Hujan turun dengan lebatnya. Sudah sedari sore tadi air dari langit itu membasahi bumi, mengenai apa saja yang ditemui. Tanpa pandang bulu. Turun mengikuti gravitasi. Membanjiri selokan. Tempias ke jalanan.
Udara yang ditimbulkan pun dingin sampai menusuk-nusuk kulit. Aku bergelung selimut sambil menekan layar ponsel. Tak ada yang kulakukan, hanya menggeser-geser layar utama. Aku menunggu panggilan Nara, berharap dia menghubungiku seperti saran Riga.
Pikiranku kusut, aku butuh penenang dari Nara. Sekedar ucapan ‘Hai’, atau memanggil namaku. Aku serindu itu padanya. Hampir membuatku gila.
Ponselku kehabisan daya. Muncul pemberitahuan low battery. Satu persen. Dan minta diisi. Aku malas melakukan charge. Sepertinya malam ini pun Nara alpa menghubungiku.
Kulempar sembarang ponsel ke sisi kasur yang kosong. Entah sudah seberapa dingin tempat itu sekarang. Seminggu ini tidak ditempati tuannya.
Aku mengelus-elus bantal Nara,
Pagi-pagi aku terbangun dengan bugar. Listrik juga sudah menyala. Aku menggeliat dengan nyaman. Dan berdengung.Dari tepi kasur aku lihat tangan seseorang. Kutengok ke bawah kasur, ternyata Riga ketiduran di sana. Aku terkesiap, menyadari sesuatu. Sepertinya pegangan tanganku padanya terlalu kuat sampai Riga tak bisa beranjak.Padahal Riga bisa saja melepasku bila sudah tertidur. Dia malah tak mau repot, memilih tidur di bawah kasur. Apalagi posisinya tidak nyaman begitu. Satu tangannya di atas kasur. Kepala bersandar di sisi kasur yang jauh dari kata empuk.Pelan-pelan aku membangunkan Riga. Kugoyang-goyangkan tangannya, memanggil nama Riga lirih. Pria berambut gelombang itu terbangun. Dengan mata yang masih berat dan rapat, ia menolehku. Kepalanya terhuyung, kelihatan pusing.“Pindahlah tidur ke kamarmu,” ucapku.Riga mengucek matanya. Mengacak rambutnya dengan satu tangan. Riga melihat jam dinding di kamar. Pukul enam pagi. Ia masih
“Apa yang kamu lakukan dengan Riga saat aku gak ada?” pertanyaan Nara menohok. Langsung ke inti.Aku tidak tahu apa yang dia tahu. Apa mungkin Nara tahu aku dan Riga berciuman. Bukankah Nara belum pulang saat itu. Atau ia melihat kami yang berpegangan tangan, dan mengartikan kalau terjadi sesuatu dengan kami malam itu. Yang mana yang Nara tahu?“Aku gak ngerti kamu ngomong apa? Aku gak melakukan apa pun dengan Riga.”Bodohnya aku berpura-pura polos pada Nara yang bisa membaca nadaku sedang berbohong padanya atau tidak.Nara membalikkan badan. Kini perhatian jatuh sepenuhnya padaku. Tatapannya ambigu, wajah datar dan sulit kutebak.“Aku merindukanmu, Viana. Aku pulang cepat dan berharap bisa memelukmu segera. Tapi ... begitu aku pulang, aku mendapati kamu bersama Riga. Kalian saling berpegangan tangan. Dan bunga ini ...,”Nara menunjuk buket bunga besar yang kusimpan dekat nakas. Harusnya kubuang itu. Atau
Meski sesumbar ingin pergi, nyatanya tidak ada tempat yang bisa kutuju. Sendirian, dalam gelap malam, berjalan terseok-seok dan muka sembab. Aku berjalan tanpa tahu arah. Semalam ini adakah tempat yang menerimaku.Terbersit pikiran menuju sanggar. Aku bisa bermalam di sana. Lagipula ada baju training yang kutinggalkan untuk ganti. Aku butuh itu, badanku lengket, bau, belum makan dan mandi. Celemek saja masih kukenakan. Aku kacau sekali.Dengan hati bulat, aku berjalan ke sanggar. Jaraknya lumayan jauh dari tempatku. Perlu usaha ekstra dalam keadaan lapar dan haus. Juga mual muntah yang sudah terasa di kerongkongan.Sanggar tinggal sepelemparan batu. Di sana terang benderang dan tidak terkunci. Biasanya ada satpam yang berjaga. Hari ini dia belum kulihat dimana pun.Kakiku melangkah ke halaman sanggar. Terus menuju pintu yang tertutup. Tiba-tiba ia terbuka memunculkan seseorang dari dalam sana. Dia Havana. Dengan tas goodie bag, membawa trainingnya untuk i
