"Cie, yang langsung didukung melamar kan jodohnya sama Pak Ustad dan Abah kyai. Gimana rasanya?" ledek Hamzah begitu mobil Nona Lisa sudah pergi. Dia menepuk pundak ku hingga aku sadar, aku melamun di pinggir jalan."Apapun hasil keputusan tadi ustadz harap kamu bisa semakin mawas diri dan mengencangkan doa, semoga memang ada jodoh yang siap untuk kamu nikahi lahir dan batin," Ucap pak ustad yang juga ikut memberikan semangat saat aku ditolak mentah-mentah oleh pak bos."Sebenarnya, ada jodoh cuman kayaknya si Randu ini nggak ngeuh pak ustad," ucap Hamzah."Iyakah? Emangnya selama ini dia dekat dengan siapa? Kalau memang ada dilamar saja. Laki-laki harus gentle apalagi ini terkait dengan kesehatan jasmani dan rohani sebagai orang yang punya kelebihan seperti kamu, Ran," ucap Ustad Husni."Ngawur nih Hamzah. Mana ada wanita yang mau nemplek sama laki-laki miskin seperti saya. Jangankan wanita, lalat saja insecure deket sama saya saking sama-sama jeleknya. Kalaupun ada, paling makhluk a
Kali ini aku pulang sendiri menaiki sepeda motor menuju ke rumah emak Dan Bapak. Sebenarnya bisa saja nggak mampir tetapi sepertinya aku memang harus bertemu dengan mereka untuk meminta doa restu dan kemudahan agar setiap urusanku di tempat kerja maupun di manapun selalu dimudahkan. Aku memang jarang ke rumah karena tentu saja sadar diri bahwa gajiku minim dan seluruhnya aku kirimkan ke rumah sisanya. Tidak pernah menyisakan banyak karena gaji yang aku dapatkan UMR dan selalu sisa sedikit. Rasanya malu jika pulang tapi tidak membawa apa-apa dan untuk kali ini aku memberikan oleh-oleh yang dibeli di pinggir jalan.Aku merasa kali ini tubuhku begitu ringan Bahkan aku tidak melihat penampakan yang biasanya aku lihat. Sementara ini aku aman dari hal-hal yang berbau mistis karena sepertinya ustaz sedang berusaha untuk membuatku tenang sementara. Aku sudah meminta izin pada ustadz untuk pulang terlebih dahulu ke rumah kedua orang tuaku dan tentu diizinkan asal besok harus kembali ke pesantr
Aku diperlakukan bak raja di rumah Emak. Mandi dibuatkan air hangat, makan diambilkan bahkan disuapi, malam juga ditemani tidur. Sampai sampai Bapak cemburu dan harus memanggil Emak agar menyusul ke kamar. Sebenarnya aku sedih kalau teringat tentang kenyataan aku yang kembali pengangguran, tapi kalau jujur sekarang takutnya Emak sedih dan kepikiran, lalu ngadain sayembara untuk anaknya yang mendadak kembali jadi ketep mata katanya. Nggak laku laku, nggak punya duit juga.Malam ini terasa sangat dingin udaranya, aku berharap tak ada yang hinggap dan mampir menggangguku. Suara jangkrik dan hewan hewan di sawah saling bersahutan. Aku pun membuka ponsel dan menyibukkan diri mencari lowongan pekerjaan. Sambil ikhtiar, siapa tahu skilku sebagai karyawan kembali diterima.Ting!“Besok ke kantor, saya terima kamu sebagai karyawan saya lagi.”Pesan Pak Bos spontan membuatku membelalak. Namun, rasanya gengsi jika langsung mengatakan siap. Aku dibuat sakit wajah karena ditamp4r, sudah begitu di
