"Apa kamu sama sekali tidak mau berteman lagi denganku?"
"Bukan begitu, Jack ...."Kara menunduk lemas, karena pada akhirnya ia tak bisa menghindar dari segala pertanyaan Jackson. Sesekali dirinya menarik napas dalam untuk menenangkan diri, sampai akhirnya kembali memberanikan diri menatap balik sorot mata yang sedari tadi tak kunjung berpaling dari wajahnya itu."Maafkan aku, Jack. Ada beberapa masalah yang sampai saat ini aku belum bisa ceritakan padamu," lanjut Kara seraya kembali berpaling ke arah lain.Jack yang mendengarnya pun mendesah frustasi. Ia tak suka melihat Kara yang sangat menutup diri padanya seperti ini, seolah dirinya hanyalah orang asing yang baru dikenal.Walau sekarang Kara sudah memiliki anak dan beberapa perbedaan yang lain, akan tetapi tetap saja menurutnya itu tidak dapat dijadikan sebuah alasan untuk menjauh darinya. Sedari awal ia benar-benar tulus ingin berteman dengan wanita berparas cantik alami tersebut, me"Bu ...."Kara langsung kesulitan membasahi tenggorokannya sendiri, terlebih saat ini Avaline menatapnya dengan tatapan yang sangat tajam dan intens."Kalau tadi aku tidak salah dengar, kau menyebut nama Barra bukan?" tanya Avaline sekali lagi, hingga membuat cengkraman Kara pada ujung bajunya semakin menguat.Siapa yang akan menyangka kalau perempuan itu akan tiba-tiba datang dan memergoki dirinya yang sedang melakukan panggilan video dengan Barra?Andai saja Kara tahu, pasti ia akan segera menghindar. Kara tak menyangka kalau semuanya akan terbongkar secepat ini, apalagi saat ini bisa dilihatnya dengan dengan jelas raut wajah ketidaksukaan suka Avaline padanya."Jawab pertanyaanku, Kara! Kau habis menghubungi Barra bukan?" tanya Avaline kembali dengan tatapannya yang semakin menyelidik.Pelan tetapi pasti, langkah tegap Avaline mulai bergerak maju. Beberapa peluh pun mulai membasahi sebagian tubuh Kara, terlebih wanita pintar dan kaya raya itu semakin mengeluarkan aura intimidasi ya
"Bunda? Kenapa kita harus pindah lagi?"Arka bertanya seraya mengerjap ke arah beberapa baju dan tas yang baru saja dirapikan oleh bundanya. Anak kecil itu nampak tak mengerti, terlebih saat ini kedua mata sang bunda terlihat membengkak seolah habis menangis seharian penuh.Tak terasa seminggu sudah Kara menjalani hari-harinya dengan perasaan yang tak menentu. Hubungannya dengan Avaline, kian terasa semakin menjauh. Wanita yang umurnya hampir setengah abad itu sangat jelas berusaha menghindar dirinya, dan bahkan untuk hari ini saja ibu kandungnya Barra tersebut sama sekali tak menyapa dan mengabaikan keberadaannya.Sementara Barra? Pria itu sepertinya semakin sibuk di sana. Kara sulit sekali menghubunginya, terlebih hampir di setiap malam Arka bertanya kabar tentang pria tersebut padanya."Bunda? Bunda kok melamun? Arka cuma mau tanya, kenapa kita harus pindah dari sini Bunda? Kan Om Baik belum pulang," lanjut anak kecil itu, seraya menarik ujung
"Apa? Sudah dari tiga hari yang lalu?"Barra membulatkan matanya tak percaya, begitu mendengar penjelasan dari salah satu petugas keamanan apartemennya. Ia sungguh tak mengerti dengan apa yang telah terjadi pada Kara beberapa hari ke belakang ini, hingga membuat wanita itu nekat meninggalkan tempat tinggalnya begitu saja tanpa mengantongi izin darinya."Iya, Pak. Sepertinya mereka juga sudah dijemput oleh seseorang, karena orang itu juga sempat membantunya membawakan beberapa barang," jelas sang petugas keamanan, hingga membuat Barra semakin berpikir keras.Apa Kara mempunyai keluarga atau kerabat lain yang bisa membantunya? Atau itu hanya supir taksi online yang sudah dipesannya? Entah, Barra tak tahu karena saat ini ia sama sekali tak mempunyai petunjuk apa pun.Pusing memikirkan segala kemungkinan, akhirnya Barra pun memutuskan untuk kembali ke mobil. Ia tak peduli dengan tubuhnya membutuhkan istirahat berkat perjalanan udara yang baru saja dijalaninya, karena di dalam otaknya saat
