“Di mana Oliver dan Joice? Apa mereka masih bermain di taman?” Suara Selena bertanya seraya menatap Samuel yang melangkah mendekat ke arahnya. Kini Selena tengah duduk di kamar bersantai membaca majalah bisnis yang baru saja diantarkan oleh pelayan. Hari ini Selena memilih bersantai di rumah. Pun hingga detik ini Selena masih belum aktif pada pekerjaannya. Selena masih menyerahkan semua pekerjaannya pada Jenia—asistennya. “Masih … mereka masih bermain di taman.” Samuel duduk tepat di samping Selena. Menatap hangat Selena yang tengah membaca majalah. “Kau sering membaca majalah bisnis? Bukankah isi majalah bisnis kebanyakan hanya isinya tentang keluarga besarmu? Untuk apa kau lihat lagi? Kau pasti jauh lebih tahu dari pada artikel yang dimuat ini.” Senyuman di wajah Selena terlukis mendengar apa yang diucapkan oleh Samuel. Lantas wanita itu menuntup majalah yang ada di tangannya itu dan meletakan ke atas meja. “Aku menyukai setiap media memberitakan tentang kakakku. Di artikel itu
Selena duduk di sofa dengan begitu resah. Sudah tiga kali dia menghubungi Samuel tapi tak ada jawaban dari pria itu. Selena hanya ingin tahu apa yang Samuel lakukan. Sungguh, Selena tak berani melihat berita yang beredar. Pun Selena telah menonaktifkan akun sosial medianya untuk sementara waktu. Selena tak menampik, begitu banyak fans Iris yang menyerang bahkan mencaci maki dirinya sebagai wanita murahan dan wanita penggoda. Hal itu yang mendorong Selena memilih untuk menonaktifkan sosial medianya. Berita tadi pagi memang sangat heboh. Bahkan Oliver pun kini dijaga begitu ketat. Oliver tidak diperbolehkan keluar rumah semua guna menghindari paparazzi yang kerap mengincar Oliver. Kepala Selena sedikit pusing akibat terlalu banyak memkirkan masalah. Lantas wanita itu memilih membaringkan tubuhnya di sofa kamar seraya memeluk ponselnya. Hari ini Samuel berjanji akan datang. Dan Selena memilih untuk menunggu. Pasalnya sejak tadi hati Selena tak tenang. Wanita itu ingin tahu tentang sem
*Berita kali ini datang dari Miracle De Luca—istri pengusaha ternama Mateo De Luca sekaligus putri sang billionaire William Geovan diduga melakukan penyerangan pada Iris Halburt. Dari CCTV yang beredar terlihat jelas Miracle De Luca yang lebih dulu menyerang Iris Halburt. Menurut kabar Miracle De Luca membela saudara kembarnya yang dihina oleh Iris Halburt. Hingga detik ini pihak Miracle De Luca masih belun angkat bicara mengenai penyerangan tersebut.* Selena memijat pelipisnya kala melihat berita yang ditunjukan oleh Jenia. Ya, kini Selena tengah berada di kamarnya. Wanita itu meminta Jenia datang ke rumahnya karena ada pekerjaan yang ingin Selena periksa. Namun, alih-alih memeriksa pekerjaan malah Selena disodorkan berita viral yang sedang beradar. Sungguh, Selena tak menyangka pemberitaan tentang Miracle secepat ini. Tentu saja Selena merasa bersalah. Nama Miracle buruk di hadapan publik karena membelanya. Andai saja Miracle tak ikut campur maka tidak akan seperti ini. “Apa berit