Pagi ini aku dibangunkan oleh suara jago yang berkokok di samping rumah. Semalam aku bisa tidur dengan nyenyak setelah bergabung dengan emak di kamarnya. Meskipun Bapak sempat kesal tetapi tidak mungkin memarahiku yang memang kadang aneh mengatakan bertemu hantu.Saat aku bangun Emak Dan Bapak sudah tidak ada di kamarnya. Aku duduk sebentar di sisi ranjang lalu membaca doa setelah tidur Sebelum mengambil air wudhu di sumur. Di sini tidak ada kamar mandi di dalam rumah karena masih menggunakan air sumur sebagai sumber mata air.Kret!Suara tali pengerek yang biasa di atas sumur terdengar. Aku pikir Emak ada di sumur sehingga aku pun memanggil Emak Dan langsung berjongkok di sana menunggu Emak selesai mengambil air."Sudah belum mak? Randu kebelet nih," teriakku saat menunggu Emak lama sekali keluar dari area sumur. Terlalu lama, akupun memilih buang air kecil terlebih dahulu di sisi tempat wudu.Lagi-lagi suara pengerek ember tidak berhenti mengambil air membuatku menjadi curiga. Langi
"Jadi ini mau di bawa sekarang atau gimana Randu-nya?" Tanya Abah kyai."Iya, Pak Ustad. Saya sudah menunggu berjam-jam dan tidak bisa menunggu semakin lama lagi. Ayo, Randu! Kita harus berangkat sekarang," ajak Pak Bos."Ke mana?" tanyaku. "Duh, saya belum siapkan mahar Pak.""Kembali bekerja, bukan yang lain!""Oh," jawabku merenges. "Sayang saya tidak akan kembali sebelum saya mendapatkan jodoh untuk keselamatan saya di sana.""Kita perbincangkan nanti di rumah. Sekarang ikut saya dan jangan lagi banyak alasan!""Saya direstui, Pak?" Tanyaku kaget sekaligus bahagia."Kamu tetap karyawan di kantor saya dan kamu harus tahu diri tentang hal itu," jawabnya."Tapi kalau saya belum ada kepastian untuk jodoh saya, saya belum bisa untuk kembali ke sana. Takutnya saya maupun Nona Lisa tidak akan baik-baik saja," ucapku."Ikut saja siapa tahu nanti keputusan saya berubah di sana setelah melihat sikap kamu yang tidak ngeyel lagi," jawab Pak Bos Yang sepertinya sudah lelah berdebat denganku.A
"Jawab saja Randu, katakan semua yang ingin kamu katakan agar kita bisa mendiskusikannya dengan baik di sini," ucap Bu Bos yang sepertinya tahu jika Aku gugup ingin menjawab keberatan atas permintaan Pak Bos. "Maaf sebelumnya jika perkataan saya menyinggung atau menyakiti hati semua orang yang ada di sini. Saya berniat menikah untuk ibadah dan pantang bagi saya mempermainkan sebuah pernikahan. Saya memang orang miskin tetapi saya tidak ingin menyakiti hati orang tua saya jika tahu anaknya hanya menikah di atas kertas. Mereka sudah tua dan tentu menginginkan keturunan dari istri saya dan tentu saja, saya keberatan untuk hal ini. "Jika memang Nona Lisa belum siap untuk menikah lantaran masih ingin membahagiakan orang tuanya saya tidak masalah. Saya juga tidak akan memaksa karena sebenarnya dia bukan memiliki indra keenam seperti saya yang mengharuskan untuk segera menikah. Dia hanya wanita biasa yang hanya bisa dikirimi guna-guna ataupun kiriman-kiriman gaib yang tentu bisa dicegah de
“Kok Lo di sini?” tanya Syarifah yang terlihat kaget melihatku ada di kantor dengan pakaian santai, kaos oblong.“Iya dong, calon kesayangan Pak Bos gitu loh. Bebas dong,” jawabku yang memutuskan mampir ke kantor selepas dari rumah Nona Lisa siang ini.“Oh.”Syarifah hanya membulatkan mimik suara, lalu duduk kembali sambil menatap layar monitor. “Hamzah gak balik sama elo?” tanyaku yang masih melihat kursi Hamzah kosong.“Tau, memang gue bodyguardnya?” ketus Syarifah.“Yaelah, jutek banget calon istrinya Hamzah. Jangan judes judes lah, nanti kalah saing sama si Munaroh yang punya pesona meluber sampe antartika itu,” ledeku mencolek dagu Syarifah.“Nggak usah pegang pegang dan nggak usah ganggu! Gue lagi kerja tahu!” sembur Syarifah menggeplak lenganku.Dua spesies wanita unik ini memang sangat hobi menganiayanya ku. Kalau nggak digetok kepalanya, dicubit pula. Duh, lama lama ginjal kayaknya kena cubit. “Nanti kita pulang bareng yuk? Siapa tahu yang terakhir,” ucapku.“Lo mau mati?
