"Hey, sudah. Jangan menangis lagi, nanti Arka jadi sedih melihatmu seperti ini," ucap Barra seraya menyeka beberapa tetes air mata Kara.
Saat ini Kara dan Barra memang sudah berdua. Barra sengaja lebih dulu menyuruh Arka untuk kembali ke tempat meja makan, karena menyadari Kara yang sedang berusaha menahan tangis di sampingnya. Ia terpaksa melakukannya, agar bisa menenangkan wanita itu terlebih dahulu sebelum nanti kembali berhadapan langsung dengan anak kecil tersebut."Barra, aku merasa sangat bersalah pada Arka. Dia seperti ini karena aku, aku yang—""Ssttt ... Sudah, Sayang! Itu semua tentu bukan karena kesalahanmu. Jadi tolong jangan menyalahkan dirimu sendiri lagi, okay? Arka hanya mau melihatmu bahagia, bukan merasa bersalah atau pun sedih seperti ini," potong Barra cepat seraya mendekap erat tubuh Kara.Tumpah sudah tangis Kara yang tadi sempat ditahannya. Kedua bahu wanita itu semakin bergetar, kala mengingat kembali segala kata-kata Arka"Bunda! Arka senang sekali hari ini! Terima kasih ya, Bunda!""Iya, Sayang! Sama-sama ya, bunda juga senang sekali karena sudah mendapatkan kejutan dari Arka hari ini," sahut Kara seraya mengecup pelan pipi tembam anak lelakinya.Arka mengangguk, seraya tersenyum. Sambil tiduran dan menatap langit-langit kamarnya, Arka tak bisa melupakan semua kebahagiaannya hari ini begitu saja. Ia senang bisa menghabiskan waktunya bersama sang bunda dan Om Baik kesayangannya seharian ini, karena baginya itu semua adalah momen yang sangat berharga."Bunda? Bunda suka enggak sama gelangnya? Itu yang milih Arka loh, dan Om Baik yang membayarkannya," ucap anak kecil itu seraya melihat ke arah sebuah gelang cantik yang telah melilit di tangan sang ibunda tiba-tiba."Tentu bunda suka dong, Sayang! Terima kasih ya, bunda suka sekali!" Kara kembali mengecup ujung rambut Arka seraya memeluknya dengan rasa kasih sayang. Kara benar-benar tak sabar menunggu kedatangan Barra, karena rencananya malam ini ia akan
"Hufftt!"Kara mendesah pelan, ketika baru menyadari sebuah pesan yang baru saja masuk ke dalam ponselnya. Sudah ada beberapa panggilan masuk yang tak terjawab sebelumnya, akan tetapi tadi dirinya terlalu terlelap sehingga tak menyadarinya."Berarti hari ini aku harus mengantarkan Arka ke kantor Barra sendirian? Dan itu berarti aku harus berhadapan langsung dengan ibunya?"Kara bertanya-tanya di dalam hati, sambil mencoba menghubungi Barra kembali. Kemarin Barra memang sempat mengutarakan padanya, bahwa hari ini adalah jadwal Arka untuk mempersiapkan pemotretan kedua dengan salah satu brand pakaian milik ibunya. Namun sayang pria itu belum sempat menjelaskan lebih lanjut lagi, dan sekarang sama sekali tak menjawab panggilannya karena mungkin sedang sangat sibuk atau sedang dalam berada di perjalanan.Barra, pada akhirnya pria itu memang tak jadi pulang untuk menemui Kara karena harus mengantarkan ayahnya yang tiba-tiba drop ke rumah sakit besar ya
"Oh, astaga. Ternyata kamu di sini?"Barra seketika menoleh dan menghela napas, tepat sesaat menyadari siapa sosok yang baru saja datang ke depan ruang rawat ayahnya. Ia memutar matanya malas, seraya hendak berlalu begitu saja tanpa mempedulikan sosok itu."Tunggu, Barra! Kamu mau ke mana? Aku baru saja datang, dan kamu mau pergi?" tanya wanita itu dengan sorot mata kecewa."Ada beberapa hal yang harus ku—""Barra, aku mohon jangan menghindar dariku seperti ini. Aku bukanlah kuman yang harus kamu hindari, Barra. Aku buru-buru menghampirimu ke sini, karena merasa sangat khawatir denganmu dan ayahmu," potong Clarissa memelas, dengan manik matanya yang semakin membulat penuh harap.Clarissa, wanita itu pada akhirnya memang berhasil menemui Barra. Tampilannya juga sudah tak seburuk tadi pagi, bahkan di tangannya kini juga ada parcel buah yang sudah dihias dengan sangat cantik demi mengambil perhatian Barra dan calon ayah mertuanya."
