Di dalam ruang kerja Xander di perusahaan. Pria itu sedang bersama Laura untuk membahas project kerja sama mereka. Diselingi dengan beberapa obrolan ringan mengungkit masa-masa muda keduanya. Tidak terasa waktu berjalan begitu cepat sehingga mereka tiba pada larut malam. Xander menawarkan diri untuk mengantar Laura pada apartement wanita cantik itu menggunakan mobilnya. Tak segan ia mengantarkan Laura meskipun jarak apartementnya sangat jauh dan perlu menempuh waktu kurang lebih enam puluh menit. "Terimakasih Xander," ucap Laura sebelum keluar dari mabil pria itu yang kini telah berhenti tepat di pintu masuk lobi apartmentnya. "Sama-sama, Laura. Masuklah ke dalam." Laura mengangguk, membuka pintu mobil lalu melenggang dirinya masuk ke dalam lobi apartement. Kemudian Xander kembali mengemudikan mobilnya setelah ia melihat wanita itu benar-benar masuk dengan selamat. Jarak tempuh menuju penthousenya memakan waktu cukup lama. Sehingga membuat Xander baru sampai di penthouse sekita
"Kau baik-baik saja, Laura?" tanya Xander kepada wanita cantik itu seraya memegang bahu Laura dan menatapnya untuk memastikan. "Ya, aku baik-baik saja, Xander." "Maafkan aku." "Aku tahu seekor anjing tidak sengaja menyebrang jalan, tidak apa-apa." "Kita pergi ke coffeeshop untuk menenangkan dirimu, bagaimana?" Xander menawarkan. Tahu betul jika Laura menyukai coffee, dan akan meminum cairan pekat itu ketika dirinya bimbang atau bingung. "Ya, baik." Laura mengangguk setuju. Lantas, keduanya pergi ke coffeeshop yang berada tak jauh dari lokasi mereka. Memesan dua cangkir americano tanpa gula. Keduanya duduk bersama dan saling berhadapan. Tatapan Xander menilik tangan Laura yang masih gemetar takut akibat ulahnya yang mengerem mendadak. Lalu, ia pegang pelan tangan Laura dan mengenggamnya. "Kau masih takut dengan hal-hal kecil seperti dulu, Laura," tutur Xander. Laura menatap tangan Xander yang mengengamnya, lalu a arahkan pandangan matanya kepada pria itu pun tersenyum
Setelah makan siang, Leoni pergi ke rumah sakit untuk pemeriksaan tubuh rutin. Menemui dokternya secara pribadi dan ia dirujuk untuk menemui spesialis kejiwaan karena masalah tidur dan panik berlebihan yang menganggunya. Dia menunggu nomor antrianya dipanggil, duduk bersama orang-orang yang hendak diperiksa. Ia menatap layar ponselnya dan melihat video Zeline yang dikirimkan oleh Theodore. Ketika tiba-tiba beberapa orang dihebohkan dengan sesuatu yang entah apa itu Leoni tidak terarik untuk melihatnya. "Dia menggendong istrinya? Atau kekasih?" "Prianya begitu tampan!" "Dia sangat kuat dan bertubuh bagus!" "Wanita itu beruntung sekali." "Dia juga wanita cantik." "Lihat penamplanya yang rapih, mereka pasti bukan orang-orang biasa." Wajah Leoni datar benar-benar datar mendengar semua ucapan itu. Menerka siapa pasangan yang saling gendong-menggendong itu. Pasti mereka satu pasangan yang baru menikah, atau sepasang kekasih yang sedang dimabuk asmara. "Mrs. Leoni?" "Ya?"