“Dimakan dong. Makanan dilihatin doang nggak bakalan kenyang, Beb,” ucapku.“Muka lo tuh bikin kenyang!” ketus Syarifah.“Hehehe, kalau begitu biar Gue suapin. Aaaa…”Aku menyodorkan sendok ke depan wajah Syarifah yang membuang muka. Namun, dia kekeh tidak mau memakan makanan yang sudah aku pesan. Aku berusaha untuk mencerna alasan Syarifah kesal meskipun sangat tidak masuk akal jika dia kesal hanya karena aku pernah mengajak Nona Lisa makan di sini."Cemburuu?" tanyaku asal."Apa itu cembru? Nggak level cemburu sama laki-laki kayak lo. Emangnya lo siapa?"Ah, ribet amat jadi perempuan. Banyak ngambeknya daripada senyumnya. Hadeh.“Baiklah, denger ceritanya baik baik. Jadi itu ceritanya, saat Nona Lisa minta ditemani jalan-jalan, dia minta buat makan di restoran. Cuma saat baru masuk ternyata banyak makhluk-makhluk yang sedang bekerja menjilati makanan yang ada di sana. Spontan gue nggak mau dong makan di tempat itu dan memilih untuk mengajak ke tempat yang bebas dari hal-hal mistis k
Beberapa hari di rumah ini aku pun mulai merasa normal. Tak ada suara suara aneh yang aku dengar kala malam. Mamak dan Bapak pun terlihat sudah mulai beraktivitas seperti biasa.Asma dan aku sudah siap berangkat kuliah. Kuliah jam 9 pagi, Mamak juga sudah selesai dengan aktivitasnya dengan bapak di luar yang katanya berjualan. Aku diberi uang saku, lalu dibawakan bekal seperti anak TK.“Besok bukan mamak lagi yang siapin bekal, tapi istrimu. Takutnya mamak pulangnya gak selalu pagi,” ucap Mamak membuatku merenges. Aku yang belum terbiasa bermanja untuk urusan seperti ini tak banyak memprotes. “Iya, Mak.”Aku pun ke sekolah menaiki motor yang baru dibeli Bapak seminggu yang lalu. motor lamaku ada di rumah lama dan tak boleh dibawa pulang. Alasanya, tak ada gunanya dibawa karena akan membonceng Asma dan bawa dagangan.Kami tiba di kampus jam setengah sembilan.Aku menyapa beberapa mahasiswa lain yang melintas, tentu yang cantik cantik. Asma sampai mencubitku dan aku merenges saja.“Kat
“Nggak apa apa. Mungkin wajah saya memang familiar,” ucap Kyai Hasanudin.“Mirip sama Ayahandanya Mak Nyai,” gumamku dan Pak Kyai Hasanudin hanya mengangguk dan tersenyum padaku. Sungguh, wajahnya sangat mirip. "Hus! Jangan sembarangan ngomong, Gil," bisik Emak dan aku hanya mengangguk saja. Tapi memang agak kenal. Serius sangat mirip Ayahanda.Kami berbincang banyak hal, termasuk kegiatan para santri di pondok pesantren ini. Bahkan, Pak Kyai menawarkan aku dan Asma untuk tinggal di sini tetapi aku menolak. Aku tak ingin jauh dari mamak. Tentu selain tak bebas ada di pesantren yang orangnya tak aku kenal, aku juga tak tahu apakah Pak Kyai ini manusia betulan atau jadi jadian. “Ya sudah kalau tak mau menginap. Tapi setiap hari bantu Yai urus asrama, bisa?” tanyanya.“Insyaallah, bisa,” ucap Asma langsung.Aku pun melirik padanya. Dia tak menatapku kembali dan fokus berbincang dengan salah satu Ustadzah yang terlihat masih muda. Tadi dikenalkan sebagai istri dari salah satu Ustad di p
