Tak mau ambil resiko, aku hanya mengungkapkan pada Pak RT kalau tempat itu perlu di refresh alias dialih fungsikan sebagai sarana ibadah. Selain pemiliknya adalah pemuja setan, penghuni yang ada di sana pasti tak akan betah jika tetap dijadikan kontrakan. Setelah aku memindahkan barang barangku ke dalam mobil pengangkat barang untuk dibawa pulang, aku pun mengikuti laju mobil itu.Waktu keberangkatan sengaja habis maghrib agar aku menunaikan sholat terlebih dahulu. Selepas kewajiban sudah ditunaikan, barulah aku naik sepeda motorku untuk mengikutinya dari belakang. Meski kemarin sudah disesatkan ke dunia lain saat sedang pulang, kali ini aku tak takut sama sekali dan malah seperti santai saja ketika mobil sudah memasuki kawasan desaku sendiri.Angin malam ini bahkan berhembus sangat dingin, hingga dari kaca spion aku melirik pada sosok putih berambut panjang yang membonceng di belakangku. Aku sengaja memantaunya sejak tadi, dia terus saja membonceng seolah olah aku tukang ojeknya. Di
AKu memang merasa aneh dengan diriku sendiri. Seharusnya aku bisa legowo dan ikut bahagia dengan pernikahan Hamzah dan Syarifah. Tapi nyatanya, ini semua tak semudah kata yang diminta Emak untuk diucapkan. “Kenapa wajah lo lesu banget gitu?” tanya Lili.“Bete!” jawabku malas.“Hm, mulai deh jomblo galau lagi. Eh, lo nggak diundang ke pernikahannya Hamzah?” tanya Lili.“Kenapa memang? Mau ajak gue?”“Ya gue sama suami gue lah, kalau elo … mungkin ada Syarifah di sana.”“Ck, dia kan jadi mantennya. Ya jelas ada di sana,” jawabku.“Menten? Oh, pagar ayu maksudnya?”“Pagar ayu atau pengantin ayu, apalah itu. Gue nggak paham, intinya gue males datang. Mendadak mules,” jawabku.“Aneh, bisanya elo apa apa bersama bertiga. Si Ipeh ngurusin nikahannya Hamzah sama istrinya, elu malah kerja sendiri. Aneh,” ucap Lili.“Maksudnya?” Aku tentu ambigu dengan ucapan Lili.“Ya kan Hamzah nikah sama anaknya ustad di sana ‘kan? Emangnya lo nggak tahu?” “Ah, nggak usah bercanda deh! GUe tahu, lo hanya h
"Keluarga Siapa yang ingin lo temui?" tanyaku ulang."Keluarga ku, kamu pasti tidak mengenal mereka. Aku akan mengenalkannya kepadamu setelah ini."Sebelum aku menjawabnya dia sudah lebih dulu menarik tanganku dan membawaku berjalan setengah berlari. Aku ikut saja karena merasa penasaran, Syarifah memang sepertinya mempunyai keluarga baru setelah beberapa minggu berada di kampung halaman. Mungkin ada keluarganya yang merasa pernah atau kenal dengan keluarga Syarifah yang dulu sehingga memperkenalkan diri dan mengakui sebagai keluarga.Langkah Syarifah begitu cepat sampai aku kewalahan untuk mengikutinya. Nafasku ngos-ngosan bahkan aku sampai berhenti sambil memegangi dadaku."Peh, Kenapa larinya cepet banget sih? Gue capek tahu! Memangnya keluarga lo tinggal di mana?" tanyaku sambil berjongkok dan kini aku merasa kelelahan."Tuh," ucap Syarifah menunjuk sebuah rumah yang cukup mencengangkan bagiku. Aku baru tahu jika ada rumah sebagus itu di tengah-tengah sawah yang ada di desa ini."
