“Viana, apa ibu-ibu trendi kemarin datang lagi?” seru Milan di sela istirahat kami.
Aku mengerti maksudnya siapa. Aku menggeleng sebagai jawaban. Milan merengut. Tidak puas.
“Yah, padahal minuman mahal itu enak banget, loh!” jujur Milan membuatku melotot padanya. “Eh, dia siapamu, sih? Orang kaya, ya?”
“Orang kaya, iya. Tapi dia bukan siapa-siapaku.”
“Masa? Kukira calon mertuamu. Habis dia perhatian gitu, sampai kasih kamu multivitamin mahal yang kamu makan sekarang ini, kan.”
Hampir saja aku tersedak. Multivitamin tablet pemberian Bunda memang selalu kukonsumsi. Meskipun aku menolak Bunda, bukan berarti multivitamin mahal ini kubuang, kan. Mubazir. Mending kumakan. Lumayan sehat.
“Dia siapa sih? Kayak familiar gitu wajahnya?” Milan penasaran atau mau mengujiku nih.
Sorry to say Milan, aku sedang tidak mood bahas Bunda. Lebih baik aku bungkam.
“Kamu gak kenal ibu itu? Keterlaluan.” Satu lagi temanku, Havana, menyerobot pembicaraan.
“Dia dari keluarga Abimahya Corp. Itu loh, yang perusahaannya dimana-mana. Malahan minuman di tangan kamu sekarang ini kamu beli di salah satu minimarketnya,” ungkap Havana.
“Waw, benarkah? Orang sekaya itu datang ke sanggar kita? Untuk menemui Viana? Woah~” Milan tidak berhenti takjub.
“Kalau aku gak salah tebak, putranya lagi cari calon istri, kan. Kabar itu sudah jadi rahasia umum. Kalau mau jadi direktur utama, harus menikah dulu.” Havana meneruskan.
Dia wanita ter-update yang kukenal. Harusnya dia bekerja jadi wartawan daripada jadi pemain teater.
“Oh … dia menawarimu jadi menantunya? Kan, gak mungkin orang terkaya di negeri ini mau repot-repot kemari, membelikan minuman mahal pula, kalau bukan untuk calon menantunya yang cantik rupawan ini.”
Aku menepis tangan Milan di daguku. Membuat kepalaku seperti bunga mekar. Ejekan khas Milan.
“Terima saja, Viana. Kamu akan langsung jadi nyonya besar. Kamu bisa keluar dari sanggar ini dan melangkah ke tempat yang lebih bagus. Lagipula sanggar ini akan berakhir, gak ada yang bisa dipertahankan di sini.” Havana mengatakannya dengan pilu.
Tanpa ia bilang pun aku tahu, kami bangkrut. Tidak ada lagi sponsor. Biaya produksi terpaksa patungan. Properti panggung alakadarnya, kostum dari barang bekas.
Tinggal masalah waktu sanggar kami ditutup. Pementasan kali ini bisa jadi yang terakhir.
“Viana, kalau kamu jadi nyonya Abimahya jangan lupakan kami di sanggar ini ya. Terutama aku yang lucu imut ini,” Milan ikut menambah rasa sedih.
Aku bangkit berdiri. Bukan tanpa sebab, sutradara kami sudah menyeru, meminta kami bersiap latihan stage terakhir.
“Enggak akan ada nyonya Abimahya di sanggar ini. Pacarku itu Nara, tahu. Aku berniat jadi istri Nara. Titik!” kataku menutup obrolan para penggosip.
Tiga hari lagi jadwal pementasan kami. Aku hanya harus fokus dengan peranku. Begitu pun yang lain.
Itu hanya curhatan singkat Milan dan Havana. Aku tahu, dalam hati mereka ada sedih yang teramat sangat. Bagaimanapun sanggar ini tempat mimpi kami jadi nyata. Berita bangkrut dari ketua sanggar cuma membuat kami serasa ditendang ke jurang. Kebas.
Sekilas aku memikirkan ide Kak Kazan tempo hari. Kalau aku menikah dengan Riga, aku bisa minta sanggar kami dihidupkan kembali.
Kalau aku menikah dengan Riga, aku bisa tinggal di rumah layak bukan di sarang kecoa dan pengap.
