Harusnya kalau Riga tegas. Tidak, bilang tidak. Bundanya Riga tentu tidak akan menerorku begini.
Sebenarnya seberapa hebat pencari informasi Bunda. Tiba-tiba ia tahu jadwal latihanku di sanggar.
Bunda tidak datang dengan tangan kosong. Dibawanya minuman starbuck berjumlah pas dengan anggota yang hari ini datang latihan.
Bunda khusus membawaku multivitamin. Bukan merek yang umum kudapat di toko, tapi buatan luar negeri. Dan pasti mahal.
Di waktu istirahat, Bunda mengajakku berbincang. Ia memulai dengan cerita kondisi keluarganya. Sama persis seperti yang kudengar dari Riga kemarin. Namun kali ini lebih intens versi seorang ibu.
“Ayahnya Riga meninggal saat Riga masih kecil. Ayahnya Riga selalu berharap suatu hari nanti bisa jadi direktur Abimahya Corp. Pengabdiannya bukan main-main. Ia juga yang bantu menumbuhsuburkan perusahaan keluarga ini. Namun umur seseorang siapa yang tahu. Mimpi di posisi tertinggi pupus sudah.
“Riga dekat dengan ayahnya. Kurasa karena itulah mimpi jadi direktur tertular pada Riga. Anak itu selalu serius kalau menyangkut perusahaan. Ia juga diakui Danavy, adik Bunda yang sekarang jadi direktur.
"Sebenarnya bisa saja jabatan itu otomatis jatuh ke tangan Riga. Tapi persyaratan harus menikah dulu sudah turun temurun dan akan tetap berjalan.
“Bunda gak tahu Riga punya pacar. Bunda berniat menjodohkannya dengan kenalan Bunda. Tapi Bunda ini pemilih. Hampir enggak ada yang cocok dengan Bunda.”
Ingin sekali aku menyela. Tapi Bunda terus saja bicara tanpa bisa diinterupsi.
“Viana sayang, pertama Bunda melihatmu, Bunda suka. Kamu cantik dan sopan. Bunda jarang seperti ini. Biasanya Bunda selalu curiga pada siapa pun yang dekat dengan Riga.
"Dia itu, meski kelihatannya sigap, tapi masih kekanakkan. Enggak bisa membedakan mana yang memanfaatkannya, mana yang tulus. Dan kamu … matamu jelas memancarkan ketulusan.”
“Tapi, Bun …”
“Viana, kalau masalahmu adalah status sosial. Bunda gak pernah mempermasalahkan itu. Keluarga kami terbuka untuk siapa pun. Kami bukan perfeksionis yang harus berasal dari status yang sama.”
“Bun—“
“Bagi kami yang penting hati. Dan satu lagi, cantik. Bagaimanapun seorang ibu tentu ingin keturunan yang rupawan, bukan?”
Sumpah, adakah sesuatu yang bisa kusumpal ke mulut nenek lampir ini. Ia benar-benar tidak mengizinkanku bicara sama sekali. Akhirnya aku tahu dari mana sifat Riga berasal.
“Bunda mengganggu latihanmu, ya? Ayo lanjutkan lagi saja. Bunda akan pulang. Bunda senang sudah ngobrol sama kamu.”
Ngobrol apanya? Anda bicara sendiri, hei!
Bunda berdiri dari kursi tempat kami berbincang. Lagi-lagi ia menangkupkan kedua tangannya ke pipiku. Bola matanya menyiratkan rasa jatuh cinta. Apa aku secantik itu?
Bunda membalikkan badannya. Memanggil sopirnya yang dari tadi menunggu di luar sanggar.
“Bunda!” akhirnya aku berani memanggilnya.
“Iya, sayang?” Bunda menoleh. Menungguku bicara sambil tetap di posisinya.
“Anu … aku dan Riga … nggak pacaran.” Aku harus mengatakannya sebelum ia makin salah paham.
“Tapi kamu belum menikah, kan?” tanya Bunda tidak terduga.
“Belum, tapi aku—“
“Kalau begitu kami akan melamarmu, sebelum kamu jadi milik orang lain.”
Aku benar-benar tidak bisa berkomunikasi dengan bundanya Riga. “Bun—“
"Katanya, kamu hanya punya kakak laki-laki, ya. Bunda akan menghubunginya, kalau perlu Bunda akan menemuinya untuk melamarmu."