“Tuan Samuel, saya telah mendapatkan informasi tentang Nona Iris Halburt.”Raut wajah Samuel berubah mendengar ucapan Vian. Sepasang iris mata cokelat Samuel menajam menyorot Vian penuh tuntutan agar segera menjawabnya. Tampak Mateo dan Rava pun tak lepas menatap Vian. Mereka begitu tak sabar mendengar informasi yang didapatkan oleh Vian. “Cepat beritahu aku, informasi apa yang kau dapatkan?” cerca Samuel seraya menatap dingin pada asistennya itu. Wajah Samuel menunjukan bahwa pria itu tak bisa sabar. Vian mendekat pada Samuel. Lantas dia menyerahkan iPad yang ada di tangannya pada Samuel. Pun tanpa banyak bicara Samuel menerima iPad pemberian Vian itu. “Tuan, itu adalah rekaman CCTV Nona Iris Halburt. Setiap kali Nona Iris berlibur, dia selalu mengunjungi klub malam. Di rekaman CCTV itu terlihat jelas kalau Nona Iris Halburt sering berkencan dengan pria asing. Mungkin lebih lengkapnya Anda bisa melihat sendiri rekaman CCTV itu, Tuan,” ujar Vian yang sontak membuat sorot mata Samue
“Dad, kenapa kau melarangku untuk turun tangan? Masalah ini akan semakin berlarut, Dad.” Sean berseru memprotes pada ayahnya. Tampak sorot mata Sean menatap dingin dan emosi tertahan. Sudah sejak tadi Sean ingin turun tangan membereskan berita yang terus menghina kedua adik perempuannya. Namun, ayahnya itu menahan dirinya. Itu yang membuat Sean tak bisa melangkah jauh. “Aku memiliki alasan sendiri kenapa tidak langsung membiarkanmu turun tangan.” William menyesap whisky di tangannya. Pria paruh baya itu menatap lurus ke depan. Raut wajah dingin dan tegas begitu terlihat. William sudah tahu tentang banyaknya pemberitaan miring tentang kedua putrinya. Awalnya William emosi melihat berita-berita miring yang tersebar luas. Namun, William memilih menyikapi itu dengan tenang. Karena ada alasan kuat yang membuat dirinya tak langsung turun tangan dalam masalah ini. Sean mendecakan lidahnya. Tatapannya terlihat kesal pada ayahnya. “Dad, mau sampai kapan kita menunggu? Aku memang bisa menga
Selena mengerjapkan matanya beberapa kali ketika wanita itu merasakan sinar matahari menyentuh wajahnya. Latas, Selena menyeka matanya menggunakan punggung tangannya. Selena menggeliat seraya merentangkan kedua tangan. Senyuman hangat di wajahnya terlukis pagi telah menyapa. Selena merasa tidurnya tadi malam begitu nyenyak. Detik selanjutnya, Selena menoleh ke samping melihat ranjangnya telah kosong. Napas Selena mendesah panjang. Padahal dia mengingat tadi malam Samuel tidur di sampingnya. Namun, kali ini Selena harus menelan kekecewaan karena Samuel tidak ada. Andai saja dia terbangun dalam keadaan berada di pelukan Samuel pasti dirinya akan sangat senang. Mungkin Samuel sudah berangkat bekerja. Itu yang ada di dalam benak Selena. Tentu Selena tahu banyak hal yang harus diselesaikan Samuel. Terutama masalah yang menghadapi mereka begitu banyak. Jika mengingat masalah, membuat Selena sungguh merasa bersalah pada semua orang. Bagaimanapun karena masalah ini, banyak orang yang tak be
“Dad, kenapa kau malah seolah merestui hubungan Selena dan pria sialan itu?” Suara Sean berseru seraya menatap tajam ayahnya yang duduk di hadapannya. Tampak emosi Sean memuncak. Rahang Sean mengetat. Sorot matanya tajam menuntut sang ayah menjelaskan. Pasalnya sejak tadi ayahnya itu selalu melarang dirinya menghajar Samuel. Sungguh, Sean tak mengerti dengan cara jalan ayahnya itu berpikir. “Aku bukan merestui. Aku diam karena aku ingin tahu apa tindakan yang dilakukan Samuel Maxton. Paling tidak aku menunggu sampai Samuel membuktikan dirinya.” William menjawab ucapan putra sulungnya dengan tegas dan penuh penekanan serta tersirat tak suka dibantah. Dia memang tak pernah mengatakan merestui hubungan Samuel dan Selena. Hingga detik ini William memang menunggu apa saja yang Samuel lakukan sebagai bukti pantas bersanding dengan putrinya. Jika menuruti emosi maka William sudah menghabisi Samuel dengan tangannya sendiri. Namun, banyak hal yang membuat William harus berpikir bijak sebel