"Kara? Kara Isabelle 'kan?"Sekali lagi Kara membeku, melihat pria bermata biru yang sama sekali tak pernah ia sangka. Kedua netranya membulat, begitu juga dengan mulutnya yang entah kenapa mendadak kelu."Hey, Jack! Sejak kapan kau ke sini? Kenapa tidak bilang-bilang dulu?" sambar Avaline yang langsung menyapa pria seumuran anaknya itu dengan ramah.Avaline memeluk Jack dengan hangat. Dan tak hanya itu saja, Jack juga menyalami wanita tersebut dengan hormat layaknya sudah memiliki hubungan kekerabatan yang cukup dekat. Sementara Kara, ia yang melihatnya pun hanya bisa diam dengan perasaan yang semakin kikuk.Jackson Xavier, kenapa pria itu bisa ada di sini dan sangat mengenal Avaline? Kara bertanya-tanya di dalm hatinya."Aku baru saja sampai sini, Tante. Aku hanya ingin memberikan ini. Mommy pernah bilang kalau Tante sangat menyukainya bukan? Sekalian tadi Mommy juga titip salam untuk Tante," ucap pria yang tak kalah tampan dari Barra tersebut, seraya memamerkan sebuah bingkisan yan
"Apa kamu sama sekali tidak mau berteman lagi denganku?""Bukan begitu, Jack ...."Kara menunduk lemas, karena pada akhirnya ia tak bisa menghindar dari segala pertanyaan Jackson. Sesekali dirinya menarik napas dalam untuk menenangkan diri, sampai akhirnya kembali memberanikan diri menatap balik sorot mata yang sedari tadi tak kunjung berpaling dari wajahnya itu."Maafkan aku, Jack. Ada beberapa masalah yang sampai saat ini aku belum bisa ceritakan padamu," lanjut Kara seraya kembali berpaling ke arah lain.Jack yang mendengarnya pun mendesah frustasi. Ia tak suka melihat Kara yang sangat menutup diri padanya seperti ini, seolah dirinya hanyalah orang asing yang baru dikenal.Walau sekarang Kara sudah memiliki anak dan beberapa perbedaan yang lain, akan tetapi tetap saja menurutnya itu tidak dapat dijadikan sebuah alasan untuk menjauh darinya. Sedari awal ia benar-benar tulus ingin berteman dengan wanita berparas cantik alami tersebut, me
"Bu ...."Kara langsung kesulitan membasahi tenggorokannya sendiri, terlebih saat ini Avaline menatapnya dengan tatapan yang sangat tajam dan intens."Kalau tadi aku tidak salah dengar, kau menyebut nama Barra bukan?" tanya Avaline sekali lagi, hingga membuat cengkraman Kara pada ujung bajunya semakin menguat.Siapa yang akan menyangka kalau perempuan itu akan tiba-tiba datang dan memergoki dirinya yang sedang melakukan panggilan video dengan Barra?Andai saja Kara tahu, pasti ia akan segera menghindar. Kara tak menyangka kalau semuanya akan terbongkar secepat ini, apalagi saat ini bisa dilihatnya dengan dengan jelas raut wajah ketidaksukaan suka Avaline padanya."Jawab pertanyaanku, Kara! Kau habis menghubungi Barra bukan?" tanya Avaline kembali dengan tatapannya yang semakin menyelidik.Pelan tetapi pasti, langkah tegap Avaline mulai bergerak maju. Beberapa peluh pun mulai membasahi sebagian tubuh Kara, terlebih wanita pintar dan kaya raya itu semakin mengeluarkan aura intimidasi ya
"Bunda? Kenapa kita harus pindah lagi?"Arka bertanya seraya mengerjap ke arah beberapa baju dan tas yang baru saja dirapikan oleh bundanya. Anak kecil itu nampak tak mengerti, terlebih saat ini kedua mata sang bunda terlihat membengkak seolah habis menangis seharian penuh.Tak terasa seminggu sudah Kara menjalani hari-harinya dengan perasaan yang tak menentu. Hubungannya dengan Avaline, kian terasa semakin menjauh. Wanita yang umurnya hampir setengah abad itu sangat jelas berusaha menghindar dirinya, dan bahkan untuk hari ini saja ibu kandungnya Barra tersebut sama sekali tak menyapa dan mengabaikan keberadaannya.Sementara Barra? Pria itu sepertinya semakin sibuk di sana. Kara sulit sekali menghubunginya, terlebih hampir di setiap malam Arka bertanya kabar tentang pria tersebut padanya."Bunda? Bunda kok melamun? Arka cuma mau tanya, kenapa kita harus pindah dari sini Bunda? Kan Om Baik belum pulang," lanjut anak kecil itu, seraya menarik ujung
"Apa? Sudah dari tiga hari yang lalu?"Barra membulatkan matanya tak percaya, begitu mendengar penjelasan dari salah satu petugas keamanan apartemennya. Ia sungguh tak mengerti dengan apa yang telah terjadi pada Kara beberapa hari ke belakang ini, hingga membuat wanita itu nekat meninggalkan tempat tinggalnya begitu saja tanpa mengantongi izin darinya."Iya, Pak. Sepertinya mereka juga sudah dijemput oleh seseorang, karena orang itu juga sempat membantunya membawakan beberapa barang," jelas sang petugas keamanan, hingga membuat Barra semakin berpikir keras.Apa Kara mempunyai keluarga atau kerabat lain yang bisa membantunya? Atau itu hanya supir taksi online yang sudah dipesannya? Entah, Barra tak tahu karena saat ini ia sama sekali tak mempunyai petunjuk apa pun.Pusing memikirkan segala kemungkinan, akhirnya Barra pun memutuskan untuk kembali ke mobil. Ia tak peduli dengan tubuhnya membutuhkan istirahat berkat perjalanan udara yang baru saja dijalaninya, karena di dalam otaknya saat