Kalau aku menikah dengan Riga, aku tidak perlu berpuasa hanya untuk membeli kostumku.
Tapi … bisakah?
Malam ini Nara tidak menjemput. Lagi.
Sejak tempo hari, ia terus berdiam diri dan tidak bisa dihubungi. Aku memberinya jarak. Kupikir Nara butuh waktu untuk sendiri.
Tapi malam ini, aku membutuhkan Nara. Bagiku, sosoknya seperti candu. Sehari saja tidak bertemu, aku akan sakau.
Masa bodoh Nara masih marah atau menolak keberadaanku. Aku cuma ingin melihatnya, memeluknya.
Detik ini aku sudah berada di apartemennya. Kamar kelima di lantai 7. Nara tidak pernah mengunci pintu kecuali saat ia keluar kamar. Aku yakin Nara ada, hari ini ia tidak ada shift di café.
Aku pun masuk ke kamarnya yang sepi. Kepala celingukan, berkeliling ke setiap penjuru kamar yang berisi tiga ruangan ini; kamar mandi, kamar tidur, juga dapur merangkap ruang tengah.
Tidak ada Nara dimana pun. Juga tidak ada sahutan ketika kupanggil namanya.
Secara melankolis angin menyibakkan rambutku. Angin dari pintu balkon yang terbuka. Kutoleh, dan ada Nara di sana. Sedang merokok sambil bersedekap di besi pembatas.
Sudah lama tidak kulihat Nara merokok. Seingatku ia berhenti tahun lalu. Ia tidak akan kembali merokok kecuali karena frustrasi.
Aku menghampiri Nara di balkon. Berdiri di sampingnya melihat pemandangan kota di malam hari. Nara menolehku. Refleks mematikan abu rokok ke besi. Ia buang puntungnya ke bawah balkon. Nara tahu, aku tidak suka asap rokok.
Kami tidak saling bicara. Terus seperti itu sampai 15 menit lamanya.
“Maaf …,” Nara membuka diri. “Maaf aku nggak sekaya Riga.” Kalimatnya terdengar getir. Aku benci itu.
Aku menggeleng.
“Kamu tahu kan, aku gak melihatmu dari itu. Apa pun kamu, aku menyukaimu,” nadaku tidak kalah getir.
Nara diam. Tidak berani membalas bola mataku yang sedari tadi terus menatap wajahnya dari samping.
Nara menengadah ke langit malam. Entah bulan atau bintang yang membiaskan wajah Nara. Rahang yang tegas, hidung mancung, mata cenderung sipit, dan jakun di lehernya. Tiap lekuknya tanpa cela. Perwujudan ciptaan Tuhan yang sempurna.
Aku menyukai Nara tanpa terkecuali. Mulai dari ujung rambut dengan model bowl cut sampai ke ujung kakinya. Semuanya.
Genggaman tanganku padanya kuharap jadi bukti. Aku mencintai Nara. Tidak mau yang lain.
“Viana …,” Nara memanggilku pelan. “Apa kita sebaiknya melakukan ide itu?”
Aku diam. Nyaris tidak percaya.
“Toh, aku yang menikahimu. Dengan Riga hanya pura-pura, kan.”
Aku tidak mau membayangkan bagaimana Nara berpikir keras hingga akhirnya memutuskan pilihan ini.
“Kakakmu benar, sudah seharusnya kamu hidup layak. Kalau saja aku kaya, kita gak perlu memikirkan ide-ide gak masuk akal itu.”
Aku mendekatkan tubuhku pada Nara. Merengkuh punggungnya yang sekarang berada dalam kekalutan.
“Ayo kita lakukan saja, Viana.”
Aku mendongak untuk melihat bola mata teduhnya. “Tapi Nara, meskipun pura-pura. Tetap saja aku dengan Riga—“
“Aku akan bersabar. Akan kukendalikan emosiku dan memastikan kamu gak berada di posisi membingungkan.” Nara membelai rambut sepinggangku.
Mulutnya bau rokok, tapi aku ingin mendaratkan bibirku padanya. Setidaknya untuk membuat Nara diam. Aku tidak terbiasa mendengar nada defensif darinya.
“Enggak apa-apa, Viana. Asalkan denganmu, aku bisa melakukannya.”