Dominic masuk ke dalam sebuah bar membawa serta sikap pecicilanya. Tersenyum, menggoda, pun merayu para wanita cantik yang duduk sendiri menghabiskan alkohol mereka seperti orang yang sedang patah hati. Ia berjalan menuju bartender lalu memesan minuman. Duduk di samping seorang wanita yang sedang tersungkur mabuk di atas meja. "Nona, luka hatimu sangat dalam, uh?" tanya Dominic kepada wanita tersebut. "Tuan." Seorang bartender membawa minuman yang tadi telah Dominic pesan, mengalihkan atensi pria itu padanya. "Terimakasih," balas Dominic, mengangkat gelasnya lalu ia sesap perlahan cairan gold memabukan itu. Kembali tatapanya kepada wanita yang duduk di samping. Tatapan mata Dominic tak alih dari wanita yang sama sekali tak bergeming saat ia berbicara kepad
Setelah membersihkan diri di dalam kamar mandi, Xander yang tubuhnya hanya terbalut handuk tipis pada pinggangnya itu naik ke atas ranjang, membaringkan diri di sisi tubuh istrinya lalu ia peluk Leoni hangat. Mengendus aroma candu dari ceruk leher Leoni pun ia dapatkan wangi alkohol yang menguar dari istri tercintanya. "Kau habis minum?" tanya Xander. Leoni menggeliat di dalam pelukanya, membalikan tubuh untuk menghadap pria itu lalu membuka mata yang memerah. "Aku minum satu gelas saja," balasnya. "Ada apa? Apa yang kau pikirkan sehigga membuatmu minum, um? Ceritakan kepadaku, pekerjaan atau apa?" tanya Xander. Kontan Leoni terkekeh geli di depanya. Tahukah Xander jika yang membuat Leoni minum adalah dirinya? Dirinya yang tiba-tiba berubah? Pria itu benar-benar tidak tahu alasanya, dan tidak menyadari jika sudah dua minggu dia mengabaikanya. "Seseorang membuatku kesal," ungkap Leoni. "Siapa yang berani membuat istriku kesal?" "Seseorang yang sangat ingin kutendang waj
"Ha—hai, bajumu sedang kukeringkan," ucap Laura pada Xander yang telah keluar dari kamar mandi hanya mengenakan bathrobe sebagai pembalut tubuhnya. Wajah, rambut, leher serta dada Xander dipenuhi dengan tetesan air yang semakin membuatnya menggoda. Laura hampir tak bisa menatapnya karena kepalanya akan pening. "Maaf merepotkanmu, Laura." "Tidak, ini salahku. Salahku karena tak sengaja menumpahkan makanan ke bajumu. Pekerjaanmu pasti tertunda karena aku." "Aku telah menghubungi sekretarisku untuk enunda beberapa jadwal, itu tidak masalah," timpal Xander. Kemudian pria ini duduk pada sofa ruang utama, sementara Laura berdiri di dapur dengan satu kakinya. Wanita cantik ini tidak berani mendekat. Xander menatapnya, Laura yang langsung mengalihkan pandangan darinya. Lantas, ia beranjak dan mendekati teman wanitanya itu. "Biar kubantu kau untuk duduk," kata Xander. Tanpa peringatan ia menggendong tubuh Laura pun di mana reflek tanganya memegang dada bidang Xander. Dia menduduk
Setelah mandi dan kembali berpakaian lengkap, Xander duduk di kursi kerjanya, membaca beberapa berkas di atas meja, saat tiba-tiba seseorang menghubunginya lewat telepon memberitahu jika seorang tamu datang dan ingin menemuinya. Xander langsung memperbolehkanya masuk setelah mengetahui siapa yang datang. "Laura? Kenapa kau datang, bukankah sudah kuminta kau untuk beristirahat." Segera Xander hampiri Laura yang berjalan tertatih-tatih, membantunya memegang tangan wanita itu untuk duduk pada sofa. Keduanya duduk saling berhadapan. "Xander, aku ingin memberikan ponselmu," tutur Laura, seraya ia sodorkan ponsel pria itu yang tertinggal di apartmentnya. Sejak tadi Xander tak menyadari jika ia tak memegang ponselnya. Perhatianya terlalu lama teralihkan dengan permainan
Menatap tidak suka hidangan di atas meja, sejak tadi Leoni hanya membolak-balikan makanan tanpa menyentuhnya. Tingkahnya itu diperhatikan oleh seluruh anggota keluarga Miller. Malam ini, keluarga besar itu mengadakan makan malam bersama. Berkumpul putra serta cucu mereka. Sementara Leoni masih dalam kondisi sakit namun ia tetap datang untuk menghargai undangan mertuanya. "Wajahmu sangat pucat, Leoni," ungkap Pero kepada menantunya. "Kau sakit?" Deliana menatap cemas. Xander melirik istrinya yang lemas, memegang perut sejak tadi. Lantas ia rangkul tubuh wanita tercintanya itu, mengelus lembut pada lenganya. "Kau ingin beristirahat? Aku akan membawamu ke kamar." Wajah cantiknya memerah meringis lalu mengangguk sam
