Dari mana aku harus mulai?
Ah, aku tahu. Tidak usah jauh-jauh. Tiga bulan sebelum hari pernikahan. Karena kupikir itulah awal mula ide gila itu tercetus. Dari Riga, sang putra mahkota.
Hari itu cuaca sedang bagus-bagusnya. Aku baru selesai latihan untuk panggung teater yang akan digelar di gedung kesenian, seminggu lagi.
Seperti biasa, tujuanku selalu café Tree tempat Nara bekerja. Nara itu pacarku. Dua tahun sudah hubungan kami.
Nara menyambutku, menyiapkan meja favoritku di pojok dekat meja kasir. Karena sudah tak terhitung kunjunganku kemari, tentu pelayan lain mengenalku. Satu-satunya wanita yang bisa meluluhkan Nara, si casanova yang minim kata.
Menu pesananku pun selalu sama. Hot chocolate latte art yang dikuasai oleh Nara.
Kali ini pun ia sedang membuatnya untukku. Melakukan pouring atau teknik menuang milk foam di atas chocolate.
Tempo hari polanya burung bangau, entah hari ini. Makin lama keahlian Nara menggambar di atas chocolate atau kopi makin meningkat.
Ah, kali ini bentuknya hati dengan bubuk bertuliskan namaku, Viana.
Cantiknya~
“Shift-ku sebentar lagi selesai, tunggu ya!” ucap Nara sambil menaruh cangkir chocolate. Aku mengangguk seperti kepalaku akan lepas saking cepatnya.
Nara kembali ke belakang meja bartender. Pesanan yang menumpuk terpaksa membuatnya tinggalkanku sendiri. Biasanya Nara ikut duduk denganku. Sekedar mendengar celotehanku, atau untuk memegang tanganku.
Aku jahat tidak ya, kalau kuharapkan café ini sepi agar bisa berduaan dengan Nara. Memandanginya dari jarak dua meter begini membuatku frustrasi.
Sejak kami resmi pacaran, aku selalu ingin menyentuhnya, lagi dan lagi. Dia kuanggap manusia charger-ku. Penyemangatku.
Dinding café terbuat dari kaca tembus pandang yang bisa melihat dua arah. Ekor mataku menangkap sosok pria berambut coklat keemasan mengintip kaca.
Gayanya berlebihan dengan membentuk teropong di matanya. Padahal tanpa itu pun pemandangan dalam café bisa terlihat. Kecuali ia rabun jauh.
Pria itu tak lain adalah Riga. Ia tahu aku selalu kemari kalau tidak ada di sanggar.
Belakangan ini ia mendesakku dikenalkan seorang gadis padanya. Aku malas jadi mak comblang, makanya selalu menghindar.
Tapi di sini, aku tidak bisa kabur. Kecuali kutinggalkan hot chocolate berbentuk hati yang Nara buatkan untukku. Mubazir.
Riga merangsek masuk café. Sudah kuduga tujuannya adalah aku. Kalimat yang dilontarkannya pun seputar yang kubilang barusan.
“Ayolah kenalkan aku dengan temanmu. Ini mendesak.”
Ngomong-ngomong, apa aku sudah menjelaskan hubunganku dengan Riga sebelumnya?
Sepertinya belum.
Riga ini sebenarnya teman Nara. Mereka berteman sejak kuliah. Everlasting, bahkan sampai detik ini.
Berteman dengan Nara, otomatis harus mengenalku juga. Riga dengan kepercayaan diri setinggi langit, kontras denganku yang blak-blakan. Sering terjadi adu mulut antara aku dan Riga. Bertengkar dan saling keras kepala.
Nara penengah kami. Ia selalu tahu cara mendamaikan kami.
Jadi begitulah antara aku dan Riga. Teman bukan, musuh bukan.
“Memangnya kamu cari wanita buat apa? Mau kamu jadikan asisten?” balasku gusar.
Riga duduk di seberang kursiku tanpa permisi. Sontak kupelototi Riga, karena ia menghalangi pandanganku pada Nara di meja bartender sana. Riga bergeser.
“Untuk kujadikan istri.”