Nara mencium keningku. Memelukku. Membawa tubuh ini makin erat ke badannya.
Kami tidak bicara lagi. Memilih berpelukan di udara dingin malam yang makin pekat.
Bersama Nara aku hangat. Di samping Nara kuyakin semua baik-baik saja.
.
.
“Halo, Riga. Dengarkan aku, aku hanya akan mengatakannya sekali saja.” Kutarik napas dalam-dalam sebelum kalimat itu meluncur dari mulutku.
“Ayo kita lakukan pernikahan pura-pura itu.”
“Eh, sungguh? Gimana dengan Nara?”
“Ya, dia juga setuju.”
Suara Riga tenggelam sesaat. Bisa kutebak, ia sedang merayakan selebrasi dengan melompat girang di kasurnya, atau entahlah … aku malas tebak-tebakan.
“Oke, akan kuatur semuanya. Tunggu aku di tempatmu ya,” suara Riga terdengar girang.
Sebahagia itukah dia dengan pernikahan? Oh, karena direktur utama, ya. Jangan geer Viana.
“Makasih, Viana!”
Kalimat itu menyudahi panggilan telepon. Aku menghela napas panjang. Tercium bau apek dari dinding indekosku. Satu per satu kupandangi setiap inci kamarku, menghidu segala bebauan untuk yang terakhir kali.
Bye-bye indekos, aku akan menikah.
__BERSAMBUNG__
Kita bekukan dulu acara pernikahan, atau Riga yang tersenyum senang sebab jabatan impiannya ia dapatkan. Sekarang aku akan bercerita tentang pertama kali bertemu Nara. Pertama kali aku merasakan jatuh cinta. Waktu itu, aku sudah di ibukota sejak lulus SMA. Lima tahun. Dari kecil, impianku menjadi pemain teater tuntas terbayar. Meskipun harus terpisah dengan Kakak di kampung, asalkan untuk mimpi aku rela tinggal di indekos tua dan bobrok. Atau makan hanya sekali sehari pun tak apa. Aku terlanjur cinta bermain peran di atas pentas. Saat itu sanggar kami sedang jaya-jayanya. Bukan hanya saat usai pementasan saja kami dibayar, tapi setiap bulan sebagai gaji tetap kami. Makan enak masih bisa kulakukan. Kali itu pun aku sedang melakukannya dengan Milan dan Havana. Kami memilih Café Tree sebagai tempat istirahat. Tidak jauh dari sanggar, makanannya pun tidak terlalu mahal. Kami memilih menu dengan seorang pria siap mencatat pesanan kami. Pria itu membuatku terkesima hanya dengan berdiri
Dulu dan sekarang, tidak ada yang berubah dengan perasaanku pada Nara. Yang berbeda paling status kami sekarang, suami istri. Malam tadi, kami sama-sama lelah dengan pesta pernikahan. Tapi tidak mengubah performa kami di atas ranjang. Nara sama hebatnya seperti yang sudah-sudah. Hanya kali ini ia begitu lelah untuk sekedar mengenakan baju. Memilih berselimut sambil memeluk tubuhku. Kuperhatikan wajah Nara yang masih tertidur, usil memainkan jariku ke dagu. Lalu turun ke adam apple-nya alias jakun. Nara menelan ludah. Reaksi atas jari-jariku usilku. Aku cekikikan karena Nara yang setengah bangun setengah tidur menyembunyikan jakunnya ke bantal. Selimut sedikit tersingkap. Dan lasak. Nara mendengung tanda protes kuganggu. “Selamat pagi, suamiku. Ayo sarapan,” bisikku manja di telinganya. Nara menggulung tubuhnya lagi dengan selimut. Mulai sadar tak ada sehelai benang pun di badannya. “Aku mau tidur sebentar lagi,” pinta Nara den