Sepuluh hari lagi tampil. Yeay~Kami jadi sering bermalam di sanggar. Sekedar ngobrol-ngobrol atau mengerjakan detail-detail kecil bagian tim properti.Aku hampir tidak peduli dengan Nara yang masih membenciku atau tidak. Bila bersama teman, aku bisa sedikit meredam rasa rindu pada sosoknya.Aku tahu dari Milan kalau Nara tinggal di apartemennya yang dulu. Berkali-kali berada di lingkungan sini menaiki motor. Juga Riga yang kadang kulihat mengawasi dari jauh menggunakan mobilnya.Hanya sebatas ini kami bertemu. Tak ada keberanian untuk saling mendekat. Seperti orang asing.Namun malam ini lain. Pintu sanggar diketuk saat kami sedang khusyuk membahas kostumku yang mulai kekecilan karena perutku makin maju. Seseorang membukakan pintu untuk kami dan serempak semua mata tertuju padanya.Orang itu Riga. Dia tidak datang dengan tangan kosong, tangannya penuh dengan keresek makanan dan minuman. Riga berikan pada orang yang membukakan pintu
"Seandainya Nara tahu kalau anaknya perempuan, apa dia akan senang?"Aku bergumam. Kukira suaraku tidak kedengaran. Namun Riga menjawabku."Tentu saja dia senang. Dia paling ingin anak perempuan, bukan?"Dia mengatakannya dengan enteng. Seolah di antara kami tidak ada pertengkaran apa pun. Apalagi Riga masih bisa tersenyum simpul."Aku jadi membayangkan, Nara akan mengangkat ujung bibirnya ke atas. Mengendikkan dagu sambil bilang, 'sudah kuduga' dengan gayanya yang sok cool."Riga berceloteh riang sambil mempraktekkan apa yang ia bilang. Benar, ia melakukannya sama persis seperti yang Nara lakukan.Ya, Tuhan. Aku jadi merindukan Nara."Viana, hasil USG nya boleh aku yang simpan?" kata Riga seraya menghalangi jalanku dengan tubuhnya."Buat apa?""Mau aku tunjukkan pada Nara.""Heh, kamu mau bilang kalau kamu dengan Nara sudah berbaikan. Sedangkan denganku, Nara masih menolak bertemu, begitu?""Aku belum bert
"Oh, ya. Aku bawa buket bunga untukmu." Riga membungkuk ke kursi di belakangnya. Mengambil buket bunga mawar untuk ia serahkan padaku.Buket bunga? Melihatnya membuatku ingat Nara pernah melemparkan bunga padaku. Kelopaknya berguguran, pot pecah, dan hatiku ikut remuk karenanya.“Riga, bisa singkirkan itu. Aku mulai enggak suka dengan buket bunga,” jujurku.Riga menaruh buket di belakang tubuhnya. Paham pada trauma yang terjadi padaku di malam hari itu. Saat-saat yang membuat kami jadi tercerai berai.“Maaf!”Setelah kupikir-pikir Riga selalu mengatakan itu. Ia tulus, aku bisa rasakan itu. Sorot matanya lemah. Tidak setegar biasanya yang senang menjahili atau bicara seenaknya padaku.Sedikitnya aku merasa bersalah sudah mengubah Riga jadi seperti ini. Tapi ... bisakah aku terus menyalahkannya?“Riga ... apa aku ... boleh pulang?”Riga membelalak. Mengangguk berkali-kali tapi juga tidak yakin