*Selena, hari ini aku harus ke kantor. Ada pekerjaan penting yang harus aku selesaikan. Sampaikan maafku untuk Oliver yang tidak bisa sarapan bersama dengannya. Sore nanti aku akan mengajak Oliver bermain—Samuel.M*Selena mendesah pelan membaca pesan masuk dari Samuel. Pagi ini, Selena memang terbangun tanpa ada Samuel di sisinya. Awalnya Selena pikir Samuel ada di luar sedang bersama dengan Oliver. Tapi ternyata Samuel sudah berangkat ke kantor. “Lebih baik aku menemui Oliver sekarang,” gumam Selena pelan. Lantas dia segera melangkah keluar kamar—menuju kamar Oliver. Hingga detik ini memang Oliver masih belum diperbolehkan untuk berangkat sekolah. Alasannya tentu menghindari paparazzi yang selalu mengincar Oliver. Namun, meski tak berangkat sekolah; Oliver tentu wajib belajar. Baik Samuel ataupun William sudah memanggil guru terbaik untuk Oliver. Saat Selena tiba di kamar Oliver, tatapan Selena menatap hangat Oliver sedang bermain robot-robotan bersama dengan Marsha—ibunya. Kini Se
“Aku ingin menikahi putrimu, Tuan Maxton.” Suara lantang dan tegas Dean sukses membuat semua orang yang ada di sana terkejut. Suasana di tempat itu menjadi hening terselimuti ketegangan. Bahkan Brianna yang berdiri tak jauh dari Dean sampai menganga terkejut mendengar perkataan Dean. Tubuh Brianna membatu tak menyangka akan apa yang dikatakan oleh Dean. ‘Astaga! Apa Dean sudah gila?’ batin Brianna dengan wajah yang resah ketakutan. “Berengsek! Otakmu sudah tidak waras ingin menikahi adikku?” sembur Samuel dengan nada tinggi dan menggelegar. “Aku bukan orang yang suka berbasa-basi. Aku memang ingin menikahi adikmu,” tukas Dean menegaskan. “Fuck!” Samuel langsung menarik kerah baju Dean, dan melayangkan pukulan keras di rahang Dean. BUGHPukulan pertama berhasil Samuel layangkan. Namun, pukulan kedua berhasil ditangkis oleh Dean. Tampak Selena, Brianna, dan Jillian berteriak histeris kala melihat Samuel memukuli wajah Dean. “Samuel!” Kelton maju. Pria paruh baya itu menarik kera
Brianna menatap Joice yang tertidur begitu pulas. Wanita itu membelai lembut pipi Joice. Sungguh, Brianna tak tahu bagaimana dirinya harus bersikap. Brianna seperti terjebak di dalam labirin yang menyandra dirinya. Bahkan seolah labirin itu memberikan jalan buntu. Ya, benak Brianna saat ini bukan hanya memikirkan tentang Joice tapi Brianna juga memikirkan tentang Juliet. Sejak kejadian tadi pagi, membuat diri Brianna merasa bersalah pada Juliet. Bagaimana pun Brianna mengerti akan perasaan sakit yang dialami Juliet. Namun, sungguh tak pernah bermaksud melukai Juliet. Brianna mengembuskan napas pelan. Kejadian tadi pagi memang tak bisa dilupakan. Terlebih Juliet sampai menangis. Brianna tak tega. Ingin sekali Brianna menjelaskan pada Juliet kejadian yang sebenarnya tapi Brianna tidak bisa. Pasalnya Dean selalu menghalangi dirinya. “Apa yang harus Mommy lakukan, Sayang? Mommy tidak ingin membuat seseorang terluka.” Brianna membelai lembut pipi bulat Joice. Tak bisa memungkiri kalau B