Tatapan Leoni begitu hangat pada Zenna yang telah terlelap di dalam ranjang tidurnya. Ia selimuti lalu ia kecup kening putri kecilnya sebelum keluar meninggalkan ruangan. Tepat di depan pintu dirinya berpapasan dengan Xander yang baru saja turun dari lantai dua. "Kau membutuhkan sesuatu?" tanya Leoni pada suaminya. Xander sedang bekerja sebelum Leoni tinggal untuk menidurkan Zenna dan Zeline. "Ya. Aku membutuhkanmu," jawabnya seraya ia rengkuh pinggang Leoni, memeluknya seductive. Tatapan serta senyuman nakal Xander menjelaskan segalanya. Segera Leoni tersenyum melihat ekspresi pria itu. Lantas ia kalungkan dua tangannya pada ceruk leher Xander. "Aku akan menemanimu bekerja malam ini," tutur Leoni. Sebelah alis Xander terangkat serta senyum nakanya memudar. "Hanya menemani?" Leoni mengangguk. "Ya. Kau lupa ini tanggal berapa?" Ia mendekatkan bibirnya tepat di depan telinga Xander. "Hari ini aku datang bulan." Xander mendesah, kekecewaan pada raut wajahnya begitu kentara
Hari-hari berlalu begitu cepat. Rasa sakit Xander akan rasa kehilangan masih begitu kentara di hatinya. Entah kenapa kejadian beberapa bbulan silam begitu membekas di mana ia hampir kehilangan istri tercintanya. Tubuhnya terbalut jas licin nan rapih berdii dengan gagah. Memegang satu gelas minuman di tangan lantas pandangannya tak alih dari menatap istri serta dua putrinya di depan sana tengah merayakan pesta ulang tahun Zenna yag ke satu tahun. Tidak terasa bayi kecil Xander yang cantik sudah beranjak menjadi batita. Ia menghampiri Leoni yang sedang menggendong Zenna, membawa bocah kecil itu berkeliling untuk diperkenalkan pada seluruh teman serta anggota keluarga. Semua orang begitu antusias bertemu putri kedua dari Leoni dan Xander. "Hallo, Babe." Xander merangkul pinggang istrinya. Saling mengecup satu sama lain. Kemudian atensinya beralih pada Zena yang langsung merentangkan kedu tangan, meminta ayahnya untuk segera menggendong tubuh kecil itu. Tak bisa menolak permintaan
Di bawah cahaya rembulan malam. Leoni dan Xander saling menguatkan satu sama lain. Cekatan Xander mengelus punggung Leoni kala wanita itu meringis kesakitan. Setiap saat Xander bertanya pada Leoni untuk kembali ke kamarnya. Namun, istrinya selalu menolak. Tiba-tiba atensi keduanya teralihkan oleh suara Isak tangis seorang pria yang baru saja tiba. Duduk di dekat kursi yang mereka tempati. Leoni pun Xander saling menatap. Bertanya-tanya apa yang membuat pria itu menangis begitu pilu. Pria itu merasa dirinya tengah diperhatikan. Lantas ia menyeka wajah yang dipenuhi oleh air mata. Dirinya meminta maaf pada Xander dan Leoni karena membuat suara berisik. “Maaf aku menganggu kalian,” katanya dengan suara serak. Dia dihampiri oleh seorang wanita paruh baya yang kontan memeluknya. Tangis mereka pecah kembali. Leoni dan Xander saling memperhatikan ditempat, ikut merasa iba sebab tangis yang begitu pilu mereka dengar. Rumah sakit memanglah tempat kesedihan. Tidak dipungkiri jika temp
Bulan-bulan berlalu begitu cepat. Kehamilan Leoni sudah menginjak trimester akhir dan tinggal menghitung hari untuk persalinannya. Hal ini cukup membuat Xander stres di mana ini kali pertama ia akan mendampingi wanita tercintanya berjuang untuk hidup dan mati bersama anak mereka. Pria ini tak focus dengan pekerjaan. Bayang-bayang akan wanita melahirkan yang setiap malam ia tonton di internet amat menghantui pikiran. Ketakutan akan rasa sakit yang akan diderita oleh Leoni hampir membuatnya hilang akal. Leoni datang dari dapur membawa satu piring berisikan potongan buah segar. Santai ia memakannya lantas duduk di samping Xander yang tengah terduduk seraya memijat pelipis. Pria ini terlihat seperti ini hampir setiap hari, pun Leoni tahu betul apa alasannya. Matanya melirik sang suami, tanpa mengatakan apapun sebab mulutnya penuh dengan buah segar. Xander mengangkat wajah menatap dalam penuh kasih pada istrinya. Wajah cantik yang terlihat santai itu sedikit membuat ketakutan Xander mem
Intercomnya berbunyi saat Leoni dan Xander tengah menyipkan makan malam. Segera Xander menuju pintu untuk melihat siapa yang datang. Itu Laura. Wanita cantik itu memang telah membuat janji untuk datang berkunjung. Xander bisa melihat wanita itu sedang berdiri di loby penthouse. Menunggu Xander mengijinkannya untuk naik ke lantai atas penthousenya. Laura di antar oleh seorang security untuk menuju lantai tujuan setelah Xander mengijinkannya masuk. "Selamat datang," sapa Leoni dengan senyuman. Datang untuk menyambut Laura di pintu masuk, lantas ia peluk ringan tubuh wanita cantik itu. Meintanya masuk dan duduk pada ruang utama. "Hai, Leoni, apa kabarmu?" "Aku baik." Laura mengangguk senyum. Ia sodorkan barang bawaanya kepada Leoni ber