“Bunda … tolong dengar aku dulu,” nadaku menanjak. Bunda diam. “Aku gak akan menikah dengan Riga.”
Perkataanku menampar wajah letih Bunda. Sorot matanya tajam, bertransformasi jadi ibu yang oportunis.
“Ada seseorang yang aku suka. Dan itu bukan Riga.” Aku bicara sepelan mungkin berharap Bunda merasakan kejujuranku.
Bunda buang muka. Makin kelihatan sifat tidak mau tahu urusan orang lain. Karakter yang paling kubenci di dunia ini.
“Lupakan dia. Pokoknya kamu akan jadi menantuku.”
Bunda menyudahi pertemuan ini dengan pergi. Aku mengumpat. Menghentakkan kaki saking kesalnya. Seketika mood-ku berantakan.
Aku berlari ke loker. Mengambil tas dan merogoh ponsel di dalamnya. Jempolku menekan satu nama yang harus bertanggung jawab atas hal ini. Riga.
“Riga. Bundamu baru saja dari sini. Dia memaksaku untuk—“
“Viana, sorry nanti kutelepon lagi ya. Aku lagi rapat. Bye!”
Panggilanku terputus. Suara TUT! TUT! membuatku geram. Ibu dan anak sama saja.
Sialan.
***
Latihan selesai selepas isya. Di telepon tadi kusuruh Riga datang. Ia menurut dan sudah menungguku di luar gedung. Ia bersandar di badan mobil. Begitu aku datang, Riga menengakkan punggungnya.
“Aku gak suka Bundamu, sumpah! Pokoknya aku akan marah padamu kalau dia datang lagi kemari,” semburku sambil menunjuk hidung Riga. Aku dilahap emosi.
“Sorry!” Belum pernah kutemukan Riga dengan nada defensif seperti ini.
“Bunda begitu karena tekanan juga. Salahku sih, harusnya aku bilang kalau kamu sudah punya Nara.”
“Aku sudah bilang begitu. Kamu tahu bundamu bilang apa? Dia menyuruhku melupakan Nara. Memangnya kalian kira semua hal seenak jidat kalian.” Aku melipat kedua tangan di depan dada.
Bukannya merasa bersalah, Riga malah tersenyum geli. Menganggapku sedang main-main.
“Terus kamu jambak rambut Bunda, gak? Harusnya kamu jambak tuh, kamu kan sering melakukannya padaku.”
Tuh kan.
Kuhadiahi Riga dengan pukulan berkekuatan super. “Bukan saatnya membuat lelucon, bodoh!”
“Iya, iya, maaf!”
Riga yang mengalah membuatku waspada. Matanya memilih tidak meladeniku. Ia menunduk sambil bersandar di mobilnya lagi.
Apa yang dia lihat? Sandal jepit murahku?
Sementara itu, dari arah lain, deru motor milik Nara tertangkap telingaku. Nara datang untuk menjemputku pulang. Ia memelankan motor, berhenti tak jauh dariku dan Riga berdiri.
Nara membuka helm, dan turun dari motornya.
“Sedang apa kamu di sini, Riga?” tanya Nara to the point.
“Menemui wanita pilihan Bunda.”
Si cecunguk ini. Dia sengaja membuat Nara cemburu atau apa. Kutendang tulang keringnya sampai ia mengaduh.
“Bukan, Nara. Aku lagi memarahi dia karena Bunda bersikap seenaknya.” Aku berusaha meluruskan.
Kudekati Nara. Meraih tangannya. Kukira Nara akan menepisku. Ia mengelus-elus tanganku dengan jarinya yang dingin. Syukurlah, Nara tidak termakan hasutan Riga.
Riga baru bisa berdiri tegak setelah tadi melompat-lompat seperti kelinci. Sakit karena ditendang.
“Dasar barbar!” ejek Riga. Aku menjulurkan lidah padanya.
“Ayo pulang!” ajak Nara tidak peduli pada temannya yang melancarkan tatapan keji padaku.
Wekkk~
Aku naik motornya Nara. Tanganku melingkar ke perut Nara yang kurus. Menyandarkan kepala ke punggung Nara. Kebiasaan wajib bila aku dibonceng motornya.
Motor melaju. Kudengar Nara sempat pamitan dulu dengan Riga.