"Apa maksudmu, Jack? Tolong jangan sembarang menebak, karena ini sama sekali bukan urusanmu!" Kedua netra Kara menyipit, menyorot tak suka ke arah seorang pria yang sedari dulu gemar membantunya tersebut.Jack memanglah orang yang sangat baik, akan tetapi bukan berarti pria itu bisa dengan mudahnya ikut campur dengan semua urusan pribadinya. Kara jelas merasa tak nyaman, jika semua urusan pribadinya diketahui oleh orang lain."Ternyata tebakanku benar bukan?" ucap Jack yang langsung bisa mengartikan tatapan marah Kara padanya."Benar atau pun tidak benar, itu bukan urusanmu!" tekan Kara tegas, dengan menatap dua manik mata biru Jackson secara langsung.Jack, pria itu hanya tersenyum singkat menanggapi kemarahan Kara. Ia tahu wanita itu tak benar-benar marah kepadanya, karena Kara pasti hanya sedang berusaha menutupi masalahnya saja."Aku tahu ini sama sekali bukan urusanku, Kara. Akan tetapi, jelas aku tidak bisa melihatmu terus seperti i
"Hmm, kau tidak bisa menjawabnya bukan? Kalau begitu aku juga tidak akan mau menjawab pertanyaanmu!" ucap Kara seraya berbalik dengan cepat, hendak melewati Barra yang tengah terdiam berkat pertanyaan sindirannya. Entah apa yang ada di dalam benak pria itu sekarang. Apa mungkin Barra tersadar, atau malah sedang memikirkan hal lain? Kara tak tahu karena ia bukanlah cenayang, yang katanya bisa membaca pikiran orang. "Tunggu, Kara! Percakapan kita belum selesai!" cegah Barra dengan cepat, yang mana dengan satu tarikannya saja langsung berhasil membuat pinggang ramping wanita itu berada penuh di dalam lingkaran lengan kekarnya. Tatapan kedua insan itu sempat menyatu dalam satu garis lurus. Kara sempat terdiam, terhipnotis dengan manik mata cokelat Barra yang amat tajam. Namun dengan cepat ia segera menggeleng, dan menyadarkan diri. "Lepas, Barra! Tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan, karena kau sama sekali tidak bisa menjawab pertanyaanku!" Kara memberontak. Namun sayang semakin s
"Om Baik! Bunda!"Kara terkejut mendengar suara teriakan Arka, dan langsung segera menjauh dari jangkauan Barra. Ia tidak ingin membuat Arka salah mengartikan posisinya, terlebih adegan tadi memang tak pantas disaksikan langsung oleh anaknya yang masih kecil.Untung saja tadi Barra belum sempat melakukan apa pun yang diinginkannya. Karena kalau sudah, bisa dipastikan Kara akan bingung harus menjelaskan seperti apa pada anaknya nanti."Om Baik, jahat! Kenapa Om Baik ke Bunda dulu? Kan yang kangen sama Om Baik itu Arka, bukan Bunda!" protes anak kecil itu seraya mengangkat kedua tangannya, seolah memberikan kode pada Barra untuk segera menggendongnya.Mendengar protes dari mulut mungil itu, Barra pun tertawa renyah. Ia segera menggendong Arka dan mengecup pipi tembam tersebut secara berkali-kali, hingga setelahnya menatap Kara dengan sedikit mengerenyitkan kedua alis tebalnya."Arka sedang demam, dia selalu bertanya tentangmu belakangan ini," jelas Kara pelan yang entah kenapa membuat h
