Langkah kaki Leoni mundur hingga menabrak sofa di belakangnya. Kilatan petir bergemuruh di dalam dada pun membuat napasnya seolah tersekat tiba-tiba ketika ia dengar penuturan dari pria yang dicintainya.
Dirinya bergeming di sana, menatap Xander dengan mata indahnya yang dipenuhi cairan bening, tak kuasa tertampung kontan luruh jatuh membasahi wajah cantiknya. Xander segera melangkah menghampirinya. Menarik lengan Leoni hingga menabrak dada Xander lalu pria itu dekap erat. Tenaga Leoni terkuras habis saat itu, ia bahkan tak menolak tindakan apapun dari pria itu. "Ketahuilah bahwa aku hanya mencintaimu, aku hanya ingin hidup bersamamu," parau Xander berucap. Ia takup sisi wajah Leoni lalu menyatukan kening mereka. "Tunggu aku menyelesaikan semuanya, kumohon tunggu aku dan jangan pergi dari sisiku." ******* Sesuai unDi luar, tengah marak diperbincangkan mengenai masalah gagalnya pernikahan Xander Miller serta terungkap scandal bersama mantan sang kakak ipar. Pada media, publik, serta saluran televisi gencar memberitakan gosip panas mengenai pasangan tersebut. Setelah kejadian besar tersebut, Liza entah pergi ke mana, wanita itu menghilang seketika tak membawa serta bocah laki-laki yang ia bawa. Bocah lelaki berusia enam tahun tersebut terlanjut sudah diperkenalkan sebagai keluarga baru Miller, pun Pero dan Deliana telah mengurus surat hak asuh kepada panti asuhan di mana tempat Liza membawanya. Kini, bocah tersebut resmi menjadi anak angkat Pero serta Deliana. “Aku senang kita tak perlu menyembunyikan hubungan kita lagi.” Xander memeluk Leoni dari belakang serta mencium tengkuk lehernya lembut. Wanita yang berdiri di depan jendela penthousenya seraya membawa satu cangkir teh hangat.
Perayaan ulang tahun Zeline yang ke satu tahun. Tidak terasa bayi kecil itu telah tubuh menjadi seorang balita yang lucu sehat dan menggemaskan. Tumbuh dan dibesarkan oleh orang tua luar biasa Leoni dan Xander yang memberinya banyak cinta, serta lingkup keluarga yang menyayanginya tanpa batas. Tenang bocah kecil itu bermain bersama paman dan bibinya yang membantu Zeline membuka kado hadial ulang tahun yang hampir memenuhi ruang tamu penthouse. Leoni dan Xander menatap kebahagiaan itu dengan senyuman di wajah mereka. "Istriku, kapan kita memberi Zeline seorang adik?" tanya Xander, merangkul pundak Leoni yang telah resmi menjadi istrinya sejak lima bulan yang lalu. "Tunggu Zeline berusia lima tahun," jawab Leoni. Pandanganya masih tertuju pada putri kecilnya yang sedang bermain di depan. Terdengar desahan pelan dari mulut pria itu setelah mendengar jawaban dari istrinya. Ia sangat ingin memiliki anak lagi, terlebih anak yang memiliki wajah mirip denganya, Xander junior, karen
Leoni baru saja menyelesaikan acara mandinya saat tiba-tiba ponselnya berdering di atas meja. Panggilan video dari Xander yang telah menjadi rutinitasnya setiap malam sebelum keduanya beristirahat. Wanita cantik itu menghela napas saat melihat lingkar hitam di bawah mata suaminya, wajah yang lesu pun kusut padahal baru saja ia tinggal satu minggu. Pria itu pasti tidak cukup tidur setiap malamnya. Tidak hanya Xander yang merindukan Leoni, Leoni pun sama-sama sangat merindukan pria itu. Ia sangat ingin segera kembali, berkumpul bersama suami serta putrinya. Tiba-tiba saja pintu kamarnya diketuk dari luar. Leoni terpaksa meninggalkan Xander di dalam panggilan dan pergi menuju pintu untuk melihat siapa yang datang. Ternyata itu Francisco Huxley yang secara tidak sengaja keduanya bertemu di Brazil. "Hai selamat malam." Pria tampan bertubuh tegap itu menyapa dari depan pintu yang hanya Leoni buka sedikit sebab ia masih mengenakan bathrobe. Pandangan Huxley menatap Leoni dengan bin