Kami melewati jalan raya. Menembus malam dingin di musim penghujan. Aku memeluk Nara makin kencang seiring cepatnya laju motor. Nara tidak berucap apa-apa. Serius berkendara.
“Hm, Nara … kok lewat sini. Indekosku kan, jalan sana.”
Hening. Nara tidak menjawabku. Tapi dari arahnya saja aku tahu, Nara membawaku ke apartemennya.
Aku mengenal Nara. Dia yang diam. Dia yang membawaku ke apartemannya. Ciri Nara sedang marah. Apa karena aku dengan Riga tadi?
Di depan halaman apartemen, Nara menghentikan motornya. Sesuai dugaanku.
“Nara marah?” tanyaku tidak ikut turun motor sepertinya. Nara mendekatkan wajahnya ke wajahku.
“Enggak!”
“Terus, kenapa dari tadi diam.”
Nara menggeleng. Senyum sudah muncul di ujung bibirnya. Syukurlah, Nara tidak benar-benar marah.
“Viana, malam ini menginaplah di sini.”
Bolehkah?
Menginap di kamar Nara berarti aku bebas menyentuhnya. Aku selalu ingin melakukannya. Menciumnya. Bercumbu. Malam ini Nara milikku.
Ah, Nara~
.
.
Pagi-pagi sekali aku dikejutkan telepon dari Kakak.
“Viana, apa kamu putus dengan Nara?”
“Hm, enggak, Kak. Memangnya kenapa?”
“Seseorang menelepon Kakak, katanya kamu akan menikah dengan anaknya. Dengan Riga?”
.
.
Sial!
Cepat sekali Bunda bergerak.
__BERSAMBUNG__
Hal ini memaksa kak Kazan sampai datang ke tempatku. Kami memilih Café Tree sebagai tempat diskusi. Ada aku, Kak Kazan, Nara dan Riga.Dari tadi Riga mengacak-acak rambutnya mendengar Kak Kazan bercerita bagaimana bundanya keukeuh akan melamarku.“Kamu sudah jelaskan ke Bunda, kan?” aku menendang kaki Riga di kolong meja.“Sudah. Tapi Bunda gak mau dengar. Dia kadung suka sama kamu, Viana.”“Apa sih, padahal aku gak melakukan sesuatu, kenapa Bundamu bisa tergila-gila begitu.”“Menurutmu kenapa coba?”“Kenapa?”“Karena kamu cantik. Jadi bisa ia pamerkan ke teman-teman sosialitanya.”Kutendang tulang kering Riga di hadapanku ini. Riga mengaduh. Sebenarnya Riga memujiku, tapi entah kenapa kalau dia yang bilang rasanya ingin kutendang. Apalagi di depan Nara.“Apa bundamu sering memaksakan kehendaknya?” ucap Kak Kazan pada Riga.“Ya, Bunda yang terparah. Sekalinya ia menginginkan sesuatu, maka harus ia dapatkan. Apa pun itu.”“Termasuk menginginkan seseorang?” tanyaku.“Ya, termasuk itu.”
“Viana, apa ibu-ibu trendi kemarin datang lagi?” seru Milan di sela istirahat kami.Aku mengerti maksudnya siapa. Aku menggeleng sebagai jawaban. Milan merengut. Tidak puas.“Yah, padahal minuman mahal itu enak banget, loh!” jujur Milan membuatku melotot padanya. “Eh, dia siapamu, sih? Orang kaya, ya?”“Orang kaya, iya. Tapi dia bukan siapa-siapaku.”“Masa? Kukira calon mertuamu. Habis dia perhatian gitu, sampai kasih kamu multivitamin mahal yang kamu makan sekarang ini, kan.”Hampir saja aku tersedak. Multivitamin tablet pemberian Bunda memang selalu kukonsumsi. Meskipun aku menolak Bunda, bukan berarti multivitamin mahal ini kubuang, kan. Mubazir. Mending kumakan. Lumayan sehat.“Dia siapa sih? Kayak familiar gitu wajahnya?” Milan penasaran atau mau mengujiku nih.Sorry to say Milan, aku sedang tidak mood bahas Bunda. Lebih baik aku bungkam.“Kamu gak kenal ibu itu? Keterlaluan.” Satu lagi temanku, Havana, menyerobot pembicaraan.“Dia dari keluarga Abimahya Corp. Itu loh, yang perus