"Kamu belum menjelaskan apa pun padaku, Kara!"Kara terperanjat, ketika tiba-tiba saja mendapati Barra yang memeluknya dari belakang dengan begitu posesif. Saat ini, Kara memang hendak mencuci piring. Arka baru saja tertidur, setelah perutnya terisi penuh tadi. Terlebih sesudahnya Kara langsung memberikan obat penurun panas kembali, agar anak kesayangannya tersebut bisa segera cepat pulih."Barra, tidak bisakah mengunggu sampai aku selesai membersihkan semua piring-piring ini?" kilah Kara yang memang niatnya tak mau menjelaskan apa pun pada Barra.Tadi, Kara memang sempat berpikir kalau Barra telah melupakan pertanyaannya. Namun nyatanya dugaannya itu salah, karena saat ini pria tersebut kembali bertanya setelah memastikan Arka benar-benar sudah tertidur dengan pulas di kamarnya."Tidak bisa, Sayang! Aku benar-benar ingin tahu penyebab apa yang sampai mampu membuatmu meragukan hubungan kita," sahut Barra yang kembali mengeratkan dekapannya dan membubuhi beberapa kecupan singkat di ba
Kara terengah, menatap Barra yang tengah menyeringai tipis ke arahnya. Pria itu nampaknya sengaja membuatnya kewalahan, hingga sampai saat ini dirinya masih kesulitan untuk mengatur napas dengan normal."Jangan main-main denganku, Kara. Aku tidak suka wanitaku dekat dengan pria lain!" tekan anak tunggal Avaline tersebut, seraya menyeka satu tetes peluh yang sedang mengalir di dahi Kara.Setelahnya, pria itu beralih mengusap lembut bibir Kara yang sudah basah karena ulahnya. Ia menatapnya lurus tanpa ekspresi, hingga membuat permukaan kulit wanita yang masih berada di atas pangkuannya itu sedikit bergetar ketakutan.Kara sadar, bahwa dirinya telah salah. Sudah seharusnya ia memang tak main-main dengan seorang Barra Piterson, akan tetapi mau diapakan lagi? Jackson adalah sahabat dekatnya dulu, sehingga rasanya tak mungkin kalau dirinya menjauhi pria itu begitu saja."Sudah mau berbagi cerita tentang hal tersebut padaku, Kara Isabelle?" tanya Barra y
"Maaf kalau kehadiranku di sini mengejutkanmu, Kara. Akan tetapi Barra memintaku untuk menjagamu di sini sesaat, dia sedang menemui Arka yang kebetulan baru saja sadar," tutur Avaline pelan hingga membuat Kara mengerjap sesaat.Yang di hadapannya ini, benar Avaline ibu kandungnya Barra bukan? Kenapa wanita itu bisa tiba-tiba berubah selembut ini padanya? Apakah ini sebuah keajaiban? Atau malah hanya sebuah mimpi? "Bu ...."Kara tak sempat menyelesaikan kata-katanya, berkat pelukan Avaline yang sangat tiba-tiba. Jujur, ia sungguh tidak tahu telah melewati hal penting apa selama pingsan tadi. Dirinya masih tak menyangka, terlebih ibu kandungnya Barra tersebut bisa memeluknya dengan sangat erat seperti ini."Barra sudah menceritakan semuanya padaku, Kara! Tolong maafkan semua sikap tidak pantasku padamu! Aku benar-benar sudah sangat menyesal, karena telah menganggapmu yang tidak-tidak dan membuatmu serta cucuku sendiri menderita!" ucap Avaline langsung dengan kian memeluk erat wanita mu
"Apa? Ayah kandungnya?"Orang tuanya Clarissa berikut para tamu yang lain langsung kompak bergumam, dengan dua netra yang membulat. Suara riuh desas-desus pun kian terdengar di telinga Avaline. Wanita itu seketika merasa malu, hingga kembali berusaha mendorong tubuh Kara."Tunggu, Mom! Jadi Arka kecelakaan, Kara?" Barra segera mencegah, dengan menatap ke arah bundanya Arka tersebut dengan penuh serius dan khawatir."Iya, Barra. Dia sudah ditemukan oleh salah satu anak buah Jack, tetapi...." Kara tak sanggup melanjutkan bercerita, karena kini perasaannya kembali hancur ketika mengingat Jack yang telah berupaya mencelakai anaknya.Sementara Avaline, ia kian panik tak karuan ketika mendapati tatapan tajam dari kedua calon besannya. Ia seolah bingung ingin beralasan apa, hingga akhirnya hanya bisa berusaha menarik Kara dan membuat wanita itu menjauh dari anaknya."Sudah cukup semua karanganmu hari ini, Kara! Barra dan Clarissa akan menikah! Jadi—""Aku ikut bersama Kara!" potong Barra mem