Sebuah air terasa menetesi wajahku. Aku merasakan dinginnya air itu hingga perlahan sebuah hembusan terasa begitu segar di telinga. Aku pun tak tahu apa yang sudah tejradi padaku setelah diri ini dibawa ke istana mahluk gaib yang sungguh sangat mengerikan itu. Aku tahu, ini tak seperti yang aku bayangkan dengan indahnya. Hanya saja, aku mencoba untuk menyadarkan bahwa ini semua tidak nyata dan aku harus mencoba untuk tetap ingat terhadap sang pencipta.Semua tempat tempat aneh itu membuatku semakin yakin, perjalanan kali ini bukan berada di alam dunia. Bahkan aku tak tahu saat tangan ini seperti ditarik oleh wanita tanpa wajah yang jelas menuju ke suatu tempat saat itu. Aku pikir itu Syarifah, nyatanya bukan wanita itu. Wajahnya rupa-rupa bahkan kadang menyerupai orang yang aku kenal dan aku sayang. “Randu!”Suara Emak?“Randu?”Kalau ini … Bapak kayaknya.“Randu…”Hamzah? Inikah mereka?“Randu, jangan tinggalin gue. Gue belum nikah, Hamzah juga mau nikah. Malah lo mati duluan. Ndu!
..“Bawa aku pulang, Randu. Aku tersesat, sama sepertimu,” ucapnya dengan terisak, lalu memelukku. Namun, aku bisa merasakan tangannya dingin. “Tidak! Kamu bukan Nona Lisa.”Teringat dengan kejadian saat pertama kali masuk dunia lain, makhluk itu mirip dengan Syarifah dan mungkin ini juga sama, dia bukan Nona Lisa. Dia pasti bukan Nona Lisa. Dia pasti hanya siluman yang menyerupai orang orang terdekatku.“Aku ingin pulang bersamamu, Randu. Tolong aku,” isak Nona Lisa yang aku sudah memantapkan hati, tak lagi tergoda dengannya. Angin besar seperti berputar, langit mendadak gelap seperti akan turun hujan. Dia mendekat padaku, lalu menarik tanganku. Benar saja, hujan turun. Kali ini aku merasakan airnya. Beda dengan saat gelap tadi. Air ini terasa basah dan aku bisa memegangnya. Namun, bukankah hanya manusia yang bisa merasakan tubuhnya merasakan benda benda di dunia? Apakah ini pertanda aku masih hidup?“Kita harus berteduh, Randu. Ayo kita pulang!” ajaknya.Aku langsung mengibaskan
Aku masih seperti orang bingung. Tak sadar dan tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi deganku. Semuanya seperti berputar putar di otak tapi tak bisa aku ungkapkan. Mulut hanya bisa mengeluarkan napas saja, selebihnya memanggil Emak itupun hanya sekali setelah minum air yang diberikan Hamzah. Setelah itu seperti ada angin yang berhembus yang akhirnya membuatku merasa jadi aneh. Entah apa yang terjadi pada diriku ini. Aku diajak menuju ke ruangan di mana biasanya Ustad Husni meruqyah orang orang yang datang padanya dengan keluhan aneh. Di sini aku berada. Dikerumuni banyak santri santri, lalu mereka membacakan ayat ayat dan zikir serta doa. Kali ini mataku seperti berkunang kunang. Aku beberapa kali mengerjap, lalu seperti ada rasa kantuk yang mendadak terasa. “Jangan tidur, Randu. Tahan,” ucap Ustad Husni. Aku tak merespon. Seperti ada yang memaksaku untuk tidur. “Kamu dengar aku, Randu? Jangan tidur dan lawan hawa mengantuk itu kalau kamu ingin bebas dari aura negatif pada dirim