Bukan saatnya untuk bermain-main saat ini, apalagi harus membalas perbuatan Leoni yang makan malam bersama pria lain. Xander cukup sadar diri untuk tidak mengusik amarah wanita itu dengan pergi berpesta bersama Dominic meskipun keponakanya itu mengajaknya. "Kembalikan putriku," ucap Xander kepada kedua orangtuanya yang sesuka hati membawa Zeline sangat lama darinya, meninggalkan Xander seorang diri di penthouse menelan kebosanan. Ia ambil tubuh mungil Zeline dari pangkuan Pero yang langsung merasa kehilangan. "Kau pasti sangat lelah, um? Kakek dan nenekmu memang suka berkeliling dunia, lihatlah wajah cantik Leoni kecilku ini yang lesu," paparnya. Padahal Zeline sedang tertawa bahagia saat ini. "Daddy akan membawamu pulang, oke?" Pero dan Deliana saling menatap bertukar pandang melihat tingkah putra mereka. Xander pasti kesepian karena ditinggal Leoni terlalu lama dan beredarnya kabar mengenai istrinya yang bersama pria lain di luar negeri. Kasihan sekali. ****** "Terimakas
Selamat membaca. Semoga suka sama alurnya yaaa. Karena bakal berisi konflik-konflik rumah tangga Leoni dan Xander. ****** Pandangan Leoni terpaku pada olahan ayam di hadapanya. Menggigit jari dan berpikir ingin di masak seperti apa ayam tersebut. Setelah bertanya kepada Xander apa yang ingin pria itu makan untuk makan malam, tapi tak kunjung Leoni dapatkan balasan dari pria itu. Seketika ponselnya bergetar, sebuah pesan chat masuk datang dari Xander, secepat kilat Leoni baca pesan balasan dari suaminya. 'Aku memiliki pertemuan makan malam, dan akan makan di luar.' HAHA. Damn! Leoni pergi menuju ruang utama meninggalkan dapur. Duduk di sofa seraya memakan potongan buah di dalam piringnya. Niatnya memasak spesial untuk Xander seketika hilang ketika pria itu mengatakan akan makan di luar. "Baguslah, aku tidak perlu mengotori tanganku kalau begitu" gumamnya mencoba menenangkan diri sendiri. Leoni membuka layar ponselnya, melihat-lihat sosial media yang masih digempark
Di dalam ruang kerja Xander di perusahaan. Pria itu sedang bersama Laura untuk membahas project kerja sama mereka. Diselingi dengan beberapa obrolan ringan mengungkit masa-masa muda keduanya. Tidak terasa waktu berjalan begitu cepat sehingga mereka tiba pada larut malam. Xander menawarkan diri untuk mengantar Laura pada apartement wanita cantik itu menggunakan mobilnya. Tak segan ia mengantarkan Laura meskipun jarak apartementnya sangat jauh dan perlu menempuh waktu kurang lebih enam puluh menit. "Terimakasih Xander," ucap Laura sebelum keluar dari mabil pria itu yang kini telah berhenti tepat di pintu masuk lobi apartmentnya. "Sama-sama, Laura. Masuklah ke dalam." Laura mengangguk, membuka pintu mobil lalu melenggang dirinya masuk ke dalam lobi apartement. Kemudian Xander kembali mengemudikan mobilnya setelah ia melihat wanita itu benar-benar masuk dengan selamat. Jarak tempuh menuju penthousenya memakan waktu cukup lama. Sehingga membuat Xander baru sampai di penthouse sekita
