diputar. Membuat emosi dan amarah William begitu membakar. “Dalam hal ini Iris dan Maida tidak bisa dihukum mati. Jelas kau tahu kalau Selena dan Miracle selamat dari bahaya. Menurutku dua puluh tahun
Keheningan begitu membentang ruangan di mana Samuel dan William berada. Sorot mata dingin terselimuti intimidasi William terhunuskan pada Samuel yang berdiri tempat di hadapannya. Ya, William meminta Samuel untuk ikut dengannya. Pria paruh baya itu ingin mengatakan sesuatu pada Samuel. Sesuatu hal yang sangat penting dan tentu dia tak mau sampai ada orang lain yang mendengar percakapan ini. “Aku juga ingin mengatakan sesuatu padamu.” Samuel memulai percakapan lebih dulu pada William. Kebetulan William ingin mengajaknya bicara, karena dia pun juga ingin bicara mengutarakan apa yang telah ada di pikirannya. William tak langsung mengindahkan apa yang telah Samuel ucapkan. Pria paruh baya itu masih memberikan tatapan dingin seolah tak ramah pada Samuel. Detik selanjutnya, William membalikan bandannya, dia mengambil whisky yang ada di atas meja dan menggerakan gelas sloki itu seraya bertanya dingin, “Kau ingin membahas tentang pernikahanmu dan Selena?” Apa lagi yang Samuel akan katakan
“Mom, apa yang dibicarakan Daddy dan Samuel? Kenapa mereka lama sekali?” Suara Selena bertanya pada Marsha. Nada bicaranya tersirat cemas dan khawatir. Pasalnya sejak tadi Samuel belum juga muncul. Entah hati Selena menjadi cemas tak menentu. Selena hanya takut kalau ayahnya mengatakan sesuatu hal yang melukai Samuel. Atau mungkin lebih parah dari itu. “Sayang, Daddy-mu mungkin saja ada sesuatu hal penting yang dibicarakan dengan Samuel. Jadi membutuhkan waktu sedikit lebih lama. Tunggulah sebentar pasti Daddy dan Samuel akan segera muncul.” Marsha membawa tangannya menyentuh tangan putrinya. Wanita paruh baya itu menepuk pelan punggung tangan putrinya itu. Kini Marsha dan Selena berada di taman belakang. Sedangkan Oliver sedang belajar karena guru Oliver sudah datang. Sebelumnya Oliver sempat bermain basket sebentar. Namun ketika guru Oliver datang, Marsha dan Selena meminta Oliver untuk berhenti bermain basket. Selena menarik napas dalam-dalam dan mengembuskan perlahan. Selena
Pelupuk mata Selena bergerak-gerak. Perlahan wanita itu mengerjapkan mata beberapa kali. Tepat dikala mata Selena sudah terbuka, wanita itu sedikit meringis perih akibat inti bagian bawahnya terasa begitu nyeri. Pun tubuh Selena pegal-pegal seperti tengah melakukan aktivitas berat. Ruangan gelap yang pertama kali mata Selena tangkap. Detik itu juga ingatan Selena tergali akan percintaan panasnya dengan Samuel. Oh, Tuhan! Pipi Selena langsung merona merah membayangkan itu. Darahnya mendidih. Setiap kali tangan Samuel menjamahnya tak akan bisa Selena lupakan. Buru-buru Selena menepis pikiranya. Bisa-bisanya pikirannya terus memikiran tentang percintaan panasnya dengan Samuel. Kini tatapan Selena teralih pada Samuel yang masih tertidur pulas di sampingnya. Tampak senyuman di wajah Selan terlukis. Meski dalam keadaan kamar yang gelap, Selena bisa melihat wajah tampan Samuel. Selena merapatkan tubuhnya pada tubuh Samuel. Wanita itu membenamkan wajahnya di dada bidang Samuel. Aroma parfu
Suara dering ponsel milik Marsha berbunyi. Lantas Marsha segera mengambil ponsel miliknya yang ada di atas nakas dan menatap ke layar. Namun … seketika kening Marsha mengerut kala melihat nomor Brianna—adik Samuel menghubungi dirinya. Memang Marsha dan Brianna telah bertukar nomor telepon. Pasalnya Joice sering datang bermain dengan Oliver. “Brianna menghubungiku? Apa mungkin Joice mau ke sini?” guman Marsha pelan. Tak mau banyak berpikir, wanita paruh baya itu menggeser tombol hijau untuk menjawab teleponnya. “Hallo, Brianna?” jawab Marsha pelan kala panggilan terhubung. “Bibi, maaf mengganggu. Tadi aku menghubungi nomor Kak Samuel dan nomor Selena tapi sepertinya mereka sibuk. Teleponku tidak dijawab,” ujar Brianna dari seberang sana. “Ah, begitu. Baiklah nanti Bibi akan sampaikan. Ada apa, Brianna?” “Tidak ada apa-apa, Bibi. Joice hanya ingin bicara pada Oliver. Apa Oliver sedang tidak sibuk?” “Sebentar aku akan ke kamar Oliver.” “Terima kasih, Bibi.” Marsha bangkit dari t