“Syarifah sudah Bapak lamarkan untukmu. Dia bersedia untuk kamu nikahi, kalau kamu sudah siap … ijab Qobul bisa dilaksanakan,” ucap Bapak membuatku langsung tercengang. Secepat ini ternyata niatku disambut baik oleh Syarifah. Apa mungkin dia selama ini mencintaiku? Apa selama ini diam diam dia terpesona dengan kegantenganku.“Pak Ustad, anak EMak kesurupan lagi kah? Dia bengong lagi pak ustad,” ucap Emak yang langsung membuatku tersadar. “Enggak, Mak. Randu sadar.”“Firdaus Hanafi, mau dipanggil siapa? Firda, Daus, Hana, Hanafi?” tanya Hamzah.Aku tersenyum. Terserahlah mereka mau memanggil apa. Namun, rasanya masih tersemat nama Randu di dalam hati ini. Selain unik, nama Randu adalah simbol kegantenganku. Dari nama itu aku bisa mendapatkan kesempatan jadi suaminya Nona Lisa, meski hanya sebatas lewat saja.“Jadi kapan ijab Qobulnya, Mak? Saya sudah siap,” ucapku langsung.“Kya … Fir udah nggak sabar tuh,” kekeh Ustad Husni.Aku tersenyum lalu menggelayut pada pundak emak. Emak me
Selama beberapa hari di pondok pesantren, aku tak melihat Syarifah pasca aku sadar seutuhnya. Mereka entah ke mana membawa Syarifah, bahkan Hamzah saja tak memberitahukan aku di mana dia pergi. Aku diminta Emak juga nggak boleh keluar dari rumah singgah ini dan tentunya, dilarang menunju ke asrama putri atau ke rumah ABah Yai. Padahal jaraknya hanya beberapa langkah saja dari asrama putra dan juga putri.Pagi ini, selepas mandi, aku putuksan menemui Abah Yai. Aku ingin menanyakan perihal keseriusan Syarifah yang mau aku nikahi. Aku tak tahu ini mimpi atau bukan, yang jelas aku ingin memulai semuanya dengan normal.“Bah, lagi santai?” tanyaku pada Abah Yai yang sedang duduk sambil memegang kitab entah apa.“Oh, sudah sehat, Fir?” tanya Abah.“Sudah, Bah. Ini alhamdulillah udah bisa jalan jalan keluar kamar. Namun, mohon izin … apa boleh saya berbincang serius berdua?” tanyaku.“Silahkan. Mau bicara apa?” Abah Yai meletakkan bukunya, lalu tersenyum ramah padaku. Aku diminta duduk di dep
Beberapa hari di rumah ini aku pun mulai merasa normal. Tak ada suara suara aneh yang aku dengar kala malam. Mamak dan Bapak pun terlihat sudah mulai beraktivitas seperti biasa.Asma dan aku sudah siap berangkat kuliah. Kuliah jam 9 pagi, Mamak juga sudah selesai dengan aktivitasnya dengan bapak di luar yang katanya berjualan. Aku diberi uang saku, lalu dibawakan bekal seperti anak TK.“Besok bukan mamak lagi yang siapin bekal, tapi istrimu. Takutnya mamak pulangnya gak selalu pagi,” ucap Mamak membuatku merenges. Aku yang belum terbiasa bermanja untuk urusan seperti ini tak banyak memprotes. “Iya, Mak.”Aku pun ke sekolah menaiki motor yang baru dibeli Bapak seminggu yang lalu. motor lamaku ada di rumah lama dan tak boleh dibawa pulang. Alasanya, tak ada gunanya dibawa karena akan membonceng Asma dan bawa dagangan.Kami tiba di kampus jam setengah sembilan.Aku menyapa beberapa mahasiswa lain yang melintas, tentu yang cantik cantik. Asma sampai mencubitku dan aku merenges saja.“Kat
“Nggak apa apa. Mungkin wajah saya memang familiar,” ucap Kyai Hasanudin.“Mirip sama Ayahandanya Mak Nyai,” gumamku dan Pak Kyai Hasanudin hanya mengangguk dan tersenyum padaku. Sungguh, wajahnya sangat mirip. "Hus! Jangan sembarangan ngomong, Gil," bisik Emak dan aku hanya mengangguk saja. Tapi memang agak kenal. Serius sangat mirip Ayahanda.Kami berbincang banyak hal, termasuk kegiatan para santri di pondok pesantren ini. Bahkan, Pak Kyai menawarkan aku dan Asma untuk tinggal di sini tetapi aku menolak. Aku tak ingin jauh dari mamak. Tentu selain tak bebas ada di pesantren yang orangnya tak aku kenal, aku juga tak tahu apakah Pak Kyai ini manusia betulan atau jadi jadian. “Ya sudah kalau tak mau menginap. Tapi setiap hari bantu Yai urus asrama, bisa?” tanyanya.“Insyaallah, bisa,” ucap Asma langsung.Aku pun melirik padanya. Dia tak menatapku kembali dan fokus berbincang dengan salah satu Ustadzah yang terlihat masih muda. Tadi dikenalkan sebagai istri dari salah satu Ustad di p