“Apa?” dahiku mengernyit. “Cari istri itu nggak kayak mancing ikan. Begitu dapat kamu lempar ke keranjang. Syukur-syukur kamu bawa pulang untuk kamu makan. Biasanya malah ditelantarkan, cuma bersenang-senang. Suami istri itu hubungan sakral. Perjanjiannya dengan Tuhan,” aku malah berceramah.
Riga menurunkan bahu. Malas mendengar petuahku tentang ikan. Riga suka sekali memancing ikan.
“Iya, aku paham. Maksudku aku butuh seorang istri yang akan kunikahi dalam sebulan ini. Kamu tahu, Paman Danavy akan pensiun. Kursi direktur utama akan kosong. Aku mengincar posisi itu dari dulu. Sekarang ada di depan mataku.”
“Terus, apa hubungannya dengan istri?”
“Syarat dipilih jadi direktur utama adalah menikah.”
“Wow, keluargamu menarik sekali.”
“Jadi … ada kan, wanita yang sekiranya bisa kukenalkan ke Bunda dan keluarga besarku yang lain?”
“Itu masalahnya, Riga. Kamu memang tampan, banyak wanita yang suka kamu. Tapi nggak ada satu pun yang sanggup berhadapan dengan Bunda, apalagi keluargamu. Wanita itu harus dari kalangan atas, aku mana punya teman yang begitu.”
“Masa nggak ada satu pun di sanggarmu?”
“Enggak ada. Titik. Case closed.”
Keributan kami mengundang Nara datang kemari. Nara berbaik hati membuatkan hot chocolate sama sepertiku meski pun Riga tidak pesan.
Dan perlu dicatat, latte art milik Riga bukan pola hati, tapi bunga teratai. Hati Nara cuma milikku.
“Nara, tolong aku,” rengek Riga.
Si tuan muda ini, meskipun hartanya selangit, semua barang miliknya tidak ada yang murahan, status sosialnya lebih tinggi dari Nara. Tapi ia menghormati Nara.
Tidak jarang Riga bergantung pada Nara yang kalem. Segala ucapan Nara adalah titah baginya. Semua keputusan Nara adalah final untuk Riga. Sampai-sampai aku tidak paham hubungan mereka.
“Kenapa terburu-buru, Paman Danavy pensiun bukan berarti kamu harus segera mengisi posisinya.”
Pola pikir Nara selalu selangkah di depan kami. Mendadak aku ingin mencium bibirnya yang meluncurkan kalimat tadi.
“Iya, sih. Masalahnya, selain aku, ada Biru yang juga potensial mengisi kursi direktur. Apalagi kudengar Biru sudah tunangan dengan pacarnya, Nila. Kursi direktur utama akan jadi miliknya kalau aku santai saja.”
“Salahmu sendiri, bukannya cari pacar malah sok sibuk sama kerjaan. Aku sempat mikir kamu gak akan menikah seumur hidup,” cibirku mendapat delikan mata dari Riga.
Lidahku terjulur, tidak suka Riga mulai menggenggam tangan Nara sambil merajuk. Tangan itu milikku.
“Coba bicara sama Biru. Setahuku dia gak minat sama jabatan ayahnya.”
Benar juga, Biru satu kampus dengan mereka. Nara kenal Biru seperti ia kenal Riga.
“Enggak mau. Nanti ketahuan kalau aku mengincar posisi itu. Aku gak mau diolok-olok keluargaku.” Riga keras kepala.
Ingin kupukul kepala berasuransi miliaran itu. Dia selalu saja merajuk di hadapan Nara. Bikin kesal.
Nara menghela napas, kepalanya menoleh ke meja bartender. Rekannya memanggil, Nara dibutuhkan di sana.
Riga melepasnya dengan dengungan mirip anak anjing. Kami membayangi punggung Nara yang menjauh.
Riga membenamkan wajahnya ke meja. Menggerutu dengan bahasa yang tidak aku tahu. Tidak peduli, aku menyesap hot chocolate-ku sebelum dingin.
Tak berapa lama, seorang wanita paruh baya menghampiri meja kami. Gayanya necis dengan cape blazer membungkus tubuh montoknya.
Wanita itu melihatku, berdiri di sampingku.
Sadar ada seseorang yang datang. Riga menengadah. Langsung duduk tegak sambil menyeru pada wanita di sampingku ini.