Kami telah sampai di Bandara Ngurah Rai, Bali. Kami perlu ke sini untuk mengelabui Bunda dan yang lain. Kalau kami nekat terbang dari Jakarta, bisa saja ada yang mengantar hingga ke pintu keberangkatan. Padahal tujuanku dengan Riga berbeda.Riga menelepon seseorang ketika tiba di bandara. Kulihat barang bawaannya hanya ransel besar dan tas pinggang membelit di tubuhnya. Bisa kutebak tujuan Riga adalah perjalanan domestik. Beda sekali denganku yang rikuh membawa banyak baju di koper. Terpisah dengan punyanya Nara di koper kecil.Hei, wanita selalu begitu kan. Setiap kemana pun selalu paling banyak bawaan dibanding para pria. Aku yakin kamu yang membaca ini juga begitu. Mengaku saja.Tiga minggu. Waktuku honeymoon dengan Nara di Cancun. Selama itu pula Riga pergi ke tempat entah kemana. Dia tidak bilang apa pun.Nampaknya Riga berhasil mengontek temannya, ia bersiap pergi begitu panggilan telepon dimatikan. Riga berbalik badan padaku dan Nara.&ldquo
Selagi masih di Cancun, kujajaki semua wisata dan mengeksplor kota indah nan romantis ini. Dimulai dari Taman Xcaret. Taman hiburan terbesar di Mexico di bawah payung Experiencias Xcaret. Selanjutnya kami mengunjungi Reruntuhan Coba Maya. Berjalan melalui reruntuhan, melihat jaringan jalan-jalan batu, monumen yang diukir lebih dari 1.200 tahun yang lalu. Piramida. Tempat tinggal sehari-hari, dan bahkan lapangan bola tradisional. Masih belum puas, kami menjelajahi Downtown. Pergi ke pusat kota Cancun dimana penduduk setempat tinggal dan berkumpul. Aku menemukan beberapa toko turis dan restoran, tetapi getarannya jauh lebih otentik. Lalu ke Coco Bongo, tempat yang menawarkan kehidupan malam terbaik di Cancun. Ini bukan klub malam dengan lantai dansa, melainkan sebuah tempat yang menyediakan hiburan dan musik berenergi tinggi. Kami menyaksikan akrobat, musisi, DJ, dan layar video besar saat berinteraksi dengan garis conga, balon, gelembung dan co
Berita baik itu datangnya dari Ketua. Sanggar kami hidup kembali. Seorang derma membeli kepemilikan gedung. Tanpa syarat apapun ia hibahkan gedung tempat kami berlatih. Selama ini yang membuat kami bangkrut karena sewa gedung yang mencekik. Kalau masalah itu sudah dituntaskan, pemasukan bisa fokus untuk produksi. Bisa kamu tebak siapa dermawan itu? Yap, Bunda. Aku pernah bilang tentang pencari informasi Bunda yang setara intel itu, bukan. Kabar bangkrutnya sanggar terendus oleh Bunda. Suatu hari ia pernah menemui khusus untuk masalah satu ini. Pertanyaannya menohok. “Kenapa kamu suka teater?” Seperti wawancara dengan penggalang dana. Kalau alasanku tidak memuaskannya, hilang sudah kesempatan didanai. “Di dunia nyata aku cuma wanita biasa dan sederhana. Aku bisa jadi siapa pun dengan teater. Setidaknya aku pernah merasakan banyak peran walau cuma di atas panggung. Mungkin itu juga caraku bersimpati dengan banyak orang.”