Tertegun Leoni ketika melihat Xander yang datang dengan penampilan tak karuan. Kemeja putihnya yang telah kusut lusuh, rambut berantakan, serta beberapa luka memar diserta darah yng menghiasi wajah tampannya. Pria itu duduk lemas di atas sofa ruang kerja Leoni, terdiam hingga istrinya datang untuk menghampirinya. "Kau berkelahi?' tanya Xander, dan pria itu menatap istrinya intens pun dalam. Xander mengangguk tanpa kata-kata. Bukan rasa sakit yang bergulung di pikirannya, melainkan amarah yang memuncak. Xander diam karena tengah menahan dirinya untuk tidak pergi membuat keributan lainnya kepada Leonard. "Dengan siapa kau berkelahi?" tanya Leoni pelan. Menatap Xander cemas seraya ia sentuh ujung bibirnya yang pecah terluka. Alih-alih menjawab pertanyaan istrinya, Xander malah membawa tangan Leoni untuk dia cium, untuk ia rasakan kehangatan dari sana, mencari ketenangan dari sosok istrinya. Bagaimana caranya menjelaskan jika seorang pria gila menguntit istrinya, selalu memper
Waktu telah menunjukan pukul satu dini hari. Leoni telah terbaring di atas peraduannya selama lebih tiga jam dan ia terus membuka mata. Pikirannya tak kunung terlelap meskipun ia mencoba menutup matanya beberapa kali. Perutnya yang sudah besar membuat Leoni susah mendapatkan posisi nyaman untuk tidurnya. Sehingga dirinya terus terjaga. Berbeda dengan pria tampan di sisinya. Xander Miller telah terlelap dengan nyaman, terbuai amat dalam di alam bawah sadarnya. Pria itu bahkan tidur tanpa bergerak, sangat-sangat tenang sehingga Leoni tak tahan ingin mengganggunya. Leoni berbaring menyamping menatap suaminya yang memejam mata lelap. Telunjuknya bergerak nakal di atas dahi Xander, hingga turun menuju hidung mancungnya, pun turun lagi menuju bibir seksi pria itu. Ia menggesekan jemarinya di sana hingga Xander melenguh membuka mata. "Hai, Babe?" ucap pria itu seraya membuka matanya yang memerah. Ia peluk tubuh istrinya yang langsung menyingkirkan tangan Xander di sana. Mata Xander ya
Kehamilan Leoni telah memasuki usia tujuh bulan. Perutnya telah membulat besar dan dipastikan berat badanya bertambat dua kali lipat. Wanita cantik itu semakin berisi pun pipinya yang membulat terdapat double chin. Kini, dirinya sedang berada di rumah sakit. Menjenguk Kizzie yang baru saja melahirkan bayi laki-laki yang amat tampan dan lucu. Bayi kecil merah yang saat ini sedang terlelap di dalam baby box nya. Ditatap penuh oleh Leoni dan Xander, Kizzie dan juga Lucas. “Lucu sekali, dia yang selama ini berada di perutku?” Mendadak Kizzie mejadi melow, lingkar matanya memerah penuh haru. Ia dipeluk oleh suaminya di samping yang sama-sama terharu seperti dirinya. Satu lengan Kizzie terulur untuk menyentuh bayi kecilnya. Membuat bayi itu menggeliat kala merasakan sentuhan hangat dari tangan maminya. "Hah ... dia lucu," kata Leoni disertai mata yang berbinar. "Akhirnya kau menjadi ibu dari seorang bayi laki-laki," imbuh Leoni, memeluk sahabatnya. "Ahkhirnya." Pun, tangis Kizzi
Acara reuni diadakan pada aula besar unniversitas. Begitu besar pesta diadakan sebab beberapa angkatan turut hadir di dalamnya. Leoni dan Xander datang bergandengan tangan, bersama baby Zeline yang berada di dalam gendongan daddynya. Pandangan orang-orang tentu saja tertuju pada pasangan ini. Sensasional sebab mantan ipar yang saling menikah. Namun, Leoni dan Xander tak menghiraukan tatapan serta cibiran dari manusia-manusia yang hanya bisa mencibir orang, mereka hanya fokus pada diri masing-masing. Jauh di ujung ruangan Kizzie melambaikan tangan, meminta Leoni untuk datang duduk bersamanya dan Lucas. Sampai di mejanya, segera Lucas ambil alih badan mungil Baby Zeline dari gendongan daddynya. Leoni duduk di samping Kizzie, mendekatkan wajahnya pada sahabtanya itu lalu berbisik. "Sial! Kenapa kau mengirimkan fotonya, Xander telah melihatnya sekarang." Kizzie menahan tawanya. Menilik Xander yang pandanganya tengah mengedar mencari sesuatu, lalu tak lama pria itu bangkit dari