“Bunda!”
Oh, bundanya Riga?
Aku spontan berdiri dan membungkukkan badan. Apa ya, auranya seperti petinggi negeri, seperti ratu Elizabeth kalau di Inggris.
Bunda memerhatikanku tanpa berkedip. Dengan bola mata kuning ia memindai wajahku. Tujuh detik, aku menghitungnya dalam hati. Bunda menangkup pipiku dengan tangannya.
Aku mematung. Riga juga. Hanya matanya yang bergerak bolak balik kepadaku lalu ke bundanya.
“Kamu cantik,” pujinya. Tangannya turun tapi langsung meraih jemariku.
“Kamu mau kan, jadi menantuku.”
What???
__BERSAMBUNG__
Harusnya kalau Riga tegas. Tidak, bilang tidak. Bundanya Riga tentu tidak akan menerorku begini.Sebenarnya seberapa hebat pencari informasi Bunda. Tiba-tiba ia tahu jadwal latihanku di sanggar.Bunda tidak datang dengan tangan kosong. Dibawanya minuman starbuck berjumlah pas dengan anggota yang hari ini datang latihan.Bunda khusus membawaku multivitamin. Bukan merek yang umum kudapat di toko, tapi buatan luar negeri. Dan pasti mahal.Di waktu istirahat, Bunda mengajakku berbincang. Ia memulai dengan cerita kondisi keluarganya. Sama persis seperti yang kudengar dari Riga kemarin. Namun kali ini lebih intens versi seorang ibu.“Ayahnya Riga meninggal saat Riga masih kecil. Ayahnya Riga selalu berharap suatu hari nanti bisa jadi direktur Abimahya Corp. Pengabdiannya bukan main-main. Ia juga yang bantu menumbuhsuburkan perusahaan keluarga ini. Namun umur seseorang siapa yang tahu. Mimpi di posisi tertinggi pupus sudah.“Riga dekat dengan ayahnya. Kurasa karena itulah mimpi jadi direktur
Hal ini memaksa kak Kazan sampai datang ke tempatku. Kami memilih Café Tree sebagai tempat diskusi. Ada aku, Kak Kazan, Nara dan Riga.Dari tadi Riga mengacak-acak rambutnya mendengar Kak Kazan bercerita bagaimana bundanya keukeuh akan melamarku.“Kamu sudah jelaskan ke Bunda, kan?” aku menendang kaki Riga di kolong meja.“Sudah. Tapi Bunda gak mau dengar. Dia kadung suka sama kamu, Viana.”“Apa sih, padahal aku gak melakukan sesuatu, kenapa Bundamu bisa tergila-gila begitu.”“Menurutmu kenapa coba?”“Kenapa?”“Karena kamu cantik. Jadi bisa ia pamerkan ke teman-teman sosialitanya.”Kutendang tulang kering Riga di hadapanku ini. Riga mengaduh. Sebenarnya Riga memujiku, tapi entah kenapa kalau dia yang bilang rasanya ingin kutendang. Apalagi di depan Nara.“Apa bundamu sering memaksakan kehendaknya?” ucap Kak Kazan pada Riga.“Ya, Bunda yang terparah. Sekalinya ia menginginkan sesuatu, maka harus ia dapatkan. Apa pun itu.”“Termasuk menginginkan seseorang?” tanyaku.“Ya, termasuk itu.”