Meski sudah tiga bulan pernikahan pura-puraku dengan Riga. Belum pernah sekali pun aku menginjakkan kaki ke kantornya. Kalau bukan karena Bunda yang mengajak, mungkin aku tidak akan pernah datang. Bunda bermaksud pamer pada anak bungsunya. Bahwa menantunya ini telah ia ubah, di make over. Rambut lurusku dipotong sampai se-dada dan sudah berubah warnanya jadi coklat. Ada poni setinggi alis yang kadang menggelitik keningku. Aku didandani. Memakai gincu merah muda dan perona pipi. Setelanku turut diganti. Rok sepan selutut dengan kemeja santai berbahan chiffon. Bunda juga memberikan tas selempang yang langsung tercangklong di bahuku. Sebenarnya untuk apa aku berdandan begini. Bunda tidak juga mau memberitahuku. Kami sudah berada di lobi kantor dengan tujuh lantai itu. Sekretarisnya memberitahu kalau Pak Riga sedang rapat dengan para manager. Jadilah sambil menunggu, kami diantarkan ke ruangan Riga. Ruangan Riga ada di lantai kelima. Ruan
“Aku pulang dengan Bunda saja, deh. Mumpung Bunda belum jauh.” Aku membalikkan badan berniat pergi. Namun Riga dengan cepat menghampiriku. Menarik tanganku sampai badanku bertubrukan dengan dadanya. “Jangan—“ cegahnya dengan wajah berada beberapa senti saja dariku. Aku membeku, seperti habis tersiram air dingin. “Nanti Bunda makin cerewet. Kamu pulang bareng Nara saja, ya,” kata Riga sembari mundur selangkah karena sadar kami terlalu dekat. Mendengar nama Nara, bibirku auto tersenyum. Aku mengangguk tanda setuju. Riga melakukan sesuatu lagi dengan interkomnya. Kali ini memanggil Nara. “Nara, tolong ke ruanganku dulu, ya!” Aku berharap Nara menjawab. Aku penasaran suara Nara di interkom bagaimana bunyinya. Tapi tidak, setelah bunyi BIP! Tak ada sahutan lagi. Riga seperti tahu, Nara tidak akan menjawab. Ia kembali ke berkas-berkasnya. Tidak sampai semenit, Nara datang. Aku berjingkrak kegirangan saat Nara masuk da
“Pulangnya kapan?” Kedua tanganku melingkar di perut Nara. “Lusa. Riga sudah menyewa hotel untuk kami.” Tahu akan ditinggalkan dua hari olehnya, aku cemberut. Nara peka. Ia ciumi bibirku. Terus dan terus sampai cemberutku hilang. “Kamu mau ngapain saat aku pergi?” “Ke sanggar, mungkin. Ada wawancara untuk anggota baru. Aku ditunjuk Ketua jadi jurinya.” Mungkin cuma perasaanku. Tapi setiap aku membicarakan sanggar, Nara nampak tidak tertarik. Ia pun mengganti pertanyaannya. “Hmm, di rumah sendirian gak apa-apa?” “Enggak apa. Kan, ada Mbok Minah.” “Oke, kalau ke sanggar jangan pulang malam-malam, ya. Aku gak bisa menjemputmu kali ini.” “Oke, Nara.” Aku mengangguk-angguk. Kami berdua tahu, dua hari tidak bertemu berarti harus ada stok ciuman. Nara sedang menimbun jatah ciumanku per hari. Seluruh wajahku dikecupnya, kening, pipi, pelipis, yang terakhir bibir. Yang itu lebih intens. Bibir kami b
"Aku menunggumu datang, Nara."Aku terlena dengan desis suaranya. Seperti membuaiku dari kekalutan. Memberiku semangat sebab sempat terpuruk mendengar tangisnya.Viana memundurkan kepalanya hingga kami jadi saling bertatapan.Aku lupa, Viana memang seindah ini sebelumnya. Wajahnya, senyumnya, cara ia melirikku. Dia wanita yang punya kesempurnaan mutlak."Aku mau minta maaf, sudah merepotkanmu hari itu," sambung Viana."Merepotkan apa?""Kamu. Sampai sengaja menghiburku ke luar rumah demi membuatku gak sesak lagi berada di dalam sini."Aku belum menemukan inti dari perkataannya. Atau kemana arah pembicaraan ini akan berlangsung."Waktu itu aku sangat down. Aku benar-benar gak bisa berpikir dengan tepat. Aku juga gak ingat pernah berteriak pada semua orang tentangmu ataupun tentang Riga."Mendengar nama itu disebut lagi, spontan aku seperti diingatkan, kalau Viana bukan milikku, tapi Riga. Meski Riga sudah meningg