Samuel duduk di kursi kebesarannya seraya menatap laporan yang baru saja Vian berikan padanya. Pria itu membaca laporan tersebut secara teliti. Memastikan kalau isi dari laporan itu sudah sesuai dengan apa yang diinginkannya. Detik selanjutnya ketika Samuel sudah yakin pada isi laporan tersebut, pria itu segera membubuhkan tanda tangan di dokumen itu. “Besok aku tidak akan ke kantor. Aku akan bertemu dengan orang tuaku membicarakan pernikahanku dan Selena. Kau segera atur wedding organizer dan segala yang dibutuhkan. Tanyakan pada Selena dekorasi apa yang dia inginkan. Pastikan pesta pernikahan nanti adalah konsep design yang Selena inginkan.” Samuel berucap memberi perintah anak buahnya seraya menyerahkan dokumen di tangannya pada Vian. “Baik, Tuan. Saya akan mengurus semua yang Anda perintahkan dengan baik,” jawab Vian dengan begitu sopan. “Sekarang kembalilah ke ruang kerjamu. Lanjutkan pekerjaanmu,” ucap Samuel dingin dengan raut wajah tanpa ekspresi. Vian menundukan kepalanya
“Selena.” Suara berat begitu familiar memanggil nama Selena. Refleks, Selena dan Miracle mengalihkan pandangan mereka pada sumber suara itu. Tampak raut wajah Selena terkejut kala melihat sosok pria yang sangat dikenal mendekat. Sedangkan Miracle memasang wajah dingin dan datar melihat pria itu. “D-Dean?” Selena nyaris tak percaya melihat Dean ada di kantornya. Pasalnya sudah lama sekali Selena tak melihat Dean. Senyuman samar di wajah Dean terlukis pada Selena dan Miracle. Lantas pria itu semakin mendekat pada Selena dan Miracle—yang sejak tadi telah menatapnya. “Hi, Selena, Hi Miracle, lama tidak bertemu denganmu, Miracle,” ujar Dean hangat pada Selena dan Miracle. Tentu Dean mengenal Miracle—saudara kembar Selena. Karena memang Dean sudah tahu semua anggota Keluarga Geovan. Pun lepas dari itu Miracle kerap hadir dalam pertemuan bisnis menemani Mateo. Itu kenapa Dean tak mungkin tak mengenal sosok Miracle. Miracle memasang senyuman samar dan anggun kala melihat Dean. “Hi, Dean.
Beberapa bulan kemudian … Zurich, Swiss. Langit begitu biru dan indah membaur dengan perkebunan buah anggur yang ada di Swiss. Cuaca pagi di musim semi sangatlah indah. Angin yang berembus ke kulit begitu menyejukan. Tampak tatapan Selena sedari tadi menatap Oliver yang tengah bersama dengan Javier memetik buah anggur di perkebunan. Meski ada empat pengawal yang menemani Oliver dan Javier tetap saja Selena tak bisa melepaskan tatapannya dari kedua anak laki-lakinya itu. “Sayang, Oliver bisa menjaga Javier dengan baik. Kau tenang saja.” Samuel membelai pipi Selena dengan lembut. Selena menghela napas dalam. Tatapan Selena mulai teralih ke dua bayi perempuan kembarnya yang tertidur lelap di stroller. Senyuman di wajah Selena pun terlukis hangat melihat Stacy dan Sierra tertidur pulas. Sekarang usia Stacy dan Sierra sudah 7 bulan. Tubuh kedua bayi perempuannya sangat gemuk dan sehat. Stacy yang lahir lebih dulu memiliki rambut berwarna cokelat tebal dan mata biru. Sedangkan Sierra—s