“Viana, apa ibu-ibu trendi kemarin datang lagi?” seru Milan di sela istirahat kami.Aku mengerti maksudnya siapa. Aku menggeleng sebagai jawaban. Milan merengut. Tidak puas.“Yah, padahal minuman mahal itu enak banget, loh!” jujur Milan membuatku melotot padanya. “Eh, dia siapamu, sih? Orang kaya, ya?”“Orang kaya, iya. Tapi dia bukan siapa-siapaku.”“Masa? Kukira calon mertuamu. Habis dia perhatian gitu, sampai kasih kamu multivitamin mahal yang kamu makan sekarang ini, kan.”Hampir saja aku tersedak. Multivitamin tablet pemberian Bunda memang selalu kukonsumsi. Meskipun aku menolak Bunda, bukan berarti multivitamin mahal ini kubuang, kan. Mubazir. Mending kumakan. Lumayan sehat.“Dia siapa sih? Kayak familiar gitu wajahnya?” Milan penasaran atau mau mengujiku nih.Sorry to say Milan, aku sedang tidak mood bahas Bunda. Lebih baik aku bungkam.“Kamu gak kenal ibu itu? Keterlaluan.” Satu lagi temanku, Havana, menyerobot pembicaraan.“Dia dari keluarga Abimahya Corp. Itu loh, yang perus
Kita bekukan dulu acara pernikahan, atau Riga yang tersenyum senang sebab jabatan impiannya ia dapatkan. Sekarang aku akan bercerita tentang pertama kali bertemu Nara. Pertama kali aku merasakan jatuh cinta. Waktu itu, aku sudah di ibukota sejak lulus SMA. Lima tahun. Dari kecil, impianku menjadi pemain teater tuntas terbayar. Meskipun harus terpisah dengan Kakak di kampung, asalkan untuk mimpi aku rela tinggal di indekos tua dan bobrok. Atau makan hanya sekali sehari pun tak apa. Aku terlanjur cinta bermain peran di atas pentas. Saat itu sanggar kami sedang jaya-jayanya. Bukan hanya saat usai pementasan saja kami dibayar, tapi setiap bulan sebagai gaji tetap kami. Makan enak masih bisa kulakukan. Kali itu pun aku sedang melakukannya dengan Milan dan Havana. Kami memilih Café Tree sebagai tempat istirahat. Tidak jauh dari sanggar, makanannya pun tidak terlalu mahal. Kami memilih menu dengan seorang pria siap mencatat pesanan kami. Pria itu membuatku terkesima hanya dengan berdiri
Dulu dan sekarang, tidak ada yang berubah dengan perasaanku pada Nara. Yang berbeda paling status kami sekarang, suami istri. Malam tadi, kami sama-sama lelah dengan pesta pernikahan. Tapi tidak mengubah performa kami di atas ranjang. Nara sama hebatnya seperti yang sudah-sudah. Hanya kali ini ia begitu lelah untuk sekedar mengenakan baju. Memilih berselimut sambil memeluk tubuhku. Kuperhatikan wajah Nara yang masih tertidur, usil memainkan jariku ke dagu. Lalu turun ke adam apple-nya alias jakun. Nara menelan ludah. Reaksi atas jari-jariku usilku. Aku cekikikan karena Nara yang setengah bangun setengah tidur menyembunyikan jakunnya ke bantal. Selimut sedikit tersingkap. Dan lasak. Nara mendengung tanda protes kuganggu. “Selamat pagi, suamiku. Ayo sarapan,” bisikku manja di telinganya. Nara menggulung tubuhnya lagi dengan selimut. Mulai sadar tak ada sehelai benang pun di badannya. “Aku mau tidur sebentar lagi,” pinta Nara den
Kami telah sampai di Bandara Ngurah Rai, Bali. Kami perlu ke sini untuk mengelabui Bunda dan yang lain. Kalau kami nekat terbang dari Jakarta, bisa saja ada yang mengantar hingga ke pintu keberangkatan. Padahal tujuanku dengan Riga berbeda.Riga menelepon seseorang ketika tiba di bandara. Kulihat barang bawaannya hanya ransel besar dan tas pinggang membelit di tubuhnya. Bisa kutebak tujuan Riga adalah perjalanan domestik. Beda sekali denganku yang rikuh membawa banyak baju di koper. Terpisah dengan punyanya Nara di koper kecil.Hei, wanita selalu begitu kan. Setiap kemana pun selalu paling banyak bawaan dibanding para pria. Aku yakin kamu yang membaca ini juga begitu. Mengaku saja.Tiga minggu. Waktuku honeymoon dengan Nara di Cancun. Selama itu pula Riga pergi ke tempat entah kemana. Dia tidak bilang apa pun.Nampaknya Riga berhasil mengontek temannya, ia bersiap pergi begitu panggilan telepon dimatikan. Riga berbalik badan padaku dan Nara.&ldquo
