"Apa maksudmu, Jack? Tolong jangan sembarang menebak, karena ini sama sekali bukan urusanmu!" Kedua netra Kara menyipit, menyorot tak suka ke arah seorang pria yang sedari dulu gemar membantunya tersebut.Jack memanglah orang yang sangat baik, akan tetapi bukan berarti pria itu bisa dengan mudahnya ikut campur dengan semua urusan pribadinya. Kara jelas merasa tak nyaman, jika semua urusan pribadinya diketahui oleh orang lain."Ternyata tebakanku benar bukan?" ucap Jack yang langsung bisa mengartikan tatapan marah Kara padanya."Benar atau pun tidak benar, itu bukan urusanmu!" tekan Kara tegas, dengan menatap dua manik mata biru Jackson secara langsung.Jack, pria itu hanya tersenyum singkat menanggapi kemarahan Kara. Ia tahu wanita itu tak benar-benar marah kepadanya, karena Kara pasti hanya sedang berusaha menutupi masalahnya saja."Aku tahu ini sama sekali bukan urusanku, Kara. Akan tetapi, jelas aku tidak bisa melihatmu terus seperti i
"Hmm, kau tidak bisa menjawabnya bukan? Kalau begitu aku juga tidak akan mau menjawab pertanyaanmu!" ucap Kara seraya berbalik dengan cepat, hendak melewati Barra yang tengah terdiam berkat pertanyaan sindirannya. Entah apa yang ada di dalam benak pria itu sekarang. Apa mungkin Barra tersadar, atau malah sedang memikirkan hal lain? Kara tak tahu karena ia bukanlah cenayang, yang katanya bisa membaca pikiran orang. "Tunggu, Kara! Percakapan kita belum selesai!" cegah Barra dengan cepat, yang mana dengan satu tarikannya saja langsung berhasil membuat pinggang ramping wanita itu berada penuh di dalam lingkaran lengan kekarnya. Tatapan kedua insan itu sempat menyatu dalam satu garis lurus. Kara sempat terdiam, terhipnotis dengan manik mata cokelat Barra yang amat tajam. Namun dengan cepat ia segera menggeleng, dan menyadarkan diri. "Lepas, Barra! Tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan, karena kau sama sekali tidak bisa menjawab pertanyaanku!" Kara memberontak. Namun sayang semakin s
"Om Baik! Bunda!"Kara terkejut mendengar suara teriakan Arka, dan langsung segera menjauh dari jangkauan Barra. Ia tidak ingin membuat Arka salah mengartikan posisinya, terlebih adegan tadi memang tak pantas disaksikan langsung oleh anaknya yang masih kecil.Untung saja tadi Barra belum sempat melakukan apa pun yang diinginkannya. Karena kalau sudah, bisa dipastikan Kara akan bingung harus menjelaskan seperti apa pada anaknya nanti."Om Baik, jahat! Kenapa Om Baik ke Bunda dulu? Kan yang kangen sama Om Baik itu Arka, bukan Bunda!" protes anak kecil itu seraya mengangkat kedua tangannya, seolah memberikan kode pada Barra untuk segera menggendongnya.Mendengar protes dari mulut mungil itu, Barra pun tertawa renyah. Ia segera menggendong Arka dan mengecup pipi tembam tersebut secara berkali-kali, hingga setelahnya menatap Kara dengan sedikit mengerenyitkan kedua alis tebalnya."Arka sedang demam, dia selalu bertanya tentangmu belakangan ini," jelas Kara pelan yang entah kenapa membuat h
"Kamu belum menjelaskan apa pun padaku, Kara!"Kara terperanjat, ketika tiba-tiba saja mendapati Barra yang memeluknya dari belakang dengan begitu posesif. Saat ini, Kara memang hendak mencuci piring. Arka baru saja tertidur, setelah perutnya terisi penuh tadi. Terlebih sesudahnya Kara langsung memberikan obat penurun panas kembali, agar anak kesayangannya tersebut bisa segera cepat pulih."Barra, tidak bisakah mengunggu sampai aku selesai membersihkan semua piring-piring ini?" kilah Kara yang memang niatnya tak mau menjelaskan apa pun pada Barra.Tadi, Kara memang sempat berpikir kalau Barra telah melupakan pertanyaannya. Namun nyatanya dugaannya itu salah, karena saat ini pria tersebut kembali bertanya setelah memastikan Arka benar-benar sudah tertidur dengan pulas di kamarnya."Tidak bisa, Sayang! Aku benar-benar ingin tahu penyebab apa yang sampai mampu membuatmu meragukan hubungan kita," sahut Barra yang kembali mengeratkan dekapannya dan membubuhi beberapa kecupan singkat di ba