Kita bekukan dulu acara pernikahan, atau Riga yang tersenyum senang sebab jabatan impiannya ia dapatkan. Sekarang aku akan bercerita tentang pertama kali bertemu Nara. Pertama kali aku merasakan jatuh cinta. Waktu itu, aku sudah di ibukota sejak lulus SMA. Lima tahun. Dari kecil, impianku menjadi pemain teater tuntas terbayar. Meskipun harus terpisah dengan Kakak di kampung, asalkan untuk mimpi aku rela tinggal di indekos tua dan bobrok. Atau makan hanya sekali sehari pun tak apa. Aku terlanjur cinta bermain peran di atas pentas. Saat itu sanggar kami sedang jaya-jayanya. Bukan hanya saat usai pementasan saja kami dibayar, tapi setiap bulan sebagai gaji tetap kami. Makan enak masih bisa kulakukan. Kali itu pun aku sedang melakukannya dengan Milan dan Havana. Kami memilih Café Tree sebagai tempat istirahat. Tidak jauh dari sanggar, makanannya pun tidak terlalu mahal. Kami memilih menu dengan seorang pria siap mencatat pesanan kami. Pria itu membuatku terkesima hanya dengan berdiri
Dulu dan sekarang, tidak ada yang berubah dengan perasaanku pada Nara. Yang berbeda paling status kami sekarang, suami istri. Malam tadi, kami sama-sama lelah dengan pesta pernikahan. Tapi tidak mengubah performa kami di atas ranjang. Nara sama hebatnya seperti yang sudah-sudah. Hanya kali ini ia begitu lelah untuk sekedar mengenakan baju. Memilih berselimut sambil memeluk tubuhku. Kuperhatikan wajah Nara yang masih tertidur, usil memainkan jariku ke dagu. Lalu turun ke adam apple-nya alias jakun. Nara menelan ludah. Reaksi atas jari-jariku usilku. Aku cekikikan karena Nara yang setengah bangun setengah tidur menyembunyikan jakunnya ke bantal. Selimut sedikit tersingkap. Dan lasak. Nara mendengung tanda protes kuganggu. “Selamat pagi, suamiku. Ayo sarapan,” bisikku manja di telinganya. Nara menggulung tubuhnya lagi dengan selimut. Mulai sadar tak ada sehelai benang pun di badannya. “Aku mau tidur sebentar lagi,” pinta Nara den
Kami telah sampai di Bandara Ngurah Rai, Bali. Kami perlu ke sini untuk mengelabui Bunda dan yang lain. Kalau kami nekat terbang dari Jakarta, bisa saja ada yang mengantar hingga ke pintu keberangkatan. Padahal tujuanku dengan Riga berbeda.Riga menelepon seseorang ketika tiba di bandara. Kulihat barang bawaannya hanya ransel besar dan tas pinggang membelit di tubuhnya. Bisa kutebak tujuan Riga adalah perjalanan domestik. Beda sekali denganku yang rikuh membawa banyak baju di koper. Terpisah dengan punyanya Nara di koper kecil.Hei, wanita selalu begitu kan. Setiap kemana pun selalu paling banyak bawaan dibanding para pria. Aku yakin kamu yang membaca ini juga begitu. Mengaku saja.Tiga minggu. Waktuku honeymoon dengan Nara di Cancun. Selama itu pula Riga pergi ke tempat entah kemana. Dia tidak bilang apa pun.Nampaknya Riga berhasil mengontek temannya, ia bersiap pergi begitu panggilan telepon dimatikan. Riga berbalik badan padaku dan Nara.&ldquo
Selagi masih di Cancun, kujajaki semua wisata dan mengeksplor kota indah nan romantis ini. Dimulai dari Taman Xcaret. Taman hiburan terbesar di Mexico di bawah payung Experiencias Xcaret. Selanjutnya kami mengunjungi Reruntuhan Coba Maya. Berjalan melalui reruntuhan, melihat jaringan jalan-jalan batu, monumen yang diukir lebih dari 1.200 tahun yang lalu. Piramida. Tempat tinggal sehari-hari, dan bahkan lapangan bola tradisional. Masih belum puas, kami menjelajahi Downtown. Pergi ke pusat kota Cancun dimana penduduk setempat tinggal dan berkumpul. Aku menemukan beberapa toko turis dan restoran, tetapi getarannya jauh lebih otentik. Lalu ke Coco Bongo, tempat yang menawarkan kehidupan malam terbaik di Cancun. Ini bukan klub malam dengan lantai dansa, melainkan sebuah tempat yang menyediakan hiburan dan musik berenergi tinggi. Kami menyaksikan akrobat, musisi, DJ, dan layar video besar saat berinteraksi dengan garis conga, balon, gelembung dan co