..Akhirnya kami tiba di Bandung. Kota kembang yang katanya memiliki banyak warga gadis yang cantik cantik di sini. Aku pun dibawa Bapak dan Mamak ke sebuah hunian sederhana di dekat pondok pesantren. Bukan pondoknya, tapi kawasannya memang religius sekali.“Nanti diturunkan semua, Gil,” ucap Mamak saat mobil sudah turun.Kedatangan kami disambut seorang nenek paruh baya yang langsung menyapa Mamak. Mereka sepertinya sudah kenal lama dan aku pun langsung membuka bagasi untuk menurunkan koper.“Kamar sudah nini bersihkan,” ucap nenek itu. “Oh iya, kenalkan saya Sudarsih. Panggil saja nini Darsih. Nenek angkat Ibu kamu.”Entah sejak kapan mamak punya nenek. Dari garis wajah tak ada yang sama, hanya sama gendernya saja dan lainnya blas nggak ada yang sama.“Gilang,” ucapku memperkenalkan diri pada Nini Darsih yang langsung bergantian kenalan dengan Asma.“Geulis, Neng. Pantes dipilih jadi mantunya anak Nini,” ucap Nini.“Alhamdulillah, Nini sehat sekali nampaknya. Senang berkenalan denga
“Selamat ya, Gilang. Paman nitip Asma sama kamu. Kuliah yang bener di sana, kalau nggak mau repot jangan ada anak dulu. Kalian kan nikah untuk saling melindungi saja,” ucap Paman saat aku diminta membawa Asma ke Bandung.“Insya Allah, Paman,” jawabku singkat.“Nikah untuk ibadah tentunya, Zah. Masa buat melindungi saja. Ntar, kalau keduanya ngebet, berabe juga.” Bapak ikut menimpali.“Ya kan belum resmi, Fir. Mereka masih nikah siri, nggak ada kekuatan hukumnya. Gak apa apa tunda dulu, asal kalian berdua udah sah dan ke mana mana berdua nggak undang dosa. Apalagi jauh di sana.” paman Hamzah pun menjawabnya dengan serius.“Ya nggak bisa gitu, Ham. Anak gue laki sejati, mana bisa nahan lama lama. Udah, lo aman aja udah diam di sini kerja yang bener urus kebun, sawah dan peternakan. Awas aja kalau kerjanya di sini asal asalan,” omel mamak.“Peh, meski kita sahabatan juga kalau anak lo nggak becus jagain anak gue, gue murka lah. Pokoknya, Gilang harus jadi suami yang baik buat Asma. Jaga
Kode mahar? Apakah hadiah dari Mamak kemarin adalah mahar yang akan aku berikan pada Asma?Aku merogoh saku dan melihat kotak hadiah dari mamak. Warnanya bukan merah melainkan putih. Aku pun menunjukkannya pada Bapak dan Bapak mengangguk.“Coba dibuka,” ucap Paman Hamzah yang juga ada di sisiku.Aku membuka surat emas yang ada di tanganku, lalu melihat tulisan 5 gram emas yang ada di surat pembelian cincin itu. Tak banyak, tapi sepertinya ini mahar yang akan diberikan pada Asma.“Nanti bacakan saja nominalnya, biar langsung sah,” bisik Paman. Aku baru sadar, posisi paman dan Bapak ada di sebelahku dan cukup mengagetkan karena aku malah dipaksa nikah sama Asma pagi ini juga.“Gilang, meski umur kamu masih muda, tapi tubuh dan jiwa kamu yang seperti ayahmu ini, maka Yai menyarankan untuk kamu menikah saja. Pagi ini setelah kamu melakukan i’tikaf, Yai sarankan untuk menikah. Apa sekiranya kamu berkenan?” tanya Pak Yai pelan dan ramah sambil menepuk bahuku.“Tapi, Yai, Gilang belum ad