"Kau baik-baik saja, Laura?" tanya Xander kepada wanita cantik itu seraya memegang bahu Laura dan menatapnya untuk memastikan. "Ya, aku baik-baik saja, Xander." "Maafkan aku." "Aku tahu seekor anjing tidak sengaja menyebrang jalan, tidak apa-apa." "Kita pergi ke coffeeshop untuk menenangkan dirimu, bagaimana?" Xander menawarkan. Tahu betul jika Laura menyukai coffee, dan akan meminum cairan pekat itu ketika dirinya bimbang atau bingung. "Ya, baik." Laura mengangguk setuju. Lantas, keduanya pergi ke coffeeshop yang berada tak jauh dari lokasi mereka. Memesan dua cangkir americano tanpa gula. Keduanya duduk bersama dan saling berhadapan. Tatapan Xander menilik tangan Laura yang masih gemetar takut akibat ulahnya yang mengerem mendadak. Lalu, ia pegang pelan tangan Laura dan mengenggamnya. "Kau masih takut dengan hal-hal kecil seperti dulu, Laura," tutur Xander. Laura menatap tangan Xander yang mengengamnya, lalu a arahkan pandangan matanya kepada pria itu pun tersenyum
Setelah makan siang, Leoni pergi ke rumah sakit untuk pemeriksaan tubuh rutin. Menemui dokternya secara pribadi dan ia dirujuk untuk menemui spesialis kejiwaan karena masalah tidur dan panik berlebihan yang menganggunya. Dia menunggu nomor antrianya dipanggil, duduk bersama orang-orang yang hendak diperiksa. Ia menatap layar ponselnya dan melihat video Zeline yang dikirimkan oleh Theodore. Ketika tiba-tiba beberapa orang dihebohkan dengan sesuatu yang entah apa itu Leoni tidak terarik untuk melihatnya. "Dia menggendong istrinya? Atau kekasih?" "Prianya begitu tampan!" "Dia sangat kuat dan bertubuh bagus!" "Wanita itu beruntung sekali." "Dia juga wanita cantik." "Lihat penamplanya yang rapih, mereka pasti bukan orang-orang biasa." Wajah Leoni datar benar-benar datar mendengar semua ucapan itu. Menerka siapa pasangan yang saling gendong-menggendong itu. Pasti mereka satu pasangan yang baru menikah, atau sepasang kekasih yang sedang dimabuk asmara. "Mrs. Leoni?" "Ya?"
“Xavion, berhenti berlari nak atau kau akan ja ... tuh.”Menghilang suara Leoni bersamaan dengan terjatuhnya bocah kecil lelaki lucu berusia empat tahun di atas rerumputan yang basah. Kontan membuat seluruh baju serta wajahnya basah kotor terkena lumpur. Setelah jatuh, bocah kecil itu tak menangis melainkan bertambah asik bermain di atas genangan.“God. Nakal sekali anak ini.”Segera Leoni hampiri putranya yang nakal. Satu langkah lagi ia mencapai Xavion, bocah kecil itu malah melemparkan satu genggam lumpur yang tepat mengenai dress putih yang Leoni kenakan. Tanpa rasa bersalah wajah mungilnya dan hanya tahu tertawa-tertawa menggemaskan.“Tolonglah Xavion, berhenti bermain-main. Kau harus pergi ke sekolah.”Meraup tubuh kecil itu dengan dua tangannya dan ia bawa ke dalam gendongan. Membawanya masuk ke dalam rumah tak peduli jika Xavion terus meronta ingin diturunkan hingga berakhir dirinya dengan tangisan yang begitu melengking.“HUUUUAAAAAAA!” Si bontot Xavion menangis begitu nyaring
Pandangan mereka bertemu amat dalam dengan posisi mereka yang berjauhan. Xander yang duduk di sofa dalam home theater sementara Leoni berdiri pada ambang pintu. Di antara mereka telah tertidur dua putri cantik di atas sofa. Zenna dan Zeline tertidur setelah film favorit mereka selesai ditayangkan.Xander yang menemani dua putrinya menonton, dan Leoni baru saja datang setelah sibuk dengan persiapan kamar bayi mereka.Melipat bibirnya ke dalam sebelum ia melangkah mendekati sang suami. Langkahnya sudah amat berat pun tangannya terus memegangi bawah perut dan pinggang. Ia duduk di atas pangkuan Xander yang mengulurkan tangan padanya.“Belum tidur, um?” tanya Xander. Lantas ia kecupi leher jenjang istrinya.Tersenyum Leoni. Tak bisa tertidur sebab dirinya merasakan kontraksi yang datang cukup sering. Seharusnya tanggal HPL masih dua minggu lagi, namun perutnya terus merasakan kontraksi.“Xander ... kurasa putramu sudah tak sabar ingin melihat dunia.” Leoni tersenyum canggung. Sesungguhnya