Dalam keadaan itu, Galanta ikut terkaget dengan darah yang membanjir di kakiku. Ia terbelalak. Mundur perlahan. Lalu dengan segera ia berlari seperti seorang pengecut. Meninggalkan aku yang gemetaran karena takut hal buruk terjadi.Apa yang harus kulakukan?Saking takutnya aku hanya bisa gemetaran di lantai. Tidak seperti saat ditendang Gumi dulu. Ia mengenai perutku, tapi tidak ada darah yang keluar. Lalu ini ... apa yang harus kulakukan?Dengan pikiran pendek, sempit, aku meraih handphone yang terlempar tak jauh dari tempatku. Aku tidak bisa menekan layar dengan benar. Bercak darahnya menempel setiap kuketikkan sesuatu di sana.Aku mencari kontak seseorang. Tapi siapa? Siapa yang bisa kuhubungi sekarang? Orang yang bisa memberikan pertolongan padaku segera.Batinku berteriak Nara, tapi nalarku menolaknya. Ponselnya hilang. Ada atau tidak ada ponsel pun Nara selalu sulit kuhubungi.Riga?Aku tidak berpikir banyak untuk Riga. Segera k
Nara selalu di sisiku. Tidak beranjak sama sekali. Menemaniku setiap detiknya. Melayaniku yang kesakitan sisa-sisa operasi. Membantuku menyeka keringat dengan air hangat. Menyuapiku. Juga mengumpulkan tetes demi tetes air mata.“Aku merindukanmu, Nara,” isakku di sela suapan bubur ke mulutku.“Aku juga,” jawabnya.“Nara kemana saja selama ini?”“Aku gak kemana-mana. Aku selalu ada.”“Tapi kamu gak ada untukku. Kamu gak ada sewaktu aku didorong jatuh oleh Galanta. Kamu gak ada sewaktu aku butuh kamu.”Lagi dan lagi aku menangis. Seolah hanya ingin menyalahkan orang lain. Padahal di hati kecilku aku tahu semua ini salahku. Aku yang bodoh.Nara menurunkan tangannya. Menghela napas panjang seolah memikul beban berat di pundaknya.“Maaf, Viana. Aku menyesal sudah meninggalkanmu.” Nara serius tentang maafnya. Itu yang kubaca dari raut muka juga mata nanar dari Na
"Aku menunggumu datang, Nara."Aku terlena dengan desis suaranya. Seperti membuaiku dari kekalutan. Memberiku semangat sebab sempat terpuruk mendengar tangisnya.Viana memundurkan kepalanya hingga kami jadi saling bertatapan.Aku lupa, Viana memang seindah ini sebelumnya. Wajahnya, senyumnya, cara ia melirikku. Dia wanita yang punya kesempurnaan mutlak."Aku mau minta maaf, sudah merepotkanmu hari itu," sambung Viana."Merepotkan apa?""Kamu. Sampai sengaja menghiburku ke luar rumah demi membuatku gak sesak lagi berada di dalam sini."Aku belum menemukan inti dari perkataannya. Atau kemana arah pembicaraan ini akan berlangsung."Waktu itu aku sangat down. Aku benar-benar gak bisa berpikir dengan tepat. Aku juga gak ingat pernah berteriak pada semua orang tentangmu ataupun tentang Riga."Mendengar nama itu disebut lagi, spontan aku seperti diingatkan, kalau Viana bukan milikku, tapi Riga. Meski Riga sudah meningg
"Aku ingin kembali pada Viana. Apa aku salah?"Yenan mendorong kerahku hingga belakang kepalaku membentur tanah."Tentu saja kamu salah, bedebah! Kamu sudah mempermainkan perasaan Seya," teriak Yenan.Yenan bangkit dari menindih badanku. Ia mengacak rambutnya, seolah kehilangan akal."Sialan! Kalau tahu akhirnya akan begini, harusnya aku gak membiarkanmu dekat dengan Seya." Yenan meracau.Aku sama sekali tak beranjak dari tanah. Langit bisa kupandangi dari posisiku. Juga dingin dari jalanan yang mulai menghasilkan embun pagi."Pergi kamu, Nara! Aku akan menghancurkanmu kalau sampai menunjukkan wajahmu lagi di depan Seya."Bagiku, itu seperti isyarat bahwa ia menyerah terhadapku. Sebab, memintaku tetap berada di sini, kembali pada Seya, hanya akan memberikan luka padanya.Yenan memilih untuk membenciku dengan caranya.Aku beranjak dari tanah. Memandangi Yenan yang sedang memunggungiku lengkap dengan kepalan tangan yang te