Kara terengah, menatap Barra yang tengah menyeringai tipis ke arahnya. Pria itu nampaknya sengaja membuatnya kewalahan, hingga sampai saat ini dirinya masih kesulitan untuk mengatur napas dengan normal."Jangan main-main denganku, Kara. Aku tidak suka wanitaku dekat dengan pria lain!" tekan anak tunggal Avaline tersebut, seraya menyeka satu tetes peluh yang sedang mengalir di dahi Kara.Setelahnya, pria itu beralih mengusap lembut bibir Kara yang sudah basah karena ulahnya. Ia menatapnya lurus tanpa ekspresi, hingga membuat permukaan kulit wanita yang masih berada di atas pangkuannya itu sedikit bergetar ketakutan.Kara sadar, bahwa dirinya telah salah. Sudah seharusnya ia memang tak main-main dengan seorang Barra Piterson, akan tetapi mau diapakan lagi? Jackson adalah sahabat dekatnya dulu, sehingga rasanya tak mungkin kalau dirinya menjauhi pria itu begitu saja."Sudah mau berbagi cerita tentang hal tersebut padaku, Kara Isabelle?" tanya Barra y
"Yah, basah!"Barra berucap seraya menatap kaus putih miliknya yang sudah basah sempurna berkat cipratan air yang terus-menerus. Sementara sang pelaku, tentu hanya tertawa lepas saja. Arka nampak sangat senang dimandikan oleh om baiknya, hingga kedua matanya berbentuk sebuah garis yang sedikit melengkung.Sore ini setelah demam Arka mulai menurun, Barra memang mengajukan diri untuk memandikan Arka pada Kara. Meski awalnya sempat tidak diperbolehkan, akan tetapi pada akhirnya Kara membiarkannya juga. Wanita itu tentu tak tega dengan Arka yang terus memohon kepadanya, terlebih sudah dari pagi juga anak kecil tersebut belum membasuhnya seluruh badannya."Nah 'kan, jadi main air," ucap Kara yang memergoki kedua lelaki berbeda usia itu dari balik pintu dengan tatapan khas ibu-ibu yang ada di muka bumi.Arka yang tengah dipergoki pun malah semakin tertawa. Sementara Barra, pria itu nampak salah tingkah hingga menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Ia bena
"Stop, Kara! Sepertinya kau sengaja ingin memancingku untuk bertindak lebih jauh ya? Heumm?"Kara terkesiap, dan langsung membuka matanya ketika merasakan dua tangan kekar Barra yang tengah menahannya dengan cukup kencang. Kara benar-benar merasa malu. Ia sama sekali tak bermaksud seperti itu, karena tadi hanya merasa sedikit penasaran saja."Barra, maaf. Aku—""Ssttt! Sudah terlambat meminta maaf, Sayang! Jadi sekarang, kau harus bertanggung jawab lebih dulu!" bisik Barra dengan suaranya yang kian terdengar berat.Setelahnya, tanpa memberikan aba-aba lagi Barra pun langsung menarik Kara masuk ke dalam dekapannya dan segera menyambar bibir manis wanita itu secara berulang dan terus berulang layaknya sedang memakan permen manis.Sementara Kara, wanita yang sebenarnya sudah terbawa suasana sedari tadi itu akhirnya pasrah dengan segala perbuatan Barra. Mereka berdua saling terbuai dengan sentuhan masing-masing. Apalagi entah kenapa semakin h
"Bagaimana ini, Tante? Semua telepon dariku benar-benar tidak dijawab," keluh Clarissa seraya menyandarkan kepalanya sesaat di pundak Avaline.Sehabis kepergian Jack tadi, Clarissa memang langsung mendatanginya. Entah apa dua pemuda itu sempat bersisian atau tidak, karena Avaline sendiri pun belum sempat bertanya banyak padanya.Namun satu hal yang pasti, Clarissa nampak sangat resah karena sedari tadi tak bisa menghubungi Barra. Wanita muda itu terlihat sangat kebingungan sekali, apalagi mamanya yang masih ada di luar negeri sana terus menghubunginya dan memintanya untuk segera melakukan panggilan video bersama calon tunangannya."Bagaimana kalau Tante yang coba menghubunginya?" tawar Avaline seraya mengusap pelan rambut pirang panjang milik wanita yang berprofesi sebagai model tersebut."Pasti tetap tidak bisa, Tante. Sepertinya telepon Barra tidak aktif, aku sudah mencoba menghubunginya dengan nomor lain tadi," sahut Clarissa kian tak bersemangat."Kau punya nomor baru?""Tidak, Ta