Leoni berjalan-jalan di halaman rumahnya dan mendapati Xander yang tengah merokok seraya melamun di dalam gazebo. Ia meringankan langkahnya agar suaminya itu tak mendengar kehadirannya. Dehaman samar dari Leoni membuat Xander menoleh. Dengan cepat ia segera mematikan sulutan rokoknya dan mengipas-ngipas asap yang masih mengepul di area sekitar. "Apa yang sedang kau pikirkan sehingga tak menyadari kehadiranku?" tanya Leoni. Berdiri satu meter dari Xander sebab suaminya itu yang mundur menjauh, merasa dirinya kotor sebab asap rokok yang menempel pada baju dan sangat tidak cocok jika dekat-dekat dengan ibu hamil. "Apa yang kau lakukan di sini? Ini sudah malam," katanya malah balik bertanya, bukan menjawab pertanyaan dari Leoni. Apa yang Leoni lakukan malam-malam dengan berjalan-jalan di sekitar taman rumahnya, apalagi jika bukan mencari keberadaan Xander yang tiba-tiba merajuk sekaligus mengadu kepada dua putri mereka jika Leoni sudah tak mencintainya. Hati Leoni resah sebab suam
"Satu, dua, tiga!" Semua orang bersorak meriah ketika Leoni dan Xander bersiap memotong kue di acara Gender reveal anak ke tiga mereka. Disertai jantung yang berdegup kencang serta mata yang memejam Leoni berpegang tangan pada Xander yang mengarahkan pisau pada kue. Keluarga Calis serta Miller turut meramaikan acara gender reveal yang diadakan di rumah baru Xander dan Leoni. Pada halaman belakang yang sangat luas pesta diadakan. Leoni dan Xander akan menerima apapun jenis kelamin anak ke tiga mereka tanpa mengeluh atau menyesal kepada Tuhan yang memberi. Pasutri itu sama-sama merelakan jika saja takdir memang menghadirkan seorang putri kecil lagi di keluarga mereka. Leoni tak akan kecewa, sungguh. Kehamilan yang ketiga ini merupakan kehamilanya yang terakhir, Xander dan Leoni sudah sama-sama berjanji pun memutuskan, meskipun tanpa kehadiran seorang putra nantinya. Xander tak mengijinkan istrinya untuk mengandung anak terus-menerus. Tak masalah keluarga kecilnya hanya dipenuhi
"Mommy?" "Yes. Honey?" "Apakah tadi malam daddy menyakitimu?" "Hm ... no." "Why? Daddy mengatakan akan menyakiti Mommy jika kembali." Leoni mengeryitkan alisnya bingung. "Why?" Zeline mengedikkan bahu. "Tak tahu." Leoni menggeleng, merasa aneh dengan pertanyaan putri sulungnya. Ia berbalik untuk mengambil jus , kontan berjengit kaget dirinya saat Zeline tiba-tiba menjerit. "AAAAAH MOMMY!" "Ada apa?" tanya Leoni, segera menghampiri gadis kecil itu di meja makan disertai raut wajahnya yang khawatir. "Lihat itu." Zeline menunjuk pada leher Leoni yang memerah. "Daddy menyakitimu, right?" Ibu dua anak itu menegakkan tubuhnya, memegang leher yang mana terdapat bekas hisapan Xander tadi malam. Ia menelan salivanya kasar, kenapa putrinya bisa berpikir demikian. Tatapannya bergerak melirik pengasuh Zeline yang sedang mengulum senyum di sana. Malu sungguh malu dirinya. "No, daddy tidak menyakiti Mommy," tutur Leoni, mencoba memberikan penjelasan pada putri sulungnya y