"Aku ingin kembali pada Viana. Apa aku salah?"Yenan mendorong kerahku hingga belakang kepalaku membentur tanah."Tentu saja kamu salah, bedebah! Kamu sudah mempermainkan perasaan Seya," teriak Yenan.Yenan bangkit dari menindih badanku. Ia mengacak rambutnya, seolah kehilangan akal."Sialan! Kalau tahu akhirnya akan begini, harusnya aku gak membiarkanmu dekat dengan Seya." Yenan meracau.Aku sama sekali tak beranjak dari tanah. Langit bisa kupandangi dari posisiku. Juga dingin dari jalanan yang mulai menghasilkan embun pagi."Pergi kamu, Nara! Aku akan menghancurkanmu kalau sampai menunjukkan wajahmu lagi di depan Seya."Bagiku, itu seperti isyarat bahwa ia menyerah terhadapku. Sebab, memintaku tetap berada di sini, kembali pada Seya, hanya akan memberikan luka padanya.Yenan memilih untuk membenciku dengan caranya.Aku beranjak dari tanah. Memandangi Yenan yang sedang memunggungiku lengkap dengan kepalan tangan yang te
Namun, rupanya di rumahku ada seseorang.Seya.Ia berdiri menghadapku dengan wajah cemas dan kantung mata menghitam. Kutebak, ia juga tak tidur malam kemarin.“Nara!” suaranya terdengar serak. “Aku mencemaskanmu.”Seya mendekat. “Apa yang terjadi dengan ponselmu, kenapa gak menjawab teleponku. Aku hanya ingin tahu kabarmu. Aku cemas terjadi sesuatu dengan Nara.”Aku sudah menduga Seya akan begini. Hanya saja aku tidak menyangka akan terjadi secepat ini, di rumahku, tepat setelah aku kembali.Saat di perjalanan, aku sudah memikirkan ini matang-matang. Aku harus memilih Seya dan Viana. Dan pilihanku jatuh pada Viana.“Seya, ada yang mau kukatakan padamu,” potongku. Mengabaikan kalimatnya barusan.Wajah Seya tegang. Ia tidak pernah melakukan itu sebelumnya. Senyum yang kemarin jadi ciri khasnya seolah raib hanya lewat kalimatku barusan.“Jangan katakan! Aku tahu apa yang
"Viana, kamu mau pergi denganku?"Viana memandangiku dengan tatapan kuyu. Aku tahu ia masih terpengaruh obat bius. Ia juga masih lemas efek berontak siang tadi.Tapi sungguh, di dalam rumah ini terasa sangat menyesakkan. Aku ingin memberi Viana angin segar agar ia lepas dari stress yang membuatnya ingin terus berteriak.Kuraih jaket yang menggantung dekat rak. Kupakaikan pada Viana. Lalu membantunya turun dari kasur dan menggandengnya berjalan keluar kamar.Orang-orang masih terlelap tidur. Aku dan Viana leluasa jalan mengendap-endap sampai ke luar rumah. Sekilas aku melihat jam dinding menunjukkan pukul 1 dini hari. Malam akan sangat dingin di luar, maka kurapatkan jaket yang dikenakan Viana.Jejeran bunga tanda berduka masih berada memenuhi jalanan. Viana menoleh ke arah itu. Sambil menahan gemetaran di bibirnya. Kupegang erat tangannya, berjalan ke arah sebaliknya yang jauh dari karangan bunga.Jalan dan jalan. Tak ada yang kami ucapkan.
“Mana Nara?”Otomatis aku beringsut ke kamar Viana begitu mendengar namaku disebut. Cyan juga mengekor tak jauh dariku.Viana nampak sedang ditenangkan oleh kakak iparnya. Ia mengamuk seperti saat tadi pagi. Kali ini ia meneriakkan namaku. Seolah kehilangan akal. Itu bukan seperti Viana yang kukenal.“Nara, mana Nara? Jangan ceraikan aku. Aku gak mau cerai dari Nara,” teriak Viana.Cerai?“Nara!”Lagi, Viana berteriak. Aku yang saat itu di pintu hanya bisa menatapnya. Viana menolehku. Tatapan kami bersirobok. Dan secepat kilat, Viana berlari ke arahku. Memeluk tubuhku. Di hadapan orang-orang, ia melingkarkan tangannya di perutku, kepalanya membenam di dadaku."Kumohon, jangan ceraikan aku. Aku gak mau berpisah denganmu. Jangan pergi!"Semua membisu. Terutama aku.Aku sempat mendengar kalau orang yang memiliki stres akut, ingatannya bisa kembali pada saat trauma terberatnya.Bisa