Berita baik itu datangnya dari Ketua. Sanggar kami hidup kembali. Seorang derma membeli kepemilikan gedung. Tanpa syarat apapun ia hibahkan gedung tempat kami berlatih. Selama ini yang membuat kami bangkrut karena sewa gedung yang mencekik. Kalau masalah itu sudah dituntaskan, pemasukan bisa fokus untuk produksi. Bisa kamu tebak siapa dermawan itu? Yap, Bunda. Aku pernah bilang tentang pencari informasi Bunda yang setara intel itu, bukan. Kabar bangkrutnya sanggar terendus oleh Bunda. Suatu hari ia pernah menemui khusus untuk masalah satu ini. Pertanyaannya menohok. “Kenapa kamu suka teater?” Seperti wawancara dengan penggalang dana. Kalau alasanku tidak memuaskannya, hilang sudah kesempatan didanai. “Di dunia nyata aku cuma wanita biasa dan sederhana. Aku bisa jadi siapa pun dengan teater. Setidaknya aku pernah merasakan banyak peran walau cuma di atas panggung. Mungkin itu juga caraku bersimpati dengan banyak orang.”
Meski sudah tiga bulan pernikahan pura-puraku dengan Riga. Belum pernah sekali pun aku menginjakkan kaki ke kantornya. Kalau bukan karena Bunda yang mengajak, mungkin aku tidak akan pernah datang. Bunda bermaksud pamer pada anak bungsunya. Bahwa menantunya ini telah ia ubah, di make over. Rambut lurusku dipotong sampai se-dada dan sudah berubah warnanya jadi coklat. Ada poni setinggi alis yang kadang menggelitik keningku. Aku didandani. Memakai gincu merah muda dan perona pipi. Setelanku turut diganti. Rok sepan selutut dengan kemeja santai berbahan chiffon. Bunda juga memberikan tas selempang yang langsung tercangklong di bahuku. Sebenarnya untuk apa aku berdandan begini. Bunda tidak juga mau memberitahuku. Kami sudah berada di lobi kantor dengan tujuh lantai itu. Sekretarisnya memberitahu kalau Pak Riga sedang rapat dengan para manager. Jadilah sambil menunggu, kami diantarkan ke ruangan Riga. Ruangan Riga ada di lantai kelima. Ruan
"Aku menunggumu datang, Nara."Aku terlena dengan desis suaranya. Seperti membuaiku dari kekalutan. Memberiku semangat sebab sempat terpuruk mendengar tangisnya.Viana memundurkan kepalanya hingga kami jadi saling bertatapan.Aku lupa, Viana memang seindah ini sebelumnya. Wajahnya, senyumnya, cara ia melirikku. Dia wanita yang punya kesempurnaan mutlak."Aku mau minta maaf, sudah merepotkanmu hari itu," sambung Viana."Merepotkan apa?""Kamu. Sampai sengaja menghiburku ke luar rumah demi membuatku gak sesak lagi berada di dalam sini."Aku belum menemukan inti dari perkataannya. Atau kemana arah pembicaraan ini akan berlangsung."Waktu itu aku sangat down. Aku benar-benar gak bisa berpikir dengan tepat. Aku juga gak ingat pernah berteriak pada semua orang tentangmu ataupun tentang Riga."Mendengar nama itu disebut lagi, spontan aku seperti diingatkan, kalau Viana bukan milikku, tapi Riga. Meski Riga sudah meningg