Leoni sibuk memotong sayuran di dapur. Dia sedang menyiapkan bahan untuk memasak makan malam. Satu porsi cukup untuk dirinya sendiri sebab tak ada siapapun di rumah. Setiap yang ia lakukan, pikirannya berputar mengingat Xander. Pun setiap pandangannya mengedar, sudut rumah mengingatkannya akan pria itu. Tak henti Leoni memohon agar Tuhan segera mengembalikan suaminya seperti semula. "God, aku merindukan suamiku," gumamnya rendah, tak lama disusul dengan ringis kesakitan sebab pisau tak sengaja mengenai telunjuknya hingga berdarah. "Uh ...." Segera Leoni membasuh lukanya di bawah air, mengambil tissu lalu menekankannya pada bagian yang terluka agar darah berhenti mengalir. Mengambil kotak P3K kemudian mengoleskan obat. Sibuk ia mengurus lukanya hingga tak memperhatkan pintu penthousenya terbuka. Xander datang menggendong Zeline yang tertidur. Tak bersuara langkah pria itu menuju kamar, menidurkan Zeline di atas ranjang. Seteahnya, ia melangkah mendekati istrinya yang sedang si
Xander masih terbaring di atas peraduannya. Posisi tubuh telungkup memperlihatkan punggungnya yang besar nan berotot, pria ini tak memakai kaos atas, sengaja tak menutupi bentuk tubuhnya yang panas nan menggoda. Sudah tiga hari ini Xander menghabiskan waktunya menginap di kamar hotel tanpa pulang, tanpa memberi kabar pada Leoni, dan juga tak ia aktifkan nomor ponselnya. Ia memberi jarak untuk wanita itu agar berpikir jika kebohongan besar akan sangat berdampa buruk pun mampu mengubah segalanya. "Selamat pagi, Darling." Suara manja nan manis itu membuat matanya terbuka. Serta sinar mentari yang menyilaukan menyeruak masuk dari gorden yang baru saja ditarik oleh seseorang yang menyapanya tadi, membuat Xander enggan untuk membuka matanya. Bibir seksi pria ini tertarik membentuk sebuah senyuman kala ia menatap wajah cantik wanita yang amat ia cintai. Berjalan dia menuj Xander, duduk pada tepi ranjang memeluk serta mencium pipinya. "Selamat pagi, Sweetheart," sapa Xander padanya.
"Biar kujelaskan ...." Leoni meminta pada Xander yang terus menerus mengabaikannya. Telah berpakaian rapi pria itu kini pun siap untuk pergi. Leoni menahan Xander, tak membiarkan suaminya pergi ke mana pun dalam keadaanya yang marah. Rahang Xander mengetat menahan amarahnya yang meledak-ledak di dalam, berusaha ia tahan agar tak mengatakan apapun pada istrinya meski ia kecewa, Xander takut kata-kata amarahnya akan melukai Leoni jadi ia hanya diam, bersiap untuk pergi agar amarahnya tak ia luapkan kepada sang istri. Tidak, Leoni sedikit pun tak mengijinkan Xander pergi dalam keadaan pria itu marah, hal-hal buruk bisa saja terjadi padanya, dan Leoni menginginkan hal itu terjadi. "Kumohon, biar kujelaskan padamu." Memejam mata Xander untuk sesaat menahan amarahnya, ia tarik dalam-dalam napas lalu menatap Leoni, tatapannya yang tajam pun mengintimidasi penuh amarah. "Xander ... aku tak bermaksud membohongimu, aku ingin memberitahu segalanya, hanya saja aku belum menemukan wakt
Leoni berdiri di depan cermin, memperhatikan bentuk tubuhnya yang lumayan berisi serta perutnya yang mulai menonjol. Usia kehamilannya kini telah menginjak lima belas minggu. Ia mengangkat kaos yang dikenakan lalu mengelus perutnya. Tubuhnya ia condongkan sedikit ke belakang, membayangkan perutnya beberapa bulan lagi akan seperti apa. "Bagaimana nanti aku menutupinya?" gumam Leoni. Ya! Sampai saat ini ia belum memberitahu Xandr, entah bila suaminya itu akan diberitahu. Leoni sedikit gila, bahkan Savalza dan Kizzie terus memperingati tapi dirinya selalu meminta waktu lebih lama untuk jujur. "Babe?" Suara Xander berasal dari dalam kamar. Segera Leoni benarkan posisi kaosnya yang terangkat lalu tak lama Xander datang, memeluknya dari belakang membuat bagian belakang tubuh Leoni basah sebab pria itu baru saja selesai berenang. "Um, kau basah," ujarnya. Namun tak ia lepaskan pelukan Xander atau membuat suaminya menjauh, Leoni malah nyaman Xander terus memeluknya. "Aku berniat