"Apa? Jadi stok darah di rumah sakit ini habis?"Tubuh Kara kian bergetar lemas, mendengar kenyataan yang lagi-lagi sangat menyiksa dirinya. Dengan sekuat tenaga, ia mencoba untuk tetap terlihat tegar. Namun sayang nyatanya tak bisa, apalagi kondisi anaknya saat ini semakin memburuk dengan membutuhkan donor darah yang sangat sulit untuk dicari."Maaf, Bu. Kami pihak rumah sakit juga sudah berusaha mencari, tetapi memang benar-benar sedang habis. Apalagi darah yang dibutuhkan oleh anak ibu cukup langka. Kami di sini jarang menemuinya, sehingga mungkin ibu bisa menghubungi kebarat terdekat yang mempunyai golongan darah yang sama."Kara terdiam mendengar penuturan tersebut. Ia tentu tak mempunyai kerabat lain, terkecuali Barra yang memang sudah jelas memiliki darah yang sama dengan anaknya. Yang jadi pertanyaannya, apakah ia bisa meminta tolong pada pria tersebut? Bukankah pada hari ini pria itu akan menikah dengan Clarissa?"Bagaimana, Bu? Apakah ada?" Sang dokter kembali bertanya, hin
Degghh!Tubuh Kara seketika semakin lemas mendengarnya. Jadi, penderitaannya selama ini disebabkan dari orang terdekatnya sendiri? Bahkan dulu saja Kara tak berani mencurigai siapa pun dari salah satu teman-temannya, ia hanya menganggap malam itu dirinya sedang mengalami kesialan. Namun, siapa sangka jika pada kenyataannya yang terjadi malah sebaliknya? Semuanya ternyata sudah direncanakan dengan rapi. Bahkan dirinya selama ini tidak pernah menyadari kejanggalan tersebut, karena saking terlarutnya dalam keterpurukan."Aku benar-benar tidak menyangka kau bisa melakukan hal seburuk itu padaku, Jack!" ucap Kara akhirnya dengan berkali-kali mencoba menarik pasokan oksigen yang ada di sekitar.Jujur, napas wanita itu benar-benar sesak saat ini! Kara kembali tak kuasa dengan kenyataan yang baru saja diketahuinya, hingga dirinya kembali menatap sang anak yang sedang terbaring tak berdaya dengan beberapa bercak darah di tubuhnya."Aku tidak ingin melihat keberadaanmu di sini lagi, Jack! Mula
"Bagaimana? Apa semuanya sudah bersih?"Sayup-sayup suara itu terdengar, hingga membuat Kara berusaha membuka dua netranya yang sedari tadi tertutup rapat.Dengan pandangan yang masih buram, wanita tersebut mencoba menatap sekeliling mencari siapa yang telah berbicara. Namun sayang pada kenyataannya tak ada siapa pun di sekitarnya saat ini, hingga membuat dirinya menghela napas kemudian."Bagus! Kalau begitu nanti hubungi aku lagi!"Setelahnya, Kara tak mendengar suara apa-apa kembali. Sekelilingnya menjadi sunyi, hingga kini ia beralih menatap setiap dinding rumah sakit dan sebuah bangku kosong yang ada di sampingnya."Apa tadi aku sudah pingsan?" Wanita itu bergumam pelan, sambil berupaya bangkit dari tempat tidurnya.Dengan kepala yang masih sangat pening, Kara mencoba mengingat lagi bagaimana cara dirinya bisa berada di rumah sakit. Ia benar-benar bingung karena tetiba terbangun di tempat ini. Hingga beberapa saat kemudian napasnya terasa sesak, seiring dengan munculnya beberapa k