Selagi masih di Cancun, kujajaki semua wisata dan mengeksplor kota indah nan romantis ini. Dimulai dari Taman Xcaret. Taman hiburan terbesar di Mexico di bawah payung Experiencias Xcaret. Selanjutnya kami mengunjungi Reruntuhan Coba Maya. Berjalan melalui reruntuhan, melihat jaringan jalan-jalan batu, monumen yang diukir lebih dari 1.200 tahun yang lalu. Piramida. Tempat tinggal sehari-hari, dan bahkan lapangan bola tradisional. Masih belum puas, kami menjelajahi Downtown. Pergi ke pusat kota Cancun dimana penduduk setempat tinggal dan berkumpul. Aku menemukan beberapa toko turis dan restoran, tetapi getarannya jauh lebih otentik. Lalu ke Coco Bongo, tempat yang menawarkan kehidupan malam terbaik di Cancun. Ini bukan klub malam dengan lantai dansa, melainkan sebuah tempat yang menyediakan hiburan dan musik berenergi tinggi. Kami menyaksikan akrobat, musisi, DJ, dan layar video besar saat berinteraksi dengan garis conga, balon, gelembung dan co
Berita baik itu datangnya dari Ketua. Sanggar kami hidup kembali. Seorang derma membeli kepemilikan gedung. Tanpa syarat apapun ia hibahkan gedung tempat kami berlatih. Selama ini yang membuat kami bangkrut karena sewa gedung yang mencekik. Kalau masalah itu sudah dituntaskan, pemasukan bisa fokus untuk produksi. Bisa kamu tebak siapa dermawan itu? Yap, Bunda. Aku pernah bilang tentang pencari informasi Bunda yang setara intel itu, bukan. Kabar bangkrutnya sanggar terendus oleh Bunda. Suatu hari ia pernah menemui khusus untuk masalah satu ini. Pertanyaannya menohok. “Kenapa kamu suka teater?” Seperti wawancara dengan penggalang dana. Kalau alasanku tidak memuaskannya, hilang sudah kesempatan didanai. “Di dunia nyata aku cuma wanita biasa dan sederhana. Aku bisa jadi siapa pun dengan teater. Setidaknya aku pernah merasakan banyak peran walau cuma di atas panggung. Mungkin itu juga caraku bersimpati dengan banyak orang.”
"Aku menunggumu datang, Nara."Aku terlena dengan desis suaranya. Seperti membuaiku dari kekalutan. Memberiku semangat sebab sempat terpuruk mendengar tangisnya.Viana memundurkan kepalanya hingga kami jadi saling bertatapan.Aku lupa, Viana memang seindah ini sebelumnya. Wajahnya, senyumnya, cara ia melirikku. Dia wanita yang punya kesempurnaan mutlak."Aku mau minta maaf, sudah merepotkanmu hari itu," sambung Viana."Merepotkan apa?""Kamu. Sampai sengaja menghiburku ke luar rumah demi membuatku gak sesak lagi berada di dalam sini."Aku belum menemukan inti dari perkataannya. Atau kemana arah pembicaraan ini akan berlangsung."Waktu itu aku sangat down. Aku benar-benar gak bisa berpikir dengan tepat. Aku juga gak ingat pernah berteriak pada semua orang tentangmu ataupun tentang Riga."Mendengar nama itu disebut lagi, spontan aku seperti diingatkan, kalau Viana bukan milikku, tapi Riga. Meski Riga sudah meningg