“Ya, aku sudah melakukan test DNA. Hasil membuktikan Joice adalah putriku, Brianna. Kau tidak bisa mengelak lagi. She’s also my daughter.” Jantung Brianna nyaris berhenti berdetak mendengar perkataan Dean. Tenggorokan Brianna tercekat. Berkali-kali Brianna menggelengkan kepala meyakinkan semua ini adalah mimpi. Namun, kenyataannya ini bukanlah mimpi. Apa yang Brianna dengar benar-benar nyata. Sejak di mana Brianna mengetahui kalung miliknya berada di tangan Dean; semua hal yang tak pernah Brianna pikirkan pasti akan menjadi sebuah boomerang yang siap menyerangnya sendiri. Tak pernah Brianna sangka akan jadi seperti ini. Namun, bisakah Brianna berlari? “Dean, kau pasti salah. Joice bukan—” “Brianna Maxton! Kau masih mengelak setelah bukti hasil test DNA ada di tanganmu, hah?! Apa kau sudah tidak waras?!” sembur Dean dengan nada tinggi. Brianna memejamkan mata. Sungguh, Brianna tak menyangka akan berada di titik terpojok seperti ini. Lidah Brianna kelu tidak mampu merangkai kata. M
“Shit!” Brianna mengumpat dalam hati seraya memukul setir mobilnya. Raut wajah Brianna berubah dingin dan memendung kekesalan mendalam. Yang membuat Brianna emosi adalah Dean membawa Joice tanpa bilang apa pun padanya. Andai saja Dean bukanlah pria yang menjadi teman kencan satu malamnya dulu, maka Brianna tak akan sekesal ini. Tidak bisa dipungkiri, Brianna takut kalau Dean merampas Joice dalam hidupnya. Selama ini Brianna nyaman akan orang-orang beranggapan Joice adalah anak kandung Ivan. Dan sekarang, Brianna harus menghadapi kenyataan serumit ini. Suara dering ponsel terdengar. Refleks, Brianna mengambil ponselnya—dan menatap ke layar terpampang nama Dwyne—asistennya. Ya, sekitar sepuluh menit lalu, Brianna meminta asistennya untuk mencari nama Dean. Tak mungkin Brianna bertanya pada Samuel ataupun Selena. Masalah akan semakin rumit jika sampai Samuel dan Selena tahu. “Kau sudah mendapatkan alamat Dean?” jawab Brianna kala panggilan terhubung. “Sudah, Nyonya. Saya sudah mendap
Suara bell sekolah berbunyi menandakan siswa dan siswi diperbolehkan untuk pulang. Pelajaran pun telah berakhir. Terlihat Joice dan Oliver begitu bersemangat untuk pulang. Terlebih Joice yang sejak tadi mengusap-usap perut buncitnya menandakan bahwa Joice sudah sangat lapar. Memang Joice terkenal dengan tak bisa menahan lapar sedikit. Ditambah di kelas siswa dan siswi dilarang untuk makan. Hanya diperbolehkan minum saja. Tapi minum mana bisa membuat Joice kenyang? “Oliver, ayo cepat sedikit. Aku sudah lapar, Oliver. Sopir pasti sudah menjemput kita di depan kan?” ujar Joice meminta Oliver untuk cepat. Pasalnya, Oliver sangat lama sekali memasukan kotak pensil ke dalam tas. Oliver mendengkus. “Sabar, Joice. Kalau aku diburu-buru nanti ada barangku yang tertinggal.” Bibir Joice mencebik. Gadis kecil itu langsung memiliki inisiatif membantu Oliver—memasukan barang-barang milik Oliver ke dalam tas Oliver. Pun Oliver tak mengomel kala Joice membantunya. “Sudah selesai.” Joice berucap
Brianna menatap hangat Joice yang tengah memakan ice cream. Tatapan mata Brianna tak lepas menatap Joice begitu dalam. Tatapan menatap Joice penuh kasih sayang seorang ibu. Mata Brianna hendak mengeluarkan air mata, namun dengan cepat Brianna menahan diri agar tak meneteskan air mata. Brianna tidak mau sampai Joice melihatnya bersedih. Ivan—mantan suami Brianna sekarang telah masuk penjara. Keluarga Maxton dan keluarga Geovan sudah tahu kalau tentang penculikan Brianna dan Selena. Tentu saja William—ayah Selena mengamuk dan sampai datang ke penjara karena ingin memukul Ivan. Pun Kelton juga sampai datang ke penjara karena ingin menghajar Ivan. Namun, Samuel segera mencegah karena Samuel tak ingin masalah semakin rumit. Semua telah berlalu. Masalah tentang Ivan pun telah selesai. Pada akhirnya yang jahat akan mendapatkan balasan dari apa yang telah mereka perbuat. Akan tetapi ada suatu hal yang mengganggu pikiran dan Brianna saat ini. Sesuatu yang selalu membuat Brianna merasakan kek