Miller International School, London. “Aw.” Seorang gadis kecil cantik terjatuh akibat bermain lari-larian dengan teman-temannya. Tampak lutut gadis kecil itu terluka dan mengeluarkan darah. Dengan pelan, gadis kecil itu berusaha untuk bangun tapi tubuhnya malah tak seimbang dan nyaris jatuh. Tepat dikala tubuh gadis kecil itu nyaris terjatuh, sosok bocah laki-laki yang memiliki postur tubuh tinggi menangkap gadis kecil itu. “Terima kasih,” ucap gadis kecil itu melangkah menjauh dari laki-laki yang membantunya. Namun, tiba-tiba manik mata gadis kecil itu melebar terkejut kala menatap sosok laki-laki yang telah membantunya itu. “Oliver? Kau di sini?” Mata Nicole mengerjap beberapa kali menatap Oliver. Oliver menarik tangan Nicole, mendudukan tubuh Nicole di kursi, lalu bocah laki-laki itu mengambil kotak obat yang letaknya berada di ruang kesehatan. Beruntung ruang kesehatan tidak terlalu jauh dari posisi di mana Oliver dan Nicole berada. Saat kotak obat sudah ada di tangan Oliver,
“Bye, Sayang. Jaga diri kalian. Jangan membuat Grandpa William dan Grandma Marsha kerepotan. Ingat kalian harus patuh pada Grandpa dan Grandma.” Selena berseru pada Oliver dan Javier yang masuk ke dalam mobil. Terlihat Oliver dan Javier kompak mengangguk patuh merespon ucapan ibu mereka. Ya, hari ini Oliver dan Javier harus pergi ke rumah William dan Marsha. Menjelang Selena melahirkan, William dan Marsha memang berada di London. Sedangkan kakak dan adik Selena lain akan tiba di London dalam waktu beberapa hari lagi. Mengingat kakak dan adik Selena tak tinggal di negara yang sama, membuat Selena tak terlalu sering bertemu dengan kakak dan adiknya. Meski demikian, komunikasi selalu terjalin dengan sangat erat. “Bye, Papa, Mama.” Oliver dan Javier melambaikan tangan mereka kompak pada Selena dan Samuel. Pun Selena dan Samuel membalas lambaian tangan anak-anak mereka. Dan ketika mobil yang membawa Oliver dan Javier sudah pergi, Selena segera masuk ke dalam rumah tanpa mengatakan pada S
“Oh, My God! Raven, Rosalie, kenapa kalian merusak make up Mommy? Astaga! Ini make up kesayangan Mommy, Sayang.” Juliet rasanya ingin menjerit melihat semua perlengkapan make up miliknya hancur berantakan. Mulai dari koleksi lipstick, eyeshadow, foundation, dan masih banyak lainnya. Semua sudah berantakan di lantai kamar. Baru beberapa detik Juliet ke kamar mandi karena mengambil ponselnya yang tertinggal di wastafel, tapi dalam hitungan detik juga kamar sudah seperti kapal pecah. Memang kedua anaknya itu sudah sangat aktif. Sore ini, Juliet sengaja tak meminta pengasuh untuk masuk ke dalam kamarnya, pasalnya Juliet ingin mengajak kedua anaknya itu bermain sambil menunggu sang suami pulang dari kantor. Tapi alih-alih niatnya terealisasi malah kekacauan sudah lebih dulu tiba menghampiri dirinya. Sungguh, Juliet bisa-bisanya lupa kalau kedua anaknya sangatlah aktif. Alhasil koleksi make up miliknya hancur lebur. Bedak saja sudah berceceran di lantai. Terutama lipstick yang tak lagi ber
“Mommy, aku pulang.” Joice melangkah masuk ke dalam rumah dengan raut wajah yang muram. Gadis kecil cantik itu nampak lesu seperti tengah memikirkan hal yang mengusik pikirannya. Joice meletakan tas sekolah ke sofa, dan duduk di sofa itu. Jika biasanya Joice selalu riang gembira, kali ini gadis kecil itu tak seceria biasanya. “Sayang? Kau kenapa?” Brianna yang baru saja selesai menyiram tanaman, dikejutkan dengan putri kecilnya yang pulang dari sekolah dalam keadaan wajah yang muram. Padahal setiap hari, Joice selalu pulang sekolah dalam keadaan wajah yang riang gembira. “Tidak apa-apa, Mom. Aku hanya lelah saja,” jawab Joice pelan. Brianna menghela napas dalam. Brianna yakin pasti ada yang tidak beres dengan putri kecinya itu. “Katakan pada Mommy ada apa, Nak?” tanyanya seraya duduk di samping Joice. “Mommy aku ingin bertanya padamu.” “Kau ingin tanya apa, Sayang?” “Hm, apa aku ini tidak cantik, Mom?” Joice menyandarkan kepalanya di lengan Brianna. Bibir Joice mengerut, menunj