Namun, rupanya di rumahku ada seseorang.Seya.Ia berdiri menghadapku dengan wajah cemas dan kantung mata menghitam. Kutebak, ia juga tak tidur malam kemarin.“Nara!” suaranya terdengar serak. “Aku mencemaskanmu.”Seya mendekat. “Apa yang terjadi dengan ponselmu, kenapa gak menjawab teleponku. Aku hanya ingin tahu kabarmu. Aku cemas terjadi sesuatu dengan Nara.”Aku sudah menduga Seya akan begini. Hanya saja aku tidak menyangka akan terjadi secepat ini, di rumahku, tepat setelah aku kembali.Saat di perjalanan, aku sudah memikirkan ini matang-matang. Aku harus memilih Seya dan Viana. Dan pilihanku jatuh pada Viana.“Seya, ada yang mau kukatakan padamu,” potongku. Mengabaikan kalimatnya barusan.Wajah Seya tegang. Ia tidak pernah melakukan itu sebelumnya. Senyum yang kemarin jadi ciri khasnya seolah raib hanya lewat kalimatku barusan.“Jangan katakan! Aku tahu apa yang
"Viana, kamu mau pergi denganku?"Viana memandangiku dengan tatapan kuyu. Aku tahu ia masih terpengaruh obat bius. Ia juga masih lemas efek berontak siang tadi.Tapi sungguh, di dalam rumah ini terasa sangat menyesakkan. Aku ingin memberi Viana angin segar agar ia lepas dari stress yang membuatnya ingin terus berteriak.Kuraih jaket yang menggantung dekat rak. Kupakaikan pada Viana. Lalu membantunya turun dari kasur dan menggandengnya berjalan keluar kamar.Orang-orang masih terlelap tidur. Aku dan Viana leluasa jalan mengendap-endap sampai ke luar rumah. Sekilas aku melihat jam dinding menunjukkan pukul 1 dini hari. Malam akan sangat dingin di luar, maka kurapatkan jaket yang dikenakan Viana.Jejeran bunga tanda berduka masih berada memenuhi jalanan. Viana menoleh ke arah itu. Sambil menahan gemetaran di bibirnya. Kupegang erat tangannya, berjalan ke arah sebaliknya yang jauh dari karangan bunga.Jalan dan jalan. Tak ada yang kami ucapkan.
“Mana Nara?”Otomatis aku beringsut ke kamar Viana begitu mendengar namaku disebut. Cyan juga mengekor tak jauh dariku.Viana nampak sedang ditenangkan oleh kakak iparnya. Ia mengamuk seperti saat tadi pagi. Kali ini ia meneriakkan namaku. Seolah kehilangan akal. Itu bukan seperti Viana yang kukenal.“Nara, mana Nara? Jangan ceraikan aku. Aku gak mau cerai dari Nara,” teriak Viana.Cerai?“Nara!”Lagi, Viana berteriak. Aku yang saat itu di pintu hanya bisa menatapnya. Viana menolehku. Tatapan kami bersirobok. Dan secepat kilat, Viana berlari ke arahku. Memeluk tubuhku. Di hadapan orang-orang, ia melingkarkan tangannya di perutku, kepalanya membenam di dadaku."Kumohon, jangan ceraikan aku. Aku gak mau berpisah denganmu. Jangan pergi!"Semua membisu. Terutama aku.Aku sempat mendengar kalau orang yang memiliki stres akut, ingatannya bisa kembali pada saat trauma terberatnya.Bisa