Setelah diberikan izin keluar pesantren, tujuanku saat ini adalah pulang ke rumah. Bapak sudah menjemputku, tak jauh di sana Namira adik bungsuku yang langsung minta turun dari gendongan Bapak dan berlari ke arahku.“Abang…”“Hai, bocil Abang yang comel. Kangennya,” ucapku.“Namila juga, Abang lama benel pulangnya. Namila jadi lama dititip di lumah Kak Ilma.”“Gak apa apa, dia seneng direpotin ngasuh kamu.”“Makasih ya, Irma, Hamzah, sudah mau dititipi Gilang. Kami pulang dulu, semoga setelah ini semuanya baik baik saja.”“Iya, Fir. Santai saja, anakmu sudah jinak di sini,” jawab Paman Hamzah.Aku tersenyum mendengarnya. Jinak katanya, padahal kalau bareng sama Asma kami bertengkar dan selalu bikin gaduh.Kami pulang berboncengan dan Namira begitu senang dengan kepulanganku seperti nya. Dia tak henti bercerita banyak hal tentang apa yang sudah dia lewati selama aku di rumah sakit. Aku juga senang karena Bapak ternyata baik baik saja, seperti tak ada kejadian apapun sebelum ini.“Aban
Aku membuka mata perlahan, melihat kembali cahaya yang tadinya membawa kami menuju jalan pulang. Aku melihat lampu putih di atas kepalaku, lalu mengerjapkan mata karena terlalu silau setelah tadi merasakan gelap yang sangat menyeramkan.Suara suara orang yang sangat aku kenal akhirnya sangat jelas terdengar. Aku mulai jelas melihat ke wajah mereka, lalu melihat mamak dengan wajah sembabnya.“Anak Mamak sudah bangun, alhamdulillah ya Allah.”Aku mencoba mengingat kembali terakhir aku berada di mana, tempat yang aneh dan berbeda dengan saat aku kini ada di mana. Aku menengok dan ternyata ada Bapak di sisiku.“Pak.”Aku melihat Bapak terpejam juga. Banyak selang infus daripada aku yang hanya di bagian tangan saja. Tapi kepala dan kaki Sepertinya tidak terluka.“Mak, Bapak kenapa?” tanyaku.“Sedang istirahat, Nak. Kamu bikin mamak panik, ditambah bapak mu juga,” ucap Mamak yang langsung memelukku. Aku melihat Asma dan Paman Hamzah juga Ustad Kyai di ruangan ini. Ada alquran di tangan mer
“Asma?”Aku menyentuh pundaknya. Dia sejak tadi hanya menangis dan diam saja. Tapi lelehan air mata itu membuatku cukup khawatir dan takut dengan apa yang akan terjadi dengan Bapakku.“Gilang, Bapakmu mencarimu. Beliau bilang akan mengusahakan. Hanya saja … kemarin Ustad Yai bilang, Bapak kamu mau ke sebuah hutan di belakang desa kita tanpa ditemani. Jadi, Mamak kamu khawatir dan mungkin juga beliau juga sudah kembali. Kita berdoa saja. Soalnya hutan di kawasan desa kita itu terkenal angker, Bapak kamu kan pernah hilang di sana.”Aku mengingatnya. Bapak pernah beberapa kali hilang di tempat tempat angker. Pernah di hutan bambu, pernah di kawasan hutan dan pernah juga hilang saat sedang tidur. Semua diceritakan agar aku waspada dan tentu tak sembarangan masuk kawasan kawasan itu.“Semoga Bapak bisa kembali.”Aku pun menunggu sembari berdoa. Asma juga menemaniku dan menghubungi Paman Hamzah. Beliau datang sendirian dan aku pun penasaran kenapa Paman tak datang dengan mamak dan bapakku.
..“Kita akan pulang nanti.”Bapak memastikan pastinya aku baik baik saja. Hal yang perlu dibahas dan diingat bahwa semua ini tak mungkin akan mudah. Namun, aku juga tak ingin menyia nyiakan kesempatan ini untuk bersama Bapak mencari jalan pulang. Bapak pergi bersama dengan sang raja dan beberapa pengawal, lalu tak lama kemudian kembali padaku. “Kalian makanlah,” ajak raja yang seperti Bapak panggil tadi. Raja. Aku yang dibaringkan di kamar khusus, hanya kamar ini terbuka sehingga aku bisa melihat Bapak duduk di meja khusus ditemani Mak Nyai.“Kalau tak begini, kamu tak mau datang ke sini lagi.” Mak Nyai terlihat menangis.“Untuk apa? Jangan membuat masalah dengan keluarga kami, bahkan setelah ini aku ingin kita hanya berdampingan beda dunia. Tak juga mencampuri urusan di alam masing masing.”“Mana bisa begitu? Gilang adalah anakmu, di mana kamu pernah mengatakan akan bisa menjaganya demi aku. Lupa?”“Menjaganya bukan berarti memilikinya. Ini tidak akan pernah terjadi lagi, jadi ber