"Aku ingin kembali pada Viana. Apa aku salah?"Yenan mendorong kerahku hingga belakang kepalaku membentur tanah."Tentu saja kamu salah, bedebah! Kamu sudah mempermainkan perasaan Seya," teriak Yenan.Yenan bangkit dari menindih badanku. Ia mengacak rambutnya, seolah kehilangan akal."Sialan! Kalau tahu akhirnya akan begini, harusnya aku gak membiarkanmu dekat dengan Seya." Yenan meracau.Aku sama sekali tak beranjak dari tanah. Langit bisa kupandangi dari posisiku. Juga dingin dari jalanan yang mulai menghasilkan embun pagi."Pergi kamu, Nara! Aku akan menghancurkanmu kalau sampai menunjukkan wajahmu lagi di depan Seya."Bagiku, itu seperti isyarat bahwa ia menyerah terhadapku. Sebab, memintaku tetap berada di sini, kembali pada Seya, hanya akan memberikan luka padanya.Yenan memilih untuk membenciku dengan caranya.Aku beranjak dari tanah. Memandangi Yenan yang sedang memunggungiku lengkap dengan kepalan tangan yang te
Namun, rupanya di rumahku ada seseorang.Seya.Ia berdiri menghadapku dengan wajah cemas dan kantung mata menghitam. Kutebak, ia juga tak tidur malam kemarin.“Nara!” suaranya terdengar serak. “Aku mencemaskanmu.”Seya mendekat. “Apa yang terjadi dengan ponselmu, kenapa gak menjawab teleponku. Aku hanya ingin tahu kabarmu. Aku cemas terjadi sesuatu dengan Nara.”Aku sudah menduga Seya akan begini. Hanya saja aku tidak menyangka akan terjadi secepat ini, di rumahku, tepat setelah aku kembali.Saat di perjalanan, aku sudah memikirkan ini matang-matang. Aku harus memilih Seya dan Viana. Dan pilihanku jatuh pada Viana.“Seya, ada yang mau kukatakan padamu,” potongku. Mengabaikan kalimatnya barusan.Wajah Seya tegang. Ia tidak pernah melakukan itu sebelumnya. Senyum yang kemarin jadi ciri khasnya seolah raib hanya lewat kalimatku barusan.“Jangan katakan! Aku tahu apa yang
"Viana, kamu mau pergi denganku?"Viana memandangiku dengan tatapan kuyu. Aku tahu ia masih terpengaruh obat bius. Ia juga masih lemas efek berontak siang tadi.Tapi sungguh, di dalam rumah ini terasa sangat menyesakkan. Aku ingin memberi Viana angin segar agar ia lepas dari stress yang membuatnya ingin terus berteriak.Kuraih jaket yang menggantung dekat rak. Kupakaikan pada Viana. Lalu membantunya turun dari kasur dan menggandengnya berjalan keluar kamar.Orang-orang masih terlelap tidur. Aku dan Viana leluasa jalan mengendap-endap sampai ke luar rumah. Sekilas aku melihat jam dinding menunjukkan pukul 1 dini hari. Malam akan sangat dingin di luar, maka kurapatkan jaket yang dikenakan Viana.Jejeran bunga tanda berduka masih berada memenuhi jalanan. Viana menoleh ke arah itu. Sambil menahan gemetaran di bibirnya. Kupegang erat tangannya, berjalan ke arah sebaliknya yang jauh dari karangan bunga.Jalan dan jalan. Tak ada yang kami ucapkan.
“Mana Nara?”Otomatis aku beringsut ke kamar Viana begitu mendengar namaku disebut. Cyan juga mengekor tak jauh dariku.Viana nampak sedang ditenangkan oleh kakak iparnya. Ia mengamuk seperti saat tadi pagi. Kali ini ia meneriakkan namaku. Seolah kehilangan akal. Itu bukan seperti Viana yang kukenal.“Nara, mana Nara? Jangan ceraikan aku. Aku gak mau cerai dari Nara,” teriak Viana.Cerai?“Nara!”Lagi, Viana berteriak. Aku yang saat itu di pintu hanya bisa menatapnya. Viana menolehku. Tatapan kami bersirobok. Dan secepat kilat, Viana berlari ke arahku. Memeluk tubuhku. Di hadapan orang-orang, ia melingkarkan tangannya di perutku, kepalanya membenam di dadaku."Kumohon, jangan ceraikan aku. Aku gak mau berpisah denganmu. Jangan pergi!"Semua membisu. Terutama aku.Aku sempat mendengar kalau orang yang memiliki stres akut, ingatannya bisa kembali pada saat trauma terberatnya.Bisa