"Aku ingin kembali pada Viana. Apa aku salah?"Yenan mendorong kerahku hingga belakang kepalaku membentur tanah."Tentu saja kamu salah, bedebah! Kamu sudah mempermainkan perasaan Seya," teriak Yenan.Yenan bangkit dari menindih badanku. Ia mengacak rambutnya, seolah kehilangan akal."Sialan! Kalau tahu akhirnya akan begini, harusnya aku gak membiarkanmu dekat dengan Seya." Yenan meracau.Aku sama sekali tak beranjak dari tanah. Langit bisa kupandangi dari posisiku. Juga dingin dari jalanan yang mulai menghasilkan embun pagi."Pergi kamu, Nara! Aku akan menghancurkanmu kalau sampai menunjukkan wajahmu lagi di depan Seya."Bagiku, itu seperti isyarat bahwa ia menyerah terhadapku. Sebab, memintaku tetap berada di sini, kembali pada Seya, hanya akan memberikan luka padanya.Yenan memilih untuk membenciku dengan caranya.Aku beranjak dari tanah. Memandangi Yenan yang sedang memunggungiku lengkap dengan kepalan tangan yang te
Namun, rupanya di rumahku ada seseorang.Seya.Ia berdiri menghadapku dengan wajah cemas dan kantung mata menghitam. Kutebak, ia juga tak tidur malam kemarin.“Nara!” suaranya terdengar serak. “Aku mencemaskanmu.”Seya mendekat. “Apa yang terjadi dengan ponselmu, kenapa gak menjawab teleponku. Aku hanya ingin tahu kabarmu. Aku cemas terjadi sesuatu dengan Nara.”Aku sudah menduga Seya akan begini. Hanya saja aku tidak menyangka akan terjadi secepat ini, di rumahku, tepat setelah aku kembali.Saat di perjalanan, aku sudah memikirkan ini matang-matang. Aku harus memilih Seya dan Viana. Dan pilihanku jatuh pada Viana.“Seya, ada yang mau kukatakan padamu,” potongku. Mengabaikan kalimatnya barusan.Wajah Seya tegang. Ia tidak pernah melakukan itu sebelumnya. Senyum yang kemarin jadi ciri khasnya seolah raib hanya lewat kalimatku barusan.“Jangan katakan! Aku tahu apa yang
"Viana, kamu mau pergi denganku?"Viana memandangiku dengan tatapan kuyu. Aku tahu ia masih terpengaruh obat bius. Ia juga masih lemas efek berontak siang tadi.Tapi sungguh, di dalam rumah ini terasa sangat menyesakkan. Aku ingin memberi Viana angin segar agar ia lepas dari stress yang membuatnya ingin terus berteriak.Kuraih jaket yang menggantung dekat rak. Kupakaikan pada Viana. Lalu membantunya turun dari kasur dan menggandengnya berjalan keluar kamar.Orang-orang masih terlelap tidur. Aku dan Viana leluasa jalan mengendap-endap sampai ke luar rumah. Sekilas aku melihat jam dinding menunjukkan pukul 1 dini hari. Malam akan sangat dingin di luar, maka kurapatkan jaket yang dikenakan Viana.Jejeran bunga tanda berduka masih berada memenuhi jalanan. Viana menoleh ke arah itu. Sambil menahan gemetaran di bibirnya. Kupegang erat tangannya, berjalan ke arah sebaliknya yang jauh dari karangan bunga.Jalan dan jalan. Tak ada yang kami ucapkan.
“Mana Nara?”Otomatis aku beringsut ke kamar Viana begitu mendengar namaku disebut. Cyan juga mengekor tak jauh dariku.Viana nampak sedang ditenangkan oleh kakak iparnya. Ia mengamuk seperti saat tadi pagi. Kali ini ia meneriakkan namaku. Seolah kehilangan akal. Itu bukan seperti Viana yang kukenal.“Nara, mana Nara? Jangan ceraikan aku. Aku gak mau cerai dari Nara,” teriak Viana.Cerai?“Nara!”Lagi, Viana berteriak. Aku yang saat itu di pintu hanya bisa menatapnya. Viana menolehku. Tatapan kami bersirobok. Dan secepat kilat, Viana berlari ke arahku. Memeluk tubuhku. Di hadapan orang-orang, ia melingkarkan tangannya di perutku, kepalanya membenam di dadaku."Kumohon, jangan ceraikan aku. Aku gak mau berpisah denganmu. Jangan pergi!"Semua membisu. Terutama aku.Aku sempat mendengar kalau orang yang memiliki stres akut, ingatannya bisa kembali pada saat trauma terberatnya.Bisa