Klikk!Sambungan telepon itu tiba-tiba langsung diputuskan sepihak begitu saja oleh Clarissa. Padahal masih ada banyak kata-kata yang Kara ingin sampaikan. Setidaknya ia ingin menitipkan pesan pada Barra melalui wanita itu, meski sebenarnya dirinya juga tak terlalu yakin akan langsung disampaikan nanti atau tidak.Tingg![Lihatlah, Kara. Bukankah Barra benar-benar menyayangiku?]Degghh!Hati Kara seketika terasa perih, melihat sebuah foto yang tiba-tiba dikirimkan oleh Clarissa. Di gambar itu terlihat dengan jelas bahwa wanita tersebut sedang memamerkan sebuah liontin baru. Dan tak hanya itu saja, Clarissa juga terlihat dengan senangnya bersandar pada Barra tepat di atas ranjang dengan gaun malamnya yang sangat tipis hingga tak benar-benar mampu menutupi setiap lekuk tubuhnya.Jadi, seperti inikah Barra yang sebenarnya? Pria itu ternyata hanya gemar mengumbar janji manis, tanpa pernah berniat untuk sungguh-sungguh?Ah, lagi-lagi Kara menyesal karena telah mengubah anggapannya pada Bar
Ada dua berita yang Kara terima hari ini. Yang pertama adalah kabar baik, karena keinginannya untuk segera keluar dari rumah sakit ini bisa terkabulkan. Sementara untuk yang keduanya, entah termasuk kabar baik atau buruk.Kabar baik atau buruk? Kenapa seperti itu?Ya, Kara sendiri pun sebenarnya tak tahu mengapa dirinya bisa berpikiran seperti itu. Namun yang jelas, ia sungguh tak menyangka dengan berita tersebut.Kalau dibilang senang, dirinya sebenarnya cukup senang karena ternyata Barra bisa menjalani komitmen yang serius dengan wanita lain. Namun jika dibilang tidak senang, Kara juga merasa seperti itu. Ia sangat kecewa, karena ternyata pria tersebut lebih memilih untuk mengurus pernikahannya terlebih dahulu dengan Clarissa, dibandingkan dengan mencari keberadaan anaknya yang masih menghilang.Ke mana janji pria itu yang katanya ingin segera mencari Arka sampai berhasil ditemukan? Kenapa pula janji tersebut dengan mudahnya menguap tanpa kabar,
Berhari-hari berlalu, Kara merasa semakin tak betah karena hanya membaringkan tubuhnya di atas sebuah ranjang rumah sakit. Semua kebutuhannya, bahkan sudah tersedia di sekitarnya. Kurang lebih selama seminggu ini semua uang diinginkannya pasti selalu akan dilayani dengan baik, akan tetapi sayang nyatanya semua itu belum bisa membuat hatinya merasa tenang dan damai begitu saja."Apa belum ada kabar baik tentang keberadaan Arka?" Wanita itu langsung bertanya, tepat ketika melihat sesosok orang yang baru saja masuk ke dalam ruang inapnya. Jack yang mendengarnya pun langsung mendesah pasrah. Ia longgarkan kerah pakaiannya yang tiba-tiba terasa sesak, sebelum akhirnya kembali mendekat dan duduk di hadapan wanita yang akhir-akhir ini sering melamun dengan tatapannya yang terlihat sedikit kosong."Maaf, Kara. Aku dan para anak buahku belum bisa melacaknya. Para penculik itu memakai plat nomor mobil palsu, sehingga kita sempat sangat kebingungan untuk m
Waktu telah berganti malam, hingga tak sadar Kara tertidur di dalam dekapan pria yang ada di sampingnya. Sayup-sayup suara bunyi hewan malam telah terdengar. Wanita itu sedikit menggeliat menggerakkan badannya yang pegal-pegal, hingga beralih menatap ke sebuah jendela besar yang hanya menampilkan gelap gulitanya malam."Bagaimana kabarmu sekarang, Nak? Apa kamu bisa tertidur tanpa bunda di sisimu? Apa sebelumnya kamu sudah makan dan membersihkan diri?"Kara membatin, dengan perasaannya yang kembali sesak. Dalam kesunyian malam, ia terisak kecil. Kara tak berani banyak mengeluarkan suara, karena tak mau membangunkan tidur pria yang sedari tadi sudah memeluk dan menjaga tidurnya.Barra, pria itu ternyata benar-benar hanya memeluk tubuhnya sampai malam. Putra tunggal Avaline tersebut sama sekali tak mengingkari janji, atau pun nekat berbuat hal lebih yang mungkin saja bisa dilakukannya di tempat ini.Sebenarnya, ada sedikit rasa beruntung b