Tiga tahun berlalu … Miller International School, London. “Oliver Maxton! Pulang sekarang! Tidak ada main basket!” Selena berkacak pinggang mengomel pada putra sulungnya yang berusia 8 tahun. Tampak mata Selena menatap dingin dan tegas putranya itu. Aura kemarahan begitu terlihat jelas di paras cantik wanita itu. Dengan keadaan perut yang membuncit, Selena mengomeli putranya di tengah jalan. Ya, saat ini Selena tengah mengandung untuk ketiga kalinya. Ulah Samuel membuat Selena hamil lagi. Hanya saja kali ini berbeda. Kehamilan ketiga ini, Selena hamil bayi kembar. Sungguh, Selena berjanji setelah ini dia akan steril tak ingin lagi memiliki anak. Tubuhnya baru saja langsing tapi sudah harus bengkak lagi. Padahal niat Selena adalah memiliki dua anak. Tapi ternyata malah kecolongan. “Ck! Ma, guru sudah menghukumku time out. Mama kenapa menghukumku juga? Nanti aku akan menghubungi Grandpa William. Aku akan meminta Grandpa William memecat guru yang sudah berani menghukumku,” tukas Oli
Beberapa bulan kemudian … Fistral Beach, Newquay, UK. Deburan ombak menyapu kaki telanjang Juliet. Angin berembus menerpa kulit Juliet membuatnya Juliet memejamkan matanya sebentar, menikmati keindahan musim panas. Tampak Rava begitu setia mengikuti langkah kaki Juliet. Sesekali Juliet menatap banyak anak muda yang siap-siap untuk berselancar. Fistral Beach memang salah satu pantai di Inggris yang menjadi tempat favorite untuk berselancar. Kandungan Juliet kini telah memasuki minggu ke dua puluh tiga. Perut Juliet sudah membuncit. Tubuhnya pun mulai mengalami kenaikan berat badan, namun tak terlalu parah. Pasalnya selama hamil, Juliet tak terlalu nafsu makan. Meski sudah dipaksa oleh Rava, tapi tetap saja Juliet menolak. Trimester pertama, Juliet mengalami mual hebat sampai tak bisa makan apa pun. Rava sampai harus meminta dokter mengontrol Juliet setiap hari karena Juliet tak bisa makan. Dan beruntung sekarang kondisi Juliet sudah jauh lebih baik. Ngomong-ngomong, anak yang ad
Seoul, South Korea. Angin berembus di kota Seoul begitu menyejukan. Musim semi adalah salah satu musim terbaik di Seoul. Bunga Sakura banyak tumbuh dengan indah. Salah satu kota di Benua Asia yang menyajikan keindahan dan budaya setempat yang kental. Kota ini adalah kota yang dipilih oleh Dean dan Brianna menikmati bulan madu indah mereka. Selama di Seoul, Dean dan Brianna selalu mengabadikan moment-moment indah mereka. Moment di mana tak akan pernah mereka lupakan. Dua insan itu akhirnya telah menjadi satu setelah banyaknya rintangan. Meski tak mudah, tapi Dean dan Brianna membuktikan mereka mampu bersatu. “Sayang, ayo bangun. Kenapa jam segini kau belum bangun juga?” Brianna menggoyangkan bahu Dean, meminta suaminya itu untuk bangun. Waktu menunjukan pukul 10 pagi. Brianna ingin segera jalan-jalan menikmati indahnya kota Seoul. Meski lelah karena selalu olahraga malam, tapi Brianna tak mau menyia-nyiakan moment bulan madunya dengan sang suami tercinta. Dean menggeliat mendengar
Sebuah hotel mewah di London telah dipadati oleh wartawan yang lebih dulu hadir. Dekorasi ballroom hotel itu tampak memukau. Hiasan mawar dipadukan bunga lily dan batu Swarovski begitu indah menawan. Red carpet yang terpasang di lantai seakan memberikan sentuhan mewah. Ballroom hotel megah ini telah disulap layaknya tempat di mana pangeran dan putri akan menikah. Nuansa tema kental kerajaan melekat di ballroom hotel megah itu. Ya, hari ini adalah hari yang telah dinanti-nantikan oleh Dean dan Brianna. Hari di mana mereka akan segera melangsungkan pernikahan. Setelah banyaknya rintangan yang mereka hadapi akhirnya Dean dan Brianna dapat melewati badai masalah yang hadir. Takdir memang memiliki caranya sendiri menunjukan siapa belahan jiwa kita yang sebenarnya. Harusnya Dean menikah dengan Juliet, tapi ternyata takdir Dean adalah Brianna. Sedangkan Juliet menikah dengan Rava. Pun dulu Samuel tak menyetujui hubungan Dean dan Brianna. Samuel adalah satu-satunya orang yang menentang hubu