Saat itulah, aku menghampiri Viana. Mengambil alih kanan dan kiri tubuhnya. Mencengkeram pergelangan tangannya. Dan menariknya masuk ke tubuhku.“Ssst, diamlah Viana!”Viana belum sadar benar siapa yang memeluknya ini. Ia memukuli punggungku dan masih saja berteriak. Lagi, aku memeluknya makin erat. Tidak peduli dia memukul seberapa keras, atau ia menggigit bahuku demi minta kulepaskan.“Viana, ini aku. Nara!”Saat itu, barulah Viana berhenti. Mata kami bertautan. Kupandangi kedalaman matanya yang terlihat sangat nelangsa. Ada ribuan kalimat sedih yang kutangkap dari sorot matanya.Entah sudah berapa lama Viana mengamuk seperti ini, hanya saja kulihat ia cukup lelah. Napasnya naik turun, kedua tangannya juga melemas ketika kutangkap.“Na-ra?”Viana sukses menyebutkan namaku dengan bibirnya yang bergetar. Dan tak lama, Viana kehilangan keseimbangan. Ia pingsan. Aku menangkap kepalanya sebelum jatuh k
“Nara, Riga meninggal dunia.”Aku tercekat. Mendadak darahku seperti berhenti mengalir dalam detik itu. Aku menelan ludah dan menjauhkan ponsel dari telingaku.Biru yang melakukan panggilan itu. Aku sudah menyimpan nomornya tempo hari.“A-apa yang kamu bilang barusan?” aku ingin mengkonfirmasi sekali lagi. Takutnya salah dengar. Atau Biru sedang bercanda.Namun, suara isakan yang kemudian mewarnai speaker ponselku. Kulihat Seya memiringkan kepalanya ke arahku sebab dahiku berkerut memandangnya.“Biru?”Biru terdengar berusaha keras mengontrol isakkannya. Dan ia mengulang apa yang barusan ia katakan. Kali ini lebih pelan dan penuh penekanan.“Nara, Riga meninggal dunia. Tadi malam. Tabrakan mobil beruntun.”Tidak.Aku lemas. Baru kemarin aku menyaksikan bagaimana Yenan terkulai lemah setelah berita meninggalnya Reist. Kali ini aku bisa tahu seperti apa rasa
Kami kembali ke Surabaya. Melakukan aktivitas seperti biasanya lagi. Kali ini tujuanku sangat jelas, aku akan menikahi Seya. Tanpa kompromi.Sudah kutanyai pihak sekolah untuk melakukan pinjaman. Dan mereka menyanggupi itu. Masalah biaya sepertinya bisa tertangani. Mental juga sudah. Tinggal meyakinkan sekali lagi, apa Seya benar-benar siap.Berbeda denganku. Aku pernah punya pengalaman dalam pernikahan. Seya tidak. Mungkin dalam hatinya masih ada keraguan atau ketakutan. Sebab pernikahan sesuatu yang indah di luar, namun bisa sangat menakutkan di dalam.Aku pernah gagal satu kali. Bersama Seya, aku tidak ingin mengalami kegagalan itu lagi. Aku berjanji pada diriku sendiri dan pada Yenan yang menyetujui keputusanku seratus persen.Aku baru pulang dari sekolah ke kontrakanku. Di depan pagar, kulihat seseorang menunggu sambil bersandar dekat mobil.Kalau aku tidak salah ingat, itu mobil Biru. Dan laki-laki dengan tinggi semampai juga punya kulit sepu
Sejak kedatangan Riga tempo hari, rasa sukaku pada Seya malah makin berlipat-lipat. Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan. Menyukainya terasa sangat menyenangkan.Beberapa kali aku diajak berkunjung ke rumah keluarganya di Bandung. Hubungan kami tambah serius. Sosokku juga dianggap ‘ada’ bukan sekedar orang yang selalu bersama Seya saja.Karena khawatir dengan pendapat orang sekitar, aku pindah kontrakan. Jadi lebih dekat ke sekolah. Kami tetap bisa berkomunikasi. Kadang aku sarapan juga di rumah Seya dan Yenan. Tapi untuk tidur, kami tak bisa satu atap lagi. Kecuali aku menikahinya.Dialog itu pernah ada dalam otakku. Kutanya Yenan pun, ia setuju saja. Menurutnya usia kami sudah matang. Sudah sama-sama siap. Izin keluarganya sudah kukantongi. Pekerjaan pun punya. Lalu apa lagi?“Apa Nara gak mau mengenalkan aku pada keluargamu?” tanya Seya di suatu sore saat kami sedang berjalan-jalan di sebuah taman.Bukannya aku