Saat itulah, aku menghampiri Viana. Mengambil alih kanan dan kiri tubuhnya. Mencengkeram pergelangan tangannya. Dan menariknya masuk ke tubuhku.“Ssst, diamlah Viana!”Viana belum sadar benar siapa yang memeluknya ini. Ia memukuli punggungku dan masih saja berteriak. Lagi, aku memeluknya makin erat. Tidak peduli dia memukul seberapa keras, atau ia menggigit bahuku demi minta kulepaskan.“Viana, ini aku. Nara!”Saat itu, barulah Viana berhenti. Mata kami bertautan. Kupandangi kedalaman matanya yang terlihat sangat nelangsa. Ada ribuan kalimat sedih yang kutangkap dari sorot matanya.Entah sudah berapa lama Viana mengamuk seperti ini, hanya saja kulihat ia cukup lelah. Napasnya naik turun, kedua tangannya juga melemas ketika kutangkap.“Na-ra?”Viana sukses menyebutkan namaku dengan bibirnya yang bergetar. Dan tak lama, Viana kehilangan keseimbangan. Ia pingsan. Aku menangkap kepalanya sebelum jatuh k
“Nara, Riga meninggal dunia.”Aku tercekat. Mendadak darahku seperti berhenti mengalir dalam detik itu. Aku menelan ludah dan menjauhkan ponsel dari telingaku.Biru yang melakukan panggilan itu. Aku sudah menyimpan nomornya tempo hari.“A-apa yang kamu bilang barusan?” aku ingin mengkonfirmasi sekali lagi. Takutnya salah dengar. Atau Biru sedang bercanda.Namun, suara isakan yang kemudian mewarnai speaker ponselku. Kulihat Seya memiringkan kepalanya ke arahku sebab dahiku berkerut memandangnya.“Biru?”Biru terdengar berusaha keras mengontrol isakkannya. Dan ia mengulang apa yang barusan ia katakan. Kali ini lebih pelan dan penuh penekanan.“Nara, Riga meninggal dunia. Tadi malam. Tabrakan mobil beruntun.”Tidak.Aku lemas. Baru kemarin aku menyaksikan bagaimana Yenan terkulai lemah setelah berita meninggalnya Reist. Kali ini aku bisa tahu seperti apa rasa
Kami kembali ke Surabaya. Melakukan aktivitas seperti biasanya lagi. Kali ini tujuanku sangat jelas, aku akan menikahi Seya. Tanpa kompromi.Sudah kutanyai pihak sekolah untuk melakukan pinjaman. Dan mereka menyanggupi itu. Masalah biaya sepertinya bisa tertangani. Mental juga sudah. Tinggal meyakinkan sekali lagi, apa Seya benar-benar siap.Berbeda denganku. Aku pernah punya pengalaman dalam pernikahan. Seya tidak. Mungkin dalam hatinya masih ada keraguan atau ketakutan. Sebab pernikahan sesuatu yang indah di luar, namun bisa sangat menakutkan di dalam.Aku pernah gagal satu kali. Bersama Seya, aku tidak ingin mengalami kegagalan itu lagi. Aku berjanji pada diriku sendiri dan pada Yenan yang menyetujui keputusanku seratus persen.Aku baru pulang dari sekolah ke kontrakanku. Di depan pagar, kulihat seseorang menunggu sambil bersandar dekat mobil.Kalau aku tidak salah ingat, itu mobil Biru. Dan laki-laki dengan tinggi semampai juga punya kulit sepu
Sejak kedatangan Riga tempo hari, rasa sukaku pada Seya malah makin berlipat-lipat. Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan. Menyukainya terasa sangat menyenangkan.Beberapa kali aku diajak berkunjung ke rumah keluarganya di Bandung. Hubungan kami tambah serius. Sosokku juga dianggap ‘ada’ bukan sekedar orang yang selalu bersama Seya saja.Karena khawatir dengan pendapat orang sekitar, aku pindah kontrakan. Jadi lebih dekat ke sekolah. Kami tetap bisa berkomunikasi. Kadang aku sarapan juga di rumah Seya dan Yenan. Tapi untuk tidur, kami tak bisa satu atap lagi. Kecuali aku menikahinya.Dialog itu pernah ada dalam otakku. Kutanya Yenan pun, ia setuju saja. Menurutnya usia kami sudah matang. Sudah sama-sama siap. Izin keluarganya sudah kukantongi. Pekerjaan pun punya. Lalu apa lagi?“Apa Nara gak mau mengenalkan aku pada keluargamu?” tanya Seya di suatu sore saat kami sedang berjalan-jalan di sebuah taman.Bukannya aku