Yaakkk, Arka itu om baikmu mau isi energi dulu 😆 Simak terus kelanjutan ceritanya yaa, dan jangan lupa berikan ulasan, vote dan komen 💕 Terima kasih
"Om Baik! Bunda!"Kara terkejut mendengar suara teriakan Arka, dan langsung segera menjauh dari jangkauan Barra. Ia tidak ingin membuat Arka salah mengartikan posisinya, terlebih adegan tadi memang tak pantas disaksikan langsung oleh anaknya yang masih kecil.Untung saja tadi Barra belum sempat melakukan apa pun yang diinginkannya. Karena kalau sudah, bisa dipastikan Kara akan bingung harus menjelaskan seperti apa pada anaknya nanti."Om Baik, jahat! Kenapa Om Baik ke Bunda dulu? Kan yang kangen sama Om Baik itu Arka, bukan Bunda!" protes anak kecil itu seraya mengangkat kedua tangannya, seolah memberikan kode pada Barra untuk segera menggendongnya.Mendengar protes dari mulut mungil itu, Barra pun tertawa renyah. Ia segera menggendong Arka dan mengecup pipi tembam tersebut secara berkali-kali, hingga setelahnya menatap Kara dengan sedikit mengerenyitkan kedua alis tebalnya."Arka sedang demam, dia selalu bertanya tentangmu belakangan ini," jelas Kara pelan yang entah kenapa membuat h
"Kamu belum menjelaskan apa pun padaku, Kara!"Kara terperanjat, ketika tiba-tiba saja mendapati Barra yang memeluknya dari belakang dengan begitu posesif. Saat ini, Kara memang hendak mencuci piring. Arka baru saja tertidur, setelah perutnya terisi penuh tadi. Terlebih sesudahnya Kara langsung memberikan obat penurun panas kembali, agar anak kesayangannya tersebut bisa segera cepat pulih."Barra, tidak bisakah mengunggu sampai aku selesai membersihkan semua piring-piring ini?" kilah Kara yang memang niatnya tak mau menjelaskan apa pun pada Barra.Tadi, Kara memang sempat berpikir kalau Barra telah melupakan pertanyaannya. Namun nyatanya dugaannya itu salah, karena saat ini pria tersebut kembali bertanya setelah memastikan Arka benar-benar sudah tertidur dengan pulas di kamarnya."Tidak bisa, Sayang! Aku benar-benar ingin tahu penyebab apa yang sampai mampu membuatmu meragukan hubungan kita," sahut Barra yang kembali mengeratkan dekapannya dan membubuhi beberapa kecupan singkat di ba
Kara terengah, menatap Barra yang tengah menyeringai tipis ke arahnya. Pria itu nampaknya sengaja membuatnya kewalahan, hingga sampai saat ini dirinya masih kesulitan untuk mengatur napas dengan normal."Jangan main-main denganku, Kara. Aku tidak suka wanitaku dekat dengan pria lain!" tekan anak tunggal Avaline tersebut, seraya menyeka satu tetes peluh yang sedang mengalir di dahi Kara.Setelahnya, pria itu beralih mengusap lembut bibir Kara yang sudah basah karena ulahnya. Ia menatapnya lurus tanpa ekspresi, hingga membuat permukaan kulit wanita yang masih berada di atas pangkuannya itu sedikit bergetar ketakutan.Kara sadar, bahwa dirinya telah salah. Sudah seharusnya ia memang tak main-main dengan seorang Barra Piterson, akan tetapi mau diapakan lagi? Jackson adalah sahabat dekatnya dulu, sehingga rasanya tak mungkin kalau dirinya menjauhi pria itu begitu saja."Sudah mau berbagi cerita tentang hal tersebut padaku, Kara Isabelle?" tanya Barra y
"Yah, basah!"Barra berucap seraya menatap kaus putih miliknya yang sudah basah sempurna berkat cipratan air yang terus-menerus. Sementara sang pelaku, tentu hanya tertawa lepas saja. Arka nampak sangat senang dimandikan oleh om baiknya, hingga kedua matanya berbentuk sebuah garis yang sedikit melengkung.Sore ini setelah demam Arka mulai menurun, Barra memang mengajukan diri untuk memandikan Arka pada Kara. Meski awalnya sempat tidak diperbolehkan, akan tetapi pada akhirnya Kara membiarkannya juga. Wanita itu tentu tak tega dengan Arka yang terus memohon kepadanya, terlebih sudah dari pagi juga anak kecil tersebut belum membasuhnya seluruh badannya."Nah 'kan, jadi main air," ucap Kara yang memergoki kedua lelaki berbeda usia itu dari balik pintu dengan tatapan khas ibu-ibu yang ada di muka bumi.Arka yang tengah dipergoki pun malah semakin tertawa. Sementara Barra, pria itu nampak salah tingkah hingga menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Ia bena