Saat itulah, aku menghampiri Viana. Mengambil alih kanan dan kiri tubuhnya. Mencengkeram pergelangan tangannya. Dan menariknya masuk ke tubuhku.“Ssst, diamlah Viana!”Viana belum sadar benar siapa yang memeluknya ini. Ia memukuli punggungku dan masih saja berteriak. Lagi, aku memeluknya makin erat. Tidak peduli dia memukul seberapa keras, atau ia menggigit bahuku demi minta kulepaskan.“Viana, ini aku. Nara!”Saat itu, barulah Viana berhenti. Mata kami bertautan. Kupandangi kedalaman matanya yang terlihat sangat nelangsa. Ada ribuan kalimat sedih yang kutangkap dari sorot matanya.Entah sudah berapa lama Viana mengamuk seperti ini, hanya saja kulihat ia cukup lelah. Napasnya naik turun, kedua tangannya juga melemas ketika kutangkap.“Na-ra?”Viana sukses menyebutkan namaku dengan bibirnya yang bergetar. Dan tak lama, Viana kehilangan keseimbangan. Ia pingsan. Aku menangkap kepalanya sebelum jatuh k
“Nara, Riga meninggal dunia.”Aku tercekat. Mendadak darahku seperti berhenti mengalir dalam detik itu. Aku menelan ludah dan menjauhkan ponsel dari telingaku.Biru yang melakukan panggilan itu. Aku sudah menyimpan nomornya tempo hari.“A-apa yang kamu bilang barusan?” aku ingin mengkonfirmasi sekali lagi. Takutnya salah dengar. Atau Biru sedang bercanda.Namun, suara isakan yang kemudian mewarnai speaker ponselku. Kulihat Seya memiringkan kepalanya ke arahku sebab dahiku berkerut memandangnya.“Biru?”Biru terdengar berusaha keras mengontrol isakkannya. Dan ia mengulang apa yang barusan ia katakan. Kali ini lebih pelan dan penuh penekanan.“Nara, Riga meninggal dunia. Tadi malam. Tabrakan mobil beruntun.”Tidak.Aku lemas. Baru kemarin aku menyaksikan bagaimana Yenan terkulai lemah setelah berita meninggalnya Reist. Kali ini aku bisa tahu seperti apa rasa
Kami kembali ke Surabaya. Melakukan aktivitas seperti biasanya lagi. Kali ini tujuanku sangat jelas, aku akan menikahi Seya. Tanpa kompromi.Sudah kutanyai pihak sekolah untuk melakukan pinjaman. Dan mereka menyanggupi itu. Masalah biaya sepertinya bisa tertangani. Mental juga sudah. Tinggal meyakinkan sekali lagi, apa Seya benar-benar siap.Berbeda denganku. Aku pernah punya pengalaman dalam pernikahan. Seya tidak. Mungkin dalam hatinya masih ada keraguan atau ketakutan. Sebab pernikahan sesuatu yang indah di luar, namun bisa sangat menakutkan di dalam.Aku pernah gagal satu kali. Bersama Seya, aku tidak ingin mengalami kegagalan itu lagi. Aku berjanji pada diriku sendiri dan pada Yenan yang menyetujui keputusanku seratus persen.Aku baru pulang dari sekolah ke kontrakanku. Di depan pagar, kulihat seseorang menunggu sambil bersandar dekat mobil.Kalau aku tidak salah ingat, itu mobil Biru. Dan laki-laki dengan tinggi semampai juga punya kulit sepu
Sejak kedatangan Riga tempo hari, rasa sukaku pada Seya malah makin berlipat-lipat. Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan. Menyukainya terasa sangat menyenangkan.Beberapa kali aku diajak berkunjung ke rumah keluarganya di Bandung. Hubungan kami tambah serius. Sosokku juga dianggap ‘ada’ bukan sekedar orang yang selalu bersama Seya saja.Karena khawatir dengan pendapat orang sekitar, aku pindah kontrakan. Jadi lebih dekat ke sekolah. Kami tetap bisa berkomunikasi. Kadang aku sarapan juga di rumah Seya dan Yenan. Tapi untuk tidur, kami tak bisa satu atap lagi. Kecuali aku menikahinya.Dialog itu pernah ada dalam otakku. Kutanya Yenan pun, ia setuju saja. Menurutnya usia kami sudah matang. Sudah sama-sama siap. Izin keluarganya sudah kukantongi. Pekerjaan pun punya. Lalu apa lagi?“Apa Nara gak mau mengenalkan aku pada keluargamu?” tanya Seya di suatu sore saat kami sedang berjalan-jalan di sebuah taman.Bukannya aku