..Akhirnya kami tiba di Bandung. Kota kembang yang katanya memiliki banyak warga gadis yang cantik cantik di sini. Aku pun dibawa Bapak dan Mamak ke sebuah hunian sederhana di dekat pondok pesantren. Bukan pondoknya, tapi kawasannya memang religius sekali.“Nanti diturunkan semua, Gil,” ucap Mamak saat mobil sudah turun.Kedatangan kami disambut seorang nenek paruh baya yang langsung menyapa Mamak. Mereka sepertinya sudah kenal lama dan aku pun langsung membuka bagasi untuk menurunkan koper.“Kamar sudah nini bersihkan,” ucap nenek itu. “Oh iya, kenalkan saya Sudarsih. Panggil saja nini Darsih. Nenek angkat Ibu kamu.”Entah sejak kapan mamak punya nenek. Dari garis wajah tak ada yang sama, hanya sama gendernya saja dan lainnya blas nggak ada yang sama.“Gilang,” ucapku memperkenalkan diri pada Nini Darsih yang langsung bergantian kenalan dengan Asma.“Geulis, Neng. Pantes dipilih jadi mantunya anak Nini,” ucap Nini.“Alhamdulillah, Nini sehat sekali nampaknya. Senang berkenalan denga
“Selamat ya, Gilang. Paman nitip Asma sama kamu. Kuliah yang bener di sana, kalau nggak mau repot jangan ada anak dulu. Kalian kan nikah untuk saling melindungi saja,” ucap Paman saat aku diminta membawa Asma ke Bandung.“Insya Allah, Paman,” jawabku singkat.“Nikah untuk ibadah tentunya, Zah. Masa buat melindungi saja. Ntar, kalau keduanya ngebet, berabe juga.” Bapak ikut menimpali.“Ya kan belum resmi, Fir. Mereka masih nikah siri, nggak ada kekuatan hukumnya. Gak apa apa tunda dulu, asal kalian berdua udah sah dan ke mana mana berdua nggak undang dosa. Apalagi jauh di sana.” paman Hamzah pun menjawabnya dengan serius.“Ya nggak bisa gitu, Ham. Anak gue laki sejati, mana bisa nahan lama lama. Udah, lo aman aja udah diam di sini kerja yang bener urus kebun, sawah dan peternakan. Awas aja kalau kerjanya di sini asal asalan,” omel mamak.“Peh, meski kita sahabatan juga kalau anak lo nggak becus jagain anak gue, gue murka lah. Pokoknya, Gilang harus jadi suami yang baik buat Asma. Jaga
Kode mahar? Apakah hadiah dari Mamak kemarin adalah mahar yang akan aku berikan pada Asma?Aku merogoh saku dan melihat kotak hadiah dari mamak. Warnanya bukan merah melainkan putih. Aku pun menunjukkannya pada Bapak dan Bapak mengangguk.“Coba dibuka,” ucap Paman Hamzah yang juga ada di sisiku.Aku membuka surat emas yang ada di tanganku, lalu melihat tulisan 5 gram emas yang ada di surat pembelian cincin itu. Tak banyak, tapi sepertinya ini mahar yang akan diberikan pada Asma.“Nanti bacakan saja nominalnya, biar langsung sah,” bisik Paman. Aku baru sadar, posisi paman dan Bapak ada di sebelahku dan cukup mengagetkan karena aku malah dipaksa nikah sama Asma pagi ini juga.“Gilang, meski umur kamu masih muda, tapi tubuh dan jiwa kamu yang seperti ayahmu ini, maka Yai menyarankan untuk kamu menikah saja. Pagi ini setelah kamu melakukan i’tikaf, Yai sarankan untuk menikah. Apa sekiranya kamu berkenan?” tanya Pak Yai pelan dan ramah sambil menepuk bahuku.“Tapi, Yai, Gilang belum ad
Setelah diberikan izin keluar pesantren, tujuanku saat ini adalah pulang ke rumah. Bapak sudah menjemputku, tak jauh di sana Namira adik bungsuku yang langsung minta turun dari gendongan Bapak dan berlari ke arahku.“Abang…”“Hai, bocil Abang yang comel. Kangennya,” ucapku.“Namila juga, Abang lama benel pulangnya. Namila jadi lama dititip di lumah Kak Ilma.”“Gak apa apa, dia seneng direpotin ngasuh kamu.”“Makasih ya, Irma, Hamzah, sudah mau dititipi Gilang. Kami pulang dulu, semoga setelah ini semuanya baik baik saja.”“Iya, Fir. Santai saja, anakmu sudah jinak di sini,” jawab Paman Hamzah.Aku tersenyum mendengarnya. Jinak katanya, padahal kalau bareng sama Asma kami bertengkar dan selalu bikin gaduh.Kami pulang berboncengan dan Namira begitu senang dengan kepulanganku seperti nya. Dia tak henti bercerita banyak hal tentang apa yang sudah dia lewati selama aku di rumah sakit. Aku juga senang karena Bapak ternyata baik baik saja, seperti tak ada kejadian apapun sebelum ini.“Aban