Saat itulah, aku menghampiri Viana. Mengambil alih kanan dan kiri tubuhnya. Mencengkeram pergelangan tangannya. Dan menariknya masuk ke tubuhku.“Ssst, diamlah Viana!”Viana belum sadar benar siapa yang memeluknya ini. Ia memukuli punggungku dan masih saja berteriak. Lagi, aku memeluknya makin erat. Tidak peduli dia memukul seberapa keras, atau ia menggigit bahuku demi minta kulepaskan.“Viana, ini aku. Nara!”Saat itu, barulah Viana berhenti. Mata kami bertautan. Kupandangi kedalaman matanya yang terlihat sangat nelangsa. Ada ribuan kalimat sedih yang kutangkap dari sorot matanya.Entah sudah berapa lama Viana mengamuk seperti ini, hanya saja kulihat ia cukup lelah. Napasnya naik turun, kedua tangannya juga melemas ketika kutangkap.“Na-ra?”Viana sukses menyebutkan namaku dengan bibirnya yang bergetar. Dan tak lama, Viana kehilangan keseimbangan. Ia pingsan. Aku menangkap kepalanya sebelum jatuh k
“Nara, Riga meninggal dunia.”Aku tercekat. Mendadak darahku seperti berhenti mengalir dalam detik itu. Aku menelan ludah dan menjauhkan ponsel dari telingaku.Biru yang melakukan panggilan itu. Aku sudah menyimpan nomornya tempo hari.“A-apa yang kamu bilang barusan?” aku ingin mengkonfirmasi sekali lagi. Takutnya salah dengar. Atau Biru sedang bercanda.Namun, suara isakan yang kemudian mewarnai speaker ponselku. Kulihat Seya memiringkan kepalanya ke arahku sebab dahiku berkerut memandangnya.“Biru?”Biru terdengar berusaha keras mengontrol isakkannya. Dan ia mengulang apa yang barusan ia katakan. Kali ini lebih pelan dan penuh penekanan.“Nara, Riga meninggal dunia. Tadi malam. Tabrakan mobil beruntun.”Tidak.Aku lemas. Baru kemarin aku menyaksikan bagaimana Yenan terkulai lemah setelah berita meninggalnya Reist. Kali ini aku bisa tahu seperti apa rasa
Kami kembali ke Surabaya. Melakukan aktivitas seperti biasanya lagi. Kali ini tujuanku sangat jelas, aku akan menikahi Seya. Tanpa kompromi.Sudah kutanyai pihak sekolah untuk melakukan pinjaman. Dan mereka menyanggupi itu. Masalah biaya sepertinya bisa tertangani. Mental juga sudah. Tinggal meyakinkan sekali lagi, apa Seya benar-benar siap.Berbeda denganku. Aku pernah punya pengalaman dalam pernikahan. Seya tidak. Mungkin dalam hatinya masih ada keraguan atau ketakutan. Sebab pernikahan sesuatu yang indah di luar, namun bisa sangat menakutkan di dalam.Aku pernah gagal satu kali. Bersama Seya, aku tidak ingin mengalami kegagalan itu lagi. Aku berjanji pada diriku sendiri dan pada Yenan yang menyetujui keputusanku seratus persen.Aku baru pulang dari sekolah ke kontrakanku. Di depan pagar, kulihat seseorang menunggu sambil bersandar dekat mobil.Kalau aku tidak salah ingat, itu mobil Biru. Dan laki-laki dengan tinggi semampai juga punya kulit sepu
Sejak kedatangan Riga tempo hari, rasa sukaku pada Seya malah makin berlipat-lipat. Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan. Menyukainya terasa sangat menyenangkan.Beberapa kali aku diajak berkunjung ke rumah keluarganya di Bandung. Hubungan kami tambah serius. Sosokku juga dianggap ‘ada’ bukan sekedar orang yang selalu bersama Seya saja.Karena khawatir dengan pendapat orang sekitar, aku pindah kontrakan. Jadi lebih dekat ke sekolah. Kami tetap bisa berkomunikasi. Kadang aku sarapan juga di rumah Seya dan Yenan. Tapi untuk tidur, kami tak bisa satu atap lagi. Kecuali aku menikahinya.Dialog itu pernah ada dalam otakku. Kutanya Yenan pun, ia setuju saja. Menurutnya usia kami sudah matang. Sudah sama-sama siap. Izin keluarganya sudah kukantongi. Pekerjaan pun punya. Lalu apa lagi?“Apa Nara gak mau mengenalkan aku pada keluargamu?” tanya Seya di suatu sore saat kami sedang berjalan-jalan di sebuah taman.Bukannya aku