"Stop, Kara! Sepertinya kau sengaja ingin memancingku untuk bertindak lebih jauh ya? Heumm?"Kara terkesiap, dan langsung membuka matanya ketika merasakan dua tangan kekar Barra yang tengah menahannya dengan cukup kencang. Kara benar-benar merasa malu. Ia sama sekali tak bermaksud seperti itu, karena tadi hanya merasa sedikit penasaran saja."Barra, maaf. Aku—""Ssttt! Sudah terlambat meminta maaf, Sayang! Jadi sekarang, kau harus bertanggung jawab lebih dulu!" bisik Barra dengan suaranya yang kian terdengar berat.Setelahnya, tanpa memberikan aba-aba lagi Barra pun langsung menarik Kara masuk ke dalam dekapannya dan segera menyambar bibir manis wanita itu secara berulang dan terus berulang layaknya sedang memakan permen manis.Sementara Kara, wanita yang sebenarnya sudah terbawa suasana sedari tadi itu akhirnya pasrah dengan segala perbuatan Barra. Mereka berdua saling terbuai dengan sentuhan masing-masing. Apalagi entah kenapa semakin h
"Bagaimana ini, Tante? Semua telepon dariku benar-benar tidak dijawab," keluh Clarissa seraya menyandarkan kepalanya sesaat di pundak Avaline.Sehabis kepergian Jack tadi, Clarissa memang langsung mendatanginya. Entah apa dua pemuda itu sempat bersisian atau tidak, karena Avaline sendiri pun belum sempat bertanya banyak padanya.Namun satu hal yang pasti, Clarissa nampak sangat resah karena sedari tadi tak bisa menghubungi Barra. Wanita muda itu terlihat sangat kebingungan sekali, apalagi mamanya yang masih ada di luar negeri sana terus menghubunginya dan memintanya untuk segera melakukan panggilan video bersama calon tunangannya."Bagaimana kalau Tante yang coba menghubunginya?" tawar Avaline seraya mengusap pelan rambut pirang panjang milik wanita yang berprofesi sebagai model tersebut."Pasti tetap tidak bisa, Tante. Sepertinya telepon Barra tidak aktif, aku sudah mencoba menghubunginya dengan nomor lain tadi," sahut Clarissa kian tak bersemangat."Kau punya nomor baru?""Tidak, Ta
"It's okay, Ra. Jangan terlalu khawatir, mungkin mommy hanya ingin membicarakan masalah pekerjaan?""Pekerjaan? Kalau seperti itu untuk apa ibumu menelepon di saat malam-malam seperti ini? Apa tidak ada hari esok untuk membicarakannya?"Barra menghela napas, melihat ketakutan Kara yang semakin jelas. Sebenarnya tadi ia hanya ingin membantu menenangkan saja, tetapi nyatanya kekasihnya itu tak kunjung bisa tenang dan terus kepikiran karena tadi sempat tidak berani menjawab langsung panggilan dari Avaline."Ibumu pasti meneleponku untuk mencarimu. Teleponmu tidak aktif 'kan?" ucap Kara pelan seraya mengusap wajahnya.Saat ini Barra dan Kara memang sudah berdua di ruang tengah. Arka sudah tertidur pulas di dalam kamar setelah mendengar dongeng karangan Barra, sehingga kini mereka berdua bisa saling berbicara untuk membahas telepon dari Avaline yang amat tiba-tiba tadi.Dengan membawakan satu gelas air hangat, Barra pun duduk si samping Kara.
"Bekas orang lain? Dia bukan barang, Mom! Dia jelas bukan bekas siapa-siapa!"Emosi Barra seketika tinggi tak membendung, di saat mendengar ucapan Avaline yang benar-benar tidak bisa dimaklumi olehnya. Baginya ucapan itu sudah benar-benar keterlaluan, bahkan terdengar sangat jahat sekali."Kau meninggikan nada bicaramu di depanku, Barra? Ingat, aku ini masih ibumu!" hentak Avaline tak kalah emosi.Kedua ibu dan anak itu kini saling bersitatap dalam tegang. Tak ada satu pun yang berniat mengakhiri emosinya, terlebih Avaline kian menatap ke arah Barra dengan sangat tajam."Hanya karena wanita itu, kau sampai tega membentakku? Mommy benar-benar kecewa padamu, Barra!" Avaline berucap, membuat Barra tersenyum miris setelahnya."Jangan bersikap seolah aku yang jahat di sini, Mom! Di awal aku sudah sebisa mungkin berusaha bicara dengan baik-baik!"Avaline memutar matanya jengah. Kini tekadnya memisahkan Barra dan Kara jadi semakin besar, apalagi semakin hari penentang anak lelakinya itu sema