Aku membuka mata perlahan, melihat kembali cahaya yang tadinya membawa kami menuju jalan pulang. Aku melihat lampu putih di atas kepalaku, lalu mengerjapkan mata karena terlalu silau setelah tadi merasakan gelap yang sangat menyeramkan.Suara suara orang yang sangat aku kenal akhirnya sangat jelas terdengar. Aku mulai jelas melihat ke wajah mereka, lalu melihat mamak dengan wajah sembabnya.“Anak Mamak sudah bangun, alhamdulillah ya Allah.”Aku mencoba mengingat kembali terakhir aku berada di mana, tempat yang aneh dan berbeda dengan saat aku kini ada di mana. Aku menengok dan ternyata ada Bapak di sisiku.“Pak.”Aku melihat Bapak terpejam juga. Banyak selang infus daripada aku yang hanya di bagian tangan saja. Tapi kepala dan kaki Sepertinya tidak terluka.“Mak, Bapak kenapa?” tanyaku.“Sedang istirahat, Nak. Kamu bikin mamak panik, ditambah bapak mu juga,” ucap Mamak yang langsung memelukku. Aku melihat Asma dan Paman Hamzah juga Ustad Kyai di ruangan ini. Ada alquran di tangan mer
“Asma?”Aku menyentuh pundaknya. Dia sejak tadi hanya menangis dan diam saja. Tapi lelehan air mata itu membuatku cukup khawatir dan takut dengan apa yang akan terjadi dengan Bapakku.“Gilang, Bapakmu mencarimu. Beliau bilang akan mengusahakan. Hanya saja … kemarin Ustad Yai bilang, Bapak kamu mau ke sebuah hutan di belakang desa kita tanpa ditemani. Jadi, Mamak kamu khawatir dan mungkin juga beliau juga sudah kembali. Kita berdoa saja. Soalnya hutan di kawasan desa kita itu terkenal angker, Bapak kamu kan pernah hilang di sana.”Aku mengingatnya. Bapak pernah beberapa kali hilang di tempat tempat angker. Pernah di hutan bambu, pernah di kawasan hutan dan pernah juga hilang saat sedang tidur. Semua diceritakan agar aku waspada dan tentu tak sembarangan masuk kawasan kawasan itu.“Semoga Bapak bisa kembali.”Aku pun menunggu sembari berdoa. Asma juga menemaniku dan menghubungi Paman Hamzah. Beliau datang sendirian dan aku pun penasaran kenapa Paman tak datang dengan mamak dan bapakku.
..“Kita akan pulang nanti.”Bapak memastikan pastinya aku baik baik saja. Hal yang perlu dibahas dan diingat bahwa semua ini tak mungkin akan mudah. Namun, aku juga tak ingin menyia nyiakan kesempatan ini untuk bersama Bapak mencari jalan pulang. Bapak pergi bersama dengan sang raja dan beberapa pengawal, lalu tak lama kemudian kembali padaku. “Kalian makanlah,” ajak raja yang seperti Bapak panggil tadi. Raja. Aku yang dibaringkan di kamar khusus, hanya kamar ini terbuka sehingga aku bisa melihat Bapak duduk di meja khusus ditemani Mak Nyai.“Kalau tak begini, kamu tak mau datang ke sini lagi.” Mak Nyai terlihat menangis.“Untuk apa? Jangan membuat masalah dengan keluarga kami, bahkan setelah ini aku ingin kita hanya berdampingan beda dunia. Tak juga mencampuri urusan di alam masing masing.”“Mana bisa begitu? Gilang adalah anakmu, di mana kamu pernah mengatakan akan bisa menjaganya demi aku. Lupa?”“Menjaganya bukan berarti memilikinya. Ini tidak akan pernah terjadi lagi, jadi ber