“Bagaimana keadaannya? Tidak ada luka yang serius kan?” Dean bertanya cepat kala dokter baru saja selesai memeriksa keadaan Brianna. Di balik wajah tenang dan diam, raut wajah Dean menunjukan jelas rasa cemasnya akan kondisi Brianna. “Tuan, Anda tidak perlu khawatir. Keadaan Nyonya Brianna baik-baik saja,” jawab sang dokter sopan pada Dean. Dean mengangguk singkat. Sekarang dirinya bisa tenang karena kondisi Brianna baik-baik saja. “Thanks,” jawabnya datar. “Sama-sama, Tuan. Kalau begitu saya permisi.” Sang dokter segera pamit undur diri dari hadapan Dean. Saat dokter sudah pergi, Dean melangkah mendekat pada Brianna. Lantas, pria itu duduk tepat di tepi ranjang. Menatap Brianna hangat. “Dokter bilang kau baik-baik saja, Brianna. Aku senang kau tidak memiliki luka serius.” Perlahan, Brianna bangun dari ranjang dan segera mengambil posisi duduk agar berhadapan dengan Dean. Refleks, Dean pun membantu Brianna untuk duduk. Pria itu mengambil bantal dan meletakannya ke punggung Briann
“Kau—” Mata Ivan melebar terkejut melihat sosok pria memakai jaket kulit hitam berdiri di ambang pintu. Tampak sepasang iris mata Ivan menatap tajam sosok pria yang baru saja datang itu. “Siapa kau!” bentak Ivan keras seraya melepaskan Brianna dari cengkraman tangannya.Pria itu tersenyum samar kala Ivan tak mengenali dirinya. Lantas, pria itu melangkah masuk mendekat pada Ivan. “Kau benar-benar tidak mengenaliku?” tanyanya dingin dan menusuk seakan menimbulkan atmosfer menyeramkan. Sayup-sayup mata Selena mulai terbuka seraya memeluk perutnya erat. Suara berat begitu familiar di telinga Selena terdengar. Detik selanjutnya, Selena mengalihkan pandangannya menatap ke sumber suara itu. Seketika mata Selena menyipit terkejut melihat sosok yang dia kenal berdiri di ambang pintu. “D-Dominic?” Tenggorokan Selena nyaris tercekat melihat adik laki-laki bungsunya. Ivan terkejut akan respon Selena yang mengenal sosok pria di hadapannya. Raut wajah Ivan sedikit memucat. Nama ‘Dominic’ mulai
*Help me!* Tubuh Samuel menegang dengan sorot mata tajam menatap pesan singat dari Selena. Tampak raut wajah Samuel menunjukan jelas kepanikan dan kecemasan. Dengan gerak yang sangat cepat, Samuel segera menghubungi nomor Selena. Namun, sayangnya nomor Selena sudah tidak lagi aktif. Jantung Samuel berpacu dengan cepat. Pancaran mata Samuel menunjukan rasa khawatir. Terlebih pesan singkat Selena seakan memberikannya sebuah tanda. Samuel tetap berusaha tenang walau rasa cemas dan takut tak kunjung hilang. Tiba-tiba, ingatan Samuel mengingat hari ini Selena akan pergi dengan Brianna ke supermarket. Tanpa menunggu lama, Samuel segera menghubungi nomor Brianna. “Berengsek!” Samuel meremas kuat ponselnya kala yang dia dengar hanyalah suara operator yang memberikannya informasi nomor Brianna tak aktif. Kilat mata Samuel kian begitu tajam. Insting kuatnya sudah menduga terjadi sesuatu dengan Selena dan Brianna. “Samuel, ada apa?” Rava sejak tadi bingung akan wajah Samuel yang menunjukan